pengetahuan dan wewenang. Kondisi ini sangat berpotensi menimbulkan stres bagi perawat. Hal ini didukung oleh data yang diperoleh bahwa tenaga perawat di
ICU berjumlah 23 orang, namun tenaga yang telah mendapatkan pelatihan perawatan intensif baru 11 orang 47,8.
Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam bagaimana pengalaman stress kerja yang dialami oleh perawat ICU dan
mekanisme koping yang digunakan untuk mengatasi stres kerja. Penelitian terhadap stres dan koping perawat di RSUD Arifin Achmad perlu dilakukan
karena belum ada penelitian sebelumnya yang meneliti tentang stres dan koping di rumah sakit tersebut. Selain itu, pentingnya penelitian ini dilakukan adalah akan
mempengaruhi program rekruitmen dan retensi perawat yang akan mempengaruhi mutu pelayanan keperawatan yang diberikan. Penelitian ini akan dilakukan secara
fenomenologi karena masih sangat sedikit penelitian terkait stres dan koping yang dilakukan secara kualitatif. Selain itu, melalui desain kualitatif akan memperoleh
berbagai informasi baru yang lebih banyak dan mendalam terkait fenomena stres dan koping perawat ICU yang belum tentu dapat diperoleh melalui desain
kuantitatif.
1.2 Permasalahan
Perawat ICU rentan mengalami stres kerja. Stres ini disebabkan oleh berbagai tuntutan di lingkungan kerja ICU seperti kemampuan memiliki
pengetahuan dan keterampilan khusus serta bekerja cepat tanggap dalam mengatasi kondisi pasien yang kritis.
Universitas Sumatera Utara
Kondisi ICU di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru dapat memicu stres pada perawat. Berdasarkan hasil survey awal diperoleh gambaran BOR ICU cukup
tinggi 95 dan jumlah perawat yang telah mendapatkan pelatihan hanya 11 orang dari 23 perawat 47,8. Hal ini juga didukung oleh hasil wawancara dan
observasi singkat, diperoleh perawat terlihat mengalami kesulitan dalam menghadapi masalah karena keterbatasan pengetahuan dan wewenang.
Kondisi stres yang dialami oleh perawat ICU merupakan suatu fenomena yang unik. Keunikan fenomena tersebut terlihat dari proses alamiah ketika
perawat menghadapi stres kerja, memaknai stres tersebut, dan dasar pengambilan strategi yang dipilih untuk mengatasi stres. Oleh karena itu, fenomena yang
dialami perawat ICU perlu digali lebih dalam dan dipahami Van Manen, 2007. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan yang dinyatakan dengan
pertanyaan penelitian : 1.
Bagaimana pengalaman stres kerja yang dialami oleh perawat di ICU ? 2.
Bagaimana pengalaman perawat menggunakan mekanisme koping dalam menghadapi stres kerja di ICU ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah 1.
Mengeksplorasi bagaimana pengalaman stres kerja yang dialami oleh perawat di ICU.
2. Mengeksplorasi bagaimana pengalaman perawat menggunakan mekanisme
koping dalam menghadapi stres kerja di ICU.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Praktik Keperawatan
Nursing Practice
Hasil penelitian dapat dijadikan dasar bagi administrator keperawatan dalam mengambil kebijakan untuk mengurangi tingkat stres kerja perawat atau
mendesain program intervensi yang dapat membantu meringankan mengurangi stres kerja perawat. Selain itu juga membantu administrator khususnya manajer
sumber daya manusia dalam melakukan proses rekruitmen dan retensi perawat.
1.4.2 Pendidikan Keperawatan Nursing Education
Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan ilmu keperawatan jiwa khususnya terkait konsep stres dan mekanisme koping perawat
serta bermanfaat bagi institusi pendidikan dalam mempersiapkan mahasiswa yang akan melakukan praktik lapangan di ICU.
1.4.3 Penelitian Keperawatan Nursing Research
Hasil Penelitian ini dapat digunakan sebagai evidence based dan pertimbangan bagi penelitian keperawatan dalam melakukan penelitian
selanjutnya khususnya yang berkaitan dengan stres dan koping perawat.
Universitas Sumatera Utara
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsep mekanisme koping, stres, dan studi fenomenologi. Adapun penjelasan masing-
masing setiap variabel akan diuraikan dibawah ini.
2.1 Konsep Koping
2.1.1 Definisi Koping
Menurut Lazarus dan Folkman 1984 koping adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi tuntutan internal dan
eksternal yang melelahkan atau melebihi kemampuan individu. Dapat disimpulkan mekanisme koping adalah upaya yang dilakukan individu baik secara
kognitif maupun perilaku dalam menghadapi suatu masalah.
2.1.2 Jenis-jenis koping
Lazarus dan Folkman 1984 mengklasifikasikan koping menjadi 2 tipe, yaitu problem-solving focused coping dan emotion-focused coping. Lazarus dan
Folkman 1984 menjelaskan bahwa emotion-focused coping muncul pada saat kondisi yang mengancam, berbahaya, dan menantang yang tidak dapat diubah lagi
kondisinya. Sedangkan problem-solving focused coping muncul pada saat kondisi masih mungkin dapat diubah dan diperbaiki.
Problem-solving focused coping merupakan tipe individu yang secara aktif
mencari penyelesaian masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres. Contoh problem-solving focused coping yaitu mencari
Universitas Sumatera Utara
informasi mengenai suatu masalah, mengumpulkan solusi yang dapat dijadikan sebagai alternatif, mempertimbangkan alternatif dari segi biaya dan manfaatnya,
memilih alternatif, dan menjalani alternatif yang dipilih Lazarus Folkman, 1984.
Emotion-focused coping merupakan tipe individu yang melibatkan usaha-
usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang ditimbulkan oleh suatu kondisi yang penuh tekanan. Contoh mekanisme
koping ini adalah menghindari, meminimalisir, menjaga jarak, selektif memilih perhatian, perbandingan positif, dan mencari nilai positif dari sebuah peristiwa
negatif. Orang yang menggunakan emotion-focused coping untuk mempertahankan harapan dan optimisme, menyangkal fakta dan implikasi,
menolak mengakui hal terburuk, bertindak seolah-olah apa yang terjadi bukanlah hal penting bagi kehidupannya. Kesemua contoh ini memberikan makna distorsi
atau penipuan pada diri mereka sendiri Lazarus Folkman, 1984. Penjelasan lebih rinci terkait jenis-jenis strategi koping Lazarus
Folkman, 1984: 1
Distancing , merupakan strategi koping yang dilakukan dengan cara
menghindar dari permasalahan dan menutupinya dengan pandangan yang positif. Contohnya adalah menganggap remeh lelucon suatu masalah.
2 Planful problem solving
, merupakan perencanaan individu membentuk suatu strategi dan perencanaan menghilangkan dan mengatasi stres, dengan
melibatkan tindakan yang teliti, berhati-hati, bertahap, dan analitis.
Universitas Sumatera Utara
3 Positive reappraisal
, merupakan strategi koping yang dilakukan dengan mencari makna positif dari permasalahan dengan pengembangan diri.
4 Self control
, merupakan suatu bentuk dalam penyelesaian masalah dengan cara menahan diri, mengatur perasaan sehingga seseorang dalam mengambil
tindakan selalu teliti dan tidak tergesa-gesa. 5
Escape-avoidance , merupakan usaha untuk menghilangkan stres dengan
cara melarikan diri dari masalah dan beralih pada hal-hal lain, seperti merokok, narkoba, makan banyak, dan lain-lain.
6 Seeking social support
, merupakan suatu cara yang dilakukan individu dalam menghadapi masalah dengan cara mencari dukungan sosial pada keluarga
atau lingkungan sekitar. Dukungan yang diberikan dapat berupa simpati dan perhatian.
7 Accepting responsibility,
menerima tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
8 Accepting
dapat juga diartikan dengan berserah diri, individu menerima apa yang terjadi padanya karena telah memiliki anggapan tidak ada hal yang bisa
dilakukan untuk memecahkan masalah. Selain mekanisme koping yang ditemukan oleh Lazarus dan Folkman
1984, Kozier, Erb, Berman, dan Snyder 2004 mengklasifikasi koping berdasarkan jangka waktunya menjadi dua tipe yaitu: mekanisme koping jangka
panjang dan jangka pendek. Mekanisme koping jangka panjang bersifat konstruktif dan realistis, contohnya berbicara dengan orang lain untuk mencari
solusi dari masalah yang dihadapi. Mekanisme ini melibatkan perubahan pola
Universitas Sumatera Utara
hidup seperti makan makanan yang sehat, olahraga teratur, menyeimbangkan waktu luang dengan waktu kerja, upaya penyelesaian masalah sebagai
pengambilan keputusan daripada marah atau respon yang konstruktif. Mekanisme koping jangka pendek dapat mengurangi stres yang sifatnya sementara dan
berakhir pada cara inefektif untuk menghadapi realita. Contohnya adalah minum minuman beralkohol atau obat-obatan, daydreaming atau fantasizing, dan
mengandalkan keyakinan bahwa segalanya akan berhasil. Mekanisme koping juga dapat bersifat adaptif konstruktif atau
maladaptif destruktif. Mekanisme koping adaptif mencakup kemampuan berespon secara fleksibel terhadap situasi berbeda, bertanggung jawab,
independen, dan asertif. Koping ini disebut juga dengan koping efektif Kozier et al, 2004. Mekanisme koping adaptif atau koping positif ini juga dinyatakan
sebagai mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan Stuart Sundeen, 1995. Adapun yang termasuk
jenis koping ini adalah teknik relaksasi, memecahkan masalah secara efektif, diet sehat, olahraga, manajemen waktu efektif, dan cek kesehatan secara teratur Stuart
Sundeen, 1995; Kozier et al, 2004. Koping maladaptif dapat menghasilkan kesulitan tidak penting bagi diri
sendiri dan orang lain. Koping ini disebut juga sebagai koping maladaptif Kozier et al, 2004. Koping maladaptif disebut juga sebagai mekanisme koping negatif.
Mekanisme koping ini merupakan mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi dan menurunkan otonomi. Contohnya adalah merokok, konsumsi
Universitas Sumatera Utara
alkohol atau obat-obatan secara berlebihan, makan berlebihan tidak makan, bekerja berlebihan, dan menghindar Stuart Sundeen, 1995; Kozier et al, 2004.
Beberapa mekanisme koping diatas dapat digunakan oleh perawat dalam menghadapi stres di lingkungan kerjanya. Menurut Huber 2002 koping yang
digunakan oleh nurse excecutive mencakup meluangkan waktu terhadap hal-hal yang menarik diluar hubungan dengan pekerjaan, komunikasi yang disisipkan
dengan humor, memanfaatkan support system, aktif dalam organisasi profesi yang lebih besar, dan mengidentifikasi sumber-sumber untuk penyelesaian masalah.
Mekanisme koping lainnya yang dapat digunakan yaitu aktivitas fisik, kontrol nutrisi, kontrol lingkungan, strategi psikologis untuk memperbaiki sikap dan
harga diri, strategi interpersonal berhubungan dengan dukungan sosial, hobi, meditasi, relaksasi, dan spiritual. Sebelum menggunakan berbagai mekanisme
koping tersebut, hal utama yang perlu dilakukan oleh perawat adalah mengenali stres yang mereka alami dan situasi apa yang dapat mencetus kondisi stres Kozier
et al, 2004. Menurut Kozier et al. 2004 terdapat beberapa tindakan yang membantu
perawat dalam mengenali dan menghadapi stres yaitu; 1 bedakan apa yang penting dan tidak penting untuk berubah, dan menerima apa yang diberikan, 2
tetapkan daftar prioritas tugas, 3 seimbangkan aktivitas stres dan tidak stres, 4 susun batasan-batasan dalam memenuhi tuntutan kerja, 5 bangun support system
dari rekan kerja atau teman lainnnya, 6 sediakan waktu untuk mengenali dan merefleksikan perasaan pribadi, 7 debriefing atau tanya jawab setelah kejadian
yang penuh stres di tempat kerja¸ 8 kenali alternatif yang mungkin ditemukan
Universitas Sumatera Utara
dan buat pilihan, 9 pertahankan gaya hidup sehat, seperti; tidur, relaksasi, latihan, dan nutrisi, 10 lakukan self-checking terhadap tugas penting yang akan dilakukan
ketika sibuk, 11 kenali sumber stres secara internal, 12 akui pencapaian kerja pada akhir hari dan tiap minggu, 13 periksa kembali nilai diri dan klarifikasi hal
apa yang penting dan tidak penting dalam hidup.
2.1.3 Fight and Flight response
Fight and flight response dikenal sebagai respon fisiologis terhadap stres
akut. Respon ini dimulai ketika seseorang menghadapi situasi yang mengancam atau menghadapi stresor. Hal ini akan mengakibatkan sejumlah perubahan ketika
tubuh mempersiapkan untuk melawan atau menghindari stresor tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi meliputi perubahan sistem saraf otonom dan
sistem neuroendokrin bersama-sama menyediakan kapasitas untuk menghadapi stresor. Sekresi hormon dibutuhkan dalam menghadapi stres, otot menegang,
denyut jantung meningkat, peningkatan respirasi, dan peningkatan kadar gula darah. Kondisi ini terjadi sampai penyebab stres teratasi. Jika sudah teratasi,
mekanisme homeostatis melibatkan sistem saraf parasimpatis dan menurunkan aktivitas kelenjar pituitary dan hipotalamus untuk mengembalikan kondisi tubuh
menjadi rileks Funnel, Kautoukidis, Lawrence, 2005. Respon ini merupakan hal yang penting untuk mempertahankan diri dan
mentolerir bahaya. Jika stres tidak teratasi dan terus berlanjut, akan menghasilkan stres kronik yang akan berdampak pada kesehatan tubuh seperti gangguan
kesehatan dan penyakit Funnel et al, 2005.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4 Defence Mechanism
Menurut Kozier et al. 2004 defence mechanism mekanisme pertahanan termasuk kedalam mekanisme koping. Ini terjadi pada resistance stage.
Mekanisme ini merupakan pemikiran tanpa disadari oleh seseorang yang bertujuan melindungi diri dari stresor dan menurunkan stres.
Kozier et al. 2004 juga menyatakan adapun yang termasuk defence mechanism
adalah: 1 compensation, menutupi kelemahan dengan menekankan pada sifat yang lebih dapat diinginkan atau pencapaian yang berlebihan pada area
yang lebih nyaman, 2 denial, usaha untuk menolak suatu realita yang tidak dapat diterima dengan menolak untuk mengakui realita tersebut, 3 displacement,
mengalihkan reaksi emosional dari satu objek atau seseorang ke objek lain atau orang lain, 4 identification, berusaha mengendalikan kecemasan dengan meniru
perilaku seseorang yang ditakuti atau dihargai, 5 Intellectualization, mekanisme respon emosional normal ketika mengalami kejadian yang tidak nyaman atau
menyakitkan, dihindari dengan penggunaan penjelasan rasional yang menghilangkan perasaan trauma terhadap kejadian tersebut, 6 introjections, salah
satu bentuk identifikasi yang menerima nilai dan norma orang lain yang masuk ke dalam dirinya sendiri, bahkan sebelumnya nilai ini berlawanan dengan asumsinya,
7 minimization, tidak mengakui apapun perilaku orang lain, 8 projection, menyalahkan orang lain atau lingkungan atas keinginan, pikiran atau kesalahan
yang tidak dapat diterima, 9 rationalization, justifikasi terhadap perilaku tertentu dengan logika yang salah dan memotivasi untuk berperilaku yang dapat diterima
secara sosial, 10 reaction formation, mekanisme yang menyebabkan seseorang
Universitas Sumatera Utara
bertindak berlawanan dengan apa yang dirasakannya, 11 regression, beralih kepada tingkat yang lebih nyaman dimana kurang tuntutan dan tanggung jawab,
12 repression, mekanisme tidak disadari yang mana mengancam perasaan dan pikiran serta dijauhkan dari kesadaran atau suatu kejadian yang disangkal masuk
ke dalam kesadarannya, 13 sublimation, pemindahan energi dari kegiatan yang bersifat agresif menjadi aktivitas yang dapat diterima secara sosial, 14
substitution, penggantian dengan objek yang bernilai tinggi, tidak dapat diterima,
dan tidak tersedia dengan objek yang nilainya lebih rendah, dapat diterima, dan tersedia, 15 undoing, tindakan atau perkataan yang dilakukan seseorang untuk
meringankan kesalahannya dengan membuat ganti rugi seperti memberikan hadiah.
Jenis-jenis defence mechanism diatas bersifat mendistorsi atau mengalihkan kondisi stres yang dialami oleh seseorang bukan untuk penyelesaian
masalah. Dapat disimpulkan penggunaan jenis ini hanya akan membantu menenangkan perasaan seseorang sementara waktu ketika menghadapi stres kerja.
2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi mekanisme koping
Kemampuan seseorang untuk beradaptasi atau melakukan koping terhadap stresor yang dihadapi tergantung pada kombinasi aspek stresor dan karakteristik
individu. Aspek stresor meliputi; intensitas dan luasnya stresor, durasi, jumlah dan tipe stresor yang timbul bersamaan, serta jumlah stresor dalam waktu tertentu.
Karakteristik individu untuk beradaptasi terhadap stres meliputi; latar belakang dan budaya, kebutuhan, keinginan, konsep diri, sumber internal, dukungan
Universitas Sumatera Utara
eksternal, pengetahuan, skill, sifat kepribadian, kematangan, dan kondisi kesehatan umum Funnel et al, 2005.
Menurut Lazarus dan Folkman 1984 faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penggunaan koping sebagai berikut:
1 Kesehatan dan energi health and energy
Seseorang yang mengalami sakit atau kelelahan mempunyai energi yang kurang dalam memperpanjang penggunaan kopingnya. Kesehatan fisik yang baik
merupakan bukti dalam menghadapi masalah atau stres karena ketika menghadapi stres seseorang membutuhkan mobilisasi yang banyak. Oleh karena itu,
pentingnya kesehatan dan energi untuk koping karena keduanya berperan dalam memfasilitasi penggunaan koping secara optimal.
2 Keyakinan positif positive beliefs
Melihat diri sendiri dengan positif bisa dikaitkan sebagai sebuah sumber koping yang sangat penting. Keyakinan sebagai dasar untuk berharap dan
mendukung usaha koping yang digunakan. Namun demikian, tidak semua keyakinan dapat digunakan sebagai koping. Beberapa keyakinan dapat
menghambat usaha koping. Contoh keyakinan akan hukuman tuhan dapat mengarahkan individu untuk menerima situasi yang menekan sebagai sebuah
hukuman dari tuhan atau takdir tuhan dan tidak melakukan hal apapun untuk mengatasi situasi tersebut.
3 Keterampilan dalam menyelesaian masalah problem-solving skills
Keterampilan dalam menyelesaikan masalah meliputi kemampuan mencari informasi, menganalisa situasi yang bertujuan mengidentifikasi masalah dan
Universitas Sumatera Utara
mengembangkan alternatif tindakan, memilih alternatif yang sesuai dengan hasil yang diharapkan, memilih dan mengimplementasikan rencana aksi yang sesuai.
Contoh keterampilan dalam menyelesaikan masalah adalah keterampilan dalam menghadapi situasi darurat, konflik peran, dan dilema moral.
Keterampilan-keterampilan tersebut dapat dimiliki oleh individu berdasarkan lamanya pengalaman, pengetahuan yang dimiliki individu, kemampuan
intelektual untuk menggunakan pengetahuan, dan kemampuan untuk mengontrol diri.
4 Keterampilan sosial social skill
Keterampilan sosial merupakan sumber koping yang penting. Keterampilan sosial diartikan sebagai kemampuan untuk berkomunikasi dan berperilaku dengan
yang lain dengan cara yang sesuai dan efektif secara sosial. Hal ini memfasilitasi penyelesaian masalah dalam berhubungan dengan orang lain dan memberikan
individu kontrol lebih dalam interaksi sosial. Pentingnya keterampilan sosial sebagai sumber di berbagai area, mencakup
program terapeutik yang membantu individu lebih baik dalam mengatasi masalah kehidupan sehari-hari dan program latihan organisasi untuk meningkatkan
keterampilan komunikasi interpersonal. 5
Dukungan sosial social support Dukungan sosial diartikan dengan mempunyai orang atau teman atau keluarga
yang dapat menerima perasaan jika individu mengalami masalah. Selain itu, dukungan dari orang lain dapat berupa memberikan informasi atau dukungan
lainnya seperti menunjukkan perhatian kepada individu tersebut.
Universitas Sumatera Utara
6 Sumber materi material resources
Sumber materi dapat berupa uang, barang, dan pelayanan. Hasil penelitian Antonosvsky,1979 dalam Lazarus dan Folkman 1984 ditemukan bahwa terdapat
hubungan kuat antara status ekonomi, stres, dan adaptasi. Sumber keuangan yang lebih besar meningkatkan pilihan koping. Hal ini juga mempermudah dan
memberikan akses yang mudah seperti pengobatan kesehatan, bantuan professional, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa sumber materi juga dapat
memfasilitasi efektivitas koping.
2.1.6 Literatur Penelitian yang Berhubungan dengan Koping
Berbagai perawat melakukan mekanisme koping yang berbeda Lazarus Folkman, 1984. Beberapa artikel penelitian membahas tentang cara mengatasi
stres kerja perawat di berbagai unit seperti ICU dan unit hemodialisa baik bersifat positif maupun negatif.
Menurut Hays et al. 2006, mekanisme koping perawat ICU lebih bersifat konfrontatif dalam menghadapi stresor dan bersifat “escape avoidance” pada
perawat di Cina Cai et al, 2008. Namun, Cai juga menemukan aspek positif terkait stresor juga dilakukan para perawat di Cina dengan selalu berfikir dan
melakukan kegiatan positif. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dinyatakan bahwa koping yang digunakan perawat dapat bervariasi, baik itu
koping yang bersifat positif maupun negatif. Sementara itu, mayoritas perawat di unit hemodialisa menggunakan
strategi koping planfull problem solving, self controlling, dan positive appraisal dalam menghadapi stresor Ashker, Penprase, Salman, 2012. Hal ini sesuai
Universitas Sumatera Utara
dengan tuntutan strategi koping Lazarus dan Folkman 1984 dalam penanganan stresor yang cenderung lebih terpusat pada kemampuan untuk mencari
penyelesaian masalah. Strategi koping positif ini terbukti efektif dalam pencegahan stres kerja. Untuk itu, mekanisme koping bersifat menghindari
avoidance tidak dianjurkan dalam penanganan stresor karena justru akan memperburuk keadaan dan memperbesar resiko terkena dampak burnout Haar,
2006. McNeely 1995 menyatakan bahwa mayoritas koping yang dilakukan
oleh perawat adalah menggunakan mekanisme koping positif seperti berbicara dengan teman, pasangan, atau perawat lain dan mengikuti pertemuan formal.
Hanya 21 perawat yang mengekspresikan perasaan seperti berteriak, menangis, memainkan musik, dan olahraga. Dapat disimpulkan bahwa perawat pada
penelitian tersebut memanfaatkan lingkungan yang supportive sebagai strategi koping.
Berdasarkan beberapa artikel penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa perawat dapat menggunakan lebih dari satu cara untuk mengatasi stresor kerja.
Cara yang digunakan tergantung pada pengalaman seseorang dalam menghadapi stresor Ashker et al, 2012.
2.2 Konsep Stres
2.2.1 Definisi Stres
Stres adalah respon fisik, mental, psikologis, dan spiritual terhadap berbagai faktor penyebab stres Huber, 2000; Kozier et al, 2004 baik berupa
faktor emosional, sosial, ekonomi, atau faktor lainnya Funnel et al, 2005 yang
Universitas Sumatera Utara
dinilai sebagai sesuatu yang berat atau melebihi sumber daya yang dimilikinya dan membahayakan kesejahteraannya Lazarus Folkman, 1984.
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dikatakan bahwa stres kerja termasuk bagian dari stres. Stres kerja terjadi ketika tantangan dan tuntutan kerja
menjadi berlebihan dan melebihi kemampuan individu untuk mengatasi tuntutan atau tantangan tersebut. Kondisi ini akan meyebabkan kepuasan kerja menurun
sehingga memungkinkan terjadinya frustasi dan kelelahan Lambert Lambert, 2008.
2.2.2 Etiologi stres
Stres dapat disebabkan oleh berbagai sumber stres atau yang dikenal dengan istilah stressor. Stresor adalah kejadian atau rangsangan apapun yang
menyebabkan seseorang mengalami stres Kozier et al, 2004; Funnel et al, 2005. Stresor dapat diklasifikasi menjadi stresor fisik dan psikologis. Stresor
fisik mencakup trauma pada tubuh seperti cedera, nyeri, infeksi, dan penyakit. Stresor psikologis mencakup interpretasi seseorang terhadap rangsangan apapun
sebagai tantangan, tuntutan, dan ancaman. Contohnya konflik interpersonal akibat perceraian, kematian, dan perubahan peran sosial Funnel et al, 2005.
Stresor juga dapat diklasifikasi sebagai stresor internal dan eksternal. Stresor internal terjadi di dalam diri seseorang seperti kelaparan, kehausan,
kelelahan, demam, dan efek hamil atau menopause. Stresor ini juga mencakup emosi kuat seperti perasaan malu atau bersalah. Stresor eksternal berasal dari luar
diri seseorang. Stresor tersebut mencakup perubahan lingkungan seperti paparan temperatur suhu yang drastis, kebisingan, akibat traumatis kecelakaan atau
Universitas Sumatera Utara
bencana alam. Stresor ini juga meliputi tekanan kelompok, isolasi sosial, tuntutan sekolah, keluarga. atau pekerjaan Funnel et al, 2005.
Pekerjaan merupakan salah satu stresor bagi perawat. Menurut Huber 2000 stresor yang berhubungan dengan kerja perawat dapat dikelompokkan
menjadi dua yaitu: 1.
Stresor yang berasal dari individu Stresor yang berasal dari individu perawat itu sendiri dibedakan atas
stresor internal dan eksternal. Stresor pada perawat yang berasal dari sumber internal, contohnya perawat membawa pekerjaan ke dalam konflik emosional
pribadinya atau perlu menyeimbangkan antara kerja dan peran keluarga. Hal ini serupa dengan konflik interpersonal, kebutuhan untuk menyeimbangkan peran
ganda dalam kehidupan yang dapat menimbulkan stres personal. Stresor pada perawat yang berasal dari sumber eksternal, contohnya kepribadian perawat yang
tidak sesuai dengan situasi kerja yang diberikan. 2.
Stresor yang berasal dari lingkungan kerja Stresor yang berasal dari lingkungan kerja seperti tuntutan tempat kerja
atau organisasi seperti role expectations, lingkungan fisik dan teknis, pola hubungan interpersonal, konflik peran profesional-birokrasi, expectation multiple,
manajemen, gaya kepemimpinan, pola komunikasi, penjadwalan, beban kerja, outcome
klien yang negatif, hubungan dengan dokter, kurang partisipasi dalam pengambilan kebijakan, pengetahuan dan skill yang tidak adekuat.
Berbagai hasil penelitian yang mengidentifikasi stres yang terjadi pada perawat. Penelitian Hays et al. 2006 berdasarkan tingkat stres perawat
Universitas Sumatera Utara
ditemukan mayoritas faktor penyebab stres tingkat tinggi yaitu kekurangan staf. Mayoritas faktor penyebab stres tingkat sedang adalah perawat yang tidak
kompeten dan stres tingkat ringan adalah kondisi lingkungan yang bising. Hasil penelitian Lawrence 2011 mendukung hasil penelitian sebelumnya yang
menyatakan kelelahan merupakan faktor penyebab stres yang dapat bersumber dari kekurangan staf. Selain itu, Lawrence juga menemukan bahwa stres pada
perawat ICU juga disebabkan oleh demoralizing. Kondisi demoralizing dapat timbul karena kurangnya penghargaan profesional yang diterima perawat
Jehangir et al, 2011. Jehangir et al. 2011 menemukan frekuensi faktor penyebab stres yang
dialami oleh perawat dari yang besar hingga kecil, antara lain: beban kerja yang berlebihan, lingkungan kerja yang berbahaya dan tidak sehat, sumber yang tidak
cukup, penderitaan pasien, konflik tuntutan yang tidak sesuai dengan yang diterima, kurangnya rasa menghargai secara profesional, kurangnya kesempatan
promosi kerja, pembayaran dan keuntungan tidak adekuat, serta masalah pernikahan. Penelitian diatas mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Lees Ellis 1990 dan Cai et al. 2008 yang menyimpulkan bahwa beban kerja yang berlebihan merupakan stresor terbesar.
McNeely 1995 menemukan bahwa sumber stres yang utama pada perawat terkait faktor sebab akibat suatu sistem kebijakan rumah sakit. Hal ini
bisa dilihat dari gambaran stresor perawat terkait beban kerja berlebihan yang mengakibatkan perawat tak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pasien. Hal
ini kemudian diperburuk lagi oleh kurangnya dukungan dari staf senior yang
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan staf junior kurang kompeten dalam memberikan asuhan keperawatan. Penelitian Jehangir et al. 2011 juga memperkuat hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan Maria et al. 2010 yang meneliti struktur lingkungan kerja dan perasaan kurang dihargai juga merupakan sumber stres kerja perawat.
2.2.3 Gejala Stress
Stres dapat diobservasi melalui respon atau gejala yang timbul ketika menghadapi stresor. Gejala stres tersebut dapat berupa efek fisiologi, psikologi,
kognitif, dan perilaku. Gejala fisiologis yang biasanya timbul antara lain nyeri perut, mulut kering, mual muntah, pusing, gemetar, tremor, dispnea,
hiperventilasi, palpitasi, diare, frekuensi buang air kecil meningkat, diaphoresis, dan takikardi. Gejala psikologis berupa kesedihan, depresi, mood labil, mudah
tersinggung irritability, cepat marah. Gejala kognitif berupa kebingungan, pelupa, tidak mampu berkonsentrasi, kesulitan dalam mengambil keputusan.
Gejala perilaku berupa tidak dapat tidur, tidak nafsu makan atau makan yang berlebihan, berbicara cepat atau keras, finger tapping, menarik rambut, gelisah,
dan mudah menangis Funnel et al, 2005.
2.2.4 Efek stres
Menurut Kozier et al. 2004 efek yang ditimbulkan oleh stres dapat berupa fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual. Secara fisik, stres dapat
mengancam keseimbangan homeostatis seseorang. Secara emosional, stres dapat menimbulkan perasaan negatif pada diri. Secara intelektual, stres dapat
mempengaruhi persepsi seseorang dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah. Secara sosial, stres dapat mengubah hubungan seseorang dengan orang
Universitas Sumatera Utara
lain. Secara spiritual, stres dapat mempengaruhi keyakinan dan nilai diri seseorang.
Stres juga berdampak pada kondisi kesehatan. Berbagai kondisi kesehatan yang dipengaruhi oleh stres meliputi; migrain, gastritis, ulserasi lambung, alergi,
colitis ulserasi, gangguan makan, arthritis, diabetes, gangguan jiwa seperti depresi dan panik, asma, disfungsi seksual, penyakit jantung, kanker, dan hipertensi
Funnel et al, 2005. Selain berdampak terhadap kondisi kesehatan, stres kerja juga berdampak
pada organisasi kerja. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa dampak stres kerja bagi perawat antara lain penurunan kesehatan fisik, psikologis, kepuasan
kerja Johnson et al, 2005, dan mempengaruhi prestasi kerja perawat di pelayanan asuhan keperawatan McNeely, 1995; Jehangir et al, 2011. Sebagai
contoh, perawat kurang mampu memenuhi kebutuhan pasien secara holistik dan komprehensif. Hal ini terlihat dari kurangnya pemberian asuhan keperawatan
yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan psikologis pasien McNeely, 1995. Akibatnya, perawat tampak sebagai tenaga kesehatan yang tidak punya komitmen
dan kurang bertanggung jawab Lim Yuen, 1998. Dampak stres kerja yang lebih fatal adalah exhaustion kelelahan, burnout
dan keinginan untuk keluar dari profesi perawat Lawrence, 2011 ditambah lagi peningkatan absenteeism dan turnover Huber, 2000. Jadi dapat disimpulkan
bahwa dampak stres kerja pada perawat lebih bersifat psikologis dan memicu penurunan kualitas profesionalitas kerja perawat.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5 Model Adaptasi Stres
Menurut Funnel et al. 2005, terdapat 2 model teori respon terhadap stres yaitu:
1. Selye’s stress adaptation model
Model ini menjelaskan bahwa respon tubuh ketika menghadapi stres mengalami 3 fase, yaitu:
a. Alarm reaction
Fase ini merupakan reaksi awal tubuh menghadapi stresor apapun. Ini merupakan sekumpulan reaksi antara hipotalamus, sistem saraf simpatis, dan
medulla adrenal. Ini disebut dengan “flight-or-flight response”. Ini membuat level kewaspadaan ditingkatkan dan menggerakkan tubuh untuk siap dalam
menghadapi ancaman. Respon tubuh digambarkan dengan peningkatan sirkulasi dan peningkatan pelepasan glukosa menjadi energi.
b. Stage of resistance
Jika penyebab stres tidak dapat diatasi, tubuh akan mengalami fase ini atau fase General Adaptation Syndrome GAS. Fase ini tubuh terus berjuang
menghadapi stresor setelah fase alarm reaction telah selesai. Reaksi pada tahap ini melibatkan kelenjar pituitary anterior dan korteks adrenal. Reaksi ini lebih
lambat untuk mulai dibanding fase pertama, tetapi efeknya lebih lebih lama. Selama fase ini tubuh juga memulai proses untuk mengembalikan fungsinya
mendekati homeostasis normal. Fase ini, GAS terus berlangsung dalam waktu yang lama tanpa periode
relaksasi, sehingga penderita cenderung mengalami kelelahan, konsentrasi
Universitas Sumatera Utara
menurun, dan iritabilitas. Secara fisiologis kondisi ini menyebabkan pelepasan steroid dan kortisol yang berlebihan, yang dirangsang selama masa stres sehingga
akan mengakibatkan penekanan sistem imunitas tubuh. Penurunan sistem imunitas tubuh akan menyebabkan gangguan kesehatan, umumnya terjadi flu dan
infeksi lainnya yang bisa mengarah pada gangguan seperti sakit kepala dan gastritis.
c. Stage of exhaustion
Pada fase ini tubuh kehabisan cadangan energi dan imunitas yang merupakan hasil dari ketidakmampuan untuk beradaptasi atau koping. Pada fase
ini terjadi kehilangan potasium yang mempengaruhi semua fungsi sel tubuh. Fungsi sel hilang dan sel akan mati. Kelelahan pada korteks adrenal akan terjadi
dan tidak mampu menghasilkan hormon yang mencegah penurunan glukosa darah, sehingga nutrisi sel tidak adekuat. Akibat yang terus menerus akan
membebankan kerja jantung, pembuluh darah, dan korteks adrenal. Hal ini dapat menyebabkan gagal jantung, gagal ginjal, dan kematian.
Selye dalam Funnel et al. 2005, juga mengidentifikasi respon tubuh terhadap stres fisik pada area tubuh. Respon ini disebut dengan local adaptation
syndrome LAS.
2. Lazarus’s interactional theory
Lazarus 1966 dalam Lazarus Folkman 1984 menjelaskan bahwa cara individu menginterpretasikan stresor dan kemampuan untuk koping appraisal
yang menentukan efek dari stres. Proses Appraisal merupakan sekumpulan tindakan kognitif individu dalam membuat suatu evaluasi. Individu menilai situasi
Universitas Sumatera Utara
tergantung pada nilai seseorang, keyakinan dan perasaan, dan apa yang dilihat penting dan tidak penting bagi mereka. Terdapat 2 tipe appraisal:
a. Primary appraisal
Penilaian yang dilakukan untuk menilai apakah kejadian tersebut mengganggu kesejahteraan hidup seseorang. Primary appraisal dibedakan atas 3
jenis yaitu: 1 irrelevant, 2 benign-positive, 3 stressfull. Irrelevant terjadi ketika pertemuan dengan lingkungan tidak ada membawa implikasi pada
kesejahteraan seseorang netral, tidak ada yang hilang atau yang diperoleh. Benign-positive appraisal
terjadi ketika hasil dari sebuah pertemuan adalah positif yang meningkatkan kesejahteraan dan kenyamanan. Karakteristik dari benign-
positive appraisal adalah kesenangan, gembira, cinta, dan damai.
Stressfull appraisal diklasifikasikan menjadi 3 hal, yaitu: 1 harmloss,
2 threat, 3 challenge. Harmloss merupakan beberapa kerusakan yang terjadi pada seseorang yang telah terjadi terus-menerus seperti kerusakan yang berakibat
pada harga diri, kurang mencintai nilai pribadi, dan kehilangan orang yang dicintai. Threat tantangan diartikan sebagai kejadian yang mana bahaya atau
kehilangan yang belum terjadi dan masih dapat diantisipasi. Challenge appraisal tantangan berfokus pada potensi untuk memperoleh atau mengembangkan
didalam suatu pertemuan dan biasanya memiliki cirri-ciri bersemangat dan kegembiraan, contohnya challenge appraisal seseorang akan bersemangat dalam
menghadapi sesuatu yang baru.
Universitas Sumatera Utara
b. Secondary appraisal
Setelah menilai apakah situasi tersebut berupa ancaman atau tantangan primary appraisal, selanjutnya yang dilakukan adalah tindakan koping apa yang
dapat dilakukan untuk mengatasi situasi tersebut. Ini melibatkan penilaian terhadap hambatan dalam melakukan koping, kekuatan personal, dan sumber
dukungan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Revisi Model Stress dan Koping Lazarus, 1991
Wrubel, Benner, dan Lazarus 1981 menemukan bahwa latar belakang makna-makna dan perhatian seseorang sebenarnya mengatur apa yang
menjumlahkan sebagai penyebab stres dan apa koping yang tersedia dalam istilah pemahaman, keterampilan, pengetahuan, nilai, dan akses. Hal yang terkait pada
konsep stres dan koping dalam perspektif fenomenologi adalah peran tubuh the role of the body
, peran situasi the role of the situation, peran dari perhatian pribadi the role of personal concerns, emosi sebagai makna yang dialami,
keterampilan, sumber-sumber umum, dan keunikan antara seseorang dengan situasi.
Individu -
Keyakinan -
Nilai -
Sumber diri
Lingkungan -
Bahaya -
Ancaman -
Tantangan -
Keuntungan Hub.
Individu- lingkungan
Primary appraisal
Secondary appraisal
Outcomes Perubahan
emosi, atau kombinasi
dengan perubahan
kesehatan, fungsi
sosial, dan moral
Universitas Sumatera Utara
2.2.6. Stres dan koping pada Pemberi Pelayanan Kesehatan
Koping dengan pemberi pelayanan profesional dibentuk dari makna- makna budaya dan bentuk institusi yang dihubungkan dengan pemberian
pelayanan. Menurut Marshal 1980 keperawatan merupakan profesi yang penuh dengan stres tinggi as highly stressfull. Pada setting ICU, keseharian selalu
perawat menghadapi situasi yang mengancam kehidupan dan pengobatan yang rumit yang membolehkan kesalahan dalam batas minimal.
ICU memiliki berbagai teknologi canggih yang mana dibutuhkan secara terus-menerus peningkatan pengetahuan. Kondisi ini mempengaruhi psikologis
perawat secara tidak langsung yaitu menghadapi berbagai teknologi canggih yang banyak akan memicu ketakutan perawat untuk melakukan suatu kegagalan. Selain
itu, perawat yang bekerja di rumah sakit pasti menghadapi masalah dalam organisasi yang kompleks seperti kurangnya wewenang dan pengakuan Benner
Wrubel, 1989.
2.3 Konsep Studi Fenomenologi
Pandangan fenomenologi terhadap stres dan koping ditampilkan untuk mengembangkan sebuah bahasa yang secara adekuat lebih menangkap
kemungkinan-kemungkinan pengalaman yang dialami oleh orang-orang yang menggunakan koping dalam berbagai kejadian seperti kelahiran, kematian,
penuaan, penyakit, dan ketegangan selama bekerja Benner Wrubel, 1989. Fenomenologi berakar dari ilmu filosofi yang dikembangkan oleh Husserl
dan Heidegger pada tahun 1962. Konsep ini merupakan suatu pendekatan untuk
Universitas Sumatera Utara
mengeksplorasi pengalaman hidup manusia. Ini berfokus pada esensi dan makna dari pengalaman tersebut Polit Beck, 2008.
Husserl dan Heidegger sebagai ahli fenomenologi phenomenologist memiliki berbagai pandangan terkait pengalaman manusia. Husserl dan Heidegger
1962, dalam Polit Beck, 2008 memandang fenomena subjektif dengan keyakinan bahwa kebenaran tentang realita didasarkan pada pengalaman hidup
manusia. Pengalaman hidup manusia dipandang oleh phenomenologist sebagai sesuatu yang penuh makna dan dialami secara sadar. Pengalaman hidup manusia
diartikan sebagai keterikatan fisik manusia terhadap dunianya. Ini dikenal dalam istilah fenomenologi sebagai “being-in the world” atau “embodiment”. Dapat
disimpulkan embodiment merupakan pengalaman manusia secara sadar melalui interaksi tubuh dengan dunia Polit Beck, 2008.
Pengalaman manusia dipelajari oleh peneliti untuk mengetahui dan memahami esensi atau makna dari pengalaman tersebut. Pengetahuan dan
pemahaman ini dilakukan oleh peneliti dengan berbagai cara. Peneliti berupaya mengeksplorasi pengalaman yang dialami oleh partisipan melalui pengumpulan
informasi dan berusaha masuk ke dalam dunia partisipan, sehingga pengalaman partisipan dapat dialami oleh peneliti dengan cara yang sama. Pengumpulan
informasi dapat dilakukan dengan wawancara mendalam, partisipasi, observasi, dan refleksi introspeksi Polit Beck, 2008.
Polit dan Beck 2008 menyatakan bahwa terdapat dua jenis penelitian fenomenologi yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Descriptive Phenomenology
Fenomenologi deskriptif dikembangkan oleh Husserl pada tahun 1962. Jenis penelitian ini ditekankan pada deskripsi pengalaman yang dialami oleh
manusia berdasarkan apa yang didengar, dilihat, diyakini, dirasakan, diingat, dievaluasi, dilakukan, dan seterusnya. Fokus utama fenomenologi deskriptif
adalah ’knowing’. Penelitian ini memiliki empat langkah, yaitu bracketing, intuiting, analyzing,
dan describing
. Bracketing
merupakan proses mengidentifikasi dan membebaskan diri dari praduga-praduga, keyakinan, atau
pendapat terkait fenomena yang diteliti. Proses ini dilakukan oleh peneliti dengan cara peneliti membebaskan diri dari teori-teori yang diketahuinya serta
menghindari perkiraan-perkiraan dalam upaya memperoleh data yang murni. Intuiting
merupakan langkah kedua dimana peneliti tetap terbuka terhadap makna yang dikaitkan dengan fenomena yang dialami oleh partisipan. Analyzing
merupakan proses analisa data yang dilakukan melalui beberapa fase seperti; mencari pernyataan-pernyataan signifikan kemudian mengkategorikan dan
menemukan makna esensial dari fenomena yang dialami. Describing merupakan tahap terakhir dalam fenomenologi deskriptif. Langkah ini peneliti membuat
narasi yang luas dan mendalam tentang fenomena yang diteliti. Fenomenologist
dalam proses analisis data untuk fenomenologi deskriptif adalah Collaizi 1978, Giorgi 1985, dan Van Kaam 1959. Ketiga
fenomenologis tersebut berpedoman pada Filosofi Husserl yang mana fokus utamanya adalah mengetahui gambaran sebuah fenomena.
Universitas Sumatera Utara
2. Interpretive Phenomenology
Interpretive Phenomenology dikembangkan oleh Heidegger pada tahun
1962. Filosofi yang dianut oleh Heidegger berbeda dengan Husserl. Inti filosofinya ditekankan pada pemahaman dan interpretif penafsiran, tidak sekedar
deskripsi pengalaman manusia. Pengalaman hidup manusia merupakan suatu proses interpretif dan pemahaman yang merupakan ciri dasar keberadaan manusia.
Penelitian interpretif bertujuan untuk menemukan pemahaman dari makna pengalaman hidup dengan cara masuk ke dalam dunia partisipan. Pemahaman
yang dimaksud adalah pemahaman setiap bagian dan bagian-bagian secara keseluruhan.
Ahli fenomenologi untuk analisa data fenomenologi interpretif adalah Van Manen yang berpedoman pada filosofi Heiddegrian. Pendekatannya untuk metoda
analisis data merupakan kombinasi dari karakteristik fenomenologi deksriptif dan interpretif Polit Beck, 2008.
Berdasarkan pendekatan Van Manen 1990 dalam Polit dan Beck 2008 aspek tematik dari pengalaman dapat ditemukan atau diisolasi dari deskripsi
pengalaman partisipan dengan 3 metode yaitu the detailed or line-by-line approach, the selective or highlighting approach
, dan the holistic approach. The detailed or line-by-line approach
, peneliti mencari esensial atau makna dari pengalaman dengan membaca secara detail dan menganalisa setiap kalimat. The
selective or highlighting approach , peneliti memberikan highlight atau menarik
keluar pernyataan atau frase yang terlihat esensial dari pengalaman yang diteliti. Pernyataan atau frase yang di-highlight adalah pernyataan yang paling sering
Universitas Sumatera Utara
muncul tentang fenomena sesuai dengan pertanyaan penelitian. The holistic approach
, pendekatan dimana peneliti melihat teks secara keseluruhan dan mencoba untuk menemukan makna dari teks tersebut. Hasil dari ketiga metode
tersebut akan ditemukan beberapa tema yang merupakan objek refleksi dan interpretif melalui validasi hasil kepada partisipan.
Van Manen 2006 dalam Polit dan Beck 2008 menekankan bahwa pendekatan metode fenomenologi tidak terpisahkan dari praktik menulis.
Penulisan hasil analisa kualitatif merupakan suatu upaya aktif untuk memahami dan mengenali makna hidup dari fenomena yang diteliti yang dituangkan dalam
bentuk teks tertulis. Tek tertulis yang dibuat oleh peneliti harus dapat mengarahkan pemahaman pembaca dalam memahami fenomena tersebut. Van
Manen juga menyatakan identifikasi tema dari deskripsi partisipan tidak hanya diperoleh dari teks tertulis hasil transkrip wawancara, tetapi juga dapat diperoleh
dari sumber artistik lain seperti literatur, musik, lukisan, dan seni lainnya yang dapat menyediakan kekayaan informasi pengalaman partisipan sehingga
meningkatkan wawasan bagi peneliti dalam melakukan interpretasi dan pencarian makna dari suatu fenomena.
Pendekatan Van Manen berusaha untuk menggambarkan makna dari pengalaman seperti yang dialami dengan sebuah interpretasi teks kehidupan.
Dalam pendekatan ini, cara untuk mengetahui melalui teks interpretif adalah kongruen sama dengan framework filosofi hermeneutik. Pendekatan ilmu
manusia Van Manen 1990 menyediakan proses penelitian; beberapa termasuk memunculkan pertanyaan-pertanyaan, mengumpulkan data, mengembangkan
Universitas Sumatera Utara
sebuah fenomena, dan membangun interpretasi tekstual yang mengarahkan langsung peneliti untuk memahami arti dari pengalaman hidup perawat.
Selanjutnya, pendekatan ini menawarkan panduan-panduan untuk mengembangkan 4 dunia yang dialami yang mencerminkan pada teks-teks
interpretif dari kehidupan sehingga membantu peneliti membedakan struktur hidup yang dialami dari makna dari merawat orang-orang yang mempunyai
pengalaman kematian damai di ICU dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ilmu manusia fenomenologi hermeneutik Van Manen 1990
terdiri dari perspektif ilmu manusia, fenomenologi, dan hermeneutik. Enam aktivitas metodologi penelitian ilmu manusia diperkenalkan oleh Van Manen,
yang memungkinkan peneliti memilih atau menciptakan metode penelitian yang sesuai, teknik, dan prosedur untuk pertanyaan penelitian tertentu. Van Manen
mengembangkan bahwa penelitian fenomenologi hermeneutik sebagai sebuah interaksi dinamis antara 6 aktivitas-aktivitas ilmu manusia. Keenam aktivitas
tersebut adalah Van Manen, 1990:
1 Mengembalikan sifat pengalaman yang dialami Turning to the nature of
lived experience
Van Manen 1990 mengembangkan penelitian yang dikemudikan dengan sebuah komitmen dari pengembalian ke perhatian yang tak kunjung habisnya.
Mengembalikan ke fenomena interest akan menawarkan peneliti pada penuh pemikiran akan keseluruhan hidup dan aspek-aspek dari keberadaan manusia.
Peneliti akan menggali sebuah pertanyaan yang mendalam terkait sifat esensial
Universitas Sumatera Utara
dari fenomena dan mengembangkan fenomena dengan penuh pengertian wawasan.
2 Menginvestigasi pengalaman seperti yang kita alami Investigating
experience as we live it
Pada tema ini, Van Manen 1990 menyediakan pentingnya investigasi pengalaman bahwa penelitian fenomenologi percaya bahwa kebijaksanaan praktik
adalah dalam pemahaman sifat pengalaman yang dialami itu sendiri. “Mengalami adalah sebuah kebijaksanaan praktik kehidupan yang mana menghasilkan dari
yang hidup yang dialami secara mendalam“. Van manen menganjurkan peneliti untuk mengeksplor pengalaman yang dialami dan melakukan deskripsi personal
pengalaman yang dialami sebagai sebuah titik awal penelitian.
3 Mencerminkan tema-tema esensial yang mana mencirikan fenomena Reflecting on the essential themes which characterize the phenomenon
Van manen 1990 menyatakan bahwa penelitian fenomenologi, tidak seperti jenis penelitian lainnya, membuat sebuah perbedaan antara “appearance”
dan “essence”, antara hal-hal pengalaman dan yang mendasari hal-hal pengalaman tersebut”. Van manen mengusulkan bahwa refleksi yang benar pada pengalaman
yang dialami dicapai dengan menanyakan “Apa yang merupakan sifat dari pengalaman hidup?”.
Dalam mencerminkan tema-tema esensial yang mencirikan fenomena, Van Manen 1990 menawarkan kegiatan-kegiatan dari mengisolasi tema,
menginterpretasikan tema, reflecting tema, dan menentukan tema yang incidental tema-tema yang kurang pentingtambahan dan tema esensial. Van manen juga
Universitas Sumatera Utara
menganjurkan 3 pendekatan untuk mengisolasi tema dari transkrip: “the wholistic or sententious approach, the selective or highlighting approach, and the detailed
or line by line approach”. Van manen 1990 juga menegaskan bahwa penelitian fenomenologi
hermeneutik berusaha untuk mengeksplor struktur kehidupan dunia manusia. Struktur kehidupan dunia manusia seperti yang dikembangkan oleh Van Manen
terdiri dari 4 fundamental kehidupan dunia atau “four existentials”. Keempat existential itu adalah ”lived space spatiality, lived body corporeality, lived time
temporality, dan lived human relation relationality”. Secara detail, keempat
dunia hidup yang dialami dikembangkan seperti dibawah ini:
a. Lived space