Tanggapan terhadap Pelaksanaan Kemitraan antara LPS-DDR dengan Petani

59 penyuluhan dan pelatihan. Kegiatan tersebut dilaksanakan secara rutin setiap seminggu sekali.

6.3.3 Tanggapan terhadap Pelaksanaan Kemitraan antara LPS-DDR dengan Petani

Secara umum pihak LPS-DDR merasa puas dengan kinerja petani mitra dalam kemitraan. Hal-hal yang mendasari pernyataan tersebut diantaranya adalah pihak LPS-DDR merasa sudah dapat diterima dengan baik dan dipercaya oleh petani sebagai mitra kerja, kinerja pelayanan LPS-DDR dalam kemitraan memberikan pengaruh yang baik bagi petani. Dilihat dari kondisi usahatani, petani semakin sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dengan tidak menggunakan pupuk pestisida dan beralih ke organik sesuai dengan SOP yang sudah diterapkan. Namun masih ada kewajiban petani yang belum sepenuhnya dilakukan. Kurangnya partisipasi petani terhadap kegiatan kemitraan, terutama pada kegiatan pelatihan, penyuluhan dan pembinaan. Hal ini dapat dilihat dari kehadiran dalam kegiatan-kegiatan pelatihan, penyuluhan dan pembinaan. Pada setiap kegiatan tersebut masih ada beberapa petani yang tidak hadir hanya mengirim perwakilan seperti istri atau anak mereka untuk mengikuti kegiatan, sedangkan petani mitra lebih memilih kegiatan di sawah atau melakukan kegiatan lainnya. Hal tersebut dilakukan mengingat pada setiap kegiatan pembinaan, pelatihan ataupun penyuluhan diberikan uang pengganti transportasi. Ketidakhadiran petani terhadap kegiatan tersebut menyebabkan transfer informasi pada petani mitra tidak merata. Dari sisi petani mengaku cukup terbantu dengan adanya kegiatan kemitraan. Namun dalam beberapa hal kegiatan kemitraan ini masih terdapat kekurangan yaitu dalam hal pendampingan serta respon terhadap keluhan. Seluruh petani mitra mengaku mendapatkan fasilitas berupa pembinaan, penyuluhan, pelatihan serta pendampingan. Untuk kegiatan pembinaan, penyuluhan dan pelatihan diadakan secara rutin yaitu satu minggu sekali, sedangkan untuk pendampingan disediakan pendamping dari LPS-DDR. Tugas pendamping adalah sebagai penghubung antara petani dengan pihak LPS-DDR, sehingga ketika petani mengalami kendala dalam melaksanakan kegiatan kemitraan maka pendamping akan membantu dalam mengatasi kendala 60 tersebut. Namun ternyata dalam praktiknya peran pendamping ini dinilai kurang oleh petani. Dari segi keberadaan pendamping, pendamping tidak setiap hari berada di lokasi. Hal ini tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan LPS-DDR bahwa pendamping harus setiap hari berada di lokasi. Berdasarkan Tabel 12, sebanyak 30 orang 60 persen petani menyebutkan bahwa pendamping hanya datang satu minggu sekali yaitu pada saat kegiatan pembinaan, penyuluhan dan pelatihan. Keberadaan pendamping yang tidak setiap hari menyebabkan pihak petani mengalami kesulitan ketika ingin menyampaikan keluhan-keluhan selama kegiatan kemitraan. Hal ini akan berdampak pada penanganan keluhan petani yang kurang responsif sehingga menimbulkan rasa kurang percaya petani terhadap kinerja dari pendamping. Tabel 12. Frekuensi Kedatangan Pendamping Frekuensi Kedatangan Jumlah orang Presentase Setiap hari 7 14 Satu minggu sekali 30 60 Satu bulan sekali 13 26 Total 50 100 Respon LPS-DDR terhadap keluhan-keluhan petani kurang. Salah satu keluhan petani yang tidak ditanggapi oleh LPS-DDR adalah mengenai pendamping. Petani mengeluhkan bahwa pendamping dari LPS-DDR tidak transparan terhadap uang petani mitra yang dititipkan kepada pendamping, tetapi keluhan ini tidak diindahkan oleh pihak LPS-DDR. Sebanyak 4 orang petani mengaku pernah menabungkan uang cadangan lumbung selama empat musim kepada salah satu pendamping. Petani mengaku menitipkan uang tersebut pada saat koperasi belum terbentuk, sehingga belum ada lembaga keuangan mikro bagi petani jika ingin menyimpan uangnya. Oleh karena itu para petani mempercayakan cadangan lumbungnya kepada pendamping. Namun hingga saat ini keberadaan uang tersebut tidak jelas hingga pendamping P3S digantikan. Selain hal tersebut ada keluhan-keluhan lain yang tidak ditanggapi dengan baik oleh LPS-DDR yaitu keluhan mengenai hal-hal teknis dalam mengusahakan 61 padi sehat. Permasalahan tersebut seharusnya dapat ditanggapi oleh pendamping P3S, tetapi dikarenakan keterbatasan kemampuan pihak pendamping dari segi kemampuan teknis dan keberadaan pendamping yang tidak setiap saat berada di lokasi, maka keluhan-keluhan petani yang lebih mengarah ke hal yang teknis menjadi tidak cepat untuk direspon oleh pendamping dan menunggu respon dari pihak LPS-DDR langsung. Hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama karena dari pihak LPS-DDR juga akan memproses dan memilih-milih kembali, sehingga tidak semua keluhan setiap petani mitra dapat direspon dengan cepat. 6.3.4 Tanggapan terhadap Pelaksanaan Kemitraan antara Gapoktan Silih Asih dengan Petani Hubungan kemitraan antara petani dan gapoktan adalah pada kegiatan usahatani. Menurut pihak gapoktan, kinerja petani dalam kemitraan sudah cukup bagus. Petani sudah mengusahakan padi bebas pestisida sesuai dengan SOP yang ada, tetapi partisipasi petani dalam kegiatan pembinaan, penyuluhan dan pelatihan masih kurang. Menurut petani, kinerja gapoktan sudah baik dalam membantu pengelolaan usahatani melalui kelompok-kelompok yang ada. Sosialisasi terhadap SOP budidaya padi bebas pestisida dinilai petani sudah baik. Seluruh petani mitra sudah menerapkan budidaya padi bebas pestisida sesuai dengan SOP. 6.3.5 Tanggapan terhadap Pelaksanaan Kemitraan antara KKT Lisung Kiwari dengan Petani Pihak petani sebagai objek dalam kemitraan juga merasa cukup terbantu dengan adanya kegiatan kemitraan ini. Dengan kegiatan ini petani mendapatkan fasilitas seperti penyediaan bantuan biaya garap, sewa lahan, sarana produksi, hingga kegiatan pemasaran. Menurut Petani dalam penyediaan bantuan biaya garap keseluruhan petani mengaku mendapatkan bantuan biaya garap, hanya saja besar biaya garap yang diberikan berbeda untuk masing-masing petani. Hal ini dikarenakan biaya garap yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan petani pada saat menggarap lahannya, tergantung kondisi dan letak lahan yang digunakan untuk bercocok tanam. Sebagai contohnya, Pak Sukri yang mendapatkan lahan di pinggir jalan 62 utama Kampung Ciburuy dengan Pak Jaya yang mendapatkan lahan di dalam area pemukiman warga akan mendapatkan bantuan biaya garap yang berbeda. Hal ini dikarenakan kebutuhan biaya untuk menggarap sawah berbeda, Pak Sukri dalam pengolahan tanah menggunakan traktor, sedangkan Pak Jaya menggunakan kerbau, yang biaya sewanya berbeda. Pemberian bantuan biaya garap dari LPS- DDR ini dikelola dengan baik oleh KKT Lisung Kiwari, dengan sistem pemberian biaya garap diberikan setiap petani akan melakukan tahapan-tahapan dalam kegiatan usahataninya. Dalam penyediaan lahan sewa, LPS-DDR memberikan bantuan dengan menyewakan lahan untuk digunakan petani mitra mengusahakan padi sehat. Dalam kegiatan sosialisasi dikemukakan bahwa masing-masing petani akan mendapatkan sewa lahan selama satu tahun dengan luas lahan yang didapatkan masing-masing petani sebesar 2.500 m². Namun pada pelaksanaannya berdasarkan Tabel 13 masih ada petani yang mendapatkan lahan 2.500 m². Hal ini dikarenakan petakan sawah yang sudah ada ukurannya tidak sama, padahal pembagian lahan berdasarkan petakan yang ada. Jika dilakukan pemetakan ulang membutuhkan waktu dan biaya yang lebih banyak. Tabel 13. Distribusi Lahan Sewa Petani Mitra Luas Lahan m² Jumlah orang Persen 2.500 11 22 2.500 26 52 2.500 13 26 Total 50 100 Dalam hal pengadaan sarana produksi, pihak LPS-DDR juga memfasilitasi dengan menyediakan kebutuhan sarana produksi petani mitra melalui koperasi. Pihak LPS-DDR menyediakan kebutuhan sarana produksi petani mitra dalam bentuk pupuk organik, pestisida organik dan benih. Kebutuhan petani tersebut disediakan LPS-DDR dan petani dapat mengakses sarana produksi tersebut melalui koperasi. Seluruh petani mitra mengaku dengan adanya kemitraan tersebut memudahkan petani untuk mendapatkan sarana produksi dengan harga yang relatif murah karena tidak memerlukan biaya transportasi karena dapat diambil di koperasi. 63 Selain dalam pengadaan sarana produksi, petani juga dimudahkan dalam menjual hasil panennya. Dalam hal ini LPS-DDR membuat ketentuan agar petani menabungkan dengan menjual 60 persen dari hasil panennya kepada pihak koperasi. Tujuan dari ketentuan ini adalah yang pertama, menjamin ketersediaan beras yang didistribusikan oleh LPS-DDR dan yang kedua dengan adanya ketentuan ini petani memiliki tabungan di koperasi sebesar 60 persen yang nantinya dapat digunakan petani untuk penyediaan biaya garap, sarana produksi musim berikutnya serta biaya sewa lahan tahun berikutnya, sedangkan 40 persen menjadi hak petani sehingga dapat dibawa pulang sebagai cadangan beras ataupun dijual kembali. Petani boleh saja menjual seluruh hasil panennya kepada koperasi tetapi hanya 60 persen saja yang ditabungkan dan sisanya boleh dibawa pulang oleh petani. Rata-rata petani mitra menjual keseluruhan hasil panennya kepada koperasi hal ini dikarenakan petani tidak mempunyai gudang penyimpanan untuk gabahnya sehingga lebih baik menyimpannya dalam bentuk uang. Harga yang ditetapkan oleh koperasi untuk gabah petani sesuai kesepakatan dengan pihak LPS-DDR yaitu minimal Rp 200,00 lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah dan dibayarkan secara langsung setelah gabah diterima pihak koperasi. Hal ini dilakukan agar petani merasa lebih diuntungkan dengan adanya kegiatan kemitraan ini. Hampir seluruh petani mitra mengaku diuntungkan dengan adanya kegiatan tersebut karena perlahan-lahan mereka bisa terlepas dari jeratan para tengkulak. Namun dalam pelaksanaannya masih ada petani yang mengaku pernah menjual hasil panennya ke tengkulak selama kegiatan kemitraan berlangsung, yaitu sebanyak 5 orang 10 persen. Alasan petani menjual ke tengkulak yaitu ingin memiliki keseluruhan hasil panen dengan mengabaikan aturan 60 persen tabungan ke koperasi. Para petani tersebut diduga belum memahami sepenuhnya mengenai kewajiban-kewajiban mereka dalam kemitraan. Berdasarkan Tabel 14, sebanyak 18 orang 36 persen petani mitra masih belum memahami aturan dalam kemitraan. Hal ini diakibatkan tidak diikutkannya petani dalam penentuan aturan kemitraan, selain itu lemahnya sistem sosialisasi yang dilakukan oleh pihak LPS- DDR. 64 Tabel 14. Distribusi Pemahaman Petani tentang Aturan Kemitraan Pemahaman Aturan Jumlah orang Persentase Mengetahui kewajiban sebagai petani mitra 32 64 Tidak mengetahui kewajiban sebagai petani mitra 18 36 Total 50 100 Tanggapan koperasi atas pelaksanaan kemitraan yaitu petani masih ada yang menjual seluruh hasil panennya ke tengkulak, sehingga petani tidak memenuhi kewajibannya menyerahkan 60 persen hasil panennya ke KKT Lisung Kiwari. Hal ini akan berdampak, baik bagi KKT maupun petani. Bagi KKT hal ini menyebabkan jumlah beras yang diproduksi tidak mencukupi permintaan, sedangkan pada petani yang menjual hasil panennya kepada tengkulak tidak mendapatkan fasilitas seperti sewa lahan, biaya garap, sarana produksi. Hal ini dikarenakan petani tidak melakukan kewajibannya menabungkan 60 persen hasil panennya ke KKT, sehingga petani tidak mempunyai simpanan sebagaimana syarat yang sudah ditetapkan sebelumnya. Selain itu, petani mitra juga terkadang ada yang sengaja menjualnya ke tengkulak karena ingin mendapatkan seluruh penjualan hasil panen dengan mengabaikan kewajibannya dalam kemitraan. Ketentuan sistem tabungan dan sanksi yang dikenakan sudah disampaikan oleh pihak LPS-DDR pada saat sosialisasi. Namun dalam pelaksanaannya ternyata masih ada petani yang tidak mematuhinya. Hal ini dikarenakan tidak adanya peraturan tertulis tentang kegiatan kemitraan khususnya pada kegiatan pemberdayaan. Aturan-aturan hanya disampaikan secara lisan pada kegiatan sosialisasi, sehingga para petani mitra menganggap tidak adanya aturan dan sanksi yang mengikat antara pihak-pihak yang bermitra.

6.3.6 Pelaksanaan Hak dan Kewajiban