digital, dan sebagainya. Oleh karena itu ditemukan 1 hingga 2 tempat tidur menggunakan alat yang sama secara bergantian.
4.2. Karakteristik Demografi Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang perawat ICU yang memenuhi kriteria penelitian. Karakteristik demografi partisipan antara lain usia
partisipan berkisar antara 27-46 tahun, dengan rata-rata 35 tahun. Satu orang partisipan adalah laki-laki dan sisanya adalah 9 perempuan. Tujuh partisipan
mempunyai pendidikan DIII keperawatan sebagai level pendidikan tertinggi dan 3 partisipan mempunyai pendidikan S1 keperawatan. Jumlah perawat yang pernah
mengikuti pelatihan sebanyak 7 orang dan sisanya 3 orang yang belum memiliki pelatihan. Jenis pelatihan yang diikuti partisipan meliputi pelatihan dasar ICU,
kegawatdaruratan, dan Basic Trauma Cardiac Life Support BTCLS. Rata-rata jumlah pelatihan yang dimiliki partisipan adalah 1 sampai 2 jenis pelatihan. Masa
kerja di ICU berkisar antara 2 tahun hingga 26 tahun, dengan rata-rata 8 tahun. Semua partisipan pernah mengalami stres kerja dan mempunyai pengalaman
dalam mengatasi stres kerja di ICU. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.1.
4.3. Stres Kerja Perawat di ICU
Data penelitian yang berhubungan dengan stres kerja diperoleh melalui wawancara mendalam, field note, dan observasi kemudian dianalisis dengan
content analysis . Proses content analysis dilakukan dengan bantuan aplikasi
software Weft-QDA. Hasil analisis ditemukan beberapa tema stres kerja yaitu penyebab stres kerja, gejala stres kerja, waktu stres kerja, dan dampak stres kerja.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4.1 Karakteristik Demografi Partisipan
No. Partisipan
Umur tahun
Jenis Kelamin
Pendidikan Jenis Pelatihan yang
Pernah Diikuti Masa
Kerja tahun
1 27
P S1
1. BTCLS
2. Kegawatdaruratan
2 2
28 L
S1 1.
PPGD 2.
BTCLS 3.
Wound Care Management
3
3 39
P D3
1. ICU
8 4
37 P
D3 Tidak Pernah
2 5
46 P
D3 1.
ICU 26
6 44
P D3
1. PPGD
2. Intensive Care
12 7
36 P
D3 1.
Dasar-dasar ICU 8
8 35
P D3
1. ICU
6 9
31 P
S1 Tidak Pernah
4 10
30 P
D3 Tidak Pernah
4
4.3.1. Penyebab stres kerja
Berbagai penyebab stres kerja yang dialami oleh partisipan tergambar dari beberapa sub tema yaitu 1 lingkungan kerja yang tidak kondusif, 2 hubungan
dengan atasan yang kurang harmonis, 3 kerja sama tim yang kurang, 4 pembagian jadwal dinas yang tidak sesuai, 5 kondisi pasien yang tidak stabil dan
darurat, 6 keluhan dari keluarga, 7 kurang memiliki kompetensi, 8 catatan keperawatan yang banyak, 9 melakukan pekerjaan non keperawatan, 10 rasio
perawat-pasien yang tidak sesuai, 11 beban kerja yang lebih tinggi, dan 12 masalah pribadi atau keluarga. Masing-masing sub tema dijelaskan sebagai
berikut:
Universitas Sumatera Utara
1 Lingkungan kerja yang tidak kondusif
Lingkungan kerja yang tidak kondusif tergambar dalam berbagai kategori seperti; sarana prasarana tidak lengkap, lingkungan yang tidak rapi, suasana yang
berhubungan dengan alam ghaib, dan sistem keamanan ICU tidak ada. Seorang partisipan mengungkapkan bahwa peralatan tidak lengkap
memperlambat pekerjaan sehingga menimbulkan stres. Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan partisipan dibawah ini:
“Kadang-kadang peralatan tidak lengkap dan juga tidak tertata dengan rapi sehingga membuat kita harus mencari ke tempat lain.
Hal ini tentu akan mengakibatkan pekerjaan kita menjadi lambat dan juga menimbulkan stres.”
[P7] Pernyataan diatas juga didukung oleh partisipan lainnya yang menyatakan
bahwa peralatan yang tidak lengkap menimbulkan tingkat stres tinggi karena partisipan dituntut berpikir dalam pengadaan peralatan tersebut:
“Saya rasa tingkat stres paling tinggi adalah ketika peralatan tidak lengkap dan kita harus memikirkan untuk memanage
segalanya. Itu yang membuat saya sakit kepala bukan sakit kepala secara fisik, hanya sekedar ungkapan partisipan. Kadang-
kadang dalam 2 bed dipasang 1 tensi secara bergantian. Begitulah kerja disini wajah berkerut sambil menggelengkan kepala.”
[P8] Lingkungan yang tidak kondusif digambarkan oleh seorang partisipan
sebagai lingkungan yang tidak rapi. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
“Saya tidak bisa bekerja jika saya lihat ruangan ini berantakan, tidak tertata rapi. Rasanya tidak cocok dengan saya jika alat yang
terpasang masih berantakan, sehingga saya rapikan dulu dan itu membuat ku nyaman bekerja.”
[P7] Selain dari kondisi lingkungan yang tidak lengkap dan rapi, seorang
partisipan menyatakan bahwa stres yang dialaminya disebabkan karena tempat ICU memiliki hal-hal yang berhubungan dengan alam ghaib. Kondisi ini sesuai
dengan ungkapan partisipan bahwa bangunan ICU ini dulunya merupakan lahan perkuburan sehingga sering terjadi kejadian aneh. Pernyataan ini sesuai dengan
kutipan salah satu partisipan dibawah ini: “Tingkat stres bagi saya jika berhubungan dengan alam ghaib.
Saya pasti merasa kaget karena selama ini saya belum pernah memiliki pengalaman seperti itu.
Apalagi di ICU ini katanya ini adalah gedung bekas kuburan. Jadi kalau dinas malam itu kita
memang mendengar hal-hal aneh, suara-suara aneh…kadang- kadang juga alat infus tiba-tiba kok plong sendiri, atau misalnya
tiba-tiba ikatan pasien lepas sendiri. Itu memang benar. Mungkin itu yang menjadi stres
…” [P2] Seorang partisipan menyatakan bahwa kondisi yang kurang kondusif
merupakan kondisi lingkungan ICU yang belum memiliki sistem keamanan seperti belum tersedianya penjaga keamanan di ICU. Ketiadaan penjaga
keamanan ini dapat mengganggu kenyamanan dan ketertiban dalam bekerja. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan berikut:
Universitas Sumatera Utara
“Hal yang membuat marah adalah ketika keluarga pasien datang membesuk dengan tidak tertib. Hal ini disebabkan karena disini tidak
mempunyai penjaga keamanan yang khusus seperti di ICU rumah sakit swasta.”
[P9]
2 Hubungan dengan atasan yang kurang harmonis
Hubungan dengan atasan yang kurang harmonis dinyatakan oleh partisipan sebagai penyebab partisipan mengalami stres. Partisipan menyatakan bahwa
kurangnya kepedulian dan perhatian dari atasan terhadap stafnya disebabkan karena atasan tidak mengetahui langsung bagaimana mekanisme yang sebenarnya
di lapangan. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah seorang partisipan dibawah ini:
“… atasan hanya menuntut kita melakukan yang terbaik, sementara atasan sendiri tidak mengetahui bagaimana mekanisme
yang terjadi sebenarnya di lapangan, tidak diperhatikan sarana prasarana di ruangan.”
[P1]
3 Kerja sama tim yang kurang
Hubungan tim merupakan suatu hal yang bisa menimbulkan masalah. Hubungan antar tim dapat dilihat dari kerja sama antar anggota tim. Beberapa
partisipan menyatakan bahwa stres dapat disebabkan oleh kurangnya kerja sama anggota tim. Salah satu partisipan menyatakan bahwa kerja sama tim yang kurang
disebabkan karena satu atau beberapa anggota tim yakni teman sejawat yang tidak bisa bekerja sama. Keadaan ini memperlambat kerja tim seperti yang dikatakan
oleh partisipan bahwa jika bersama anggota tim yang tidak bisa bekerja sama atau
Universitas Sumatera Utara
selalu mengungkapkan kekesalan menimbulkan ketidaknyamanan selama bekerja. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan dibawah ini:
“Saya paling malas jika satu jadwal dinas dengan orang yang suka cemberut. Bahkan baru melihat jadwal dinas dan bersama
dia, saya jadi malas bekerja…” [P4]
Partisipan lainnya juga mendukung pernyataan diatas. Partisipan tersebut menyatakan bahwa tidak adanya kerja sama antar tim menimbulkan beban dan
perasaan tidak nyaman dalam bekerja. Keadaan ini menyebabkan partisipan kurang fokus dalam bekerja. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu
partisipan dibawah ini: “… yang menjadi beban bagi saya adalah ketika dalam 1 shift
tidak saling kerja sama sehingga kerja tim menjadi tidak nyaman. Saya jadi malas kerja jika anggota tim ada yang tidak cocok.
Jadinya tidak 100 konsentrasi ke pekerjaan kan.” [P7]
Selain hubungan kerja sama antar teman sejawat, partisipan lainnya juga menyatakan bahwa kerja sama yang kurang dengan dokter juga menjadi salah satu
penyebab terjadinya stres kerja. Partisipan menyatakan bahwa kadang-kadang dokter kurang menghargai pekerjaan partisipan sehingga partisipan mempunyai
anggapan terhadap dokter seperti dokter menyalahkan tindakan yang sudah dikerjakan oleh partisipan. Keadaan ini menyebabkan partisipan merasa ragu
untuk melaporkan hal-hal yang berhubungan dengan pasien karena respon dokter terhadap partisipan. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan
dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
“Stres yang saya rasakan adalah respon dokter terhadap kita ketika kita memberikan laporan. Terkadang respon dokter itu ada
yang baik dan ada yang tidak baik.” [P5]
4 Pembagian jadwal dinas yang tidak sesuai
Pembagian jadwal dinas yang tidak sesuai merupakan salah satu penyebab beberapa partisipan merasakan stres disaat bekerja. Beberapa partisipan
mengeluhkan memperoleh jam dinas yang melebihi jumlah jam dinas maksimal ruangan seharusnya. Jumlah jam dinas maksimal ruangan misalnya 150-155 jam
selama 1 bulan. Beberapa partisipan mempunyai jumlah jam dinas melebihi jumlah jam dinas ruangan seperti 160 hingga 170 jam lebih. Pernyataan ini sesuai
dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini: “Semenjak kepala ruangan yang baru ini jadwal dinas saya jor-
joran. Jadi dalam sebulan itu selalu melebihi dari jam dinas maksimal di ruangan.”
[P1] Akibat dari kondisi jam kerja yang berlebihan, beberapa partisipan
menyatakan bahwa mereka mengalami kelelahan. Pernyataan ini sesuai dengan salah satu kutipan partisipan dibawah ini:
“Jam kerja banyak itu capek juga. Capek itu kan stress juga.” [P9] Selain itu, dua partisipan mengeluhkan kejenuhan dan kelelahan akibat
pembagian jadwal dinas yang tidak sesuai seperti distribusi tiap-tiap jadwal dinas tidak seimbang yang mana jumlah dinas malam lebih banyak dan juga waktu libur
yang tidak sesuai. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan beberapa partisipan dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
“dinas malam saya terlalu banyak sehingga menganggu irama istirahat normal atau istilahnya mengganggu irama sirkadian
jantung. Hal ini membuat tubuh tidak sehat. Saya lebih nyaman jika distribusi jadwal dinas baik pagi, sore, dan malam itu
merata.” [P1]
“melihat jadwal dinas aja saya udah mengeluh karena distribusi jadwal dinas yang tidak seimbang seperti dinas sore 3x berturut
turut baru bertemu dinas malam. Suasana ini membuat saya bosan dan akhirnya saya merasa jenuh.”
[P8]
5 Kondisi pasien yang tidak stabil dan darurat
Partisipan yang mempunyai pengalaman dalam menghadapi kondisi pasien darurat dan tidak stabil seperti pasien dengan hemodinamika menurun.
Keadaan ini menimbulkan stres bagi partisipan karena mereka dituntut untuk bertindak cepat dalam penanganan pasien kegawatdaruratan. Pernyataan ini sesuai
dengan salah satu kutipan partisipan berikut: “Stres bagi saya ketika menghadapi kondisi pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil, seperti perdarahan berat, sesak nafas, dan tekanan darah menurun.”
[P3] Selain itu, beberapa partisipan menyatakan bahwa mereka juga mengalami
stres saat menghadapi pasien yang sedang sekarat. Kondisi tersebut menimbulkan perasaan cemas bahkan mengalami kebingungan dalam bertindak. Pernyataan ini
sesuai dengan beberapa kutipan partisipan dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
“Kondisi tingkat stres tinggi di ICU menurut saya adalah ketika kondisi pasien tiba-tiba bradikardi atau sakaratul maut sehingga
pada saat itu banyak tindakan yang harus dilakukan segera.” [P2]
“Stres bagi saya ketika saya mengetahui bahwa pasien tersebut akan meninggal. Tiba-tiba perasaan saya menjadi cemas dan
bingung pada awalnya, bahkan saya menjadi ragu untuk melakukan tindakan apa yang harus dilakukan.”
[P7] Selain dari kondisi pasien diatas, stres juga dialami partisipan karena
ketidaktahuan atau ketidakpastian akan respon pasien setelah pemberian obat. Partisipan beranggapan bahwa rata-rata pasien yang dirawat di ICU adalah pasien
dengan kondisi tidak sadar, sehingga partisipan tidak akan mengetahui keluhan- keluhan pasien sebagaimana yang dimunculkan oleh pasien dalam kondisi sadar.
Pernyataan ini sesuai dengan kutipan seorang partisipan dibawah ini: “Stres yang saya alami adalah pada saat pemberian obat karena
pasien yang dirawat di ICU adalah pasien dengan penurunan kesadaran, sehingga pasien tidak akan mengeluh jika terjadi
sesuatu. Saya harus memantaunya secara langsung.” [P5]
6 Keluhan dari keluarga
Berdasarkan hasil wawancara, beberapa partisipan menyatakan bahwa keluhan dari keluarga pasien merupakan salah satu penyebab timbulnya stres
kerja. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini: “Keluarga pasien bisa menjadi salah satu yang menyebabkan
stres bagi saya.” [P1, L66-67]
Universitas Sumatera Utara
Pernyataan diatas didukung oleh beberapa partisipan lainnya yang menyatakan bahwa stres kerja yang dialami oleh partisipan disebabkan karena
keluarga pasien tidak bisa bekerja sama dengan partisipan. Keadaan ini dinyatakan oleh partisipan bahwa beberapa keluarga pasien tidak bisa menerima
kondisi pasien yang semakin memburuk atau kenyataan kehilangan anggota keluarganya. Seperti yang diungkapkan oleh partisipan bahwa beberapa keluarga
ada yang melampiaskan kekesalannya secara langsung kepada partisipan seperti marah dan mengamuk. Hal ini menimbulkan perasaan takut bagi partisipan dalam
menghadapi keluarga pasien tersebut. Pernyataan ini sesuai dengan salah satu kutipan partisipan dibawah ini:
“Kondisi stres yang paling tinggi menurut saya adalah menghadapi keluarga pasien yang tidak bisa diajak berdiskusi
malahan mengamuk-ngamuk.” [P3]
Akibat dari menghadapi keluarga pasien yang tidak dapat bekerja sama, partisipan juga mengalami perasaan kesal dalam memberikan penjelasan kepada
keluarga yang sulit mengerti. Penyampaian penjelasan kepada keluarga pasien yang dilakukan oleh partisipan cenderung terbawa suasana emosi sehingga
kadang-kadang beberapa partisipan bertengkar dengan keluarga pasien. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan beberapa partisipan dibawah ini:
“Saya merasa jengkel jika ada keluarga pasien yang bertanya tentang kondisi pasien dari kepala hingga ujung kaki. Namun
setelah dijelaskan juga tidak mengerti. Saya jadi stres.” [P10]
Universitas Sumatera Utara
“Kadang-kadang kita bertengkar dengan keluarga pasien sehingga cara penyampaian kalimat kita pun menjadi tidak
bagus.” [P5]
7 Kurang memiliki kompetensi
Beberapa partisipan mengetahui bahwa stres yang pernah dialaminya pada waktu itu karena mengetahui dirinya kurang kompeten, salah satunya yaitu kurang
pengetahuan. Partisipan menyatakan bahwa stres yang dialaminya ketika tidak mengetahui obat-obatan yang digunakan untuk menolong pasien sekarat sehingga
partisipan tidak tahu tindakan apa yang akan dikerjakan selanjutnya. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan berikut:
“Saat kondisi pasien sekarat kalau kita tidak tahu obat-obat apa saja yang digunakan untuk menolong pasien itu, lebih luar biasa
lagi paniknya. Itu aja stresnya tidak tahu apa yang harus dikerjakan.”
[P3] Selain itu, partisipan menyatakan bahwa partisipan kurang kompeten
karena belum mendapatkan pelatihan. Partisipan menyatakan bahwa akibat dari belum memiliki pelatihan apapun menyebabkan partisipan mengalami stres kerja
sehingga merasa tidak percaya diri dalam bekerja. Pernyataan ini sesuai dengan salah satu kutipan partisipan dibawah ini:
“Waktu dulu saya belum mendapatkan pelatihan dasar intensif, sehingga masih merasa takut ketika bekerja dan tidak percaya
diri.” [P6]
Universitas Sumatera Utara
Selain tidak memiliki pelatihan, partisipan juga menyatakan bahwa stres yang dialami selama bekerja di ICU disebabkan karena partisipan belum memiliki
pengalaman bekerja di ICU sebelumnya. Berdasarkan wawancara mendalam dengan beberapa partisipan dinyatakan bahwa partisipan belum memiliki
pengalaman bekerja dalam menghadapi kondisi pasien kegawatdaruratan seperti di ICU karena salah satu partisipan menyatakan bahwa pertama kali bekerja di
rumah sakit langsung ditempatkan di Ruang ICU dan beberapa partisipan hanya mempunyai pengalaman bekerja di ruang rawat inap biasa. Partisipan juga
menyatakan bahwa stres yang dialami pada saat itu seperti tampak kebingungan dan jantung berdebar. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan dibawah
ini: “Sewaktu belum memiliki pengalaman, jantung saya berdetak
kencang ketika melihat anak-anak yang dirawat di ICU.” [P3]
“Pada saat lulus diterima bekerja di Rumah Sakit ini, saya langsung ditempatkan di ICU tanpa memiliki bekal apa pun.
Sehingga saya menjadi bingung ketika melihat pasien.” [P9]
8 Catatan keperawatan yang banyak
Catatan keperawatan yang banyak dinyatakan oleh partisipan sebagai salah satu penyebab stres kerja di ICU. Catatan keperawatan yang ada di ICU saat ini
yaitu status pasien, buku laporan pasien, dan lembar flip chart. Seorang partisipan telah berpendapat bahwa stres yang dialaminya disebabkan pendokumentasian
keperawatan yang terlalu banyak untuk dicatat sehingga menimbulkan kelelahan dalam bekerja, bahkan hal ini juga menyebabkan kontak langsung perawat ke
Universitas Sumatera Utara
pasien menjadi berkurang. Partisipan tersebut beranggapan bahwa sistem pendokumentasian yang ada saat ini dirasa cukup boros baik waktu, tenaga, dan
pikiran. Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan partisipan dibawah ini: “Kalaupun status pasien harus diisi, laporan juga harus dibuat,
flip chart harus dibuat juga, jadi yang ke pasien itu menjadi kurang, kan. Otomatis dengan catatan keperawatan yang banyak
membuat kita menjadi letih karena boros waktu, tenaga dan pikiran.”
[P8]
9 Melakukan pekerjaan non keperawatan
Seorang partisipan mengungkapkan bahwa pekerjaan yang dilakukannya cukup banyak dan melelahkan karena tidak hanya melakukan pekerjaan
keperawatan, tetapi juga melakukan pekerjaan non keperawatan. Pekerjaan non keperawatan yang dilakukan oleh perawat seperti yang dinyatakan oleh partisipan
adalah pekerjaan administrasi, yang mana partisipan harus mencatat tindakan- tindakan keperawatan yang berkaitan dengan jasa perawat. Selain itu, ditambah
lagi partisipan juga harus memperbaiki alat-alat jika ada yang rusak yang mana itu merupakan perkerjaan seorang teknisi service. Keadaan ini mengakibatkan
partisipan tidak dapat fokus pada pekerjaannya sebagai profesi perawat. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini:
“Seharusnya tugas mengklaim uang untuk jasa perawat adalah tugas administrasi langsung. Namun kenyataannya disini perawat
juga yang melakukannya. Selain itu perawat juga harus bertugas sebagai teknisi untuk memperbaiki peralatan yang rusak. Kalau
Universitas Sumatera Utara
perawat semua yang harus memangenya dari a-z, dari teknisi sampai tukang salon, otomatis bisa tidak fokus kan.”
[P8]
10 Rasio perawat pasien yang tidak sesuai
Beberapa partisipan menyatakan bahwa perbandingan antara perawat dengan pasien di ICU tidak sesuai dengan standar ICU yang seharusnya yaitu 1:1
untuk rasio perawat dan pasien. Partisipan menyatakan bahwa jumlah perawat yang bekerja pada setiap shiftnya hanya 4 hingga 5 orang dengan kapasitas tempat
tidur pasien berjumlah 7 tempat tidur. Keadaan ini tentu menimbulkan kelelahan dalam bekerja karena partisipan harus mengatasi pasien lebih dari 1 orang dengan
tingkat ketergantungan pasien ICU yang sebagian besar adalah total care. Akibat dari kelelahan yang dialami oleh partisipan terus-menerus yaitu kejenuhan dalam
bekerja. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan dibawah ini: “Tekanan yang saya rasakan disini adalah ketika saya dinas selalu dalam
keadaan jumlah pasien full. Sementara tenaga yang ada hanya 4 hingga 5 orang. Kapasitas 7 bed tempat tidur dengan 4 orang perawat pastinya
keteteran juga, apalagi dengan ventilator yang berjejer. Kondisi ini membuat saya capek dan akhirnya jenuh .”
[P9]
11 Beban kerja yang lebih tinggi
Beban kerja tinggi merupakan salah satu penyebab stres kerja yang dialami oleh beberapa partisipan. Beberapa partisipan menyatakan bahwa
pekerjaan sebagai perawat ICU cukup berat dan memiliki beban kerja yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan perawat di ruangan rawat inap lainnya. Partisipan
menyatakan bahwa pekerjaan di ICU memiliki beban kerja yang lebih tinggi
Universitas Sumatera Utara
karena hampir sebagian besar kondisi pasien yang ditangani adalah kondisi pasien total care
dengan berbagai penyakit. Oleh karena itu semua perawatan terhadap pasien dilakukan sepenuhnya oleh partisipan, seperti mengangkat pasien,
memandikan, melakukan suction, dan sebagainya. Ditambah lagi sebagian besar pasien di ICU bermasalah dengan sistem
pernafasannya airway, sehingga hampir setiap tempat tidur pasien dilengkapi oleh alat bantu pernafasan ventilator. Beberapa partisipan menyatakan bahwa
pasien yang terpasang ventilator mempunyai beban kerja yang cukup tinggi. Kondisi beban kerja yang tinggi ini membuat partisipan menjadi kelelahan dalam
bekerja. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini: “Capek bekerja disini. beban kerjanya terlalu banyak dengan
kondisi pasien terpasang ventilator, kita harus mengangkat-angkat pasien, memandikan, mensuction. Rutinitasnya itu-itu saja.”
[P9]
12 Masalah pribadi atau keluarga
Masalah pribadi atau keluarga dinyatakan oleh partisipan sebagai salah satu yang bisa menimbulkan stres selama bekerja. Beberapa partisipan
menyatakan bahwa permasalahan dalam keluarga yang dialaminya adalah keadaan dimana partisipan harus meninggalkan anak selama jam kerja atau
kondisi anak sakit. Keadaan ini mempengaruhi konsentrasi partisipan selama bekerja, seperti yang dinyatakan oleh beberapa partisipan bahwa pikirannya
bercabang memikirkan keadaan anak di rumah. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan beberapa partisipan dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
“Stres bagi saya ketika harus meninggalkan anak saat dinas sore.”
[P4] “Aku lebih stres lagi jika bekerja pada saat kondisi anak sakit. Itu
yang membuat lebih stres. Anak pilek, demam, pasti akan merasa lebih stres dan tidak tenang. Sekarang kondisi anak lagi pilek dua-
duanya, pasti pikiran kita kesana terus kan.” [P7]
4.3.2. Gejala stres kerja
Berbagai gejala stres yang dialami oleh partisipan dikelompokkan menjadi beberapa sub tema yaitu 1 psikologis emosional, 2 fisiologis fisik, 3 kognitif
pikiran, dan 4 perilaku. Masing-masing sub tema akan dijelaskan sebagai berikut:
1 Psikologis emosional
Stres kerja yang dialami oleh partisipan menunjukkan berbagai gejala yang bersifat psikologis atau emosional. Beberapa partisipan menyatakan bahwa
perasaan yang muncul ketika mengalami stres adalah marah. Perasaan marah ini dialami oleh partisipan saat berinteraksi dengan tim kerja dimana perkataan
partisipan tidak didengarkan oleh anggota tim. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini:
“Ya itu aja yang namanya respon pertama pasti marah. Pertama responnya otomatis arghh..kok gak didengar ya kita ngomong,
pasti marah otomatis jadinya kesal ya kok omongan gak didengar gitu nada suara meninggi.”
[P1]
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, perasaan kesal juga dialami oleh partisipan lain. Timbulnya perasaan ini disebabkan salah satu faktor penyebab stres kerja yang telah
dijelaskan sebelumnya, yaitu tuntutan untuk memberikan penanganan cepat kepada pasien, namun terhambat akibat peralatan yang tidak lengkap. Pernyataan
ini sesuai dengan kutipan partisipan berikut: “Perasaan pasti jengkel pada saat peralatan tidak lengkap karena
kita menginginkan alat itu segera, tapi mau bagaimana lagi... Awal-awal pasti emosi.”
[P7] Gejala-gejala emosional lainnya yang dinyatakan oleh beberapa partisipan
yaitu perasaan cemas dan takut terhadap kondisi yang akan terjadi pada pasien. Partisipan menyatakan bahwa perasaan ini muncul pada saat pertama kali bekerja
di ICU atau saat menghadapi kondisi pasien yang menurun selama jam kerja sedang berlangsung. Ketakutan yang dirasakan oleh partisipan adalah perasaan
takut gagal dalam bertindak seperti merasa takut salah jika terbalik dalam merangkai settingan pada ventilator atau takut pasien meninggal pada saat jam
kerja partisipan masih berlangsung. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan beberapa partisipan dibawah ini:
“Ketika awal masuk ICU saya merasa cemas karena saya disuruh merakit ventilator. Saya takut kalau alat yang dipasang itu
terbalik.” [P2]
“Saya paling takut kalau ada pasien yang meninggal pada saat saya dinas. Seolah-olah batin saya tidak bisa menerima jika
pasien tidak tertolong saat saya dinas.” [P5]
Universitas Sumatera Utara
Perasaan cemas dan takut juga dialami oleh partisipan lainnya. Salah satu partisipan menyatakan bahwa rasa cemasnya itu muncul tiba-tiba ketika pasien
menunjukkan tanda-tanda sekarat. Kondisi yang dirasakan oleh partisipan tersebut menyebabkan kebingungan atau keraguan dalam bertindak. Pernyataan ini sesuai
dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini: “…tiba-tiba perasaan saya menjadi cemas dan bingung pada
awalnya, bahkan saya menjadi ragu untuk melakukan tindakan apa yang harus dilakukan.”
[P7] Gejala stres yang bersifat emosional yang dialami oleh partisipan tidak
hanya perasaannya terhadap kondisi pasien, tetapi juga kepada keluarga pasien. Partisipan menyatakan bahwa terkadang merasa takut dalam menghadapi keluarga
pasien yang tidak bisa menerima kenyataan kehilangan anggota keluarganya. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini:
“…saya jadi takut menangani keluarga pasien seperti itu.” [P3] Selain itu, partisipan juga merasa kesal terhadap keluarga pasien yang
sudah berkali-kali diberikan penjelasan, namun tetap tidak juga mengerti. Perasaan yang dialami oleh partisipan ini sesuai dengan kutipan wawancara
berikut: “Saya merasa jengkel jika ada keluarga pasien yang bertanya…”
[P10]
2 Fisiologis fisik
Stres kerja yang dialami oleh partisipan menunjukkan berbagai gejala yang bersifat fisiologi atau fisik. Beberapa partisipan menyatakan bahwa gejala
Universitas Sumatera Utara
yang pernah dan dirasakan oleh partisipan terjadi pada tubuh yaitu jantung berdetak kencang dan berkeringat. Keadaan fisik ini dialami oleh partisipan ketika
belum mempunyai pengalaman kerja di ICU, sehingga partisipan mempunyai harapan tinggi terhadap kondisi pasien yang menurun. Pernyataan ini sesuai
dengan kutipan beberapa partisipan dibawah ini: “Sewaktu belum memiliki pengalaman, jantung saya berdetak
kencang ketika melihat anak-anak yang dirawat di ICU.” [P3]
“Perasaan kakak pada waktu itu jantung kakak berdetak kencang mungkin lebih dari 100. Kakak sudah stres, denyut jantug naik dan
keringatan.” [P6]
3 Kognitif pikiran
Gejala stres yang dialami oleh partisipan secara kognitif atau pikiran bervariasi, seperti yang kebingungan, kesulitan berkonsentrasi, merasa bosan dan
jenuh, dan mempunyai pikiran negatif. Partisipan 9 menyatakan pengalamannya bahwa pada saat pertama kali ditugaskan bekerja di ICU mengalami kebingungan
ditambah lagi dengan tidak memiliki pengalaman ataupun pelatihan sebelumnya. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan berikut:
“Awalnya melihat pasien itu saya merasa clingak-clinguk karena ketika lulus di RS ini saya langsung ditempatkan di ICU tanpa ada
bekal sedikit pun.” [P9]
Selain kebingungan, beberapa partisipan menyatakan pengalamannya saat bekerja kadang-kadang mengalami sulit berkonsentrasi karena memikirkan hal-
hal lain seperti masalah pribadi atau keluarga, keingingan untuk fokus beribadah,
Universitas Sumatera Utara
dan sebagainya. Partisipan juga menyatakan ketika sedang memikirkan hal lain, partisipan menjadi tidak fokus terhadap tindakan yang diberikan kepada pasien.
Pernyataan ini sesuai dengan kutipan beberapa partisipan dibawah ini: “Sekarang kondisi anak lagi pilek dua-duanya. Pikiran aku ini ke
sana terus.” [P7]
“Pikiran aku bercabang, jam ini aku fokus pada pasien, terus disaat jam aku beribadah aku fokus ke ibadah lagi. Tentu di saat
aku beribadah tentu menjadi pikiran bagi ku bagaimana pasien ku. Pasien di ICU kan gak bisa diprediksi saat itu, mungki saat itu
baik tapi 2 menit kemudian kita kan gak tau, Allahu’alam.” [P5]
Selain gejala stres diatas yang berfokus pada pasien, gejala lainnya adalah mempunyai pikiran negatif. Beberapa partisipan menyatakan bahwa partisipan
pernah mempunyai pikiran negatif dalam berinteraksi dengan teman sejawat dan keluarga pasien. Pikiran negatif yang dialami oleh partisipan yaitu mempunyai
pikiran takut disalahkan bahkan partisipan berpikir bahwa dunia kerja begitu kejam. Pikiran negatif ini muncul ketika partisipan merasa direndahkan oleh
orang lain baik teman sejawat ataupun keluarga pasien. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan beberapa partisipan dibawah ini:
“Semua orang mengjudge kita bodoh. Ternyata kejam dunia kerja ini…aduh.”
[P9] “Saya takut dimarahi atau disalahkan oleh keluarga jika pasien
pada saat saya dinas meninggal.” [P6]
Universitas Sumatera Utara
Gejala-gejala diatas menyebabkan beberapa partisipan mengalami kejenuhan. Kejenuhan yang dialami oleh partisipan dinyatakan bahwa partisipan
bosan bekerja dengan rutinitas yang membosankan. Partisipan juga menyatakan bahwa kejenuhan atau kebosanan yang dialami ketika menghadapi pasien dengan
lama hari rawat yang cukup lama. Hal ini seperti yang dikatakan oleh beberapa partisipan bahwa pasien yang dirawat di ICU adalah pasien dengan penyakit
kronik sehingga pasien yang dirawat cukup lama yakni beberapa minggu bahkan berbulan-bulan. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan
berikut: “Apalagi pasiennya lama-lama kan. Saya jadi bosan sebenarnya.
Stress sama bosan beda-beda tipis. Itu juga yang bikin saya merasa jenuh.”
[P9]
4 Perilaku
Gejala stres kerja yang dialami oleh partisipan dapat berupa perubahan perilaku. Perubahan perilaku yang dialami oleh partisipan yaitu tidak bisa tidur,
berbicara dengan nada tinggi atau berbicara kasar. Beberapa partisipan menyatakan bahwa dirinya pernah tidak tidur selama satu malam dalam
menghadapi pasien. Partisipan juga menyatakan bahwa kejadian yang dialaminya pada saat dinas malam pertama kali dan belum mendapatkan pelatihan dasar
intensif. Partisipan tidak dapat tidur karena merasa cemas yang berlebihan terhadap pasien yang menjadi tanggung jawabnya. Selain tidak dapat tidur,
partisipan juga mondar-mandir selama dinas malam tersebut. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan berikut:
Universitas Sumatera Utara
“Sangkinkan stresnya, kakak gak bisa tidur satu malam itu. Tak berhenti-henti
kakak wara-wiri melihat pasien dari ujung ke ujung
.” [P6] Selain perubahan perilaku diatas, partisipan juga menyatakan bahwa
terkadang berbicara kasar kepada keluarga pasien. Beberapa partisipan menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena keluarga pasien tidak bisa menerima atas
apa yang telah dijelaskan oleh partisipan sehingga partisipan terbawa emosi dalam berbicara. Bahkan, partisipan juga menyatakan bahwa partisipan pernah
bertengkar dengan keluarga pasien. Partisipan menjelaskan bahwa perubahan perilaku ini terjadi karena kelelahan dalam bekerja. Pernyataan ini sesuai dengan
kutipan beberapa partisipan dibawah ini: “Kadang-kadang saat kita menyampaikannya itu ke keluarga
pasien kurang baik seperti ini Ya gak bisalah buk.” [P5]
“Keluarga pasien itu tidak suka dengan omongan ku sehingga aku bertengkar pada waktu itu.”
[P7]
4.3.3. Waktu stres kerja
Waktu timbulnya stres kerja yang pernah dialami oleh partisipan dikategorikan menjadi beberapa sub tema; 1 pada saat awal pertama kali bekerja,
2 saat kejadian sedang berlangsung, dan 3 jadwal shift dinas tertentu. Masing- masing sub tema dijelaskan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1 Pada saat awal pertama kali bekerja
Beberapa partisipan menyatakan bahwa stres terjadi ketika pertama kali bekerja di ICU. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh beberapa partisipan yang
mengalami gejala stres saat pertama kali bekerja di ICU yaitu takut, bingung, dan stres. Beberapa partisipan menyatakan bahwa gejala yang dialami disebabkan oleh
belum memiliki pengalaman bekerja di ICU. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan oleh beberapa partisipan dibawah ini:
“Buat pertama-tama mungkin bingung. Pertama masuk ICU, pasti merasa stres karena belum mempunyai pengalaman kan.”
[P10] “Stres kerja…yang paling stres dulu waktu kita masih baru-baru
bekerja disini.” [P3]
Selain itu, salah satu partisipan juga menyatakan bahwa pengalaman bekerja di rumah sakit hanya dari ruangan rawat inap saja. Hal ini dinyatakan oleh
partisipan bahwa ketika awal ditempatkan bekerja di ICU, partisipan merasa kebingungan dan takut. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan
berikut: “Kalau aku awal-awalnya memang bingung karena sebenarnya
aku bekerja di ruang rawat inap. Stresnya ya di awal-awal itu memang aku takut.”
[P7] Partisipan lainnya menyatakan bahwa saat bekerja pertama kali di ICU
partisipan merasakan kekhawatiran dalam mengatur settingan ventilator seperti takut selang-selang yang diaturnya salah karena akan berakibat fatal bagi pasien.
pernyataan ini sesuai dengan pernyataan salah satu partisipan dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
“Itu memang di awal-awal agak khawatir takut kebalik-balik alat.”
[P2] Selain itu, beberapa partisipan menyatakan bahwa saat pertama kali
bekerja di ICU partisipan diperlakukan tidak adil, seperti mendapatkan jadwal dinas dengan jam yang berlebihan dan permintaan libur yang diajukkan belum
bisa dipenuhi. Partisipan menyatakan bahwa hal ini juga dialami dengan beberapa temannya yang masih muda. Keadaan ini disebabkan karena status junior dan
belum menikah sehingga menimbulkan perasaan kesal pada masa awal bekerja. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini:
“Awal-awal baru masuk disini awal-awalnya gondok ya. langsung ngomong kok seperti ini...”
[P1]
2 Saat kejadian sedang berlangsung
Beberapa partisipan menyatakan bahwa stres yang dialami hanya terjadi pada saat kejadian tertentu, tidak berlarut-larut seperti menghadapi teman sejawat
yang tidak bisa bekerja sama. Partisipan menyatakan bahwa perasaan kesal timbul ketika teman tidak menangani pasiennya, namun perasaan kesal tersebut hanya
dirasakan sesaat saja tidak sampai membuat hubungan antar teman menjadi renggang. Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan salah satu partisipan berikut:
“Kalau dengan teman sejawat itu emosinya ya paling-paling saat itu saja.”
[P1] Salah satu partisipan lainnya menyatakan bahwa stres yang dialami ketika
menghadapi keluhan keluarga pasien seperti keluarga pasien yang marah. Partisipan menyatakan bahwa perasaan kesal yang dialami terhadap keluarga
Universitas Sumatera Utara
pasien hanya pada saat kejadian tersebut, tidak berlarut. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan beberapa partisipan dibawah ini:
“Ya pasti kesal pada saat kejadian itu, siap itu ya udah tidak ada lagi.”
[P10] “Stres-stres kakak itu tidak berlarut, stresnya sesaat waktu itu
saja.” [P3]
Partisipan lainnya menyatakan bahwa gejala stres yang dialaminya adalah perasaan takut dalam menghadapi kondisi pasien yang tidak stabil. Keadaan ini
menyebabkan partisipan tidak bisa tidur pada saat dinas malam tersebut. Gejala stres yang dialami oleh partisipan dinyatakan bahwa partisipan mengalami
ketakutan atas hal-hal yang akan terjadi pada pasien dan menyebabkan kondisi pasien memburuk selama jam dinas. Kejadian yang pernah dialami oleh partisipan
dinyatakan hanya terjadi pada saat itu saja dan tidak berkepanjangan pada dinas selanjutnya. Partisipan juga menyatakan bahwa gejala stres yang pernah
dialaminya selama bekerja di ICU disebabkan karena partisipan belum memiliki pengalaman dinas di ICU dan juga merupakan dinas malam yang pertama di ICU.
Pernyataan ini sesuai dengan salah satu kutipan partisipan dibawah ini: “Kakak merasa takut pada satu malam itu saja. Takut pasien itu
mengapa-ngapa nanti. Memang satu malam itu takut terjadi sesuatu sewaktu kakak dinas.”
[P6]
3 Jadwal shift dinas tertentu
Selain pada saat pertama kali bekerja dan kejadian-kejadian tertentu, beberapa partisipan juga menyatakan bahwa stres yang dialami lebih sering terjadi
Universitas Sumatera Utara
pada saat jadwal dinas sore dan dinas malam. Hal ini dinyatakan oleh salah satu partisipan bahwa kondisi pasien lebih banyak menurun pada saat dinas malam.
Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan berikut: “saya merasa stres ketika dinas malam karena pada saat dinas
malam kondisi pasien lebih banyak menurun, bahkan pasien meninggal lebih sering terjadi pada malam hari.”
[P9] Selain itu, partisipan diatas juga menyatakan bahwa jumlah pasien yang
masuk ke ruang ICU lebih sering terjadi pada saat malam hari. Partisipan menyatakan bahwa dengan kondisi jumlah pasien yang banyak, namun jumlah
perawat yang dinas pada saat itu sedikit akan menimbulkan kelelahan. Pernyataan ini sesuai dengan salah satu kutipan partisipan dibawah ini:
“Pasien itu malam aja yang banyak. Itu kan capek.” [P9]
Pernyataan diatas didukung oleh partisipan lainnya yang menyatakan bahwa mempunyai jadwal dinas sore dan malam yang banyak akan menimbulkan
stres. Hal ini disebabkan pada saat dinas sore dan malam pasien yang akan masuk ke ICU cukup banyak dan ini menyebabkan kesulitan bagi partisipan dalam
mengaturnya. Ditambah lagi dengan sulitnya dalam mengambil keputusan dan kurangnya peralatan yang tersedia. Partisipan menyatakan bahwa bed yang
tersedia berjumlah 7, namun peralatan yang ada tidak lengkap untuk masing- masing bed seperti 1 buah tensimeter yang digunakan untuk 2 bed pasien.
Keadaan ini memperlambat kerja partisipan serta menimbulkan perasaan kesal. Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan partisipan dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
“Kalau dinas sore malam itu yang membuat kita stres misalnya kalau tempat tidur penuh, sementara orang luar memaksa ingin
memasukan pasiennya.” [P8]
4.3.4. Dampak stres kerja
Dampak yang timbul dari akibat stres kerja yang pernah dialami oleh partisipan dikategorikan menjadi: 1 timbulnya berbagai masalah kesehatan dan 2
memiliki keinginan untuk keluar dari pekerjaan. Masing-masing subtema dijelaskan sebagai berikut:
1 Timbulnya berbagai masalah kesehatan
Salah satu dampak stres kerja yang dialami oleh partisipan adalah timbulnya berbagai masalah kesehatan. Beberapa partisipan menyatakan masalah
kesehatan yang dialami seperti sakit pinggang, sakit punggung, mual muntah, pusing, dan flu. Partisipan juga menyatakan bahwa masalah kesehatan yang
dialami disebabkan jaga malam yang terlalu banyak. Keadaan ini dinyatakan oleh partisipan bahwa dinas malam yang terlalu banyak dan kurangnya jadwal istirahat
atau tidak terpenuhinya waktu istirahat antara dinas malam dengan dinas berikutnya menyebabkan daya tahan tubuh rendah sehingga menimbulkan
masalah kesehatan tersebut. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan beberapa partisipan dibawah ini:
“Masalah kesehatannya ya itu tadi, kalau aku jaga malam aku bermasalah. Aku punya riwayat hipertensi. kalau aku jaga malam
itu timbul dampaknya, kan angin malam itu. timbulnya selalu jaga malam. Sakit punggung kakak ini. Punggung ku sakit itu kadang-
Universitas Sumatera Utara
kadang pulang dinas malam, aku mual-mual, muntah-muntah.” [P5]
“Kaki kayaknya, asam urat karena jaga malam terus, begadang kan. Pusing, capek, badan remuk redam. Nah itu stresnya kalau
dinas malam. Asam urat, sakit kepala, sakit pinggang. Itu karena capek.”
[P8] “Paling cuma pilek-pilek, biasa lah. Ya itu karena capek. Daya
tahan tubuh rendah. Ya otomatis, sakit-sakit flu.” [P9]
2 Memiliki keinginan untuk keluar dari pekerjaan
Selain masalah kesehatan yang dialami oleh partisipan, dampak lainnya akibat stres kerja adalah timbulnya keinginan untuk berhenti bekerja di ICU.
Keinginan ini muncul disebabkan karena jam kerja partisipan yang lebih banyak. Keadaan ini menimbulkan perasaan kesal. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan
salah satu partisipan dibawah ini: “Sempat terbesit bagaimana untuk keluar dari ICU.”
[P9] Salah satu partisipan lainnya juga mempunyai keinginan untuk keluar dari
pekerjaan. Partisipan tersebut menyatakan bahwa keinginannya tersebut disebabkan karena partisipan merasa tidak dihargai karena masa kerjanya yang
paling lama diantara pegawai ICU yang lain yaitu 26 tahun dan masih ditugaskan untuk dinas sore malam lebih banyak serta dinas pada saat hari libur. Ditambah
lagi partisipan merasa bahwa teman-temannya tidak memahami keinginannya seperti keinginannya untuk sholat dhuha pada saat dinas pagi. Keinginannya
untuk keluar dari rumah sakit sudah pernah diajukan ke pihak manajemen rumah
Universitas Sumatera Utara
sakit, namun tidak digubris sehingga partisipan merasa tidak diperlakukan adil selama ini. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah
ini: “Aku harus keluar dari rumah sakit lagi memukul lantai. Itu niat
aku memang ada. Itulah niat kakak tadi itu, dalam diri ku berarti kalau anda tidak cocok, tidak sanggup, ya udah keluar aja. Itu
terpendam niat aku jadinya. Ya aku juga punya batas kesabaran. Gak akan mungkin kakak seperti ini terus. Suatu saat aku akan
‘cau’, keluar dari rumah sakit umum.” [P5]
Sebagai hasil ringkasan dari hasil content analysis stres kerja perawat ICU diatas dapat dilihat pada tabel 4.2.
4.4. Mekanisme Koping Perawat ICU
Data penelitian yang berhubungan dengan mekanisme koping dianalisis dengan pendekatan Van Manen. Analisis dengan pendekatan Van Manen melalui
beberapa 2 tahap yaitu tahap menemukan aspek-aspek tematik dan tahap menemukan kategori tematik. Tahap pertama adalah menemukan aspek-aspek
tematik thematic aspects. Tahap ini menghasilkan analisis yang digunakan untuk menemukan struktur fenomena mekanisme koping perawat dalam menghadapi
stres kerja di ICU RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Tahap yang kedua adalah menemukan kategori-kategori tematik thematic categories yang dikategorikan
ke dalam The four lived worlds. Tahap ini menghasilkan tema-tema dan deskripsi interpretif fenomena mekanisme koping perawat dalam menghadapi stres kerja di
Universitas Sumatera Utara
ICU. The four lived worlds terdiri dari: corporeality, relationality, spatiality, dan temporality
Van Manen, 1990.
Tabel 4.2 Hasil Content Analysis Stres Kerja Perawat ICU
No. Kategori
Tema
1 Lingkungan kerja tidak kondusif
Penyebab stres kerja 2
Hubungan dengan atasan yang kurang harmonis
3 Kerja sama tim yang kurang
4 Pembagian jadwal dinas yang tidak sesuai
5 Menghadapi kondisi pasien yang darurat
6 Keluhan dari keluarga pasien
7 Kurang memiliki kompetensi
8 Catatan keperawatan yang banyak
9 Melakukan pekerjaan non keperawatan
10 Rasio perawat-pasien tidak sesuai
11 Beban kerja yang lebih tinggi
12 Masalah pribadi keluarga
1 Psikologis emosional
Gejala stres kerja 2
Fisiologis fisik 3
Kognitif pikiran 4
Perilaku 1
Awal pertama bekerja di ICU Waktu stres kerja
2 Saat kejadian tertentu yang berlangsung
3 Jadwal shift dinas tertentu
1 Masalah kesehatan
Dampak stres kerja 2
Keinginan untuk keluar dari pekerjaan
Tahap menemukan aspek-aspek tematik
Tahap ini data diperoleh dari wawancara mendalam dengan partisipan. Kemudian hasil wawancara direkam dan dibuat transkripnya. Lalu dimulai dengan
langkah awal yaitu mengisolasi tema, merefleksikan tema ke dalam The four lived
Universitas Sumatera Utara
worlds , dan memformulasikan thematic categories. Langkah-langkah pada tahap
ini dijelaskan sebagai berikut:
Mengisolasi tema-tema Isolating themes
Tahap mengisolasi tema digunakan pendekatan highlighting. Pendekatan ini digunakan untuk mengidentifikasi dan memilih kata, frase atau pernyataan
signifikan dari setiap transkripsi yang mengembangkan fenomena yang diteliti. Pernyataan signifikan yang diseleksi dikonseptualisasikan berdasarkan makna-
makna dan ditransformasikan ke dalam bahasa keperawatan. Beberapa makna yang ditransformasikan disebut dengan tema-tema. Nomor kode digunakan setiap
pernyataan signifikan highlighting text dan pernyataan signifikan yang telah dilakukan transformasi bahasa linguistic transformation. Beberapa contoh
dibawah ini dijelaskan untuk menggambarkan ilustrasi dari proses mengisolasi tema-tema dengan menggunakan pendekatan highlighting:
Contoh 1
Kata-kata yang dimiringkan highlighting text
“Kalau awal dinas kita tau pasien kita semua, ya bisa aja sih dijalani, gak memunculkan stres.
” [P1, L28-30]
Linguistic transformation theme
Mengetahui kondisi pasien awal dinas tidak menimbulkan stres [P1B6]
Universitas Sumatera Utara
Contoh 2
Highligthing text
“Kita udah punya dasar-dasar ICU ya mungkin stres itu ya bisa diatasi dengan kita punya basic untuk menindak pasien yang dalam kondisi begini
dalam kondisi jelek.” [P3, L266-267]
Linguistic transformation theme
Mengetahui diri memiliki pelatihan ICU yang membantu mengurangi stres. [P3B8]
Contoh 3
Highligthing text
“Aku hargai mungkin ada satu kebanggaan buat aku, temen-temen ni mengaggap aku mampu di bidang itu misalnya terutama dalam mensetting
ventilator gitu kan.” [P8, L170-171]
Linguistic transformation theme
Menghargai diri – bangga terhadap kemampuannya dalam setting ventilator [P8B4]
Mencerminkan tema-tema ke dalam 4 dunia yang dialami Reflecting themes within the four lived worlds
Bahasa yang ditransformasi atau tema-tema dari pendekatan highlighting dicerminkan ke dalam the four live worlds yang terdiri dari corporeality lived
body , relationality lived relation, spatiality lived space, dan temporality lived
time Van Manen, 1990. Beberapa contoh dibawah ini gambaran dari hasil
pencerminan tema-tema dalam tiap dunia yang dialami. Beberapa hasil adalah
Universitas Sumatera Utara
gambaran dari analisis data transkripsi 3 dari 10 partisipan, yaitu: Partisipan 1, 6, dan 8.
Tema-tema dalam lived body Corporeality Partisipan 1
- Menjadikan teguran sebagai motivasi bekerja P1D2
- Menyelesaikan masalah dengan melakukan yang terbaik P1D6
- Menghargai diri - merasa senang sebagai junior karena beban lebih
ringan, pengambilan keputusan tidak sepenuhnya merasa senang ketika mendapat penyelesaian P1D10
- Berfikir tenang menghadapi masalah P1D11
- Tidak mencampuradukkan antara masalah pekerjaan dan keluarga
P1D12 -
Masalah dipertanggungjawabkan P1D13 -
Melakukan pekerjaan sebaik mungkin P1D15 -
Perasaan menyesal – menimbulkan banyak pertanyaan didalam diri P1D16
- Mengetahui kemampuan diri – memiliki pengalaman P1D27
- Mampu menjalani pekerjaan saat ini P1D28
- Menerima keadaan – lapang dada P1D29
Partisipan 6 -
Beradaptasi dengan suasana ICU P6D1
Universitas Sumatera Utara
- Menghargai diri sendiri – lebih percaya diri dan stres hilang setelah
mendapatkan pelatihan P6D4 -
Membuat suasana hati tenang P6D5 -
Menghargai diri – merasa senang berhasil merawat pasien P6D6 -
Menjalani keadaan P6D17 -
Mengobservasi pasien terus-menerus P6D18
- Menyalahkan diri P6D19
Partisipan 8 -
Menghargai diri – bangga terhadap kemampuannya diri P8D5 -
Membuat diri senang – ketawa P8D6 -
Bekerja dengan niat ikhlas P8D7 -
Menikmati pekerjaan P8D8 -
Diri sendiri sebagai sumber pendukung diri mengatasi stres P8D14 -
Mengeluh merupakan cara menarik perhatian orang lain P8D15 -
Bersikap lapang dada P8D16
Tema-tema dalam lived relation Relationality Partisipan 1
- Menyelesaikan masalah dengan teman sejawat – diskusi, bersama-sama,
negoisasi P1D4 -
Menyelesaikan masalah dengan kepala ruangan – mencari win-win solution, diskusi, permintaan dinas P1D5
- Mencari teman yang dapat bekerja sama P1D7
Universitas Sumatera Utara
- Memberi penjelasan yang baik kepada keluarga P1D9
- Mengabaikan teman yang tidak bisa bekerja sama P1D17
- Toleransi kepada senior P1D18
- Berusaha membantu semampunya P1D19
- Bersikap spontan dan terbuka - protes dan berbicara terus terang P1D25
Partisipan 6 -
Mengetahui pasien – kondisi dan tindakan P6D3 -
Hubungan dengan keluarga – mendengarkan menjelaskan P6D78 -
Bersama teman yang sudah berpengalaman – perasaan lebih tenang P6D9
- Melaporkan permasalah ke pihak atasan P6D13
- Hubungan dengan tim kesehatan lain – menghubungi segera P6D14
- Menceritakan kepada teman P6D15
- Memberi nasehat kepada teman P6D16
- Mengungkapkan ketidakmauan bekerja di ICU ke atasan P6D20
Partisipan 8 -
Bersama tim yang solid membantu mengurangi stres P8D1 -
Menghargai dukungan teman P8D2 -
Mendiskusikan masalah kepada kepala ruangan – melaporkan, menyarankan P8D3
- Mengetahui pasien P8D9
- Menyenangkan teman sejawat – kepuasan P8D11
Universitas Sumatera Utara
- Mengingatkan teman yang lalai P8D12
Tema-tema dalam lived space Spaciality Partisipan 1
- Memaknai stres kerja di ICU dengan positif – pendewasaan, pembelajaran
dalam bersosialisasi dengan lingkungan P1D1 -
Merasa tidak sendiri P1D8 Partisipan 6
- Pekerjaan di ICU jelas tindakannya P6D2
Partisipan 8 -
Membuat suasana menjadi lebih nyaman P8D17
Tema-tema dalam lived time Temporality Partisipan 1
- Membutuhkan waktu untuk memaknai – 1 tahun terakhir P1D3
- Mengalami proses adaptasi – saat ini, 2-3 tahun P1D20
- Mencari informasi pada saat pertama kali bekerja di ICU P1D21
- Waktu spesifik mengeluh terhadap masalah pekerjaan – 1-2 bulan pertama
P1D22 -
Meneruskan memberikan pelayanan prima ke pasien P1D23 -
Memprioritaskan pertolongan pasien P1D24 -
Refreshing pada waktu tidak bekerja libur P1D26 Partisipan 6
Universitas Sumatera Utara
- Membutuhkan waktu mengatasi stres kerja – 6 bulan P6D10
- Waktu istirahat untuk mengungkapkan perasaan P6D11
- Jam kerja berakhir – tenang P6D12
Partisipan 8 -
Dinas pagi tanggung jawabnya lebih ringan – ada kepala ruangan P8D10
Memformulasikan kategori-kategori tematik initial thematic categories
Tema-tema yang telah teridentifikasi dan dikelompokkan berdasarkan 4 dunia yang dialami oleh partisipan. Selanjutnya dikelompokkan semua tema-tema
esensial dari masing-masing dunia yang mana disebut dengan kategori tematik. Semua tema-tema dari setiap dunia yang dialami dari semua 10 partisipan
dipertimbangkan dalam memunculkan kategori-kategori tematik. Hal ini digunakan untuk menangkap deskripsi yang lebih besar dari pengalaman
mekanisme koping perawat dalam menghadapi stres kerja di ICU. Dibawah ini adalah hasil dari memformulasi kategori tematik dan tema-tema yang
berkorespondensi:
Lived body Corporeality Thematic category
: Kesadaran diri akan tanggung jawab kerja Self-awarness of work’s duty
Tema yang berkorespondensi yaitu: menyadari tanggung jawab; menyadari niat awal bekerja; memilah masalah.
Thematic category : Kepercayaan diri untuk menjalankan tugas-tugas berat Self-
confidence of completing duty
Universitas Sumatera Utara
Tema yang berkorespondensi yaitu: memaknai dengan cara positif memaknai sebagai motivasi dan tantangan; menghargai atas kemampuan
diri Thematic category
: Kapasitas diri mengatasi masalah melalui pendekatan spiritual Self - capacity of problem solving through spiritual approach
Tema yang berkorespondensi yaitu: melakukan kegiatan spiritual; berserah diri kepada tuhan
Thematic category : Pengalihan diri Self-diversion
Tema yang berkorespondensi yaitu: menenangkan diri, menyibukkan diri
Lived relation Relationality Thematic category:
Dukungan kolega dan sosial untuk mengatasi masalah Collegial and social support to problem solving
Tema yang berkorespondensi yaitu: menyelesaikan permasalahan bersama atasan; bersama teman tim; dan bersama keluarga atau orang terdekat.
Thematic category: Sikap positif terhadap anggota tim kesehatan Positive
attitude toward health team member Tema yang berkorespondensi yaitu: memahami teman sejawat
Thematic category: Mengetahui sifat dan kebutuhan pasien Knowing patient’s nature and needs
Thematic category: Sikap negatif terhadap dalam berhubungan dengan orang lain
Tema yang berkorespondensi yaitu: menjaga jarak dalam berhubungan dengan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
Lived space Spaciality Thematic category:
Lingkungan kerja sebagai wahana belajar working environment as a learning place
Tema yang berkorespondensi yaitu: tempat memperoleh banyak ilmu dan pengalaman; tempat pendewasaan dan sosialisasi
Thematic category: Menciptakan atsmosfer kerja yang nyaman Creating comfort
working atmosphere Tema yang berkorespondensi yaitu: menciptakan suasana yang
menyenangkan; meningkatkan hubungan kekeluargaan.
Lived time Temporality Thematic category:
Waktu yang relatif lama untuk mengatasi stres Long time to resolve stress
Tema yang berkorespondensi yaitu: membutuhkan waktu untuk beradaptasi
Thematic category: Penggunaan waktu istirahat sebaik mungkin
Tema yang berkorespondensi yaitu: istirahat adalah waktu untuk refreshing dan mengungkapkan perasaan.
Kategori tematik yang telah teridentifikasi, selanjutnya memulai menulis deskripsi dari makna-makna didalam kategori tematik. Kemudian peneliti menulis
dan menulis kembali banyak versi dari kategori-kateogi tematik yang telah ditemukan. Peneliti dibantu oleh pembimbing dalam menemukan kategori
Universitas Sumatera Utara
tematik. Selanjutnya peneliti mengembalikan pengalaman partisipan dengan membaca kembali transkripsi dan mendengarkan kembali rekaman wawancara.
Corporeality Lived Body
Van Manen 1990 menyatakan bahwa kita selalu berada di dunia secara badaniah. Dunia ini berarti deskripsi tubuh yang berhubungan dengan stres kerja
dan mekanisme koping yang digunakan oleh partisipan. Partisipan dalam penelitian ini adalah perawat selalu menggunakan tubuhnya dalam menghadapi
stres kerja di ICU. Pada penelitian ini, terdapat 4 kategori tematik mekanisme koping
partisipan mengatasi stres kerja di ICU yang mencerminkan corporeality lived body
. Kategori tematik tersebut terdiri dari 3 kategori tematik mekanisme koping yang positif dan 1 kategori tematik yang negatif. Tiga kategori tematik
mekanisme koping yang positif yaitu kesadaran diri akan tanggung jawab kerja, kepercayaan diri untuk menjalankan tugas-tugas berat, dan kapasitas diri
mengatasi masalah melalui pendekatan spiritual. Satu kategori tematik mekanisme koping yang negatif yaitu pengalihan diri. Dibawah ini adalah deskripsi dari
pernyataan tematik yang didukung dengan kutipan wawancara partisipan sebagai berikut:
Kesadaran diri akan tanggung jawab kerja
Kesadaran diri akan tanggung jawab kerja dinyatakan partisipan sebagai kesadaran yang dimiliki oleh partisipan untuk memberikan pelayanan yang
terbaik kepada pasien dan keluarga pasien. Partisipan juga menyatakan bahwa tugas yang dimiliki harus dijalani sebaik mungkin dengan menunjukkan rasa
Universitas Sumatera Utara
tanggung jawab selama bekerja. Pernyataan ini sesuai dengan salah satu kutipan paritisipan dibawah ini:
“Kita akan berusaha sebaik mungkin. Kalau sudah berlalu dan keluarga sudah bisa menerima, baru kita merasa tenang. Kita
kerjakan semampunya.” [P3]
Kesadaran akan tanggung jawab sebagai seorang perawat ICU dinyatakan bahwa partisipan mampu menghadapi suatu masalah dengan menyadari tugas dan
tanggung jawabnya. Seorang partisipan menyatakan bahwa masalah yang dihadapi selama bekerja dapat dipertanggung jawabkan dengan cara mengingat
kronologis kejadian masalah. Hal ini dinyatakan partisipan sebagai suatu mekanisme pertahanan diri bagi partisipan untuk mencegah atau mengatasi
terjadinya masalah. Pernyataan ini sesuai dengan salah satu kutipan partisipan dibawah ini:
“Seandainya terjadi suatu masalah ya harus dipertanggung jawabkan. Kalau disini kakak selalu berbicara itu kronologisnya
harus diingat, misalnya ada instruksi jam berapa, siapa yang memberikan instruksi, itu sebagai mekanisme pertahanan diri juga
nanti seandainya ada suatu masalah.” [P1]
Pernyataan diatas juga didukung oleh beberapa partisipan yang juga menyatakan bahwa kesadaran diri akan tanggung jawab bekerja berarti tidak
mencampuradukkan masalah pekerjaan dengan masalah yang lain selama di tempat kerja. Beberapa partisipan juga menyatakan bahwa prinsip dasar yang
harus dimiliki adalah mampu memilah antara masalah pekerjaan dengan masalah
Universitas Sumatera Utara
pribadi atau keluarga. Prinsip yang dimiliki oleh partisipan ini membantu partisipan tetap fokus dan memberikan pelayanan terbaik kepada pasien.
Pernyataan ini sesuai dengan kutipan beberapa partisipan dibawah ini yaitu: “Kakak punya prinsip, pekerjaan tidak boleh dibawa ke rumah,
apapun itu masalah yang ada disini ya selesai sampai disini.” [P1]
“Alhamdulillah sampai sekarang kakak bisa memilah. Kalau masalah di rumah tiba disini bisa lupa, bisa hilang. Istilahnya gak
bisa dikait-kaitkan. Bisa dipisahkan. Kalau masalah di rumah, emosi di rumah tidak dibawa ke pekerjaan.”
[P3] Selanjutnya partisipan menjelaskan bahwa kesadaran diri terhadap
tanggung jawab kerja tergantung pada niat awal yang dimiliki oleh seseorang. Salah satu partisipan menyatakan bahwa kerja yang dijalaninya diniatkan sebagai
suatu ibadah yang harus dilakukan untuk mencari nafkah dan memperoleh pahala. Oleh karena itu, partisipan merasa ikhlas dalam bekerja. Pernyataan ini sesuai
dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini: “Saya niatkan ini adalah sebuah ibadah yang harus saya lakukan
untuk mencari nafkah bagi istri saya di rumah.” [P2]
“Aku bekerja itu memang untuk mencari uang, tetapi juga mencari pahala. Aku bekerja lillhita’ala, berangkat dari rumah ikhlas
untuk bekerja.” [P2]
Kepercayaan diri untuk menjalankan tugas-tugas berat
Kepercayaan diri dalam menjalankan pekerjaan adalah rasa percaya diri yang dimiliki oleh partisipan selama bekerja. Partisipan menyatakan bahwa rasa
Universitas Sumatera Utara
percaya diri dalam bekerja ketika memaknai masalah yang timbul selama bekerja dengan positif. Beberapa partisipan juga menyatakan bahwa memaknai masalah
dengan positif yaitu memaknai setiap masalah yang dihadapi sebagai suatu motivasi dan tantangan. Seperti yang dinyatakan oleh partisipan bahwa teguran
yang diberikan oleh atasan kepadanya merupakan hal biasa yang terjadi disetiap dunia kerja dan itu dijadikan oleh partisipan sebagai suatu motivasi sehingga
dapat meningkatkan kinerjanya. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini:
“Sekedar teguran, tindakan atau segala macam itu biasa dalam pekerjaan itu biasa karena hal itu menjadi motivasi juga buat kita
untuk lebih baik.” [P1]
Selain sebagai motivasi, partisipan lainnya menyatakan bahwa bekerja di ICU merupakan pekerjaan yang cukup beresiko karena menangani pasien dengan
kondisi yang tidak stabil dengan hemodinamika yang menurun. Partisipan juga menyatakan bahwa setiap pekerjaan memiliki resiko sebab akibat yang harus
dihadapi begitu juga bekerja di ICU. Resiko bekerja di ICU seperti yang dinyatakan partisipan misalnya kelalaian dalam menangani pasien contohnya
terlambat mensuction saluran nafas pasien, respon pasien terhadap pengobatan yang diberikan, dan sebagainya. Partisipan mengungkapkan bahwa berbagai
resiko tersebut merupakan konsekuensi dari pekerjaan dan harus dihadapi. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini:
“Itulah resiko sebab akibat bekerja disini. itulah resiko kita kerja disini yang harus dihadapi.”
[P3]
Universitas Sumatera Utara
Partisipan tersebut juga menyatakan bahwa pekerjaan di ICU memiliki berbagai resiko dan merupakan suatu tantangan tersendiri. Hal ini dinyatakan oleh
partisipan bahwa ketika berhasil dalam menghadapi tantangan akan memperoleh kepuasan tersendiri seperti ketika partisipan menangani kondisi pasien yang
gawat dan pasien tersebut membaik. Keadaan ini menimbulkan kepuasan bagi partisipan. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan dibawah ini:
“Iya ada rasa tertantang..,apalagi kalau selamat. Puas rasanya.” [P3]
Kepercayaan diri yang dimiliki oleh partisipan dalam menjalankan tugas- tugas yang berat dijelaskan partisipan bahwa rasa percaya diri muncul ketika telah
mempunyai pengalaman dan pelatihan. Beberapa partisipan menyatakan bahwa pelatihan yang telah dimiliki oleh partisipan sebagai salah satu cara untuk
menangani stres, seperti yang dinyatakan oleh salah satu partisipan bahwa dengan memiliki pelatihan dasar ICU, stres kerja yang ada dapat diminimalisir karena
partisipan memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam menangani kondisi pasien yang jelek melalui pelatihan yang telah dimilikinya. Partisipan menyatakan
bahwa menghargai kemampuan yang dimiliki baik itu kemampuan yang berasal dari pengalaman maupun pelatihan dapat meningkatkan kepercayaan diri dalam
melaksanakan tugas-tugas ICU yang cukup berat. Pernyataan ini sesuai dengan salah satu kutipan partisipan dibawah ini:
“Kita udah punya dasar-dasar ICU ya mungkin stres bisa diatasi dengan kita punya basic untuk menindaklanjuti pasien yang
kondisinya jelek.” [P3]
Universitas Sumatera Utara
Beberapa partisipan lainnya juga menyatakan bahwa pengalaman kerja yang telah dimiliki sangat membantu dalam menghadapi stres kerja karena
partisipan telah mempunyai pengalaman dalam menghadapi berbagai kondisi kerja yang menyebabkan stres. Pengalaman kerja yang dimiliki partisipan yang
ditunjukkan dengan seluruh partisipan memiliki masa kerja lebih dari 1 tahun cukup membantu partisipan dalam menangani stres yang muncul selama bekerja.
Beberapa partisipan juga menyatakan bahwa sekarang ini sudah jarang mengalami stres karena telah memiliki pengalaman sehingga partisipan mampu menghadapi
stres kerja berdasarkan pengalaman yang telah dimilikinya. Keadaan ini tentunya meningkatkan rasa percaya diri bagi partisipan. Pernyataan ini sesuai dengan
kutipan beberapa partisipan dibawah ini: “Karena sudah pernah mempunyai pengalaman yang lalu dalam
mengatasi kondisi itu, jadi sekarang sudah tahu penanganannya seperti ini. Kita sudah lebih punya pengalaman lah untuk
mengatasinya.” [P1]
“Stres dulu, tapi kalau sekarang tidak lagi. Kita sudah ikut pelatihan, udah tahu apa yang dikerjakan, dan pengalaman pun sudah sekian tahun,
jadi stres itu lama-kelamaan hilang aja.” [P6]
Selain itu, kepercayaan diri dijelaskan oleh partisipan bagaimana menghargai kemampuan diri yang dimiliki dalam menjalankan tugas-tugas. Salah
satu partisipan menyatakan bahwa reward yang diperoleh dari usaha kerja keras merupakan obat penghilang kejenuhan. Pernyataan ini sesuai dengan salah satu
kutipan partisipan dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
“Selama gaji saya lancar misalnya uang jasa atau uang yang lainnya lancar, bagi saya itulah obat untuk menghilangkan semua
kejenuhan.” [P2]
Pernyataan diatas didukung oleh beberapa partisipan lainnya bahwa partisipan menghargai atas kemampuan diri yang dimilikinya seperti kemampuan
dalam memecahkan permasalahan kondisi pasien, kemampuan dalam mengoperasikan spesifik ventilator tertentu. Partisipan juga menyatakan bahwa
partisipan bangga terhadap kemampuan diri yang dimiliki dalam mengatasi stres kerja. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan beberapa partisipan dibawah ini:
“Aku malah merasa bangga. Ternyata aku bisa mencari penyelesaian masalah pasien itu.”
[P7] “Aku hargai mungkin ada satu kebanggaan buat aku, teman-
teman mengaggap aku mampu di bidang itu misalnya terutama dalam mensetting ventilator.”
[P8]
Kapasitas diri mengatasi masalah melalui pendekatan spiritual
Spiritual merupakan salah satu pendekatan yang digunakan oleh beberapa partisipan dalam menghadapi stres kerja di ICU. Salah satu partisipan menyatakan
bahwa yang menjadi penyebab stres adalah hal-hal yang berhubungan dengan alam ghaib. Partisipan tersebut menjelaskan bahwa setiap pegawai baru yang
bekerja di ICU merasakan sesuatu hal yang aneh yang berhubungan dengan hal- hal mistis seperti restrain yang lepas atau cairan infus yang sudah diganti dengan
sendirinya. Kejadian ini membuat partisipan menjadi stres di awal pekerjaannya. Oleh karena itu tindakan yang dilakukan oleh partisipan untuk mengurangi
Universitas Sumatera Utara
stresnya adalah melakukan kegiatan spiritual seperti berdoa dan membaca ayat kursi. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan berikut:
“Saya bilang aja maaf jangan diganggu ya. Saya baca ayat kursi di dalam hati.”
[P2] Selain itu, partisipan lain juga menyatakan bahwa kejenuhan cukup
dirasakannya selama 26 tahun bekerja di ICU. Partisipan menyatakan bahwa koping yang digunakan untuk menghilangkan kejenuhannya tersebut adalah
dengan pendekatan spiritual seperti sholat, mengaji, dan berdzikir. Tindakan yang dilakukan oleh partisipan menimbulkan perasaan nyaman dan tenang bagi
partisipan. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini: “Kadang-kadang kakak pelariannya ya itu tadi aku bawa sholat,
aku sholat tepat waktu rasanya nyaman dan mumet di kepala aku ini jadi hilang. Selain itu, aku juga bawa mengaji, berzikir.”
[P5] Selain usaha maksimal yang telah dilakukan partisipan untuk menolong
pasien, tindakan terakhir yang dilakukan adalah pasrah terhadap kehendak tuhan. Partisipan menyatakan bahwa dengan berserah diri atau pasrah kepada tuhan akan
mengurangi rasa stres yang dialami. Pernyataan ini sesuai dengan salah satu kutipan partisipan dibawah ini:
“Apakah itu berhasil atau tidak, ya kita paling hanya bilang mungkin itu sudah kehendak yang diatas.”
[P3]
Pengalihan diri
Pengalihan diri merupakan salah satu cara untuk menghindari dari masalah yang menimbulkan stres bagi partisipan. Beberapa partisipan menyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
cara mengurangi masalah yang ada dengan mengabaikan masalah tersebut. Salah satu partisipan mengungkapkan bahwa partisipan selalu berhadapan dengan
berbagai masalah di tempat kerja, namun partisipan berusaha untuk tidak menghiraukan atau mengabaikan masalah tersebut. Sikap yang dinyatakan oleh
partisipan bertujuan agar partisipan dapat mengurangi stres dan dapat menikmati pekerjaannya sebagai perawat ICU. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan
beberapa partisipan dibawah ini: “Aku biarkan saja masalah itu, tidak terlalu aku pikirkan. Kalau
terlalu aku pikirkan aku jadi stres nanti. Stres aku lalui saja.” [P5]
“Jadi memang ada masalah-masalah, tapi ya misalnya tiba-tiba kok seperti ini. Itu kan banyak, cuma tidak saya hiraukan. untuk
stres-stres seperti itu ya dibiarin aja bagi saya. Its okay saja.” [P2]
Selain dari mengabaikan masalah yang dihadapi, partisipan lainnya menyatakan bahwa pengalihan diri yang dialaminya adalah dengan mencari
kesibukan. Salah satu partisipan menyatakan bahwa partisipan mencari kesibukan lain, seperti merapikan pasien atau peralatan ruangan. Tindakan ini dilakukan
untuk melupakan masalah yang dialami selama melaksanakan pekerjaan. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan berikut:
“Aku disini lebih baik cari kegiatan ke pasien, ntah itu ngapain atau duduk, usahakan tangan aku itu bergerak. kalau aku sudah
suntuk, aku akan cari kerjaan yang membuat tanggan ini gak akan diam.”
[P7]
Universitas Sumatera Utara
Seorang partisipan mengungkapkan hal yang berbeda dari pernyataan diatas bahwa pengalihan diri dari masalah yang dihadapi adalah dengan cara
menenangkan diri. Partisipan menyatakan bahwa ketika menghadapi masalah, partisipan berusaha untuk tenang dengan mengalihkan dirinya pada hal-hal yang
membuatnya tenang seperti menyendiri ke tempat yang lebih tenang dan berusaha bersikap sabar. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan dibawah ini:
“Paling-paling termenung memikirkan masalah keluarga itu. Aku ke belakang untuk menenangkan diri.”
[P3] “Berusaha untuk tenang. Berusaha untuk sesabar mungkin.”
[P3] Selain itu, seorang partisipan menyatakan bahwa pengalihan diri yang
dilakukannya ketika menghadapi masalah adalah membuat perasaannya menjadi senang. Partisipan menjelaskan bahwa berusaha mengelola perasaannya untuk
tertawa merupakan salah satu cara mengalihkan diri terhadap masalah yang sedang dihadapinya dan membuat perasaan menjadi lebih tenang. Pernyataan ini
sesuai dengan kutipan seorang partisipan berikut: “Jadi kakak memanage perasaan itu dengan membawa tertawa.”
[P8] Sebagai kesimpulan tematik pengalaman mekanisme koping yang dialami
perawat di dalam dunia corporeality lived body dijelaskan sebagai kesadaran diri akan tanggung jawab kerja, kepercayaan diri untuk menjalankan tugas-tugas
berat, kapasitas diri mengatasi masalah melalui pendekatan spiritual, dan pengalihan diri.
Universitas Sumatera Utara
Relationality Lived relation
Relationality adalah suatu dunia yang dialami oleh seseorang dalam
berhubungan dengan orang lain Van Manen, 1990. Deskripsi pengalaman yang dicerminkan didalam relationality menyediakan makna didalam hubungan
perawat dengan orang lain selama bekerja. Hubungan ini berupa hubungan antara perawat-pasien, perawat-keluarga, perawat-atasan, perawat-tim kesehatan.
Berdasarkan dari hasil analisis stres kerja, hubungan antara perawat dengan orang lain dalam konteks lingkungan kerja merupakan sumber penyebab stres.
Empat kategori tematik yang mencerminkan pengalaman mekanisme koping perawat ICU dalam relationality lived relation. Kategori tematik tersebut
memiliki 3 kategori tematik mekanisme koping positif dan 1 kategori tematik mekanisme koping negatif. Tiga kategori tematik mekanisme koping yang positif
yaitu dukungan kolega dan sosial untuk mengatasi masalah, sikap positif terhadap anggota tim kesehatan, mengetahui sifat dan kebutuhan pasien. Satu kategori
tematik mekanisme koping negatif yaitu sikap negatif terhadap dalam berhubungan dengan orang lain. Dibawah ini adalah deskripsi dari pernyataan
tematik yang didukung dengan kutipan wawancara partisipan sebagai berikut:
Dukungan kolega dan sosial untuk mengatasi masalah
Tematik kategori dari dukungan kolega dan sosial untuk mengatasi masalah merupakan pengalaman yang sering dinyatakan oleh partisipan dalam
mengatasi stres kerja. Dukungan kolega yang dinyatakan oleh partisipan berasal dari atasan, teman sejawat, dan tim medis lain. Sedangkan dukungan sosial
berasal dari orang terdekat atau keluarga.
Universitas Sumatera Utara
Dukungan kolega dinyatakan partisipan adalah menyelesaikan permasalah bersama kolega seperti atasan, teman sejawat, dan tim medis lain. Partisipan
menyatakan bahwa dukungan yang berasal dari atasan dilakukan dengan berdiskusi untuk mencari solusi yang terbaik. Seperti yang dinyatakan beberapa
partisipan sebelumnya bahwa pembagian jadwal dinas selama ini tidak sesuai dan keadaan ini merupakan salah satu penyebab stres terbanyak yang diungkapkan
oleh partisipan. Salah satu partisipan menjelaskan bahwa tindakan yang digunakan untuk mengatasi stres tersebut adalah berdiskusi atau melakukan
negoisasi dengan kepala ruangan. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan beberapa partisipan dibawah ini:
“Kalau dengan kepala ruangan mencari win-win solution yang mana ruangan tidak dirugikan dan kakak tidak dirugikan.
Berusaha untuk berdiskusi dengan kepala ruangan terutama bagaimana dengan pangaturan jadwal dinas. solusinya dari
kepala ruangan adalah membuat permintaan dinas.” [P1]
“Kakak berusaha meminta izin dengan kepala ruangan untuk disesuaikan dengan jadwal kerja suami kakak.”
[P4] Selain itu, partisipan lain menyatakan bahwa setiap permasalahan yang
terjadi di ruangan dilaporkan kepada atasan. Contohnya dokter yang tidak visit beberapa kali dinyatakan oleh partisipan sebagai sesuatu yang menyebabkan stres
dan berdampak pada keterlambatan pekerjaan mereka. Partisipan menyatakan untuk mengatasi hal tersebut, partisipan melaporkan kepada kepala ruangan untuk
Universitas Sumatera Utara
ditindak lanjuti. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan berikut:
“dokter yang tidak datang 3 sampai 4 kali, lalu kita laporkan ke kepala ruangan.”
[P6] Selain penyelesaian masalah dilakukan bersama atasan, partisipan juga
melakukan penyelesaian masalah bersama teman sejawat. Partsipan menyatakan bahwa tim kerja yang solid yaitu anggota tim yang dapat bekerja sama merupakan
sumber pendukung dalam mengatasi stres kerja. Pernyatan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini:
“Sumber pendukung menurut aku jika anggota tim solid. Rasanya hilang stres itu.”
[P8] Beberapa partisipan menyatakan bahwa terkadang partisipan mengalami
kebingungan dan tidak berkonsentrasi selama bekerja. Hal ini diakui oleh partisipan bahwa teman yang dapat bekerja sama pada saat dinas memberikan
solusi serta mengingatkan partisipan untuk tetap fokus dalam bekerja. Kondisi ini dinyatakan oleh partisipan bahwa partisipan lebih merasa tenang bekerja dengan
anggota tim yang bisa diajak bekerja sama. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan dibawah ini:
“…dicari orang yang bisa diajak kerja sama.” [P1]
“karena kerja disini tim, teman selalu mengingatkan kita jika kita kalut, panik. Seperti mengingatkan ini dibagging, ini harus
disiapkan, suction, dan segala macam…” [P3]
Universitas Sumatera Utara
Partisipan lain juga menyatakan bahwa cara yang dilakukan untuk mengatasi stres selama bekerja adalah berdiskusi kepada senior. Hal ini
dinyatakan partisipan bahwa dirinya belum memiliki pelatihan dan pengalaman dalam melakukan pengaturan pada ventilator sehingga disaat mendapatkan
tanggung jawab dalam pengaturan ventilator, partisipan mengalami kebingungan dan cemas. Perasaan nyaman selama bekerja dengan senior dinyatakan partisipan
sangat membantu dalam mengurangi kebingungan dan kecemasan. Hal ini disebabkan senior telah mempunyai memiliki pengalaman dan pelatihan yang
relative lebih banyak dalam pengaturan ventilator dibandingkan partisipan yang tidak memiliki pelatihan dan pengalaman tersebut. Pernyataan ini sesuai dengan
kutipan partisipan dibawah ini: “Kalau saya dulu awal-awal ketika itu saya biasanya minta
bantuan kepada yang lebih senior.” [P2]
Selain dukungan yang diperoleh dari anggota tim, partisipan juga memperoleh dukungan dari kolega yaitu dokter. Partisipan menyatakan bahwa
dokter membantu mereka dalam menjelaskan kondisi pasien kepada keluarga. Hal ini dinyatakan partisipan bahwa menghadapi keluhan keluarga merupakan suatu
hal yang memicu stres. Partisipan mengungkapkan bahwa keluarga pasien lebih mempercayai penjelasan dokter daripada penjelasan yang disampaikan partisipan.
Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan berikut ini: “Coba nanti dokter kasih tau sama keluarga nya karena keluarga
nya tadi bilang nya kita ini tidak mengerjakan apa-apa.” [P9]
Universitas Sumatera Utara
Selain dukungan yang diperoleh dari tim kerja, beberapa partisipan menyatakan bahwa dukungan juga diperoleh dari keluarga. Partisipan
menyatakan bahwa istri merupakan sumber pendukung dalam mengatasi stres yang dialaminya. Istri sebagai sumber pendukung dinyatakan partisipan selalu
memberikan dukungan dan memberikan solusi-solusi kepada partisipan. Hal ini dinyatakan partisipan bahwa istri partisipan mempunyai pengalaman bekerja di
ICU. Partisipan merasa motivasi keluarga membuatnya tenang dan kuat dalam menjalani pekerjaannya. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan berikut:
“Istri saya mengatakan ya mas jalani saja, syukuri saja yang udah ada. Jadi masalah itu bagi saya jadinya terpecahkan.”
[P2] Selain itu, partisipan lain menyatakan bahwa kejenuhan dialaminya
sekarang ini karena sudah bekerja lebih dari 8 tahun. Partisipan tersebut menyatakan bahwa meluangkan waktu refreshing bersama keluarga membantu
mengurangi kejenuhan yang dialami partisipan. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini:
“Libur kedua siap istirahat di rumah aku pergi, jalan seharian, misalnya ke mall untuk menghilangkan stres. Kadang-kadang
bilang sama suami untuk luangkan waktu refreshing bersama anak-anak. Rasanya plong… itu cara mengurangi stres.”
[P3]
Sikap positif terhadap anggota tim kesehatan
Berbagai sikap positif yang dinyatakan partisipan dalam berhubungan dengan anggota tim kesehatan. Beberapa partisipan menyatakan bahwa ketika
merasa tidak mampu untuk berkonsentrasi dalam bekerja, partisipan
Universitas Sumatera Utara
mengungkapkan ketidakmampuannya kepada salah satu anggota tim secara terbuka. Sikap ini dinyatakan partisipan bahwa dengan bersikap terus terang
kepada teman, partisipan merasa lebih tenang karena partisipan memperoleh bantuan teman. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan dibawah ini:
“Kadang ya timbulnya malas aja kita punya masalah berat di rumah tiba disini. paling ku bilang terus terang kepada teman
yang ngerti kita, Aku lagi ‘hang’.. aku ada masalah di rumah, jadi tolong ..untuk pasien aku tidak begitu konsentrasi tapi aku cuma
mengerjakan semampu ku.” [P3]
Sikap positif yang dinyatakan partisipan adalah bersikap sopan kepada teman sejawat disaat partisipan mengalami gejala stres. Partisipan menyatakan
bahwa disaat menangani pasien dengan kondisi buruk dan darurat, terkadang partisipan merasa cemas dan bingung sehingga kadang-kadang timbul emosi
dalam bersikap kepada teman. Partisipan menyatakan bahwa untuk menghindari emosi tersebut, partisipan berusaha untuk mengendalikan dirinya yaitu dengan
berbicara sopan. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan dibawah ini: “Berusaha untuk berbicara lunak.”
[P3] Selain koping yang digunakan untuk mengatasi stres terhadap teman
sejawat, partisipan lain juga menyatakan bahwa stres yang dialami juga berasal dari sikap dokter yang tidak visit beberapa kali. Hal ini juga menimbulkan stres
bagi partisipan karena seperti yang dikatakan partisipan bahwa dokter yang jarang melakukan visit berdampak pada keterlambatan pekerjaan partisipan. Namun
demikian, partisipan berusaha untuk mengurangi stres dengan mencoba segera
Universitas Sumatera Utara
menghubungi dokter beberapa kali. Partisipan tersebut menyatakan bahwa partisipan cukup merasa tenang setidaknya telah melakukan usaha untuk
menghubungi dokter. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini:
“Kita segera menelepon dokter. Menelepon dokter cepat.” [P6]
Sikap positif terhadap tim kesehatan dinyatakan partisipan adalah memahami sifat teman sejawat. Partisipan menyatakan bahwa stres muncul
disebabkan perilaku teman sejawat yang tidak bisa bekerja sama. Partisipan menyatakan bahwa menghadapi sifat teman sejawat yang tidak bisa berubah
adalah hanya dengan memahami sifat kepribadian teman sejawat. Partisipan juga menyatakan bahwa partisipan telah memahami kepribadian teman-teman di ICU
yang mana karakternya sudah terbentuk selama bekerja. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan dibawah ini:
“Kita tidak bisa merubahnya karena dari dulu memang sudah seperti itu sifatnya. Sekarang ini ya dipahamin aja.”
[P9]
Mengetahui sifat dan kebutuhan pasien
Kondisi pasien yang dirawat di ICU merupakan salah satu sumber yang menyebabkan stres kerja bagi beberapa partisipan. Beberapa partisipan
menyatakan bahwa ketika tidak mengetahui atau kurang memahami kondisi pasien yang menjadi tanggung jawabnya, maka stres dialami oleh partisipan. Oleh karena
itu untuk menghindari stres yang akan terjadi di ruangan, sebelumnya partisipan harus memahami sifat dan kebutuhan pasien, baik dari penyakit, terapi
pengobatan, serta resiko yang mungkin terjadi pada pasien. Partisipan menyatakan
Universitas Sumatera Utara
bahwa dengan mengetahui dan memahami kondisi pasien dari awal hingga akhir dapat membantu mengurangi stres. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan beberapa
partisipan dibawah ini: “Kalau sudah bisa mengatasinya, oh pasien seperti ini begini cara
mengatasinya. Jadi sudah biasa aja, tidak stres lagi.” [P6]
“Kalau udah tiba disini kita harus benar-benar tahu kondisi awal pasien dalam kondisi sadar sampai kondisi jelek. Kita datang lalu
berikan tindakan-tindakan yang memang kita sudah mengetahui bagaimana penanganan pasien yang sekarat.”
[P7]
Sikap negatif dalam berhubungan dengan orang lain
Hubungan partisipan dengan orang lain selama berada dalam lingkungan kerja dapat memicu timbulnya stres. Contohnya hubungan antara partisipan
dengan anggota tim. Partisipan menyatakan bahwa anggota tim kerja mempunyai sifat dan kepribadian yang berbeda-beda, ada yang ketika dinas menunjukkan
wajah merengut dan ada yang cuek. Keadaan ini dialami partisipan bahwa bekerja dengan teman seperti itu dapat membuat partisipan merasa tidak nyaman dalam
bekerja dan hal ini juga berdampak pada proses pekerjaan pada saat itu. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut partisipan berusaha untuk tidak
menanggapi sikap teman yang seperti itu dengan menjaga jarak dalam berhubungan. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan berikut ini:
“Ya seperti kawan disini yang mempunyai sifat yang tidak menyenangkan, saya tidak terlalu menanggapinya. Oleh karena
Universitas Sumatera Utara
itu, untuk menanggapi kondisi teman seperti itu saya menjaga jarak dengan tidak terlalu banyak cerita.”
[P4] Selain menjaga jarak terhadap teman sejawat, partisipan menyatakan
bahwa partisipan berupaya membiarkan teman sejawat yang tidak dapat bekerja sama. Hal ini dilakukan partisipan karena partisipan merasa tidak nyaman dalam
bekerja, sehingga dinyatakan partisipan bahwa daripada memikirkan hal-hal yang dapat menambah stres baginya, partisipan merasa lebih baik untuk tidak
menghiraukan masalah tersebut. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan dibawah ini:
“Teman yang tidak bisa diajak bekerja sama ya ditinggalin aja.” [P1]
Selain hubungan partisipan dengan teman sejawat, hubungan partisipan dengan dokter juga merupakan salah satu penyebab timbulnya stres kerja.
Partisipan menyatakan bahwa selama bekerja beberapa tahun, partisipan telah mengetahui sifat-sifat dokter yang bertugas di ICU ini. Seperti salah satu contoh
yang dinyatakan partisipan bahwa dokter tidak menghargai pekerjaan yang telah dilakukan partisipan. Keadaan ini membuat partisipan merasa kesal dan kecewa.
Untuk mengatasi rasa kekecewaan tersebut, partisipan menjaga jarak dalam berhubungan dengan dokter. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan
dibawah ini: “Ada juga kalau seandainya dokter itu tidak menghargai usaha
kita, karena kita sudah tahu sifatnya seperti itu, ya udah kita tidak terlalu mau mendekatinya.”
[P5]
Universitas Sumatera Utara
Sebagai kesimpulan tematik pengalaman mekanisme koping perawat dalam relationality lived relation dikembangkan partisipan sebagai dukungan
kolega dan sosial untuk mengatasi masalah, sikap positif terhadap anggota tim kesehatan, mengetahui sifat dan kebutuhan pasien, dan sikap negatif terhadap
dalam berhubungan dengan orang lain.
Spatiality Lived Space
Van Manen 1990 mengembangkan spatiality lived space adalah bagaimana merasakan atau menghubungkan dengan hal lainnya dalam dunia yang
mana partisipan alami. Pada penelitian ini, tempat space yang digunakan perawat dalam mengatasi stres kerja adalah ICU. Perawat mempunyai persepsi
yang berbeda dalam memaknai ICU sebagai tempat untuk menemukan mekanisme koping dalam menghadapi stres kerja.
Dua kategori tematik pengalaman mekanisme koping perawat dalam mengatasi stres kerja yang mencerminkan spatiality. Kategori-kategori tematik
tersebut adalah lingkungan kerja sebagai wahana belajar dan menciptakan atsmosfer kerja yang nyaman. Dibawah ini adalah deskripsi dari pernyataan
tematik dan didukung dengan kutipan beberapa partisipan.
Lingkungan kerja sebagai wahana belajar
Lingkungan kerja ICU digambarkan sebagai tempat yang penuh dengan aktivitas perawatan dan pengobatan. Beberapa partisipan menyatakan bahwa
bekerja di ruang ICU memperoleh lebih banyak ilmu seperti bagaimana menangani berbagai kondisi pasien yang kritis dan penggunaan alat-alat canggih.
Kondisi pasien di ICU misalnya pasien dengan penyakit yang bervariasi, seperti
Universitas Sumatera Utara
hemodinamik tidak stabil, pasien yang sedang menghadapi sakaratul maut, dan sebagainya. Sedangkan penggunaan alat-alat canggih di ICU seperti pengaturan
ventilator, infuse pump, syringe pump, observasi pasien melalui monitor, dan sebagainya. Hal ini juga dinyatakan beberapa partisipan bahwa bekerja di ICU
memperoleh banyak pengalaman yang berbeda dibanding ruangan lain. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan beberapa partisipan dibawah ini:
“bekerja di ICU lebih banyak belajar karena kita menghadapi langsung. Itu enak nya lebih bertambah ilmu kita disini dari pada
diruang-ruangan lain.” [P10].
Pernyataan diatas didukung oleh salah satu partisipan yang menyatakan bahwa partisipan yang belum mempunyai pengalaman dan pelatihan dapat belajar
dari senior-senior yang telah memiliki banyak pengalaman dan pelatihan. Partisipan juga menambahkan bahwa dengan menghadapi situasi di ICU,
partisipan termotivasi untuk mempelajari hal-hal di ICU dari buku dan internet. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini:
“Saya bawa teman saya yang lebih senior yang saya nilai sudah lebih masa kerjanya dan pengalaman yang lebih banyak. saya
banyak belajar, belajar dari teman-teman senior, ada dari buku, internet.”
[P2] Selain menganggap sebagai wahana pembelajaran, salah satu
partisipan menyatakan bahwa lingkungan kerja sebagai tempat proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang dimaksud partisipan adalah
proses belajar untuk mencapai pendewasaan dan sosialisasi dengan
Universitas Sumatera Utara
lingkungan. Pernyataan ini sesuai dengan salah satu kutipan partisipan dibawah ini:
“Kalau kakak memaknainya setiap apapun dimanapun kita bekerja pasti ada yang namanya stres kerja. karena kita kan
manusia kan. Manusia itu memang makhluk yang paling sempurna, gampang beradaptasi, tapi dia mempunyai reaksi yang
beragam terhadap adaptasinya itu kan. Jadi kalau dianggap inilah sebagai pendewasaan. sebagai suatu proses pembelajaraan juga
buat kakak untuk mencapai kedewasaan dalam bekerja, dalam bersosialisasi dengan lingkungan”
[P1]
Menciptakan atsmosfer kerja yang nyaman
Lingkungan kerja selalu menimbulkan berbagai stres kerja. Ruang ICU juga menimbulkan stres bagi beberapa partisipan. Seperti yang telah dinyatakan
sebelumnya oleh partisipan pada tema stres kerja, bahwa bekerja ICU penuh dengan sumber penyebab stres seperti kondisi pasien, peralatan tidak lengkap, jam
kerja yang berlebihan, keluhan keluarga pasien, dan sebagainya. Hal ini tentunya menimbulkan kelelahan dan kejenuhan bagi partisipan. salah satu partisipan
menyatakan bahwa untuk menghilangkan kelelahan dan kejenuhan selama bekerja, setelah selesai bekerja partisipan bersama teman sejawat lainnya bercerita
tentang hal-hal yang lucu, bercanda, makan dan nonton bersama sehingga membuat partisipan merasa nyaman kembali untuk bekerja. Pernyataan ini sesuai
dengan kutipan partisipan berikut:
Universitas Sumatera Utara
“Bawa-bawa becanda lah. siap kerja tadi lah. Dah selesai semua nya kan nanti ketika duduk-duduk atau sedang makan bercerita
yang lucu-lucu lah, sehingga membuat saya tertawa” [P10]
“Yuk kita ke dalam ruangan istirahat, ada teman yang bawa laptop, ada teman yang bawa makanan. Kami-kami ya berbaur
untuk menghilangkan stres tadi, hiburannya itulah.“ [P5]
Partisipan lain juga menyatakan bahwa menciptakan lingkungan kerja yang nyaman adalah dengan menciptakan lingkungan yang bersih dan rapi.
Partisipan tersebut menyatakan dengan melihat suasana lingkungan yang rapi, partisipan merasa lebih senang dan nyaman untuk bekerja. Pernyataan ini sesuai
dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini: “Aku merasa enak aja. Aku datang kerja, walaupun tidak beres
awalnya, walaupun perasaan tidak enak semua kacau gini, tapi dengan aku merapikannya, perasaan senang dari ku itu ada.”
[P7] Salah satu partisipan menyatakan bahwa menciptakan lingkungan kerja
yang nyaman adalah dengan meningkatan hubungan kekeluargaan. Partisipan merasakan bahwa lingkungan kerjanya sekarang memiliki hubungan
kekeluargaan yang baik seperti ketika partisipan mengalami kesulitan, teman sejawat yang lain akan membantunya. Keadaan ini dirasakan partisipan sangat
menunjang pekerjaannya. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan partisipan dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
“saya rasakan ada sebuah kekeluargaan yang kuat. ada sebuah rasa kekeluargaan karena kalau tempat saya bekerja dulu hidup
kita susah, kita tidak akan dibantu.” [P2]
Sebagai kesimpulan tematik pengalaman mekanisme koping perawat di dalam spatiality lived space dikembangkan partisipan sebagai lingkungan kerja
adalah wahana belajar dan menciptakan atsmosfer kerja yang nyaman.
Temporality Lived Time
Temporality dikembangkan sebagai waktu yang dialami oleh seseorang
secara subjektif yang mencerminkan perasaan atau persepsi perawat terhadap waktu Van Manen, 1990. Deskripsi pengalaman yang mencerminkan
temporality mempunyai makna tentang persepsi partisipan terhadap waktu disaat
menggunakan mekanisme koping perawat dalam mengatasi stres kerja di ICU . Dua kategori tematik yang mencerminkan temporality yaitu waktu yang relative
lama untuk mengatasi stres kerja dan penggunaan waktu istirahat sebaik mungkin. Dibawah ini adalah deskripsi pernyataan tematik yang didukung dengan kutipan
beberapa partisipan.
Waktu yang relatif lama untuk mengatasi stres kerja
Beberapa partisipan menyatakan bahwa untuk mengatasi stres kerja partisipan membutuhkan waktu yang lama. Partisipan tersebut juga menyatakan
bahwa mengatasi stres kerja membutuhkan waktu tertentu seperti 6 bulan Pernyataan ini sesuai dengan kutipan beberapa partisipan berikut:
“Lama sekitar 6 bulan baru hilang stres aku.” [P6]
Universitas Sumatera Utara
Beberapa partisipan menyatakan bahwa partisipan membutuhkan waktu adaptasi untuk mengatasi stres kerja. Stres kerja yang dialami oleh partisipan
disebabkan oleh teman sejawat yang mempunyai sifat dan kepribadian yang berbeda-beda sehingga dibutuhkan waktu untuk mengetahui dan memahami
bagaimana sifat teman sejawat tersebut. Partisipan juga menyatakan bahwa dibutuhkan waktu lebih dari 2 tahun untuk mengetahui sifat dan kepribadian
teman sejawat. Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan partisipan dibawah ini: “lama-kelamaan setelah hampir 2 tahun lebih kita beradaptasi
dengan orang itu. Kita sudah tau tipe mereka seperti apa, lama kelamaan udah mulai paham memang sifatnya seperti itu.”
[P1] Salah satu partisipan menyatakan bahwa selama bekerja partisipan
memanfaatkan waktu untuk belajar beradaptasi terhadap kondisi lingkungan kerja baik itu bagaimana menangani kondisi pasien yang tidak stabil, menghadapi
karakteristik sifat teman yang berbeda, dan sebagainya. Kondisi lingkungan ICU dinyatakan partisipan merupakan lingkungan yang memiliki banyak sumber
penyebab stres sehingga partisipan berupaya untuk belajar bagaimana mengatasi stres selama bekerja. Hal ini membutuhkan waktu bagi partisipan untuk
beradaptasi selama 4-6 bulan. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan berikut:
“Berjalannya waktu ya kita belajar lebih kurang 4-5 bulanan baru bisa beradaptasi dengan kondisi seperti ini.”
[P9]
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan waktu istirahat sebaik mungkin
Pengalaman partisipan dalam mengatasi stres yang dialaminya adalah dengan memanfaatkan waktu istirahat. Waktu istirahat dapat berupa waktu libur
dan jam istirahat pada jam besuk pasien. Partisipan menyatakan bahwa ketika memperoleh jadwal libur, partisipan memanfaatkan waktu libur dengan refreshing
untuk mengembalikan tenaga yang sudah diporsir selama bekerja terutama setelah dinas malam. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah
ini: “Libur besoknya lagi disitulah kita bisa refreshing.”
[P1] Selain itu, beberapa partisipan lain juga menyatakan bahwa partisipan
memanfaatkan waktu istirahat pada saat jam besuk pasien. Pada saat jam besuk, dinyatakan partisipan beberapa anggota tim dapat bergantian beristirahat di ruang
istirahat perawat. Jam besuk pasien di ruangan ICU ini adalah pukul 11.00-12.00 WIB dan pukul 17.00-18.00 WIB. Partisipan menyatakan bahwa selama jam
istirahat tersebut partisipan memanfaatkan waktu untuk membuat suasana yang menyenangkan seperti makan dan nonton bersama, istirahat, serta bercanda.
Pernyataan tersebut sesuai dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini: “Ketika pekerjaan telah selesai semuanya, nanti pas duduk-duduk,
pas makan kita bercerita yang lucu-lucu. Ada aja dapat dijadikan topik pembicaraan sampai membuat kita tertawa.
” [P1] Selain itu, partisipan lain juga menyatakan bahwa memperoleh
jadwal dinas sore, malam hari ataupun hari libur mempunyai kesempatan waktu refreshing lebih banyak dibandingkan dengan dinas pagi. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
dinyatakan partisipan bahwa jika telah menyelesaikan pekerjaannya kepada pasien, partisipan mempunyai waktu untuk menonton bersama
dengan anggota tim lainnya. Kondisi ini dinyatakan partisipan dapat mengurangi stres yang dialami. Pernyataan ini sesuai dengan kutipan salah
satu partisipan dibawah ini: “Misalnya kalau saat dinas sore, dinas malam atau dinas hari-
hari libur, teman-teman barulah mengeluarkan laptopnya. Kami 4 atau 5 orang menonton bersama. Jadi rasanya hilang stres pada
saat itu.” [P5]
Selain memanfaatkan waktu istirahat untuk refreshing, partisipan juga memanfaatkan waktu istirahat untuk mengungkapkan perasaannya. Partisipan
menyatakan bahwa terkadang pada saat bekerja partisipan mempunyai masalah baik itu masalah keluarga ataupun masalah lainnya. Partisipan menyatakan pada
jam istirahat dimanfaatkannya untuk mencurahkan perasaannya kepada teman. Hal ini membantu mengurangi beban pikiran partisipan. Pernyataan ini sesuai
dengan kutipan salah satu partisipan dibawah ini: “Kalau ada waktu istirahat misalnya kita lagi makan-makan,
habis sholat, cerita-cerita, biasa kami cerita-cerita untuk mengeluarkan uneg-uneg biar kurang sedikit.”
[P6] Sebagai kesimpulan tematik pengalaman mekanisme koping perawat
secara temporality lived time dikembangkan partisipan sebagai membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mengatasi stres kerja dan penggunaan waktu
istirahat sebaik mungkin.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai kesimpulan secara keseluruhan dari hasil temuan ini bahwa tematik pengalaman mekanisme koping yang ditemukan berdasarkan The four
lived worlds Van Manen, 1990 antara lain: Hasil temuan yang mencerminkan
corporeality adalah kesadaran diri akan tanggung jawab kerja self-awarness of
work’s duty , kepercayaan diri untuk menjalankan tugas-tugas berat self-
confidence of completing duty , kapasitas diri mengatasi masalah melalui
pendekatan spiritual self-capacity of problem solving through spiritual approach
, pengalihan diri self-diversion. Hasil temuan yang mencerminkan relationality adalah dukungan kolega
dan sosial untuk mengatasi masalah collegial and social support to problem solving
, sikap positif terhadap anggota tim kesehatan positive attitude toward health team member
, mengetahui sifat dan kebutuhan pasien knowing patient’s nature and needs
, sikap negatif terhadap dalam berhubungan dengan orang lain. Hasil temuan yang mencerminkan spatiality adalah lingkungan kerja
sebagai wahana belajar working environment as a learning place dan menciptakan atsmosfer kerja yang nyaman creating comfort working
atmosphere .
Hasil temuan yang mencerminkan temporality adalah waktu yang relatif lama untuk mengatasi stres long time to resolve stress dan penggunaan waktu
istirahat sebaik mungkin using refreshing time. Secara tematik hasil temuan pengalaman mekanisme koping perawat yang
mencerminkan The four lived worlds dapat dilihat pada gambar 4.1.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4.1Kategori tematik pengalaman mekanisme koping perawat dalam menghadapi stres kerja di ICU
Pengalaman mekanisme koping perawat dalam
menghadapi stres kerja di ICU
Corporeality Lived Body
Relationality Lived
Relation
Temporality Lived
Time Spatiality
Lived Space
Kesadaran diri akan tanggung jawab kerja
Kepercayaan diri untuk menjalankan tugas-
tugas berat Kapasitas diri
mengatasi masalah melalui pendekatan
spiritual Pengalihan diri
Dukungan kolega dan social untuk mengatasi
masalah
Mengetahui sifat dan kebutuhan pasien
Sikap negatif dalam berhubungan dengan
orang lain
Lingkungan kerja sebagai wahana belajar
Menciptakan atsmosfer kerja yang nyaman
Waktu yang relatif lama untuk mengatasi
stres
Penggunaan waktu istirahat sebaik
mungkin Sikap positif terhadap
anggota tim kesehatan
Universitas Sumatera Utara
132
BAB V PEMBAHASAN
Bab ini akan membahas hasil penelitian serta membandingkannya dengan literature – literature yang ada. Hasil yang dibahas adalah kategori-kategori
tematik dari setiap dunia yang dialami Four Lived Worlds mengenai pengalaman mekanisme koping perawat dalam menghadapi stres kerja di ICU. Selain itu, pada
bab ini juga dibahas keterbatasan penelitian dengan membandingkan kondisi ideal dan lapangan yang peneliti hadapi selama penelitian.
5.1. Kategori – kategori tematik berdasarkan Four Lived Worlds
Van Manen 1990 menyatakan bahwa sebuah pembahasan dengan menggunakan literature atau teori yang ada dapat menyediakan sebuah
pemahaman yang jelas tentang pengalaman hidup seseorang. Ditambah lagi, dengan menggunakan sudut pandang dari literatur-literatur dan teori yang ada,
pembahasan dapat membantu memahami pengalaman mekanisme koping perawat dalam mengatasi stres kerja di ICU. Pengalaman tersebut berupa kategori-kategori
tematik berdasarkan 4 dunia yang dialami Four Lived Worlds yang selanjut dibahas dibawah ini.
Corporeality Lived Body
Pengalaman mekanisme koping perawat dalam mengatasi stres kerja di ICU terdapat 4 kategori tematik yang mencerminkan corporeality. Kategori-
kategori tersebut yaitu; kesadaran diri akan tanggung jawab kerja, kepercayaan diri untuk menjalankan tugas-tugas berat, kapasitas diri mengatasi masalah
melalui pendekatan spiritual dan pengalihan diri.
Universitas Sumatera Utara