Pemanfaatan Mikrokristal Selulosa Limbah Tandan Kelapa Mudan Cocos nucifera Linn) sebagai Bahan Pengisi dalam Film layak Makan Pati Tapioka dengan Gliserol sebagai Plastisiser

(1)

PEMANFAATAN MIKROKRISTAL SELULOSA LIMBAH TANDAN

KELAPA MUDA (Cocos nucifera Linn) SEBAGAI BAHAN

PENGISI DALAM FILM LAYAK MAKAN PATI

TAPIOKA DENGAN GLISEROL

SEBAGAI PLASTISISER

TESIS

Oleh

PUJI PURWORINI 117006003/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PEMANFAATAN MIKROKRISTAL SELULOSA LIMBAH TANDAN KELAPA MUDA (Cocos nucifera Linn) SEBAGAI BAHAN PENGISI DALAM

FILM LAYAK MAKAN PATI TAPIOKA DENGAN GLISEROL SEBAGAI PLASTISISER

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Kimia Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

PUJI PURWORINI 117006003/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

Judul Tesis : PEMANFAATAN MIKROKRISTAL SELULOSA LIMBAH TANDAN KELAPA MUDA (Cocos

nucifera Linn) SEBAGAI BAHAN PENGISI DALAM FILM LAYAK MAKAN PATI TAPIOKA DENGAN GLISEROL SEBAGAI PLASTISISER

Nama Mahasiswa : PUJI PURWORINI

Nomor Pokok : 117006003

Program Studi : Ilmu Kimia

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D

Ketua Anggota

Dr. Yugia Muis, M. Si

Ketua Program Studi, Dekan,

Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D Dr. Sutarman, M.Sc


(4)

Telah diuji pada Tanggal 27 April 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D Anggota : 1. Dr. Yugia Muis, M.Si

2. Prof. Dr. Harlem Marpaung 3. Prof. Dr. Thamrin, M.Sc

4. Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc 5. Prof. Dr. Yunazar Manjang


(5)

PERNYATAAN

PEMANFAATAN MIKROKRISTAL SELULOSA LIMBAH TANDAN KELAPA MUDA (Cocos nucifera Linn) SEBAGAI BAHAN PENGISI DALAM

FILM LAYAK MAKAN PATI TAPIOKA DENGAN GLISEROL SEBAGAI PLASTISISER

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan leh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, April 2013 Penulis,


(6)

PEMANFAATAN MIKROKRISTAL SELULOSA LIMBAH TANDAN KELAPA MUDA (Cocos nucifera Linn) SEBAGAI BAHAN PENGISI DALAM FILM

LAYAK MAKAN PATI TAPIOKA DENGAN GLISEROL SEBAGAI PLASTISISER

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian pemanfaatan mikrokristal selulosa (MCC) dari limbah tandan kelapa muda (Cocos nucifera) sebagai bahan pengisi dalam film layak makan pati tapioka dengan pemlastis gliserol. MCC yang ditambahkan kedalam film pati dengan variasi massa 0,1 g; 0,2 g; 0,3 g; 0,4 g; 0,5 g. Penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu tahap pertama adalah pembuatan MCC dari limbah tandan kelapa muda

yang didigesti dengan NaOH 17,5% menghasilkan α-selulosa kemudian dihidrolisis dengan HCl 2,5 N menghasilkan mikrokristal selulosa. Tahap kedua adalah pembuatan film pati dan MCC dengan variasi massa 0,1 g; 0,2 g; 0,3 g; 0,4 g; 0,5 g. Dari hasil karakterisasi MCC dengan FT-IR, XRD dan SEM diperoleh hasil bahwa MCC yang dihasilkan mengandung gugus O-H bebas dan mempunyai struktur kristal. Analisis FT– IR untuk film pati-gliserol-MCC yang dihasilkan menunjukkan ikatan hidrogen intermolekuler yang kuat antara pati – gliserol dan MCC. Pengujian sifat mekanik film menunjukkan kuat tarik 0,317 KgF/mm2 dan kemuluran 114,82 % yang optimum pada film pati–gliserol–0,4 g MCC. Analisis XRD menunjukkan film pati–gliserol–0,4 g MCC mempunyai struktur sedikit semikristalin dan sebagian besar merupakan struktur amorf. Analisis SEM menunjukkan bahwa pada film pati– gliserol–0,4 g MCC terjadi interaksi fisik dimana MCC melekat pada permukaan matriks pati. Kadar air yang paling rendah didapat pada film pati–gliserol–0,5 g MCC yaitu 11, 50%, sedangkan nilai laju transmisi uap air (WVTR) yang terendah didapat oleh film pati–gliserol tanpa MCC yakni 0,008 g/cm2.jam. Uji toksisitas menunjukkan bahwa film pati–gliserol–MCC tidak bersifat sebagai antibakteri.

Kata Kunci : MCC, Tandan Kelapa Muda, Edible Film, Pati, Gliserol, Karakteristik edible film.


(7)

THE UTILIZATION OF MICROCRYSTALLINE CELLULOSE FROM WASTE COCONUT BUNCHES (Cocos nucifera Linn) AS FILLER IN

STARCH EDIBLE FILM WITH GLYCEROL AS PLASTICIZER

ABSTRACT

The research utilization of microcrystalline cellulose (MCC) from waste coconut bunches (Cocos nucifera) as a filler material in tapioca starch edible film with glycerol as plasticizer has been done. MCC was added to the starch films with variation of mass 0.1 g, 0.2 g, 0.3 g, 0.4 g, 0.5 g. This study was divided into two stages: the first stage was the creation of MCC from waste coconut bunches which digested with 17.5% NaOH produced α-cellulose and then were hydrolyzed with 2.5 N HCl produced microcrystalline cellulose. The second stage was the manufacture of starch-glycerol-MCC films with variation mass of starch-glycerol-MCC was 0.1 g, 0.2 g, 0.3 g, 0.4 g, 0.5 g. Characterization of MCC with FT-IR, XRD and SEM were obtained that the MCC contained free OH groups and had a crystal structure. Analysis of FT-IR for the MCC-glycerol film indicated strong intermolecular hydrogen bonds among starch-glycerol and MCC. The mechanical testing properties of the film indicated the tensile strength was 0,317 Kgf/mm2 and elongation was 114.82% in the optimum starch-glycerol film with 0.4 g MCC. XRD analysis showed that starch-starch-glycerol with 0.4 g MCC film had a semi-crystalline structure but largely in amorphous structure. SEM analysis showed that the starch-glycerol-0.4 g MCC film had a physical interaction where MCC was attached to the surface of the starch matrix. The lowest water content was 11,50% were obtained on starch-glycerol film with 0.5 g MCC, while the lowest water transmission rate (WVTR) values was 0,008 g/cm2.hours were obtained by starch-glycerol film without MCC. Toxicity tests showed that the starch-starch-glycerol-MCC films was not as antibacterial.

Keywords : MCC, Coconut bunches, Edible Film, Starch, Glycerol, Characteristics of edible film.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian tesis ini.

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada Gubernur Sumatera Utara c.q Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Utara yang memberikan beasiswa kepada saya sebagai Mahasiswa Program Magister Kimia di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dengan selesainya tesis ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk menyelesaikan pendidikan program magister.

Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan Ketua Program Studi Magister Kimia Bapak Prof. Basuki Wirjosentono, M.S, Ph.D atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menjadi mahasiswa Program Magister Kimia di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Bapak Dr. Sutarman, M.Sc atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada saya untuk menyelesaikan penelitian tesis ini.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tingginya ditujukan kepada :

1. Prof. Basuki Wirjosentono, M.S, Ph.D selaku Pembimbing Utama dan Dr. Yugia Muis, M.Si, selaku anggota komisi pembimbing yang setiap saat dengan penuh perhatian memberikan bimbingan, motivasi dan saran dalam penyusunan tesis ini.


(9)

2. Kepala Sekolah SMA Negeri 18 Medan, Ibu Dra. Hj. Yurmaini Siregar, M.Si yang telah memberikan kesempatan dan motivasi kepada saya untuk mengikuti pendidikan pada Program Magister Kimia di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan dan rekan – rekan guru di SMA Neg. 18 Medan atas motivasi, doa dan pengertian selama saya mengikuti perkuliahan dan penelitian tesis ini.

3. Kepala Laboratorium Kimia Polimer FMIPA USU, Kepala Laboratorium Ilmu Dasar (LIDA) Kimia USU, Kepala Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU beserta staf dan asisten atas fasilitas dan sarana yang diberikan.

4. Bapak/Ibu Dosen Pascasarjana Kimia yang telah membimbing dan memotivasi saya sampai selesainya tesis ini.

5. Sun Theo Constan Ndruru di Jurusan Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) yang telah banyak membantu saya dalam analisa – analisa yang dilakukan. 6. Saudari Sri Rahayu di Labratorium Ilmu Dasar (LIDA) Kimia USU yang telah

banyak membantu saya selama penelitian.

7. Rekan – rekan Mahasiswa Magister Kimia (S-2) Guru dan regular Angkatan 2011, dan Kak Leli di Sekretariat Program Studi Magister Kimia yang telah banyak membantu dalam memberikan motivasi, saran selama menjalankan perkuliahan dan penelitian.

8. Keluarga tercinta : Orang tua saya Ayahanda Mudjijono dan Ibunda Suryani serta adik - adikku Desma Harbudwi Utami dan Muhammad Purnoaji atas perhatian, kasih sayang, doa, motivasi dan nasehat selama perkuliahan, penelitian dan penulisan tesis ini.

9. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada Suami tercinta Edi Suratno dan anakku Galih Agung Fadhirrahman. Dengan penuh kasih sayang dan cinta, kesabaran dan perhatian memberikan doa restu serta dorongan baik materil dan moril sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan Magister Kimia di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.


(10)

Serta seluruh teman – teman yang tak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah mendoakan saya, saya ucapkan terima kasih.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan tesis ini. Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat bagi penelitian dan kemajuan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

Hormat Penulis


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 22 Pebruari 1984 di Medan, anak dari Mudjijono dan Suryani sebagai anak pertama dari tiga bersaudara.

Penulis menimba ilmu pada masa pendidikan sekolah dasar di SD Swasta Ikal di Medan pada tahun 1990-1996. SMP Negeri 18 Medan tahun 1996-1999, SMU Negeri 4 Medan tahun 1999-2002, dan pada tahun 2002 menjadi mahasiswa jurusan Kimia FMIPA Universitas Sumatera Utara dan lulus pada tahun 2006.

Pada tahun 2010, penulis ditempatkan menjadi Guru PNS Dinas Pendidikan Kota Medan di SMA Negeri 18 Medan sampai sekarang. Pada tahun 2011, penulis melanjutkan jenjang pendidikan Magister Kimia pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan bantuan beasiswa dari Bappeda Provinsi Sumatera Utara dan lulus dengan gelar Magister Sains pada tahun 2013.


(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

RIWAYAT HIDUP vi

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xiii

DAFTAR SINGKATAN xiv

BAB 1. PENDAHULUAN 1

1.1Latar Belakang 1

1.2Permasalahan 5

1.3Pembatasan Masalah 5

1.4Tujuan Penelitian 5

1.5Manfaat Penelitian 6

1.6Metodologi Penelitian 6

1.7Lokasi Penelitian 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 8

2.1 Selulosa 8

2.2 Mikrokristal Selulosa 11

2.3 Tanaman Kelapa 15

2.3.1 Komposisi Kimia dari Serat Kelapa 17 2.3.2 Pemanfaatan Tanaman Kelapa 18

2.4.Bahan Pengisi 21

2.4.1 Selulosa/Mikrokristal sebagai Bahan Pengisi 22

2.5 Edible Film 24

2.5.1 Material yang Digunakan dalam Edible Coatings 27 dan Film

2.5.2 Bahan – bahan Pembentuk Film 27 2.5.3 Pati sebagai Bahan Pembuatan Film Layak Makan 27 2.5.4 Pembuatan Polimer Terbiodegradasi Berbasis Pati 29


(13)

2.5.5 Edible Film/Coatings sebagai Kemasan Antimikrobial 30 2.5.6 Karakteristik Fisiko – Kimia Edible Film 31

2.6 Gliserol 36

2.6.1 Pemanfaatan Gliserol sebagai Zat Plastisiser dalam 37 Edible Film

2.6.2 Plastisasi Bahan Polimer 39

2.6.3 Interaksi Pemlastis dengan Bahan Polimer 39 2.6.4 Pengaruh Pemlastis terhadap Sifat Fisik Polimer 41 2.6.5 Mekanisme dan Teori Plastisasi 41 2.6.6 Teori Model Material Berpori 42 2.7.Analisis dan Karakterisasi Bahan Polimer 44 2.7.1 Spektroskopi Infra Merah Fourier – Transform (FTIR) 44

2.7.2 Pengujian Sifat Mekanis 45

2.7.3 Mikroskop Pemindai Elektron(SEM) 46

2.7.4 Difraksi Sinar-X (XRD) 46

2.8.Ekologi Mikroba pada Bahan Pangan 48 2.8.1 Penyakit Akibat Mikroba Pangan 48

BAB III METODE PENELITIAN 51

3.1 Alat – alat yang digunakan 51

3.2 Bahan – bahan yang digunakan 52

3.3 Prosedur Penelitian 53

3.3.1 Penyediaan Serbuk Tandan Kelapa 53

3.3.2 Proses Delignifikasi 53

3.3.3 Proses Hidrolisa 53

3.3.4 Pembuatan Selulosa Mikrokristal 54 3.3.5 Pembuatan Spesimen Film Campuran Pati 54 Tapioka – Gliserol

3.3.6 Pembuatan Spesimen Film Campuran Pati – Gliserol – 54 dengan Variasi Massa Mikrokristal Selulosa

3.4 Karakterisasi Film Pati–Gliserol–Mikrokristal Selulosa 55

3.4.1 Uji Kemuluran/Uji Tarik 55

3.4.2 Analisis Permukaan dengan SEM 56

3.4.3 Analisis FTIR 56

3.4.4 Uji Laju Transmisi Uap Air 56

3.4.5 Uji Toksisitas 57

3.4.6 Analisis Difraksi Sinar-X (XRD) 58

3.5 Bagan Penelitian 59

3.5.1 Isolasi α- selulosa dari Serat Tandan Kelapa 59

3.5.2 Pembuatan Selulosa Mikrokristal 60 3.5.3 Pembuatan Spesimen Film Campuran Pati–Gliserol 61 3.5.4 Pembuatan Spesimen Film Campuran Pati–Gliserol-MCC 62


(14)

3.5.5 Uji Toksisitas Film Pati–Gliserol dengan Bakteri 63 3.5.6 Uji Toksisitas Film Pati–Gliserol–MCC dengan Bakteri 64

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 65

4.1 Hasil Penelitian 65

4.1.1 Pembuatan Mikrokristal Selulosa (MCC) dari Limbah 65 Tandan Kelapa Muda

4.1.2 Karakteristik Mikrokristal Selulosa 66

4.1.2.1 Analisis FT-IR 66

4.1.2.2 Analisis Difraksi Sinar-X 67

4.1.2.3 Analisis SEM 69

4.1.3 Pembuatan Film Pati–Gliserol dan Film Pati–Gliserol 71 –MCC

4.1.4 Karakteristik Edible Film Pati-Gliserol-MCC 75

4.1.4.1 Analisis Kadar Air 75

4.1.4.2 Analisis FT-IR 77

4.1.4.3 Pengujian Sifat Mekanik 80 4.1.4.4 Analisis Difraksi Sinar-X (XRD) 84 4.1.4.5 Analisis Permukaan dengan SEM 87 4.1.4.6 Pengukuran Laju Transmisi Uap Air (WVTR) 88 4.1.4.7 Uji Toksisitas Edible Film Pati-Gliserol-MCC 91

Dengan Bakteri

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 93

5.1.Kesimpulan 93

5.2.Saran 94

DAFTAR PUSTAKA 95


(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Klasifikasi Taksonomi Kelapa 15 Tabel 2.2 Komposisi Kimia dari Berbagai Jenis Serat Lignoselulosa 18 Tabel 2.3 Komposisi Kimia Berbagai Bagian dari Tanaman Kelapa 20 Tabel 4.1 Data Analisis FT-IR pada Serbuk Mikrokristal Selulosa 66 Tabel 4.2 Data Kadar Air Edible Film Pati-Gliserol dan Film 75

Pati- Gliserol MCC

Tabel 4.3 Data Hasil Analisis Gugus Fungsi Edible Film 78 Tabel 4.4 Hasil Pengujian Sifat Mekanik Edible Film 80 Tabel 4.5 Hasil Pengukuran WVTR Edible Film 88


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Struktur Kimia Selulosa 9

Gambar 2.2 Mikrokristal Selulosa 12

Gambar 2.3 Tanaman Kelapa dan Tandan Kelapa 17 Gambar 2.4 Skema Bahan Pengisi Polimer 21

Gambar 2.5 Struktur Pati 28

Gambar 2.6 Mekanisme Umum Permeasi Gas atau Uap 35

Gambar 2.7 Struktur Gliserol 37

Gambar 3.1 Spesimen Uji Kekuatan Tarik ASTM D-368-72 55 Gambar 3.2 Cawan Uji Transmisi Film Uji terhadap Uap Air 57 Gambar 4.1 Mikrokristal Selulosa Limbah Tandan Kelapa 65 Gambar 4.2 Spektrum Analisis FT-IR MCC 67

Gambar 4.3 Difraktogram XRD MCC 68

Gambar 4.4 Difraktogram XRD MCC Ardizzone et al, (1999) 69

Gambar 4.5 Mikrograf SEM dari MCC 69

Gambar 4.6 Edible Film Pati-Gliserol tanpa MCC 65 Gambar 4.7 Edible Film Pati-Gliserol-0,1 g MCC 72 Gambar 4.8 Edible Film Pati-Gliserol-0,2 g MCC 72 Gambar 4.9 Edible Film Pati-Gliserol-0,3 g MCC 73 Gambar 4.10 Edible Film Pati-Gliserol-0,4 g MCC 73 Gambar 4.11 Edible Film Pati-Gliserol-0,5 g MCC 74 Gambar 4.12 Grafik Nilai % Kadar Air Edible Film 76


(17)

Gambar 4.13 Grafik % Kemuluran Edible Film Pati-Gliserol-MCC 81 Gambar 4.14 Grafik Nilai Kekuatan Tarik Edible Film Pati-MCC 81 Gambar 4.15 Difraktogram XRD Edible Film Pati dan Edible Film 84-85

Pati-MCC

Gambar 4.16 Foto Permukaan Edible Film Pati dan Edible Film 87 Pati-MCC

Gambar 4.17 Nilai Laju Transmisi Uap Air (WVTR) Edible Film 89 Pati-Gliserol-Variasi Massa MCC

Gambar 4.18 Foto Uji Toksisitas Edible Film Pati tanpa MCC 91 Gambar 4.19 Foto Uji Toksisitas Edible Film Pati-Gliserol-MCC 92


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lampiran 1 Daftar Ayakan Mesh ke Mikron 102 Lampiran 2 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi MCC 103 Lampiran 3 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Edible Film 104

Pati-Gliserol-tanpa MCC

Lampiran 4 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Edible Film 105 Pati-Gliserol-0,1 g MCC

Lampiran 5 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Edible Film 106 Pati-Gliserol-0,2 g MCC

Lampiran 6 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Edible Film 107 Pati-Gliserol-0,3 g MCC

Lampiran 7 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Edible Film 108 Pati-Gliserol-0,4 g MCC

Lampiran 8 Spektra Hasil Analisis Gugus Fungsi Edible Film 109 Pati-Gliserol-0,5 g MCC

Lampiran 9 Difraktogram XRD dari MCC 110 Lampiran 10 Difraktogram XRD dari Edible Film 112

Pati-Gliserol-tanpa MCC

Lampiran 11 Difraktogram XRD dari Edible Film 113 Pati-Gliserol-0,4 g MCC


(19)

PEMANFAATAN MIKROKRISTAL SELULOSA LIMBAH TANDAN KELAPA MUDA (Cocos nucifera Linn) SEBAGAI BAHAN PENGISI DALAM FILM

LAYAK MAKAN PATI TAPIOKA DENGAN GLISEROL SEBAGAI PLASTISISER

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian pemanfaatan mikrokristal selulosa (MCC) dari limbah tandan kelapa muda (Cocos nucifera) sebagai bahan pengisi dalam film layak makan pati tapioka dengan pemlastis gliserol. MCC yang ditambahkan kedalam film pati dengan variasi massa 0,1 g; 0,2 g; 0,3 g; 0,4 g; 0,5 g. Penelitian ini terbagi atas dua tahap yaitu tahap pertama adalah pembuatan MCC dari limbah tandan kelapa muda

yang didigesti dengan NaOH 17,5% menghasilkan α-selulosa kemudian dihidrolisis dengan HCl 2,5 N menghasilkan mikrokristal selulosa. Tahap kedua adalah pembuatan film pati dan MCC dengan variasi massa 0,1 g; 0,2 g; 0,3 g; 0,4 g; 0,5 g. Dari hasil karakterisasi MCC dengan FT-IR, XRD dan SEM diperoleh hasil bahwa MCC yang dihasilkan mengandung gugus O-H bebas dan mempunyai struktur kristal. Analisis FT– IR untuk film pati-gliserol-MCC yang dihasilkan menunjukkan ikatan hidrogen intermolekuler yang kuat antara pati – gliserol dan MCC. Pengujian sifat mekanik film menunjukkan kuat tarik 0,317 KgF/mm2 dan kemuluran 114,82 % yang optimum pada film pati–gliserol–0,4 g MCC. Analisis XRD menunjukkan film pati–gliserol–0,4 g MCC mempunyai struktur sedikit semikristalin dan sebagian besar merupakan struktur amorf. Analisis SEM menunjukkan bahwa pada film pati– gliserol–0,4 g MCC terjadi interaksi fisik dimana MCC melekat pada permukaan matriks pati. Kadar air yang paling rendah didapat pada film pati–gliserol–0,5 g MCC yaitu 11, 50%, sedangkan nilai laju transmisi uap air (WVTR) yang terendah didapat oleh film pati–gliserol tanpa MCC yakni 0,008 g/cm2.jam. Uji toksisitas menunjukkan bahwa film pati–gliserol–MCC tidak bersifat sebagai antibakteri.

Kata Kunci : MCC, Tandan Kelapa Muda, Edible Film, Pati, Gliserol, Karakteristik edible film.


(20)

THE UTILIZATION OF MICROCRYSTALLINE CELLULOSE FROM WASTE COCONUT BUNCHES (Cocos nucifera Linn) AS FILLER IN

STARCH EDIBLE FILM WITH GLYCEROL AS PLASTICIZER

ABSTRACT

The research utilization of microcrystalline cellulose (MCC) from waste coconut bunches (Cocos nucifera) as a filler material in tapioca starch edible film with glycerol as plasticizer has been done. MCC was added to the starch films with variation of mass 0.1 g, 0.2 g, 0.3 g, 0.4 g, 0.5 g. This study was divided into two stages: the first stage was the creation of MCC from waste coconut bunches which digested with 17.5% NaOH produced α-cellulose and then were hydrolyzed with 2.5 N HCl produced microcrystalline cellulose. The second stage was the manufacture of starch-glycerol-MCC films with variation mass of starch-glycerol-MCC was 0.1 g, 0.2 g, 0.3 g, 0.4 g, 0.5 g. Characterization of MCC with FT-IR, XRD and SEM were obtained that the MCC contained free OH groups and had a crystal structure. Analysis of FT-IR for the MCC-glycerol film indicated strong intermolecular hydrogen bonds among starch-glycerol and MCC. The mechanical testing properties of the film indicated the tensile strength was 0,317 Kgf/mm2 and elongation was 114.82% in the optimum starch-glycerol film with 0.4 g MCC. XRD analysis showed that starch-starch-glycerol with 0.4 g MCC film had a semi-crystalline structure but largely in amorphous structure. SEM analysis showed that the starch-glycerol-0.4 g MCC film had a physical interaction where MCC was attached to the surface of the starch matrix. The lowest water content was 11,50% were obtained on starch-glycerol film with 0.5 g MCC, while the lowest water transmission rate (WVTR) values was 0,008 g/cm2.hours were obtained by starch-glycerol film without MCC. Toxicity tests showed that the starch-starch-glycerol-MCC films was not as antibacterial.

Keywords : MCC, Coconut bunches, Edible Film, Starch, Glycerol, Characteristics of edible film.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Film layak makan (Edible Film) didefinisikan sebagai suatu material yang berupa lapisan tipis yang dapat dimakan dan memberikan perlindungan terhadap kelembapan, oksigen dan laju kelarutan dari makanan. Edible film saat ini sangat banyak mendapat perhatian karena kegunaannya yang dapat bertindak sebagai kemasan layak makan dalam bentuk film sintetik. Kegunaan edible film ini dapat berkontribusi dalam mengurangi pencemaran lingkungan. Dengan fungsinya sebagai pelindung, edible film dapat mengurangi kompleksitas dan meningkatkan daya daur ulang dari material kemasan, dibandingkan dengan banyaknya material kemasan yang tidak ramah lingkungan, dan juga dapat menggantikan film polimer sintetik (Bourtoom, 2008).

Polimer alam dapat digunakan sebagai sumber alternatif untuk pengembangan material kemasan karena kemampuan degradasinya (Siracusa et al, 2008). Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible film. Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik yang baik (Bourtoom, 2008).

Dari hasil penelitian Yusmarlela (2009) yang meneliti karakteristik mekanik dari film pati ubi kayu dengan penambahan gliserol, diketahui bahwa film pati ubi kayu dengan penambahan gliserol sebagai plastisiser memberikan hasil yang baik pada perbandingan 10 : 1 dan dengan penambahan serbuk batang ubi kayu sebagai bahan pengisi memberikan kenaikan harga uji tarik dari 7, 667 Mpa sebelum penambahan, dan menjadi 9,333 Mpa sesudah penambahan serbuk.


(22)

Sedangkan Macharani Hasibuan (2009) dalam penelitiannya “Pembuatan Film Layak Makan Pati Sagu menggunakan Bahan Pengisi Serbuk Batang Sagu dan Gliserol sebagai Plastisiser” menyimpulkan bahwa film pati sagu dengan bahan pengisi serbuk batang sagu memberikan nilai kekuatan mekanik yang cukup baik jika dibandingkan dengan tanpa bahan pengisi.

Emma Kemalasari (2010) dalam penelitiannya yang meneliti laju biodegradasi dari film pati ubi kayu – gliserol juga menyimpulkan bahwa film campuran dari pati ubi kayu dengan penambahan gliserol dan serbuk batang ubi kayu memberikan laju biodegradasi yang lebih baik daripada campuran pati dan gliserol.

Tongdeesoontom et al (2011) merilis hasil penelitian mereka yang berjudul “Effect of Carboxymethyl Cellulose Concentration on Physical Properties of Biodegradable Cassava Starch-Based Films” menyatakan bahwa penambahan Carboxymethyl Cellulose (CMC) pada film pati meningkatkan tegangan tarik dan mengurangi kemuluran dari film yang dicampurkan. Hal ini mengindikasikan adanya interaksi yang baik antara pati dengan CMC.

Salah satu polisakarida yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku edible film adalah selulosa. Selulosa disusun dari perulangan unit D-glukosa pada ikatan β-1, 4 ikatan glikosida. Selulosa sebagai edible film menghasilkan struktur yang kuat dan struktur kristalin yang teratur (Krochta dan Mulder-Johnson, 1997).

Selulosa dalam bentuk kristal disebut mikrokristalin selulosa (MCC) digambarkan sebagai hasil depolimerisasi dari selulosa yang dihasilkan dari pemisahan

α-selulosa dari pulp tanaman dengan asam – asam mineral. Mikrokristal selulosa yang tersedia di pasaran diperoleh dari tanaman gymnospermae dan beberapa softwood, dan sebagian dari hardwood dicotyledon. Tanaman kayu ini berbeda dalam komposisi


(23)

kimianya (proporsi selulosa, hemiselulosa dan lignin) dan juga struktur organisasi yang mengakibatkan perbedaan komposisi α-selulosa yang terekstraksi dan kristalinitas dari mikroselulosa yang dihasilkan. Ohwoavworhua dan Adelakun (2005) meneliti bahwa mikrokristalin selulosa umumnya dipakai sebagai bahan pengisi dan pengikat pada tablet obat karena karena kemampuan mengikatnya yang sangat baik sebagai dry binder.

Bahan selulosa murni yang berasal dari tandan kosong kelapa sawit dapat menjadi bahan pengisi alternatif karena sifat seratnya yang kuat (modulus tinggi) karena rantai – rantai selulosa terdapat ikatan hidrogen yang kuat sehingga menghasilkan stuktur kristal. Keunggulan lain adalah selulosa merupakan polimer dari bahan organik sehingga mudah terdegradasi (Sinaga, M. Z. E, 2011).

Kelapa adalah satu jenis tumbuhan dari suku aren-arenan atau Arecaceae dan anggota tunggal dari marga Cocos. Tumbuhan ini dimanfaatkan hampir semua bagiannya oleh manusia sehingga dianggap sebagai tumbuhan serba guna, khususnya bagi masyarakat pesisir (Anonim, 2010).

Tandan kelapa yang ada dianggap sebagai limbah, karena masyarakat hanya mengambil buah kelapa untuk dimanfaatkan. Penelitian Thomas et al, (1998) melaporkan bahwa biomassa lignosellulosik dari tanaman kelapa (Cocos nucifera Linn.) seperti limbah tandan, pucuk daun, tangkai daun dan sabut kelapa, dapat dimanfaatkan sebagai substrat bagi pertumbuhan jamur Pleurotus sajor-caju (Fr.) Singer. Thomas et al juga melaporkan bahwa kandungan selulosa dan lignin (rasio selulosa : lignin = 0,55) pada tandan kelapa meningkatkan pertumbuhan sporofor dari jamur Pleurotus sajor-caju. Dari hasil penelitian Thomas, diperoleh kandungan selulosa dari tandan kelapa adalah 29,18% dan kandungan ligninnya sebesar 31,28% (Thomas et al, 1998).

Oleh karena kadar lignin yang tinggi mengakibatkan karakteristik serat pada tandan kelapa menjadi sangat kuat dan kaku jika dibandingkan dengan serat lain. Kadar


(24)

lignin juga mempengaruhi struktur, sifat, fleksibilitas, laju hidrolisis dan membuat serat menjadi lebih halus (Abiola, 2008).

Selulosa yang berasal dari limbah tandan kelapa ternyata sangat potensial untuk digunakan sebagai sumber mikrokristal selulosa. Sementara itu, penelitian tentang pembuatan film layak makan (edible film) berbahan dasar pati dengan bahan pengisi tertentu telah banyak dilakukan.

Namun, pemanfaatan selulosa limbah tandan kelapa sebagai sumber mikrokristal selulosa sebagai bahan pengisi dalam edible film pati belum pernah dilakukan. Oleh karena itu berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk memanfaatkan selulosa dari limbah tandan kelapa muda menjadi mikrokristal selulosa yang digunakan sebagai bahan pengisi dalam edible film pati dengan gliserol sebagai plastisiser untuk mengurangi jumlah limbah tandan kelapa serta meningkatkan nilai tambah bagi limbah tandan kelapa tersebut.


(25)

1.2Permasalahan

Adapun permasalahan yang ditemui pada penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kinerja dari mikrokristal selulosa yang dibuat dari limbah tandan kelapa muda untuk digunakan sebagai bahan pengisi dalam film layak makan pati tapioka dengan gliserol sebagai plastisiser.

2. Bagaimana karakteristik film pati tapioka yang mengandung plastisiser gliserol dan menggunakan mikroselulosa sebagai bahan pengisi dan interaksi antar komponennya agar dapat digunakan sebagai film layak makan.

1.3Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dibatasi sebagai berikut:

1. Pati tapioka dan gliserol yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh secara komersial.

2. Pati tapioka yang digunakan berukuran 325 mesh (44 mikron).

3. Limbah tandan kelapa yang digunakan sebagai bahan pembuat mikrokristalin selulosa adalah yang masih muda dan berwarna hijau.

4. Mikrokristalin selulosa yang digunakan berukuran 100 – 120 mesh (149 mikron).

1.4Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kinerja dari mikrokristalin selulosa limbah tandan kelapa sebagai bahan pengisi dalam film layak makan dari pati tapioka dengan gliserol sebagai plastisiser.

2. Untuk mengetahui karakteristik film layak makan dari pati tapioka yang mengandung plastisiser gliserol dan mikrokristalin selulosa sebagai bahan pengisi.


(26)

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang bagaimana memanfaatkan hasil pertanian dan memberikan nilai tambah bagi tanaman kelapa untuk menghasilkan mikrokristal selulosa yang dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam film layak makan berbahan dasar pati.

1.6Metodologi Penelitian

Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium, dengan variabel – variabel sebagai berikut :

• Variabel tetap : Pati tapioka komersial 325 – 400 mesh = 44 mikron, sebanyak 10 gram

Volume akuades 100 mL Temperatur 80ºC

Massa gliserol 1,5 gram

• Variabel bebas : Variasi massa mikrokristal selulosa 100 – 120 mesh = 149 mikron (0,1 g ; 0,2 g; 0,3 g; 0,4 g; 0,5 g)

• Variabel terikat : Hasil analisa uji tarik, SEM, FTIR, uji laju transmisi uap air, kadar air, XRD, dan uji toksisitas dengan mikroba.

Sampel berupa limbah tandan kelapa muda jenis kelapa hibrida yang diperoleh dari pedagang minuman es kelapa muda. Pengambilan sampel dilakukan secara acak dari lima titik pedagang minuman es kelapa muda yang berbeda di kelurahan Tanah Enam Ratus, Kecamatan Medan Marelan.


(27)

1.7Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Dasar Lida FMIPA USU, Laboratorium Kimia Polimer dan Kimia Fisika Jurusan Kimia FMIPA USU, Laboratorium Penelitian FMIPA USU, Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA USU, Laboratorium Basic Science A FMIPA ITB, Laboratorium Pengujian Metalurgi Fakultas Pertambangan dan Perminyakan ITB, Bandung dan Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Selulosa

Selulosa merupakan konstituen utama kayu. Kira – kira 40 – 45% bahan kering dalam kebanyakan spesies kayu adalah selulosa (Eero Sjostrom, 1995). Selulosa terdapat pada semua tanaman dari pohon tingkat tinggi hingga organisme primitif seperti rumput laut, flagellata, dan bakteri (Fengel dan Wegner, 1995).

Selulosa banyak ditemukan di alam, merupakan konstituen utama dari dinding sel tumbuh-tumbuhan dan rata-rata menduduki sekitar 50% dalam kayu tertentu. Selulosa juga menjadi konstituen utama dari berbagai serat alam yang terjadi sebagai rambut-rambut biji yang mengelilingi biji-bijian dari beberapa jenis tumbuhan misalnya kapas, sebagai kulit bagian dalam kayu yang berserat, batang, dan konstituen-konstituen berserat dari beberapa tangkai daun (serat-serat daun).

Jumlah selulosa dalam serat bervariasi menurut sumbernya dan biasanya berkaitan dengan bahan-bahan seperti air, lilin, pektin, protein, lignin dan substansi-substansi mineral. Derajat polimerisasi dari selulosa kapas berkisar 15.000, dibandingkan dengan sekitar 10.000 untuk selulosa kayu. Pemisahan selulosa kayu dari lignin menyebabkan penurunan DP ke sekitar 2600 (Stevens, 2001).

Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit – unit β -D-glukopiranosa yang terikat satu sama lain dengan ikatan – ikatan glikosida (1→4). Berdasarkan derajat polimerisasi dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu :

1. Selulosa α (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan derajat polimerisasi 600 – 1500.


(29)

2. Selulosa β (Beta Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5 % atau basa kuat dengan derajat polimerisasi 15 – 90, dapat mengendap bila dinetralkan.

3. Selulosa γ (Gamma Cellulose) adalah sama dengan selulosa β, tetapi derajat polimerisasinya kurang dari 15. Struktur kimia dari selulosa dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut ini

Gambar 2. 1 Struktur kimia Selulosa

Sifat – sifat selulosa adalah :

• Tidak berwarna

• Tidak larut dalam air dan alkali

• Dapat dihidrolisis sempurna dalam suasana asam menghasilkan glukosa

• Hidrolisis tak sempurna menghasilkan maltosa

Selulosa α merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (murni). Selulosa α

>92% memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan atau bahan peledak. Sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri sandang / kain (Umar S. Tarmansyah, 2007 dan Sinaga, M. Z. E, 2011).

Morfologi selulosa mempunyai pengaruh besar pada reaktivitasnya. Gugus – gugus hidroksil yang terdapat dalam daerah – daerah amorf sangat mudah dicapai dan


(30)

mudah bereaksi, sedangkan gugus – gugus hidroksil yang terdapat dalam daerah kristalin dengan berkas yang rapat dan ikatan antar rantai yang kuat mungkin tidak dapat dicapai sama sekali. Pembengkakan awal selulosa diperlukan baik dalam eterifikasi (alkali) maupun dalam esterifikasi (asam) (Eero Sĵostrom, 1995 dan Sinaga, M. Z. E, 2011).

Ditinjau dari strukturnya, diharapkan selulosa mempunyai kelarutan yang besar dalam air, karena banyaknya kandungan gugus hidroksil yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan air (antaraksi yang tinggi antara pelarut-terlarut). Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, selulosa bukan hanya tak larut dalam air tetapi juga dalam pelarut lain. Penyebabnya ialah kekakuan rantai dan tingginya gaya antar-rantai akibat ikatan hidrogen antar gugus hidroksil pada rantai yang berdekatan. Faktor ini dipandang menjadi penyebab kekristalan yang tinggi dari serat selulosa.

Jika ikatan hidrogen berkurang, gaya antaraksi pun berkurang, dan oleh karenanya gugus hidroksil selulosa harus diganti sebagian atau seluruhnya oleh pengesteran (Cowd, 1991). Selulosa dengan morfologi yang baru sedang dikembangkan yang dikenal sebagai MFC (Micro Fibrillated Cellulose). MFC adalah selulosa dari pulp yang sudah mengalami proses refiner dan homogenizer sampai ukurannya berskala nano.

Pembuatannya dari pulp melalui proses mekanik yaitu proses penguraian dan homogenisasi tekanan tinggi dan menghasilkan selulosa yang memiliki luas permukaan yang besar. Pembuatannya selama ini berasal dari selulosa kayu dan pemanfaatannya baru terbatas pada bahan aditif dalam makanan, cat, kosmetik dan produk medis (Adriana, 2011).


(31)

2. 2 Mikrokristal Selulosa

Mikrokristalin selulosa (MCC) digambarkan sebagai hasil pemurnian, sebagian

depolimerisasi selulosa dengan mereaksikan α-selulosa, yang didapat sebagai pulp dari tanaman yang berserat dengan suatu asam mineral. Mikrokristalin selulosa komersial didapat dari berbagai tanaman gymnospermae (umumnya tanaman conifer) dan berbagai softwood dan tanaman hardwood dicotyledons.

Kayu – kayu ini berbeda dari segi komposisi kimianya (proporsi kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin) dan struktur organisasi yang memberikan pengaruh

terhadap komposisi α-selulosa yang terekstrak serta komposisi dan kristalinitas MCC yang dihasilkan.

Hasil penelitian Ohwoavrhua et al, 2011 bahwa mereka telah membuat dan mengkarakterisasi mikrokristalin selulosa yang diperoleh dari serat kasar tanaman Cochlospermum planchonii yang digunakan sebagai bahan pengisi dan bahan pengikat dalam tablet obat – obatan. Berdasarkan hasil yang didapat, MCC yang dapat diekstrak sekitar 21% dimulai dari pembuatan serat kasar. Sedangkan hasil mikrokristalin yang

diperoleh dari α-selulosa adalah 67%.

Material selulosa tersusun sebagai serat – serat selulosa yang tidak teratur dengan kandungan kelembapan 7,2% dan kadar abu 0,12%. Densitas yang diperoleh 1,38. Hasil pengujian sifat fisiko-kimia MCC menunjukkan level kemurnian selulosa yang tinggi. Hal ini diduga karena serat kasar dianggap sebagai bentuk selulosa yang paling murni yang mengandung kira-kira 90% dan 7% kelembapan.

Uji organoleptis dari MCC-CP dihasilkan mikrokristal yang tidak berbau, tidak berasa, putih dan berbentuk granular (Ohwoavrhua et al, 2011).


(32)

Gambar 2. 2 Mikrokristalin selulosa

Secara kimia, MCC merupakan polihidroksialdehid, yang secara reaktivitas sangat mirip sebagai suatu molekul – molekul ampifilik (surfaktan). Tablet yang umumnya mengandung MCC komersial yakni AVICEL PH 102, digunakan sebagai bahan aktif yang baru – baru ini diteliti sebagai bahan yang bersifat terapeutik untuk mengatur kecepatan transit makanan di dalam saluran pencernaan manusia di dalam usus halus (Vecchi et al, 1996).

Ohwavworhua et al (2005) melaporkan karakteristik fisiko – kimia dari mikrokristalin selulosa dari serat tanaman Cochlospermum planchonii (CP-MCC) yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini :


(33)

Tabel 2.1 Karakteristik Fisiko – Kimia Mikrokristalin Selulosa (CP-MCC) Ohwavworhua et al (2005)

Uji Hasil Uji CP-MCC

Identifikasi Organoleptik Tidak berbau, putih, tidak berasa, serbuk kasar yang berwarna violet menjadi biru dengan ZnCl2 teriodinasi

Pengotor organik Tidak ada warna merah dengan floroglusinol asam

Pati dan dekstrin Tidak ada warna biru / merah coklat dengan larutan iodin

pH 7,6

Kelarutan (dalam larutan ammoniakal tetraammin tembaga)

Larut dan tanpa residu

Substansi yang larut air < 0,2% Total kadar abu (%) 0,12 (0,004)

Mikroskopi Bentuk partikelnya tidak beraturan dimana berupa campuran partikel – partikel dan agregat berbentuk spheris.

(Ohwavworhua et al, 2005)

Ardizzone et al, 1999 telah meneliti tentang struktur, kondisi permukaan dan kapasitas penyerapan air dari mikrokristalin selulosa AVICEL PH 102 komersial dengan beberapa parameter pengujian. Berdasarkan data penyerapan / desorpsi air dan data eksperimen TGA, berikut ini ada beberapa pertimbangan umum yang dapat dibuat pada interaksi air / MCC :

1. Temperatur tidak menjadi parameter kunci dalam mempengaruhi dehidrasi sampel. Selain itu, waktu, pada temperatur yang diberikan, sepertinya menjadi parameter dalam mengontrol laju desorpsi air.


(34)

2. Penentuan TGA dan losis air membuktikan adanya perbedaan jumlah air yang dilepaskan.

3. Adsorpsi / absorpsi dari uap jenuh bersifat reversibel dan menunjukkan perbedaan laju desorpsi selama proses berlangsung.

4. Interaksi yang terlibat selama proses hidrasi adalah, gaya Van der Waals, didukung oleh adanya jembatan hidrogen (Ardizzone et al, 1999).

Yakubu et al, 2011 juga telah melaporkan bahwa mikrokristalin selulosa juga dapat dimodifikasi secara kimia dengan proses blending dengan polimer sintetik yakni polietilen menghasilkan kemasan yang biodegradable yang diaplikasikan pada industri tekstil, makanan dan farmasi.

Hasil blending yang diperoleh antara MCC dengan polietilen menunjukkan peningkatan sifat – sifat fisik seperti fleksibilitas, kehalusan, transparansi, kekuatan dan biodegradabilitas yang mana menunjukkan peningkatan hidrofobisitas relatif terhadap sampel yang non modifikasi. Modifikasi ini sangat penting untuk membawa perubahan terhadap interaksi permukaan antara selulosa dengan HDPE (high density polyethylene) berdasarkan prinsip “like dissolve like” (Yakubu et al, 2011).

Selulosa fibril secara alami memiliki polaritas permukaan yang tinggi (hidrofilik) dimana tidak dapat berinteraksi dengan baik dengan permukaan yang bersifat hidrofobik yang umumnya digunakan dalam polimer sintetik. Mikrokristalin selulosa sebagai penguat polimer komposit menarik perhatian lebih karena kelebihannya yang potensial seperti sifat terbarukan, biodegradabilitas, sifat mekanik yang baik dan kapasitas luas permukaannya yang memungkinkan penyesuaian atau grafting secara kimia (modifikasi kimia) untuk meningkatkan sifatnya sebagai penahan (Galina et al dan Robert et al, 2011).


(35)

Hasil penelitian dari Yakubu et al, 2011 yang memodifikasi mikrokristalin selulosa yang telah diasetilasi dan diblending dengan polietilen yakni Acetylated Microcrystalline Cellulose Polyethylene Blend (AMCCPB) memperlihatkan kenaikan sifat mekanik dan sifat kimia, sebagai contoh dihasilkannya tekstur yang halus, transparan, fleksibel, dan biodegradabel.

Karakteristik yang dihasilkan dari proses blending antara mikrokristalin selulosa terasetilasi dengan polietilen mengindikasikan bahwa sifat penahan dalam selulosa dapat berinteraksi dengan polimer sintetik dan karenanya, dimungkinkan untuk proses blending dalam aplikasi untuk kemasan pada makanan, farmasi dan industri tekstil (Yakubu et al, 2011).

2. 3 Tanaman Kelapa

Kelapa (Cocos nucifera Linn.) adalah satu jenis tumbuhan dari suku aren-arenan atau dan adalah anggota tunggal dalam marga Cocos. Tumbuhan ini dimanfaatkan hampir semua bagiannya oleh manusia sehingga dianggap sebagai tumbuhan serba guna, khususnya bagi masyarakat. Tanaman kelapa memiliki taksonomi sebagai berikut yang dapat dilihat pada Tabel 2. 2 :


(36)

Tabel 2. 2 Klasifikasi Taksonomi Kelapa

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub Kelas : Arecidae

Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae suku pinang-pinangan) Genus : Cocos

Spesies : Cocos nucifera L.

Pohon dengan batang tunggal atau kadang-kadang bercabang. Serabut, tebal dan berkayu, berkerumun membentuk bonggol, adaptif pada lahan berpasir pantai. Batang beruas-ruas namun bila sudah tua tidak terlalu tampak, khas tipe monokotil dengan pembuluh menyebar (tidak konsentrik), berkayu.

Kayunya kurang baik digunakan untuk bangunan. Daun tersusun secara majemuk, menyirip sejajar tunggal, pelepah pada ibu tangkai daun pendek, duduk pada batang, warna daun hijau kekuningan. Bunga tersusun majemuk pada rangkaian yang dilindungi oleh bractea; terdapat bunga jantan dan betina, berumah satu, bunga betina terletak di pangkal karangan, sedangkan bunga jantan di bagian yang jauh dari pangkal.

Batangnya, yang disebut glugu dipakai orang sebagai kayu dengan mutu menengah, dan daunnya dipakai sebagai atap rumah setelah dikeringkan. Daun muda kelapa, disebut janur, dipakai sebagai bahan anyaman dalam pembuatan ketupat atau berbagai bentuk hiasan yang sangat menarik, terutama oleh masyarakat Jawa dan Bali dalam berbagai upacara, dan menjadi bentuk kerajinan tangan yang berdiri sendiri (seni


(37)

merangkai janur). Tangkai anak daun yang sudah dikeringkan, disebut lidi, dihimpun menjadi satu menjadi sapu.

Buah besar, diameter 10 cm sampai 20 cm atau bahkan lebih, berwarna kuning, hijau, atau coklat; buah tersusun dari mesokarp berupa serat yang berlignin, disebut sabut, melindungi bagian endokarp yang keras (batok) dan kedap air, endokarp melindungi biji yang dilindungi oleh membran yang melekat pada sisi dalam endokarp. Endospermium berupa cairan yang mengandung banyak enzim, dan fase padatannya mengendap pada dinding endokarp ketika buah menua, embrio kecil dan baru membesar ketika buah siap untuk berkecambah (kentos) (Anonim, 2012). Gambar 2.3 menunjukkan tanaman kelapa dan tandan kelapanya.

Gambar 2. 3 Tanaman Kelapa dan tandan kelapa

2. 3. 1 Komposisi Kimia dari Serat Kelapa

Konstituen utama dari serat kelapa adalah : Selulosa, Hemiselulosa, Lignin dan komponen - komponen vital lainnya yang disebut dengan “building block” dalam struktur sel. Serat kelapa secara alami merupakan multiselular dan diameternya dan panjang seratnya berbeda dimensinya dan biasanya sangat tebal pada bagian tengah serat. Serat kelapa mengandung volume lignin dengan persentase yang tertinggi, dimana


(38)

membuat serat kelapa ini sangat kuat dan kaku jika dibandingkan dengan serat alami lainnya.

Hal ini menjadi pelengkap fakta bahwa lignin membantu menyediakan jaringan tanaman dan sel – sel individu dengan kekuatan yang baik dan juga kekakuan dinding sel serat melindungi karbohidrat dari kerusakan secara fisik maupun kimia. Kandungan lignin juga mempengaruhi struktur; sifat; fleksibilitas, laju hidrolisis dan dengan kandungan lignin yang tinggi menjadikannya lebih halus dan lebih fleksibel (Rajan et al, 2005 dan Abiola, 2008).

Tabel 2. 3 Komposisi Kimia dari Berbagai Jenis Serat Lignoselulosa Daun kelapa sawit (%) Kelapa (%) Daun nenas (%) Batang pisang (%) Softwood (%) Hardwood (%)

Ekstraktif 4,5 6,4 5,5 10,6 0,2 – 8,5 0,1 – 7,7

Holoselulosa 83,5 56,3 80,5 65,2 60 – 80 71 - 89 α-selulosa 49,8 44,2 73,4 63,9 30 – 60 31 – 64

Lignin 20,5 32,8 10,5 18,6 21 – 37 14 – 34

Abu 2,4 2,2 2,0 1,5 < 1 < 1

(Tsoumis, 1991)

2. 3. 2 Pemanfaatan Tanaman Kelapa

Secara tradisional, penggunaan produk kelapa adalah untuk konsumsi segar, dibuat sebagai kopra, minyak kelapa, kelapa parut dan santan. Seiring perkembangan pasar dan dukungan teknologi, permintaan berbagai produk turunan kelapa semakin meningkat


(39)

seperti dalam bentuk nata de coco, Virgin Coconut Oil (VCO), tepung kelapa (desiccated coconut),hydrogenated coco oil, paring oil, crude glycerine, coco chemical, alkoholamide, serat sabut, arang tempurung dan arang aktif.

Sejak tahun 2000, penggunaan kopra dan butiran kelapa masih meningkat tetapi dengan laju pertumbuhan sangat kecil. Penggunaan tepung kelapa meningkat dengan laju 21,9% per tahun (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007). Sebaliknya penggunaan minyak kelapa cenderung berkurang. Penggunaan minyak kelapa di dalam negeri yang semakin berkurang diduga terkait dengan perubahan preferensi konsumen yang lebih menyukai penggunaan minyak kelapa sawit karena harganya lebih murah.

Produksi arang aktif dan arang tempurung selama ini lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri sehingga penggunaan di dalam negeri hampir tidak ada. Demikian pula untuk produk serat sabut,walaupun terdapat indikasi bahwa penggunaan serat sabut di dalam negeri mulai berkembang sejak terjadi krisis ekonomi.

Bagian tanaman kelapa atau hasilnya yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif adalah daging buah untuk minyak dan bahan bakar nabati, minyak kelapa dapat dijadikan cocodiesel, sebagai campuran maupung pengganti solar. Tempurung dan serabut serta pelepah daun kelapa dijadikan bahan bakar padat. Bagian lainnya adalah hasil nira, yang dapat dijadikan bahan pembuatan bioetanol. Walaupun kadar energinya berbeda, tetapi bagian tanaman tersebut berpotensi sebagai sumber energi alternatif.

Hasil bioenergi kotor yang dihasilkan dari kelapa, termasuk nira, tempurung, dan sabut diperkirakan sebesar 316,1 MJ / pohon (Soerawidjaja, 2006 dan Prastowo, 2007). Penanaman kelapa yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber bioenergi, diperhitungkan sekitar 25% dari luas areal tanam dan sekitar 25% yang memerlukan peremajaan, karena sudah tua, rusak, dan kurang terawat, sehingga


(40)

diperhitungkan menghasilkan bioenergi sekitar 0,13 EJ atau 130 juta GJ (Prastowo, 2007).

Biomassa lignosellulosik dari tanaman kelapa seperti tandan kelapa, lembaran daun, dan sabut kelapa telah diujikan sebagai substrat untuk pembudidayaan jamur tiram Pleurotus sajr-caju (Fr.) yang dilaporkan oleh Thomas et al (1998). Budidaya jamur konsumsi adalah salah satu proses yang secara ekonomis dapat berjalan terus sebagai biokonversi dari limbah lignosellulosik.

Berikut tabel kandungan selulosa dari bagian tanaman kelapa seperti yang dilaporkan oleh Thomas et al, 1998 pada Tabel 2.4 berikut ini:

Tabel 2. 4 Komposisi kimia berbagai bagian dari tanaman kelapa

Bagian tanaman

Selulosa (%)

Lignin (%)

Rasio selulosa : lignin

Nitrogen (%)

Fenol (%)

Tangkai daun 31,73 25,08 1,31 0,31 2,84

Tandan 29,18 31,28 0,97 0,55 2,26

Pucuk daun muda 23,83 38,68 0,58 1,00 8,45

Sabut kelapa 22,00 34,73 0,06 0,41 1,28


(41)

2. 4 Bahan Pengisi

Bahan pengisi dapat diklasifikasikan menurut sifat - sifat kimia dan fisikanya. Pada awalnya pengisi dibagi atas pengisi organik dan anorganik tetapi dapat juga dibagi atas pengisi berserat dan partikulat seperti pada Gambar 2. 4 berikut ini.

Ber

Gambar 2. 4 Skema bahan pengisi polimer

Menurut Maulida, et al, 2000, penggunaan pengisi alamiah sebagai penguat pada material komposit memberikan beberapa keuntungan dibanding bahan pengisi mineral, yaitu: kuat dan pejal, ringan, ramah lingkungan, sangat ekonomis dan sumber dapat diperbaharui. Tetapi disisi lain menurut Belmares et al, 1983, pengisi alamiah juga memiliki kelemahan dan kekurangan yaitu, mudah terurai karena kelembaban, adhesi permukaan yang lemah pada polimer hidrofobik, ukuran pengisi yang tidak seragam, tidak cocok dipakai pada temperatur tinggi dan mudah terpengaruh pada serangan serangga dan jamur. Diantara berbagai jenis bahan pengisi yang umum digunakan dalam

Pengisi

Organik Anorganik

Berserat: -kapas -serbuk kayu -kelapa sawit -dsb Tidak Berserat: -karbon hitam -grafit

-abu sekam padi -dsb Berserat: -asbestos -serat kaca -serat kevlar -serat aramid -dsb Tidak Berserat: -silika -tanah liat -kalsium -mika -dsb


(42)

komposit ialah serat kaca, serat karbon, serat kevlar, dan serat alamiah seperti serat kelapa, serat nenas, sera kelapa sawit, serat pohon karet, serbuk kayu dan sebagainya.

Telah banyak penelitian yang dilakukan dengan menggunakan bahan pengisi alami sebagai penguat pada komposit seperti: nenas, sisal, sabut kelapa, tempurung kelapa, rami, kapas, sekam padi, bambu dan tandan kosong kelapa sawit. Luo dan Netravali, 1999 telah meneliti dan membuktikan bahwa sifat-sifat regangan dan fleksibilitas yang dihasilkan pada komposit dengan kandungan serat nenas yang berbeda-beda, lebih baik dibandingkan dengan resin tanpa pengisi. Belmeras et al, 1983 menemukan bahwa serat-serat sisal dan kelapa sawit memiliki sifat regangan, sifat kimia dan fisika yang sama sehingga baik digunakan sebagai bahan pengisi.

Perkembangan teknologi dewasa ini yang menuntut dihasilkannya produk yang ramah lingkungan dan lebih ekonomis, membuat setiap industri berusaha memanfaatkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Di dalam pembuatan komposit, bahan pengisi yang mengandung selulosa menjadi perhatian yang besar karena kemampuannya sebagai penguat pada polimer – polimer termoplastik dengan titik peleburan yang rendah, salah satu alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan pengisi adalah selulosa yang diperoleh dari tandan kelapa (Abu Bakar 2009 dan Hidayani, 2012).

2. 4. 1 Selulosa / Mikroselulosa sebagai bahan pengisi

Serat selulosa saat ini banyak digunakan sebagai material penguat yang potensial karena memiliki banyak keuntungan seperti ketersediaan yang melimpah, massa yang rendah, biodegradabel, murah, dapat diperbaharui, abrasif rendah, merupakan limbah biomassa, dan sifat-sifat mekanik yang baik (Bledzki et al, 1996). Serat selulosa juga mempunyai kekurangan seperti absorpsi kelembapan, stabilitas termal yang rendah, dan kompatibilitas yang rendah dengan matriks polimer hidrofobik (Saheb et al, 1999 dan Georgopoulos et al, 2005). Sifat dari serat selulosa dipengaruhi oleh banyak faktor


(43)

seperti iklim, jadwal panen, kematangan, desortikasi, kerusakan, modifikasi serat, teksil dan proses teknik. Untuk memahami sifat-sifat serat alami sebagai penguat komposit, maka menjadi perlu untuk mengetahui sifat mekanik, sifat fisik dan sifat kimia serat-serat alami (Van de Velde, 2001).

Serat selulosa mempunyai kekuatan dan kekakuan yang relatif tinggi, dan densitas yang rendah. Perbedaan sifat mekanik dapat digabungkan kedalam serat alami selama periode pemrosesan. Teknik digesti pada serat adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan struktur begitu juga nilai karakteristik serat. Modulus elastik dari sejumlah besar serat alami seperti kayu sekitar 10 GPa. Serat selulosa dengan modulus diatas 40 GPa dapat dipisahkan dari kayunya dengan proses kimia. Serat tersebut selanjutnya dapat dibagi menjadi mikrofibril dengan modulus elastik sebesar 70 GPa (Kalia et al, 2011).

Serat selulosa bersifat higroskopis; absorpsi kelembapan dapat menyebabkan penggelembungan serat sehingga menghasilkan keretakan mikro dari komposit dan degradasi sifat mekanik. Permasalahan ini dapat diatasi dengan mereaksikan serat ini dengan bahan kimia yang mengurangi gugus hidroksil yang terlibat dalam pembentukan ikatan hidrogen dalam molekul selulosa. Perlakuan secara kimia dapat mengaktifkan gugus – gugus ini atau menghasilkan gugus baru yang dapat secara efektif terikat dengan matriks.

Nagaraja G. K et al, 2011 telah melaporkan pembuatan biokomposit berbahan modifikasi antara selulosa dengan poliasam laktat (PLA) dengan tujuan mengkarakterisasi sifat mekanik, absorpsi kelembapan, dan sifat biodegradasi. Hasilnya adalah bahwa selulosa dapat menurunkan absorpsi kelembapan, dan dapat juga mengurangi laju transmisi oksigen dengan meningkatkan konsentrasi selulosa modifikasi. Tetapi film modifikasi selulosa ini kurang efektif dalam memperlambat laju peresapan uap air (Laxmeshwar et al, 2012).


(44)

2. 5 Edible Film

Salah satu jenis kemasan yang bersifat ramah lingkungan adalah kemasan edible (edible packaging). Keuntungan dari edible packaging adalah dapat melindungi produk pangan, penampakan asli produk dapat dipertahankan dan dapat langsung dimakan serta aman bagi lingkungan (Yusmarlela, 2008). Edible Packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sebagai pelapis (edible coating), dan berupa lembaran (edible film).

Edible film adalah suatu lapisan tipis yang terbuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk melapisi makanan dengan cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan atau penyemprotan. Fungsinya adalah sebagai penahan terhadap perpindahan massa (kelembapan, oksigen, aroma, zat terlarut) dan / atau sebagai pembawa bahan tambahan makanan (pewarna, vitamin, nutrisi, antimikroba, antioksidan) untuk mempertahankan kualitas makanan (Krochta et al, 1994).

Edible film juga dapat digunakan untuk mengontrol perubahan fisiologi, mikrobiologi, dan fisikokimia produk makanan sehingga memperpanjang umur simpan serta meningkatkan kualitas dan keamanan makanan. Pelapisan atau coating produk makanan dengan edible film antimikroba setelah pengolahan dapat menghasilkan lapisan rintangan fisik ekstra yang juga mengandung anti mikroba (Krochta & Johnson, 1997 dan Han, 2003).

Berbeda dengan material plastik atau material logam, kemasan yang dibuat dari plastik bersifat lebih permeable pada keadaan yang berbeda seperti gas, kadar air dan kadar uap organik. Pengetahuan tentang perilaku kelarutan / difusi / permeasi dari film polimer menjadi hal yang sangat penting dalam beberapa tahun ini, terutama polimer yang digunakan dalam pengemasan makanan dimana kontaminasi dari lingkungan harus dihindari dan kondisi makanan dikontrol dengan menggunakan teknik pengemasan modified atmosphere (MAP).


(45)

Penggunaan jenis – jenis polimer dalam industri pengemasan makanan tergantung dari sifat dan karakteristik dari bahan makanan yang dikemas. Berikut ini jenis – jenis polimer yang beredar di pasaran yang digunakan dalam pengemasan, dalam hal ini terdapat kontak atau tidak dengan makanan :

(i) Poliolefin, yang termasuk low-, linier low-, dan polietilena densitas-tinggi (LDPE, LLDPE, HDPE), Polipropilena (PP), dan biaxially oriented polypropylene (BOPP);

(ii) Kopolimer etilena, seperti etilen-vinil asetat (EVA), etilen-vinil alkohol (EVOH), dan etilen-asam akrilat (EAA);

(iii) Olefin tersubstitusi, seperti polistirena (PS), high-impact polystyrene (HIPS, dengan isomer 1,3-butadiena yang ditambahkan selama polimerisasi PS), oriented polystyrene (OPS), polivinil alkohol (PVOH), polivinil klorida (PVC), dan polivinildena klorida (PVdC), dan politetrafloroetilena (PTFE);

(iv) Poliester, seperti polietilen tereftalat (PET), polietilen naftalat (PEN), dan kopolimer relatif PET-PEN;

(v) Polikarbonat (PC); (vi) Poliamida (PA);

(vii) Akrilonitril, seperti poliakrilonitril (PAN) dan akrilonitril/stirena (ANS);

(viii) Polilasam laktat (PLA) sebagai polimer biodegradasi untuk pengemasan makanan (Siracusa, 2012).

Polimer alam dapat dijadikan sumber alternatif untuk perkembangan pengemasan karena sifat palatabilitas dan biodegradabilitasnya (Siracusa et al, 2008). Edible coatings dan film muncul sebagai alternatif untuk plastik sintetik dalam makanan dan telah mendapat perhatian yang cukup besar dalam beberapa tahun ini karena kelebihannya dibanding film sintetis. Keuntungan yang utama dari edible film dibandingkan kemasan sintetis adalah dapat dikonsumsi bersamaan dengan makanan.


(46)

Sehingga tidak ada yang terbuang dan jika film tersebut tidak dikonsumsi maka film tersebut masih memberikan kontribusi kepada lingkungan.

Edible film dibuat dari bahan yang dapat didaur ulang, yakni bahan – bahan yang dapat dimakan untuk mengantisipasi agar lebih mudah terdegradasi dibandingkan material polimer. Edible film dapat meningkatkan sifat – sifat organoleptik dari kemasan makanan seperti komponen (flavor, zat warna, pemanis). Bahan – bahan tersebut dibuat dari polimer alam dan zat tambahan yang food grade secara konstan meningkat dalam industri makanan.

Kegunaan dan penampilan dari edible film terutama tergantung dari kemampuannya sebagai penghalang, sifat mekanik dan warna yang mana bergantung pada komposisi film dan proses pembuatannya. Dalam kasus edible coating, metode aplikasi produk, dan kapasitas pelapis yang melapisi permukaan adalah parameter yang paling penting. Produk makanan biasanya dilapis dengan proses pencelupan atau penyemprotan, membentuk suatu film tipis pada permukaan makanan yang bertindak sebagai membran semi-permiabel, yang pada gilirannya mengatur kehilangan kelembapan atau/dan menahan transfer gas (Lin & Zhao, 2007 dan Dhanapal et al, 2012).

Film ini juga berfungsi sebagai carrier zat antioksidan dan antimikroba. Produksi edible film menyebabkan berkurangnya sampah dan polusi, bagaimanapun juga permeabilitas dan sifat – sifat mekaniknya secara umum agak kurang dibandingkan dengan film sintetik (Dhanapal et al, 2012).


(47)

2. 5. 1 Material yang Digunakan dalam Edible Coatings dan Film

Adanya perbedaan yang besar dari bahan – bahan yang digunakan untuk membuat edible coatings dan film, tetapi kebanyakan dari bahan – bahan tersebut dapat dimasukkan kedalam satu dari tiga kategori yaitu polisakarida, protein dan lipid.

2. 5. 2 Bahan – bahan Pembentuk Film 1. Bahan Hidrokoloidal

Hidrokoloid adalah polimer hidrofilik dari hewan, tumbuhan, mikrobial ataupun bahan sintetis asli, yang umumnya mengandung gugus hidroksil dan mungkin polielektrolit sebagai contoh alginat, karagenan, karboksimetilselulosa (CMC), gum arabik, pektin dan gum xanthan. Saat ini, bahan – bahan ini digunakan secara luas sebagai larutan pembentuk film untuk menampilkan dan menjaga tekstur, rasa, dan daya simpan makanan (Williams, 2000 dan Dhanapal et al, 2012).

2. Film Polisakarida

Film polisakarida dibuat dari pati, alginat, eter selulosa, kitosan, karagenan, atau pektin. Sebagai tambahan, film dan coating polisakarida dapat digunakan untuk menambah daya simpan pada makanan dengan mencegah dehidrasi, oksidasi, dan browning pada permukaan makanan, tetapi sifat hidrofiliknya membuat film ini kurang baik dalam menghalangi uap air (Nisperos-Carriedo, 1994 dan Dhanapal et al, 2012).

2. 5. 3 Pati Sebagai Bahan Pembuatan Film Layak Makan

Pati umumnya disusun oleh dua homopolimer dari D-glukosa: amilase, yakni struktur

linier dari α-D(1,4’)-glukan (Pareta dan Edirisinghe, 2006 dan Lu et al, 2009) dan amilopektin bercabang, yang mempunyai struktur backbone yang sama seperti amilosa tetapi dengan banyak lingkar cabang dari α-1,6’. Pati mempunyai perbedaan dalam proporsi kandungan amilosa dan amilopektin yang berkisar antara 10 – 20% amilosa


(48)

dan 80 – 90% amilopektin tergantung dari sumbernya (Ramesh et al, 1999 dan Lu et al, 2009). Amilosa larut dalam air dan membentuk struktur heliks (Wallace et al, 1981 dan Lu et al, 2009). Pati secara alami terjadi sebagai granula – granula diskret saat rantai amilopektin dapat membentuk struktur heliks yang terkistalisasi. Granula pati menunjukkan sifat hidrofilik dan gaya inter-molekular yang kuat melalui ikatan hidrogen membentuk gugus hidroksil pada permukaan granula.Sturuktur pati dapat kita lihat pada gambar 2. 5.

(1) Amilosa

(2) Amilopektin


(49)

2. 5. 4 Pembuatan Polimer Terbiodegradasi Berbasis Pati

Untuk meningkatkan sifat – sifat pati, berbagai modifikasi fisika atau kimia seperti blending, pembuatan turunan, dan kopolimerisasi-graft telah diteliti. Untuk membuat komposit berbasis pati yang terbiodegradasi, biasanya komponen – komponen yang dicampur dengan pati adalah poliester alifatik, polivinil alkohol (PVA) dan biopolimer. PLA atau poliasam laktat adalah satu dari poliester yang biodegradabel paling penting dengan banyak sifat – sifat yang sangat baik dan telah digunakan secara luas di banyak bidang, terutama di bidang medis (Jun, 2000).

Salah satu masalah pada campuran berbasis pati adalah bahwa pati dan kebanyakan bahan polimer bersifat non-misibel, yang mengacu pada sifat mekanik antara campuran pati / polimer yang umumnya kurang baik.

Modifikasi kimia pada pati umunya dilakukan melalui reaksi dengan gugus hidroksil dalam molekul pati. Kopolimerisasi-graft sering digunakan sebagai cara yang ampuh untuk memodifikasi sifat – sifat pati. Disamping itu, pati-g-polimer dapat digunakan sebagai zat kompatibiliser untuk campuran berbasis pati (Kiatkamjornwong et al , 2002).

Tujuan utama dari memproduksi film komposit adalah meningkatkan sifat mekanik yang digunakan sesuai dengan penggunaan spesifik. Edible film dapat dibuat dengan material yang mempunyai kemampuan membentuk film. Penelitian tambahan masih dibutuhkan pada metode pembuatan film dan metode untuk meningkatkan sifat – sifat mekanik dari film (Bourtoom, 2008).

Film pati umumnya mempunyai sifat daya penahan yang baik terhadap oksigen, karbondioksida, dan lemak dan dapat juga melindungi produk makanan dari oksidasi lemak (Tongdeesoontom et al, 2011).

Film dari polisakarida juga sangat kuat dan lebih mudah tertarik daripada film berprotein. Salah satu polisakarida yang dipakai sebagai bahan pembuat film layak


(50)

makan adalah ubi kayu (Manihot esculenta). Secara struktur, pati ubi kayu terdiri dari 17% kandungan amilosa, dan bertanggung jawab terhadap sifat pembentuk film yang kuat (Bangyekan et al, 2006 dan Bourtoom, 2008). Pati ubi kayu dapat langsung dibuat menjadi film. Tetapi bagaimanapun, pati ubi kayu bersifat rapuh dan mudah lembek. Usaha untuk mengatasi kerapuhan pada film ini adalah dengan menambahkan zat plastisiser (Suppakul et al, 2006 dan Bourtoom, 2008).

2. 5. 5 Edible Film/Coating Sebagai Kemasan Antimikrobial

Berbagai penelitian tentang edible film berbahan protein, polisakarida, dan lemak serta beragam agen antimikroba yang telah berpotensi diinkorporasi pada edible film telah dilaporkan dapat menghambat mikroorganisme pembusuk dan patogen, serta meningkatkan umur simpan makanan.

Seydim dan Sarikus (2006) melaporkan bahwa nisin yang ditambahkan ke edible film campuran glukomanan dan kitosan dapat menghambat aktivitas bakteri patogen makanan seperti E. coli, S. aureus, L.monocytogenes, dan B. cereus (Li et al, 2006 dan Zainab, 2009).

Jin dan Zhang (2008) telah melaporkan bahwa film poliasam laktat yang diinkorporasi dengan bakteriosin alami (nisin) menghasilkan kemasan makanan antimikrobial. Polimer PLA / nisin menunjukkan aktivitas antibakteri yang efektif melawan L. monocytogenes, E.coli, dan S. enteritidis. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa nisin dalam film pektin / PLA menahan lebih banyak aktivitas bakteri L. monocytogenes selama 48 jam dibandingkan dengan penambahan senyawa lain. Sama halnya dengan Salmaso et al (2004) meneliti bahwa PLA yang diisi partikel nisin memperpanjang aktivitas antibakteri sampai 40 jam. Sehingga polimer PLA / nisin dapat digunakan untuk membuat botol atau dilapiskan pada permukaan botol untuk


(51)

kemasan makanan yang berupa cairan, seperti yang dibuat pada permukaan film untuk kemasan makanan padat.

2. 5. 6 Karakteristik Fisiko - kimia Edible Film

2. 5. 6. 1 Permeabilitas Uap Air (WVP)

Film pati / kitosan dengan gliserol menunjukkan efek yang signifikan terhadap permeabilitas uap air (WVP), hasil penelitian Zhong dan Xia, 2007 memberikan hasil 95%. Bagaimanapun juga, ketika pati ubi kayu ditambahkan sebanyak 100 gram per 100 gram kitosan, permeabilitas uap air meningkat dan raihan maksimum saat pati ubi kayu yang ditambahkan sebanyak 150 gram per 100 gram kitosan. Perilaku ini mungkin dapat dihubungkan dengan modifikasi struktural dari jaringan kitosan-pati ubi kayu-gelatin yang terjadi saat 63 gram gliserol ditambahkan per 100 gram kitosan.

2. 5. 6. 2 Permeabilitas Oksigen dan Karbondioksida

Selain permeabilitas uap air, Zhong dan Xia, 2007 juga melaporkan film hasil blending pati ubi kayu dengan fraksi bermassa lebih tinggi menghasilkan permeabilitas yang tinggi terhadap gas O2 dan CO2 dibandingkan dengan fraksi bermassa rendah pada film

pati ubi kayu tersebut. Gelatin memperbaiki sifat sebagai penghalang pada film hasil blending. Permeabilitas film hasil blending terhadap gas oksigen dan karbondioksida menurun seiring dengan bertambahnya jumlah gelatin.

Permeabilitas gas benar – benar bergantung pada interaksi antara matriks polimer dengan gas (Garcia et al, 2000). Perbaikan sifat penghalang gas pada film hasil blending meningkat dengan bertambahnya jumlah pati ubi kayu dan gelatin karena pembentukan ikatan hidrogen intermolekular antara ion NH4+ dari kitosan dan backbone


(52)

2. 5. 6. 3 Dehidrasi Osmotik

Dehidrasi osmotik adalah suatu metode perpindahan sebagian air dari buah atau sayuran dengan mencelupkannya kedalam berbagai larutan hipertonik encer. Metode ini merupakan cara yang efektif untuk mengurangi kadar air tanpa mengurangi nilai nutrisi. Gaya yang bekerja saat terjadinya perpindahan air pada saat terjadinya tekanan osmotik ternyata berbeda antara jaringan tanaman dan di sekitar larutan (Jokic et al, 2007).

Struktur sel jaringan tanaman yang kompleks bertindak sebagai membran semi-permeabel. Selama dehidrasi osmotik, air dari jaringan tanaman bergerak ke larutan osmotik dimana zat terlarutnya berdifusi dari larutan ke jaringan tanaman. Hasil yang dilaporkan oleh Levic et al (2008) memberikan gambaran bahwa film coating dari pati jagung yang disalutkan pada wortel menunjukkan efisiensi dehidrasi osmotik dalam larutan sakarosa dan molase. Kadar zat terlarut dalam wortel meningkat lebih dari 30% dalam sampel yang telah dilapisi. Peningkatan kadar zat terlarut yang paling tinggi yakni 35,97% terjadi pada sampel yang berlapis dua.

2. 5. 6. 4 Sifat Mekanik

Sujatha dan Sashiprabha (2009) telah mengkarakterisasi film polimer biodegradable dari isolat protein cowpea. Berdasarkan penelitian yang mereka lakukan terhadap variasi kekuatan tarik dengan konsentrasi plastisiser yang ditambahkan, diperoleh suatu fakta bahwa kekuatan tarik menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi platisiser. Molekul – molekul plastisiser terletak diantara rantai protein sehingga mengurangi perpanjangan interaksi intermolekular diantara rantai - rantai protein, sehingga menurunnya interaksi antara jaringan rantai polimer protein menghasilkan penurunan kekuatan tarik. Juga, karena molekul – molekul plastisiser bersifat hidrofilik, hal ini membuatnya dapat menyerap uap air dari sekelilingnya dan menyebabkan film polimer


(53)

menggembung. Hal ini juga mengurangi interaksi antara rantai – rantai polimer protein (Sujatha dan Sashipraba, 2009).

2. 5. 6. 5 Aktivitas Air (aw)

Pertumbuhan dan metabolisme mikroba memerlukan air dalam bentuk yang tersedia. Air yang dimaksudkan adalah air bebas atau air yang tidak terikat dalam bentuk ikatan dengan komponen-komponen penyusun bahan pangan lain. Oleh karena itu besarnya kadar air suatu bahan pangan bukan merupakan parameter yang tepat untuk menggambarkan aktivitas mikroba pada bahan pangan. Aktivitas kimia air atau sering diistilahkan aktivitas air (water activity = aw) merupakan parameter yang lebih tepat untuk mengukur aktivitas mikroba pada bahan pangan. Sebagian besar mikroba (terutama bakteri) tumbuh baik pada bahan pangan yang mempunyai aw = 0,9 – 0,97;

khamir membutuhkan aw = 0,87 – 0,91 dan kapang membutuhkan aw = 0,8 – 0,91

(Nurwantoro dan Abbas, 1997 dan Purnomo, 1995).

Pengukuran aktivitas air terhadap suatu bahan pangan sampai saat ini masih berdasarkan pengukuran kelembapan relatif berimbang dari bahan tersebut terhadap lingkungannya. Oleh karena itu ekstrapolasi menjadi cara pengukuran yang lebih

penting daripada tekniknya (Purnomo, 1995).

2. 5. 6. 6 Laju Transmisi Uap air (WVTR)

Laju transmisi uap air adalah massa dari uap air yang terbawa melalui suatu luas tertentu dalam satuan waktu yang dikondisikan dalam temperatur dan kelembapan yang spesifik. Myllareinen et al (2002) melaporkan bahwa laju respirasi dari film polisakarida bergantung pada ketebalan film tersebut. Laju respirasi uap air sangat berpengaruh besar terhadap masa simpan makanan.


(54)

Laju respirasi uap air bergantung pada jumlah gliserol yang digunakan. Arvanitoyannis dan Biliaderis (1999) menyatakan bahwa karena sifat hidrofilik dari gliserol dapat mengurangi sifat penahan uap air dalam film pelapis kitosan. Peranan gliserol yang lain adalah mengurangi densitas pengemasan, sehingga meningkatkan permeabilitas film pati terhadap uap air dan meningkatkan kemampuan difusi uap air.

2. 5. 6. 7 Teori Permeasi (Peresapan)

Beberapa faktor dapat mempengaruhi sifat penahan dari suatu material kemasan, seperti kontak dengan makanan dan kondisi lingkungan seperti temperatur dan kelembapan relatif. Difusi peresapan di sepanjang film dipengaruhi oleh struktur film, permeabilitas film terhadap gas-gas spesifik atau uap, ketebalan, area, temperatur, perbedaan tekanan, atau gradien konsentrasi sepanjang film.

Peresapan, seperti yang dijelaskan dalam literatur, ditegaskan sebagai perhitungan transmisi peresapan, gas atau uap melalui material penahan (Galić et al, 2000 dan Pauly, 1999). Jadi, konsep permeabilitas biasanya bergabung dengan evaluasi kuantitatif sifat penahan dari material plastik. Pada material tanpa cacat seperti berlubang atau retak, mekanisme aliran gas atau uap utamanya terjadi disepanjang film atau pelapis adalah difusi aktif. Artinya, zat-zat tersebut larut dalam matriks film pada konsentrasi tinggi, difusi di sepanjang film, diatur oleh gradien konsentrasi, dan penguapan dari permukaan yang lain (Siracusa, 2012). Difusi adalah pergerakan makroskopik komponen-komponen sistem akibat perbedaan konsentrasi (Levine, 2002).

Perbedaan kelarutan gas-gas spesifik dapat mempengaruhi difusivitas gas-gas sepanjang film. Langkah kedua dalam fenomena permeabilitas ini adalah difusi, yang bergantung pada ukuran, bentuk, dan polaritas molekul yang memasuki permukaan dan kristalinitas, derajat ikat silang dan dan pergerakan rantai polimer pada matriks polimer. Seperti yang dilaporkan oleh Kofinas et al, 2008 dan Lee et al, 2008 molekul-molekul


(55)

gas tidak dapat meresap kedalam kristal polimer, karena mereka tidak larut dalam material tersebut. Sehingga, peresapan gas kedalam polimer semikristal terbatas pada daerah amorf.

Berdasarkan teori, permeasi atau peresapan gas di dalam polimer digambarkan dengan model difusi, menggunakan Hukum Henry dan Hukum Flick untuk mendapatkan pernyataan yang berhubungan dengan laju peresapan denga area dan ketebalan film (Lee et al, 2008).

Mekanisme difusi dapat digambarkan dalam jalur yang mudah seperti pada

Gambar 2. 6. , sebagai berikut:

Gambar 2. 6. Mekanisme umum permeasi gas atau uap di sepanjang film plastik

untuk film polimer yang homogen dengan ketebalan l, dan p adalah tekanan membran pemisah (p1 > p2) dan c adalah perbedaan konsentrasi penyerapan dalam film (c1 > c2).

Fluks penyerapan (gas atau uap), ditunjukkan dengan J, yang digambarkan oleh Hukum pertama Flick : J = - D. Δc, dimana, difusi satu dimensi kedalam membran polimer dan dalam kondisi stasioner, dapat dituliskan sebagai J = - D(Δc/l), dimana J adalah fluks difusi (mol cm-3s-1), D koefisien difusi atau difusivitas (cm2/s), dan Δcadalah perbedaan


(56)

konsentrasi (mol/cm3) di seluruh membran dengan ketebalan l (cm). D menunjukan kecepatan dimana zat-zat terdifusi kedalam polimer.

Ketika mekanisme difusi berada dalam kondisi tetap, kesetimbangan dalam konsentrasi gas c dan tekanan parsial gas p, mematuhi hukum Henry. Ketika ada suatu gas, untuk mengukur tekanan uap p (atm), maka Δcdapat diganti dengan SΔp dimana S (mol/cm3.atm) adalah koefisien kelarutan sejumlah zat yang terserap dalam polimer, dan Δp adalah perbedaan tekanan di seluruh film sehingga mekanisme difusi dapat dilihat melalui persamaan (1) dibawah ini:

�= −� �S∆�

Ketikan dinding pemisah dipindahkan, dua fase akan mengadakan kontak, dan pergerakan molekular acak akan berkurang dan pada akhirnya menghilangkan perbedaan konsentrasi antara dua larutan (Siracusa, 2012).

2. 6 Gliserol

Salah satu alkil trihidrat yang penting adalah gliserol (propa-1,2,3-triol). Senyawa ini kebanyakan ditemui hampir di semua lemak hewani dan nabati sebagai ester gliserin dari asam palmitat dan oleat. Gliserol adalah senyawa yang netral dengan rasa manis dan tidak berwarna, cairan kental dengan titik didih yang tinggi yaitu 290ºC, gliserol dapat larut sempurna dalam air dan alkohol, tetapi tidak dalam minyak. Sebaliknya banyak zat dapat lebih mudah larut dalam gliserol dibanding dalam air maupun alkohol. Oleh karena itu gliserol merupakan pelarut yang baik (Anonimous, 2006). Struktur kimia gliserol dapat dilihat pada Gambar 2. 7


(57)

Gambar 2. 7 Struktur Gliserol

Dewasa ini sumber utama gliserol komersil diperoleh dari pengolahan minyak nabati, sebagai produk samping industri oleokimia dan juga dari industri petrokimia. Gliserol umumnya digunakan pada pembuatan bahan peledak, sebagai bahan anti pembeku, bahan pembasah atau pengemulsi produk kosmetika.

Secara umum senyawa poliol (polihidroksi termasuk gliserol) dari berbagai sumber banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industri seperti halnya ester poliol dari senyawa sakarida dengan asam lemak yang digunakan sebagai bahan surfaktan dalam formulasi bahan makanan, kosmetika maupun obat-obatan. Demikian juga dalam industri polimer, senyawa poliol banyak digunakan sebagai plastisiser maupun pemantap (Goudung, 2004).

2. 6. 1 Pemanfaatan Gliserol sebagai Zat Plastisiser dalam Edible Film

Pembuatan film layak makan berbahan pati (starch) memerlukan campuran bahan aditif untuk mendapatkan sifat mekanis yang lunak, ulet dan kuat. Untuk itu perlu ditambahkan suatu zat cair/padat agar meningkatkan sifat plastisitasnya. Proses ini dikenal sebagai plastisasi, sedang zat yang ditambahkan disebut pemlastis. Selain dapat meningkatkan elastisitas bahan, zat pemlastis juga membuat plastik menjadi tahan beku dan menurunkan suhu alir, sehingga pemlastis kadang – kadang disebut juga dengan ekastikator antibeku atau pelembut. Jelaslah bahwa plastisasi akan mempengaruhi semua sifat fisik dan mekanis film seperti kekuatan tarik, elastisitas, kekerasan, sifat listrik, suhu alir, suhu transisi kaca dan sebagainya.


(58)

Adapun zat pemlastis atau plastisiser yang digunakan adalah gliserol, karena gliserol merupakan bahan yang murah, sumbernya mudah diperoleh, dapat diperbaharui dan juga ramah lingkungan karena mudah terdegradasi di alam.

Penggabungan antara polimer dengan polimer lainnya dapat dicapai melalui proses blending (pencampuran), laminating, atau coating (pelapisan) dengan sifat – sifat yang diinginkan. Blending adalah prosedur yang lebih mudah dan cara yang lebih efektif untuk membuat bahan polimer multifase.

Hasil penelitian Zhong dan Xia, 2007 membuktikan bahwa film kitosan yang dicampur (blending) dengan pati ubi kayu, gelatin dan gliserol menghasilkan film yang transparan, homogen, tipis dan fleksibel. Secara visual, film yang dicampur memberikan penampilan warna kuning yang tipis. Karena konsentrasi kitosan dan gelatin bertambah pada larutan pembentuk film, warna dari film menjadi lebih kuning. Ketebalan dari film kitosan tersebut berkisar 0,100 ± 0,017mm (Zhong dan Xia, 2007).

Indri Juliyarsi et al, 2011 melalui penelitiannya tentang pengaruh penambahan gliserol sebagai plastisiser terhadap kualitas edible film berbahan whey milk. Hasilnya ada kecenderungan penurunan aktivitas air dari edible film whey milk yang sebanding dengan penambahan gliserol sebagai pemlastis.yang diakibatkan oleh karakteristik hidrofilik dari gliserol sehingga gliserol mampu terikat dengan air. Penambahan gliserol yang berlebihan akan menurunkan aktivitas air dari edible film yang diperoleh (Juliyarsi et al, 2011).

2. 6. 2 Plastisasi Bahan Polimer

Polimer tinggi adalah molekul yang mempunyai massa molekul besar. Polimer tinggi dibangun oleh pengulangan kesatuan kimia yang kecil dan sederhana. Kesatuan – kesatuan berulang itu secara atau hampir sama dengan monomer.


(59)

Pemakaian bahan polimer untuk memenuhi setiap segi kebutuhan manusia memerlukan bahan dengan sifat mekanis dari yang lunak dan ulet sampai yang keras dan kuat. Beberapa jenis polimer dengan struktur kimia rantai yang berbeda akan membentuk bahan dengan sifat mekanis yang berbeda pula. Akan tetapi untuk mendapatkan suatu bahan dengan kekerasan tertentu rancangan struktur kimia rantai sangat sulit dilakukan dan memerlukan biaya besar.

Untuk itu dalam pengolahan membentuk bahan setengah jadi / barang jadi, kedalam bahan polimer murni bisanya ditambahkan suatu zat cair / padat untuk meningkatkan sifat plastisitasnya. Proses ini dinamakan plastisasi, sedang zat yang ditambahkan disebut pemlastis (plastisiser). Disamping itu pemlastis dapat pula meningkatkan elastisitas bahan, membuat bahan lebih tahan beku dan menurunkan suhu alir, sehingga pemlastis kadang – kadang disebut juga elastikator antibeku atau pelembut. Jelaslah, bahwa plastisasi akan mempengaruhi semua sifat fisik dan mekanis polimer seperti kekuatan tarik, elastisitas, kekerasan, sifat listrik, suhu alir, dan suhu transisi kaca.

2. 6. 3 Interaksi Pemlastis dengan Bahan Polimer

Bahan pemlastis yang berupa zat cair perlu mempunyai titik didih yang tinggi sehingga tidak menguap selama pengolahan, misalnya senyawa ester dari asam – asam ftalat, sebasat, fosfat, dsb, juga beberapa hidrokarbon alam. Untuk pemlastis zat padat, titik lelehnya harus tidak terlalu tinggi agar dapat segera mencair pada suhu pengolahan.

Proses plastisasi pada prinsipnya adalah dispersi molekul pemlastis kedalam fase polimer. Bilamana pemlastis mempunyai gaya interaksi dengan polimer, proses dispersi akan berlangsung dalam skala molekul dan terbentuk larutan polimer-pemlastis. Dalam hal ini, polimer dan pemlastis disebut bersifat kompatibel. Sifat fisik dan mekanis polimer-terplastisasi yang kompatibel ini merupakan fungsi distribusi dari sifat dan


(60)

komposisi masing-masing komponen dalam sistem. Karena itu ramalan karakteristik polimer yang terplastisasi mudah dilakukan dengan variasi komponen pemlastis.

Bila antara pemlastis dan polimer tidak terjadi interaksi karena pada prakteknya pemlastis ditambahkan menggunakan mesin pencampur (secara cepat), maka mula-mula terjadi campuran koloid yang tak mantap (polimer dan pemlastis tak kompatibel). Sifat fisik dan mekanis polimer terplastisasi dalam kondisi ini sukar diramalkan, bahkan tidak jarang bahwa kualitas sifat fisik polimer menjadi lebih rendah. Bila campuran dibiarkan, akan terjadi pemisahan fase secara perlahan-lahan karena viskositas campuran yang besar, misalnya selama penyimpanan atau dalam pemakaian bahan sebagai barang jadi.

Di dalam bahan polimer yang tembus pandang, pemisahan fase pemlastis ini terlihat berupa pembentukan gelembung pada permukaan dan bahan menjadi keruh. Sebenarnya dalam proses plastisasi tidak selalu diperlukan pemlastis dengan kompatibilitas yang tinggi. Hal yang penting diperhatikan adalah bahwa pada komposisi pemlastis dan daerah suhu pemakaian bahan, sistem polimer-pemlastis masih bersifat kompatibel.

Bilamana dalam kondisi suhu tertentu, misalnya selama penyimpanan atau pemakaian, sistem polimer-pemlastis berada di atas batas kompatibilitasnya, maka pemlastis akan terpisah dan keluar dari sistem.

2. 6. 4 Pengaruh Pemlastis Terhadap Sifat Fisik Polimer

Perbedaan sifat fisik dan mekanis polimer-terplastisasi dengan polimer asalnya kadang-kadang sulit ditafsirkan, karena pengamatannya hanya dapat dilakukan secara makro seperti pengukuran kekuatan tarik, umur-kelelahan-lendut, dsb. Pada mulanya, dianggap bahwa sifat mekanis (misalnya kekuatan tarik) dari polimer terplastisasi akan lebih rendah dari polimer semula. Hal ini benar bila konsentrasi pemlastis cukup besar, karena


(1)

(2)

Lampiran 9

Difraktogram XRD dari Mikrokristalin Selulosa (MCC)

Angle d-value d-value Peak width Peak int Back. int Rel. int Signif. [ø2é] à1 [฀] à2[฀] [ø2é] [counts] [counts] [%]

12.200 7.2489 7.2668 0.560 310 243 24.0 5.18 17.120 5.1752 5.1879 0.160 20 266 1.6 0.60 19.880 4.4625 4.4735 0.200 1289 335 100.0 1.43 21.935 4.0488 4.0588 0.200 1142 388 88.6 1.01 26.210 3.3973 3.4057 0.960 48 289 3.7 1.75 28.565 3.1224 3.1301 0.480 81 269 6.3 1.74


(3)

36.000 2.4927 2.4989 0.480 74 250 5.7 1.27 37.110 2.4207 2.4266 0.120 10 256 0.8 0.98 38.110 2.3594 2.3652 0.160 169 259 13.1 1.92 45.350 1.9982 2.0031 0.400 44 204 3.4 0.86 62.215 1.4910 1.4946 0.120 19 96 1.5 0.66 63.385 1.4662 1.4698 0.160 18 94 1.4 0.66 76.770 1.2405 1.2436 0.240 1 90 0.1 0.71


(4)

Lampiran 10

Difraktogram XRD Edible Film Pati – Gliserol – tanpa MCC

Angle d-value d-value Peak width Peak int Back. int Rel. int Signif. [ø2é] à1[] à2[฀] [ø2é] [counts] [counts] [%] 11.490 7.6952 7.7141 0.960 15 317 7.9 1.30 13.610 6.5009 6.5169 0.200 14 369 7.1 0.76 15.075 5.8723 5.8868 0.640 98 433 50.7 1.11 16.955 5.2252 5.2380 0.400 193 511 100.0 1.27 22.870 3.8854 3.8949 0.120 96 445 49.7 0.66 26.110 3.4101 3.4185 0.400 15 310 7.9 0.72 29.690 3.0066 3.0140 0.240 14 250 7.1 0.60 38.780 2.3202 2.3259 0.960 14 174 7.1 0.92 70.930 1.3276 1.3309 0.480 4 42 2.3 0.69 84.590 1.1447 1.1475 0.320 7 34 3.8 0.93


(5)

Difraktogram Analisis XRD Edible Film Pati – Gliserol – 0,4 g MCC

Angle d-value d-value Peak width Peak int Back. int Rel. int Signif.

[ø2é] à1[

฀]

à2[

฀]

[ø2é] [counts] [counts] [%]

16.755 5.2871 5.3001 0.480 38 566 44.4 0.64

19.775 4.4859 4.4970 0.640 86 576 100.0 1.09

21.825 4.0690 4.0790 0.480 79 515 91.6 0.69

63.980 1.4540 1.4576 0.200 3 55 3.0 0.63

77.265 1.2338 1.2369 0.200 5 48 5.6 0.61


(6)