Pembahasan Hasil Penelitian ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
2. Pengaruh pendidikan terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan Penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa tidak ada pengaruh
pendidikan terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha, dengan nilai signifikansi koefisien regresi sebesar 0,500.
Hasil pengujian regresi menunjukan bahwa nilai koefisien regresi β
3
sebesar 0,080. Nilai tersebut menunjukan bahwa interaksi kedua variabel memperkuat derajat hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas
mengelola usaha. Dengan kata lain interaksi antara latar belakang pendidikan yang
dimiliki oleh para pengusaha dengan jiwa kewirausahaan memperkuat derajat hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha.
Dengan adanya wawasan yang dimiliki serta ilmu pengetahuan lebih luas seorang pengusaha berfikir lebih maju dan memiliki orientasi kedepan.
Adanya cara pandang yang lebih luas dan lebih maju tersebut memberikan pengaruh kejiwaannya khususnya jiwa dalam bewirausaha. Semakin tinggi
tingkat pendidikan yang ditempuh maka akan semakin baik pula dorongan atau kemampuan untuk berinovasi dan berkreasi. Pendidikan akan tetap
memiliki peranan penting dalam pengelolaan usaha meskipun jiwa kewirausahaan yang dimiliki seorang pengusaha kurang mendukung.
Dalam penelitian ini dihasilkan pula nilai signifikansi koefisien regresi pendidikan terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas
mengelola usaha yaitu sebesar 0,500; lebih tinggi dari pada nilai alpha yang digunakan dalam penelitian ini
ρ = 0,500
α = 0,05. Ini memberikan
gambaran bahwa pendidikan memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola
usaha. Banyak faktor lain yang diduga menjadi pengaruh diantaranya adalah keterampilan dan keuletan pengausaha. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada
pengaruh pendidikan terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha pada industri perak di daerah Kota Gede, Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
3. Pengaruh kultur lingkungan kerja terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha.
a. Pengaruh kultur lingkungan kerja pada dimensi power distance terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha.
Penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa tidak ada pengaruh kultur lingkungan kerja pada dimensi power distance terhadap hubungan
antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha, dengan nilai signifikansi koefisien regresi sebesar 0,167. Hasil pengujian regresi
menunjukan bahwa nilai koefisien regresi β
3
sebesar – 2,613. Nilai tersebut menunjukan bahwa interaksi kedua variabel memperlemah derajat
hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha. Dengan kata lain interaksi antara kultur lingkungan kerja pada
dimensi power distance dengan jiwa kewirausahaan memperlemah derajat hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha.
Deskripsi kultur lingkungan kerja menunjukan bahwa sebagian besar PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
responden dengan jumlah 33 responden 55 memiliki power distance kategori sangat tinggi, responden dengan jumlah 27 responden 45
memiliki power distance kategori tinggi. Semakin tinggi power distance yang dimiliki maka semakin lemah derajat hubungan jiwa kewirausahaan
dengan efektivitas mengelola usaha. Jarak kekuasaan yang rendah memberikan dampak terhadap
sesorang untuk lebih leluasa dalam bekerja tanpa terbebani oleh aturan yang ketat serta kekuasaan yang terpusat. Menempatkan pekerja dalam
posisi yang setara dengan atasan dan merasa lebih dekat nampaknya tidak memberikan pengaruh jiwa kewirausahaan para pekerja dalam
hubungannya dengan efektivitas mengelola usaha. Hal itu dikarenakan jiwa kewirausahaan yang berupa dorongan untuk maju dalam bekreasi dan
berkreatifitas tidak dipengaruhi oleh bentuk perlakuan atasan atau posisi pekerja dalam lingkungan kerjanya. Jiwa kewirausahaan bersifat personal
dimana jiwa tersebut berada dalam diri seseorang dan memiliki unsur bawaan yang tidak dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan kerja.
Dalam penelitian ini dihasilkan pula nilai signifikansi kultur lingkungan kerja pada dimensi power distance terhadap hubungan antara
jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha yaitu sebesar 0,167; lebih tinggi dari pada nilai alpha yang digunakan dalam penelitian
ini ρ
= 0,167 α
= 0,05. Hal ini memberikan gambaran bahwa power distance memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap hubungan
antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha. Dapat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh kultur lingkungan kerja pada dimensi power distance terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan
dengan efektivitas mengelola usaha pada industri perak di daerah Kota Gede, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
b. Pengaruh kultur lingkungan kerja pada dimensi collectivism dan Individualism terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan
efektivitas mengelola usaha. Penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa tidak ada pengaruh
kultur lingkungan kerja pada dimensi collectivism dan Individualism terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas
mengelola usaha, hal ini didukung oleh nilai signifikansi koefisien regresi sebesar 0,205. Hasil pengujian regresi menunjukan bahwa nilai koefisien
regresi β
3
sebesar – 2,313. Nilai tersebut menunjukan bahwa interaksi kedua variabel memperlemah derajat hubungan antara jiwa kewirausahaan
dengan efektivitas mengelola usaha. Interaksi kedua variabel antara kultur lingkungan kerja pada
dimensi collectivism dan Individualism dengan jiwa kewirausahaan memperlemah derajat hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan
efektivitas mengelola usaha. Sebagian besar responden memiliki kultur lingkungan kerja yang bersifat collectivism, ini bisa dilihat dari deskripsi
kultur lingkungan kerja. Sebanyak 34 responden 56,67 memiliki sifat collectivism dalam kategori tinggi, 20 responden 33,33 memiliki sifat
collectivism dalam kategori sangat tinggi, 4 responden 6,67 memiliki sifat collectivism dalam kategori sedang dan 2 responden 3,33
memiliki sifat collectivism dalam kategori rendah. Hal ini berarti bahwa kultur lingkungan kerja pada dimensi collectivism dan Individualism yang
tinggi akan memperlemah derajat hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha.
Kultur lingkungan kerja collectivism menekankan kewajibannya pada masyarakat atau kelompok daripada hak-hak pribadinya, bahkan
diharapkan untuk mengorbankan kepentingan pribadinya demi tujuan kelompok. Keinginan dan harapan pribadi seseorang pengusaha yang
merasa di kesampingkan bisa menyebabkan menurunnya kondisi kejiwaan yang mengarah pada menurunnya kondisi jiwa kewirausahaannya. Hal ini
memberikan pengaruh buruk terhadap jiwa kewirausahaan pengusaha, sehingga dalam hubungannya dengan efektivitas mengelola usaha kultur
lingkungan kerja collectivism tidak memberikan pengaruh yang positif terhadap jiwa kewirausahaan. Dalam individualism hubungan antara
atasan dan bawahan didasarkan pada kontrak yang dapat memberikan keuntungan bersama. Kondisi dari masyarakat yang individualistik
mengharapkan anggota-anggotanya untuk mandiri atau bebas dan merealisasikan hak-hak pribadinya, sehingga tumbuh kemandirian secara
emosional pada instansi atau perusahaan. Namun mengingat jiwa kewirausahaan merupakan sesuatu yang ada dalam diri manusia yang
besifat lahiriah tidak dapat dipengaruhi derajat hubungannya terhadap evektivitas mengelola usaha.
Dalam penelitian ini dihasilkan pula nilai signifikansi kultur lingkungan kerja pada dimensi collectivism dan Individualism terhadap
hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha yaitu sebesar 0,205; lebih tinggi dari pada nilai alpha yang digunakan
dalam penelitian ini ρ
= 0,205 α
= 0,05. Ini memberikan gambaran bahwa kultur lingkungan kerja pada dimensi collectivism dan
Individualism memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha.
Dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh kultur lingkungan kerja pada dimensi collectivism dan Individualism terhadap hubungan antara
jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha pada industri perak di daerah Kota Gede, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
c. Pengaruh kultur lingkungan kerja pada dimensi femininity dan masculinity terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas
mengelola usaha. Hasil dari penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa tidak ada
pengaruh kultur lingkungan kerja pada dimensi femininity dan masculinity terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas
mengelola usaha, dengan nilai signifikansi koefisien regresi sebesar 0,310. Hasil pengujian regresi menunjukan bahwa nilai koefisien regresi
β
3
sebesar – 1,109. Nilai tersebut menunjukan bahwa interaksi kedua variabel memperlemah derajat hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan
efektivitas mengelola usaha. Dengan kata lain interaksi antara kultur lingkungan kerja pada
dimensi femininity dan masculinity dengan jiwa kewirausahaan memperlemah derajat hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan
efektivitas mengelola usaha. Deskripsi kultur lingkungan kerja menunjukan bahwa sebagian besar responden dengan jumlah 31
responden 51,67 memiliki sifat masculinity dalam kategori sangat tinggi, 25 responden 41,67 memiliki sifat masculinity dalam kategori
tinggi, 4 responden 6,67 memiliki sifat masculinity dalam kategori sedang. Hal ini berarti bahwa kultur lingkungan kerja pada dimensi
femininity dan masculinity akan memperlemah derajat hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha.
Kultur lingkungan kerja yang memiliki gaya kepemimpinan masculinity akan terasa lebih tegas dan keras terhadap bawahan,
menekankan pada keadilan, dan penyelesaian masalah pekerjaan diselesaikan dengan ketegasan. Hal ini nampaknya tidak mempengaruhi
kondisi jiwa kewirausahaan yang dimiliki oleh para pengusaha. Ketegasan dan perlakuan keras pada karyawan akan memberikan akibat pada kondisi
psikologis yang memungkinkan karyawan merasa tidak nyaman dan kurang leluasa dalam bekerja. Kondisi semacam ini bahkan bisa
memperburuk kondisi kejiwaan seseorang yang mengarah pada PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
merosotnya kondisi jiwa kewirausahaan seorang karyawan. Dalam gaya kepemimpinan yang kewanitaan, seorang atasan menggunakan
kemampuannya secara maksimal demi terciptanya kesepakatan bersama, menekankan kesamaan, solidaritas dan kualitas serta menggunakan
musyawarah dalam menyelesaikan masalah pekerjaan sehingga tercipta hubungan interpersonal yang baik, keharmonisan dan kinerja kelompok.
Terciptanya kondisi semacam ini tidak memberikan pengaruh terhadap derajat hubungan jiwa kewirausahaan seseorang terhadap efektivitas
mengelola usaha. Dalam penelitian ini dihasilkan pula nilai signifikansi kultur
lingkungan kerja pada dimensi femininity dan masculinity terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha
yaitu sebesar 0,310; lebih tinggi dari pada nilai alpha yang digunakan dalam penelitian ini
ρ = 0,310
α = 0,05. Ini menunjukan bahwa kultur
lingkungan kerja pada dimensi femininity dan masculinity memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap hubungan antara jiwa
kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh kultur lingkungan kerja pada dimensi
femininity dan masculinity terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha pada industri perak di daerah Kota
Gede, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
d. Pengaruh kultur lingkungan kerja pada dimensi uncertainty avoidance terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas
mengelola usaha. Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak ada pengaruh kultur
lingkungan kerja pada dimensi uncertainty avoidance terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha, didukung
oleh nilai signifikansi koefisien regresi sebesar 0,447. Hasil pengujian regresi menunjukan bahwa nilai koefisien regresi
β
3
sebesar -1,474. Ini menunjukan bahwa interaksi kedua variabel memperlemah derajat
hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha. Interaksi variabel kultur lingkungan kerja pada dimensi uncertainty
avoidance tehadap jiwa kewirausahaan memperlemah derajat hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha.
Dalam lingkungan kerja yang memiliki kultur uncertainty avoidance rendah jarang terjadi keluar masuk karyawan dan mempunyai
aturan dalam melaksanakan tugas. Kultur uncertainty avoidance yang rendah toleransi terhadap situasi yang samar-samar atau tidak pasti masih
dirasa kurang. Dalam situasi ini orang akan lebih banyak diberi kesempatan untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas.
Kondisi seperti ini nampaknya tidak mempengaruhi kondisi jiwa kewirausahaan yang dimiliki oleh para pengusaha. Derajat hubungan jiwa
kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha tidak dipengaruhi oleh kultur lingkungan kerja pada dimensi uncertainty avoidance.
Dalam penelitian ini dihasilkan pula nilai signifikansi kultur lingkungan kerja pada dimensi uncertainty avoidance terhadap hubungan
antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha yaitu sebesar 0,447; lebih tinggi dari pada nilai alpha yang digunakan dalam
penelitian ini ρ
= 0,447 α
= 0,05. Hal ini memberikan gambaran bahwa kultur lingkungan kerja pada dimensi uncertainty avoidance
memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap hubungan antara jiwa kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha. Dapat
disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh kultur lingkungan kerja pada dimensi uncertainty avoidance terhadap hubungan antara jiwa
kewirausahaan dengan efektivitas mengelola usaha pada industri perak di daerah Kota Gede, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta