Fiscal Deficit, Trade Deficit and Growth in ASEAN+3.

(1)

DEFISIT FISKAL, DEFISIT PERDAGANGAN DAN

PERTUMBUHAN EKONOMI NEGARA-NEGARA

DI KAWASAN ASEAN+3

NURINA PARAMITASARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Defisit Fiskal, Defisit Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara di Kawasan ASEAN+3 adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Nurina Paramitasari NRP. H151104334


(4)

(5)

ABSTRACT

NURINA PARAMITASARI. Fiscal Deficit, Trade Deficit and Growth in ASEAN+3. Under direction of HERMANTO SIREGAR and LUKYTAWATI ANGGRAENI.

The ambiguity of expansionary fiscal policy raises interest among researchers to explore further about the relationship between fiscal deficit, trade deficit, and economic growth. Several studies on the relationship between fiscal deficit and trade deficit, which also known as twin deficits, have different conclusions in every country. Likewise the impact of fiscal deficits on economic growth. This research aims to comprehensively examine the relationships between those three variables, starting with analyzing the impact of fiscal deficits on the trade deficit and continued by determining both impact of these deficits on economic growth in ASEAN +3 countries. By using a dynamic panel data analysis of the eight countries during 1993-2010, there are three findings i.e. 1) twin deficits hypothesis (TDH) holds only for China, 2) fiscal deficit has a positive impact on growth, and 3) trade deficit has a negative impact on the growth of countries in ASEAN +3.

Keywords : fiscal deficit, trade deficit, dynamic panel data, ASEAN+3


(6)

(7)

RINGKASAN

NURINA PARAMITASARI. Defisit Fiskal, Defisit Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara di Kawasan ASEAN+3. Dibimbing oleh HERMANTO SIREGAR dan LUKYTAWATI ANGGRAENI.

Isu defisit fiskal menjadi perdebatan yang menghangat kembali, khususnya di negara-negara ASEAN+3, sejak krisis ekonomi melanda kawasan ini pada tahun 1997/1998.Ketika defisit fiskal telah mencapai nilai yang relatif besar dan terjadi dalam jangka waktu yang relatif lama, hal ini dapat memengaruhi variabel moneter yang kemudian menjadi akar permasalahan dari ketidakstabilan kondisi makroekonomi suatu negara. Stimulus fiskal yang semestinya diharapkan dapat meningkatkan aggregate demand, namun bila tidak diimbangi dengan kebijakan moneter yang akomodatif, justru dapat menyebabkan hasil yang kontraproduktif. Peranan kebijakan fiskal ekspansif menjadi ambigu dalam sebuah perekonomian. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) menganalisis keterkaitan antara defisit fiskal, defisit perdagangan dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3, 2) menganalisis dampak defisit fiskal terhadap defisit perdagangan negara-negara di kawasan ASEAN+3 dan 3) menganalisis dampak kedua defisit tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan ASEAN+3 periode 1993-2010. Ketika benar bahwa defisit fiskal menyebabkan defisit perdagangan, maka dampak negatifnya terhadap pertumbuhan ekonomi akan jauh lebih besar.

Keterkaitan antara defisit fiskal, defisit perdagangan dan pertumbuhan ekonomi pada masing-masing negara di kawasan ASEAN+3 dianalisis menggunaan plot regresi, koefisien korelasi Pearson dan uji kausalitas Granger. Plot regresi antara defisit fiskal dan defisit perdagangan mendapatkan hasil bahwa defisit fiskal tidak menyebabkan defisit perdagangan pada semua negara di kawasan ASEAN+3 kecuali di China. Defisit fiskal di negara ini menyebabkan terjadinya defisit perdagangan atau berlaku twin deficits hypothesis (TDH), dengan didukung koefisien korelasi Pearson yang bertanda positif dan signifikan pada á sebesar 1 persen. Hasil plot regresi kedua defisit dengan pertumbuhan ekonomi yaitu defisit fiskal memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi semua negara di kawasan ASEAN+3 sementara defisit perdagangan memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan ekonomi kecuali di negara Singapura dan China. Uji kausalitas Granger menemukan hasil tidak ada hubungan antara kedua defisit atau defisit fiskal tidak menyebabkan defisit perdagangan pada tiga negara yaitu Philipina, Singapura dan Thailand, sedangkan pola hubungan antara kedua defisit dengan pertumbuhan ekonomi adalah dua arah atau saling menyebabkan.

Metode yang digunakan untuk menjawab tujuan 2 dan 3 adalah metode data panel dinamis baik secara keseluruhan delapan negara di kawasan ASEAN+3 maupun secara terpisah menurut kelompok, mengacu pada hasil penelitian Achsani dan Siregar (2010). Untuk model defisit perdagangan metode yang terbaik adalah FD GMM, sedangkan metode terbaik untuk model pertumbuhan ekonomi adalah Sys-GMM. Berdasarkan hasil eksplorasi awal dengan metode plot regresi dan uji kausalitas Granger yang menyatakan berlakunya TDH di negara China, untuk memperkuat temuan tersebut maka dilakukan pengujian dengan pemodelan data panel dinamis. Hasil yang didapatkan benar bahwa TDH


(8)

investasi yang lebih tinggi dari tingkat tabungan, juga mendorong fenomena TDH berlaku di China.

Kedua defisit memberikan dampak yang berbeda terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan ASEAN+3. Defisit perdagangan memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,0028 persen, ceteris paribus, sedangkan defisit fiskal memberikan dampak positif dengan besaran yang sama yaitu sebesar 0,0028 persen, ceteris paribus. Hubungan negatif antara defisit fiskal dan tingkat suku bunga riil, berimplikasi pada dua hal yaitu terjadinya efek crowding-in investment dan tidak terganggunya neraca perdagangan, yang selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sinkronisasi yang baik antara kebijakan fiskal dan moneter negara-negara di kawasan ASEAN+3 semakin memperkuat dampak positif defisit fiskal terhadap pertumbuhan.


(9)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(10)

(11)

DEFISIT FISKAL, DEFISIT PERDAGANGAN DAN

PERTUMBUHAN EKONOMI NEGARA-NEGARA

DI KAWASAN ASEAN+3

NURINA PARAMITASARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

(13)

Judul Penelitian : Defisit Fiskal, Defisit Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara di Kawasan ASEAN+3

Nama : Nurina Paramitasari

NRP : H151104334

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 18 Juli 2012 Tanggal Lulus:


(14)

(15)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. KepadaMu-lah segala sesuatu bergantung dan kepadaMu-lah segala sesuatu sepatutnya berserah diri. Sholawat serta salam akan selalu tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga,dan para sahabatnya yang sholih. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Defisit Fiskal, Defisit Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara di Kawasan ASEAN+3”.

Rangkaian ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada: 1. Ir. Nanan Sunandi, M.Sc, selaku Kepala BPS Provinsi Banten dan Din Komarudin

W, B.St, selaku Kepala BPS Kabupaten Serang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di IPB.

2. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec dan Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dengan penuh kesabaran dan kesungguhan sampai terselesaikannya tesis ini.

3. Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS dan Ir. Tanti Novianti, M.Si sebagai penguji atas saran dan kritik yang berharga untuk penyempurnaan tulisan ini.

4. Bapak Ibundaku atas kasih sayang, doa, nasehat dan kesabarannya dalam mengajarkan arti kehidupan, walaupun anakmu ini sudah berumah tangga. 5. Suamiku tercinta, Achmad Jaelani, SH, M. Hum atas segala kasih sayang, doa,

semangat dan pengorbanan yang tulus. Dua bidadari kecilku, kakak Ayesha Salma Syahida dan adek Kensae Afwani Maulida yang membuat rasa letih itu sirna, memotivasi penulis untuk tetap semangat dalam menjalani hidup.

6. Rekan-rekan se-angkatan BPS Batch 3 atas sumbangan ide, pikiran serta saran dalam menyempurnakan penulisan tesis.

Semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, 12 Juli 2012

Nurina Paramitasari


(16)

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Nurina Paramitasari lahir pada tanggal 13 Mei 1984 di Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Penulis adalah putri pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak H. Mulyadi, S.Pd, M.Pd dan Ibu Hj. Maryanti, S.Pd.

Penulis dibesarkan di Klaten, dan menyelesaikan pendidikan formal dari tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah umum di kota tersebut. Pendidikan dasar penulis diawali di Sekolah Dasar Negeri Tonggalan I dan lulus pada tahun 1995, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri II Klaten lulus pada tahun 1998, dan Sekolah Menengah Umum Negeri I Klaten diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan tinggi penulis ditempuh di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jurusan Statistik Ekonomi dan lulus pada tahun 2005, mendapatkan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Pada tahun 2010, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Program S2 Penyelenggaraan Khusus BPS-IPB di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Sebelum menempuh pendidikan pasca sarjana penulis menjalani program alih jenjang Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB dan meraih gelar Sarjana Ekonomi pada tahun yang sama.

Penulis diangkat sebagai CPNS pada Badan Pusat Statistik terhitung mulai tanggal 1 Desember 2005 dan ditempatkan sebagai staf di bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS Kota Bandar Lampung Provinsi Lampung. Selama kurang lebih dua tahun penulis mengabdi di sana dan sejak Juli 2008 sampai dengan saat ini penulis bertugas di BPS Kabupaten Serang Provinsi Banten.


(18)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Kegunaan Penelitian... 7

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN... 9

2.1 Peranan Pemerintah ... 9

2.2 Defisit Fiskal ... 10

2.3 Defisit perdagangan ... ... 13

2.4 Hubungan Defisit Fiskal dan Defisit Perdagangan ... 15

2.5 Teori Pertumbuhan Ekonomi Model Keynesian ... 18

2.6 Hubungan Defisit Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi ... 20

2.6.1 Kelompok Keynessian ... 20

2.6.2 Kelompok Neoklasik ... 21

2.7 Hubungan Defisit Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi ... 22

2.8 Hubungan PDB Negara Lain dan Defisit Perdagangan... 23

2.9 Hubungan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi ... . 23

2.10 Hubungan Keterbukaan Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi 25 2.11 Penelitian Terdahulu ... 26

2.11.1 Defisit Fiskal dan Defisit Perdagangan ... . 27

2.11.2 Defisit Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi ... 29

2.11.3 Defisit Perdagangann dan Pertumbuhan Ekonomi ... ... 30

2.12 Kerangka Pemikiran ... ... 31

2.13 Hipothesis ... ... 33


(19)

3.1 Jenis dan Sumber Data ... 35

3.2 Metode Analisis ... 35

3.2.1 Analisis Deskriptif ... 36

3.3.2 Analisis Data Panel ... 36

3.3 Spesifikasi Model ... 49

3.4 Definisi Variabel Operasional ... 51

3.6 Prosedur Analisis ... 52

IV. ANALISIS DESKRIPTIF ... 55

4.1 Kerjasama Regional Kawasan ASEAN+3 ... 55

4.2 Potensi Ekonomi Kawasan ASEAN+3 ... 57

4.3 Dinamika Pertumbuhan Ekonomi, Defisit Fiskal, Defisit Perdagangan dan Faktor-Faktor Pendukungnya ... 61

4.4 Keterkaitan Defisit Fiskal, Defisit Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara ASEAN+3 ... 71

V. ANALISIS PANEL DINAMIS ... 69

5.1 Uji Stasioneritas Data Panel ... 69

5.2 Hasil Estimasi ... 80

5.2.1 Dampak Defisit Fiskal terhadap Defisit Perdagangan Negara-Negara di Kawasan ASEAN+3 ... 84

5.2.2 Dampak Defisit Fiskal dan Defisit Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara di Kawasan ASEAN+3 ... 89

5.3 Implikasi Kebijakan ... 92

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 99

LAMPIRAN ... 104


(20)

Tabel Halaman 1 Neraca perdagangan negara-negara di kawasan ASEAN+3 periode

periode 2000-2010 (persen terhadap PDB) ... 4 2 Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian serta sumbernya .. 36 3 Potensi ekonomi kawasan ASEAN+3 tahun 2010... 58 4 Kondisi fiskal negara-negara di kawasan ASEAN+3 tahun 1998 ... 63 5 Uji kausalitas Granger antara defisit fiskal dan defisit perdagangan

di negara-negara ASEAN+3 periode 1993-2010... 73 6 Uji kausalitas Granger antara defisit perdagangan dan pertumbuhan

ekonomi di negara-negara ASEAN+3 periode 1993-2010... 75 7 Uji kausalitas Granger antara defisit fiskal dan pertumbuhan

ekonomi di negara-negara ASEAN+3 periode 1993-2010... 77 8 Hasil panelunit root testuntuk masing-masing variabel ... 79 9 Perbandingan hasil estimasi koefisien ’Model Defisit Perdagangan’

dengan metode data penel statis, dinamis dan OLS ... . 81 10 Perbandingan hasil estimasi koefisien ’Model Pertumbuhan Ekonomi’

dengan metode data penel statis, dinamis dan OLS ... . 82 11 Hasil estimasi koefisien ’Model Defisit Perdagangan’


(21)

(22)

Gambar Halaman 1 Keseimbangan fiskal negara-negara di kawasan ASEAN+3

periode 1993-2010 (persen terhadap PDB) ... 1 2 Utang pemerintah negara-negara di kawasan ASEAN+3

tahun 2010 (persen terhadap PDB)... 3 3 Pertumbuhan volume ekspor barang dan jasa negara-negara

di kawasan ASEAN+3 periode 2000-2010 (persen) ... 5 4 Ekspansi fiskal dalam perekonomian terbuka dengan

kurs mengambang ... 16 5 Empat kemungkinan tipe hubungantwin deficits... 18 6 Penurunan kurva permintaan agregat ... 25 7 Kerangka pemikiran ... 32 8 PDB riil negara-negara di kawasan ASEAN+3 tahun 1993 dan 2010

(US$ miliar) ... 58 9 Pangsa PDB negara-negara ASEAN+3 terhadap total PDB kawasan

ASEAN+3 periode 1993-2010 (persen) ……….. 59 10 Pendapatan riil per kapita negara-negara di kawasan ASEAN+3

tahun 1993-2010 (US$) ………... 59 11 Struktur perekonomian negara maju di kawasan ASEAN+3

menurut sektor tahun 2010 (persen terhadap PDB)... 60 12 Struktur perekonomian negara sedang berkembang di kawasan

ASEAN+3 menurut sektor tahun 2010 (persen terhadap PDB)……. 61 13 Pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan ASEAN+3

periode 1993-2010 (persen) ……….……….. ... 62 14 Keseimbangan fiskal negara-negara di kawasan ASEAN+3 tahun 1993,

1998 dan 2010 (persen terhadap PDB) ………. 64 15 Neraca perdagangan negara-negara di kawasan ASEAN+3

periode 1993-2010 (persen terhadap PDB) ………. 64 16 Pertumbuhan volume impor negara-negara di kawasan ASEAN+3


(23)

17 PDB negara tujuan ekspor utama negara-negara di kawasan

ASEAN+3 periode 1993-2010 (persen terhadap PDB) ……… ... 62 18 Suku bunga riil negara-negara di kawasan ASEAN+3

periode 1993-2010 (persen) ………. 63 19 Nilai tukar riil enam negara di kawasan ASEAN+3 periode

1993-2010 (terhadap US$) ……….. 68 20 Nilai tukar riil negara Indonesia dan Korea periode 1993-2010

(terhadap US$) ………. 68

21 Tingkat inflasi negara-negara di kawasan ASEAN+3 periode

1993-2010 (persen) ………... 69

22 Keterbukaan perdagangan negara-negara di kawasan ASEAN+3

periode 1993-2010 (persen terhadap PDB) ……….. 70 23 Plot diagram antara defisit fiskal dan defisit perdagangan

di kawasan ASEAN+3 periode 1993-2010 (persen terhadap PDB)…. 71 24 Plot regresi antara defisit fiskal dan defisit perdagangan di

negara-negara ASEAN+3 periode 1993-2010 ………. 72 25 Plot regresi antara defisit perdagangan dan pertumbuhan ekonomi

di negara-negara ASEAN+3 periode 1993-2010 ………. 74 26 Plot regresi antara defisit fiskal dan pertumbuhan ekonomi

di negara-negara ASEAN+3 periode 1993-2010 ……… 76 27 Perkembangan tingkat tabungan dan investasi negara-negara

di kawasan ASEAN+3 periode 1993-2010 ……… 85 28 Plot regresi antara defisit fiskal dan suku bunga riil negara-negara

di kawasan ASEAN+3 periode 1993-2010 ……… 87 29 Plot regresi antara defisit fiskal dan investasi negara-negara

di kawasan ASEAN+3 periode 1993-2010 ……… 91 30 Perkembangan suku bunga riil dan pertumbuhan PDB negara-negara

di kawasan ASEAN+3 periode 1993-2010 ……… 95


(24)

Lampiran Halaman 1 Ringkasan hasil penelitian sebelumnya tentang defisit fiskal, defisit

perdagangan dan pertumbuhan ekonomi ... 89 2 Hasil panelunit root test ... 95 3 Hasil Estimasi ... 102


(25)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Isu defisit fiskal menjadi perdebatan yang menghangat kembali, khususnya di negara-negara ASEAN+3, sejak krisis ekonomi melanda kawasan ini pada tahun 1997/1998. Terdepresiasinya nilai mata uang yang membuat cicilan pokok dan bunga utang luar negeri membengkak, menurunnya pendapatan riil masyarakat akibat terjadinya inflasi yang mengharuskan pemerintah memberikan subsidi untuk membantu masyarakat miskin serta berkurangnya penerimaan negara dari pajak akibat melemahnya sektor riil menjadi pemicu terjadinya defisit fiskal yang

cukup parah di negara-negara ASEAN+3 (World Bank, 2000).

Sumber :World Bank(2012)

Angka negatif menunjukkan defisit fiskal

Gambar 1 Keseimbangan fiskal negara-negara di kawasan ASEAN+3 periode 1993-2010 (persen terhadap PDB).

Terlihat pada Gambar 1, seluruh negara-negara di kawasan ASEAN+3 mengalami pertumbuhan keseimbangan fiskal yang negatif rata-rata sebesar -127,81 persen pada tahun 1998. Kecuali Singapura yang mampu mempertahankan posisi surplus fiskalnya, ketujuh negara lainnya mengalami defisit fiskal yang cukup parah. Defisit fiskal terparah dialami oleh Jepang hingga mencapai 10,6 persen yang pada akhirnya menyebabkan resesi berkepanjangan di negara ini. Thailand yang menjadi sumber penyebab terjadinya krisis ekonomi menempati posisi kedua dengan defisit fiskal sebesar 7,1 persen. Sedangkan Singapura walaupun tidak mengalami defisit, tetapi krisis ini menyebabkan berkurangnya surplus fiskal sebesar 71 persen.

Pada dasarnya kebijakan fiskal ekspansif atau defisit fiskal dimaksudkan untuk memberikan lebih banyak kelonggaran dana kepada masyarakat dalam rangka mendorong perekonomian. Namun, kebijakan ini seringkali menjadi

-15 -10 -5 0 5 10 15 20 25 Ke se im ba ng an Fis ka l (% te rh ad ap PD B) Indonesia M alaysia Philipina Singapura Thailand China Jepang Korea


(26)

kurang efektif ketika tidak didukung oleh situasi atau kondisi yang tepat dan kebijakan lain yang konsisten, bahkan tidak mustahil kebijakan stimulus fiskal justru dapat menghambat laju perekonomian. Stimulus fiskal yang semestinya diharapkan dapat meningkatkan aggregate demand, namun bila tidak diimbangi dengan kebijakan moneter yang akomodatif serta telah mencapai nilai yang relatif besar dan terjadi dalam jangka panjang, justru dapat menyebabkan hasil yang kontraproduktif. Defisit fiskal akan menjadi penyebab timbulnya inflasi, defisit perdagangan, beban utang yang besar dan hasilnya adalah pertumbuhan ekonomi yang rendah. Peranan kebijakan fiskal ekspansif menjadi ambigu dalam sebuah perekonomian (Abimanyu, 2003).

Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan suatu negara dalam membiayai defisit fiskal. Pembiayaan defisit fiskal dengan utang merupakan cara yang paling banyak digunakan oleh negara-negara dalam upaya mempertahankan kelangsungan fiskalnya. Selain dengan utang, pembiayaan defisit dapat ditempuh dengan cara menjual aset negara dan memperoleh bantuan atau grant. Utang pemerintah untuk menutup defisit tersebut dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Dampak dari masing-masing utang tersebut akan berbeda efeknya pada kinerja makro ekonomi. Karena beban utang meliputi pembayaran atas bunga utang dan cicilan pokoknya, maka semakin besar utang justru akan semakin membebani anggaran fiskal yang pada akhirnya menghambat laju pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Pengalaman negara-negara ASEAN+3 yang sebagian besar merupakan Negara Sedang Berkembang (NSB) ternyata hampir kesemuanya menggunakan utang sebagai komponen utama pembiayaan defisit. Peranan utang menjadi sangat penting pasca krisis ekonomi melanda kawasan ini dan berlanjut hingga saat ini dengan persentase yang lebih kecil. Seperti misalnya utang pemerintah Indonesia meningkat dengan sangat tajam dari US$55,3 miliar sebelum krisis menjadi US$134 miliar (83 persen dari PDB) di awal tahun 2000 dan pada tahun 2010 utang tersebut semakin berkurang yaitu hanya sebesar 27 persen dari PDB.

Mengacu pada salah satu syarat dalam Maastricht Treaty Criterion bahwa rasio utang terhadap PDB negara-negara Uni Eropa yang ingin menjadi anggota Economic and Monetary Union (EMU) tidak boleh melebihi 60 persen. Dari syarat tersebut terdapat dua negara di kawasan ASEAN+3 berada pada kondisi fiskal yang tidak sustainable yaitu negara Singapura dan Jepang. Seperti terlihat


(27)

3

pada Gambar 2, rasio utang pemerintah terhadap PDB Jepang sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan yaitu sebesar 220,35 persen. IMF menyatakan bahwa sebenarnya kebijakan utang sangat relevan digunakan untuk mengatasi permasalahan fiskal khususnya di Negara Sedang Berkembang (NSB), selama masih berada pada level aman. Level utang yang aman bagi sebuah negara didefinisikan sebagai level utang yang tidak rentan (vulnerable) terhadap krisis, tidak mengancam pertumbuhan ekonomi, dan tidak mengganggu kesinambungan fiskal (fiscal sustainability).

Sumber :World Bank(2012)

Gambar 2 Utang pemerintah negara-negara di kawasan ASEAN+3 tahun 2010 (persen terhadap PDB).

Kondisi defisit fiskal yang berkepanjangan disuatu negara akan berdampak pada beberapa variabel makro, salah satunya adalah terhadap neraca perdagangan. Mekanisme yang terjadi adalah ketika pemerintah melakukan kebijakan fiskal ekspansioner dengan mengurangi tingkat pajak, maka pendapatan disposibel masyarakat akan meningkat, sehingga konsumsi pun akan ikut meningkat. Peningkatan konsumsi membuat permintaan uang oleh masyarakat bertambah, tingkat suku bunga meningkat dan mata uang negara yang bersangkutan mengalami apresiasi. Terapresiasinya suatu mata uang akan menyebabkan permintaan impor melambung melebihi ekspornya yang pada akhirnya akan memperburuk neraca perdagangan atau biasa disebut dengan defisit perdagangan (Krugman dan Obstfeld, 2005).

Neraca perdagangan menggambarkan kegiatan perdagangan barang dan jasa suatu negara dengan negara lain. Semakin besar volume transaksi perdagangan suatu negara, baik ekspor maupun impor, maka dapat dikatakan tingkat keterbukaan negara tersebut semakin tinggi. Dalam dekade terakhir tingkat keterbukaan ekonomi dan kinerja perdagangan di negara-negara ASEAN+3 terus mengalami peningkatan yang

26,71 55,13 46,35 98,88 45,52 19,15 220,35 32,14 0 50 100 150 200 250

Indonesia M alaysia Philipina Singapura Thailand China Jepang Korea

ut an gp em er in ta h (% te rh ad ap PD B)

PDF

Creat

or

- P

DF

4F

ree

v2.

0

ht

tp:

//www.

pdf

4f

ree.

com


(28)

signifikan. Pangsa perdagangan terhadap PDB pada tahun 2008 telah mencapai rata-rata sebesar 142,09 persen (World Bank, 2010). Tingkat keterbukaan ekonomi yang tinggi, membuat neraca perdagangan di negara-negara ASEAN+3 menjadi variabel yang sangat penting untuk diperhatikan. Seperti terlihat pada Tabel 1 kondisi neraca perdagangan negara-negara ASEAN+3 mengalami fluktuasi yang cukup besar dari tahun ke tahun. Ketika terjadi guncangan terhadap neraca ini, sangat dimungkinkan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Tabel 1 Neraca perdagangan negara-negara di kawasan ASEAN+3 periode 2000-2010 (persen terhadap PDB)

Sumber :World Bank(2012)

Angka negatif menunjukkan defisit perdagangan.

Perekonomian dunia kembali mendapatkan guncangan ketika terjadi krisis keuangan global yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008. Hanya dalam hitungan bulan, dampak krisis tersebut langsung dapat dirasakan oleh hampir seluruh negara di dunia, tak terkecuali negara-negara ASEAN+3. Kebijakan negara-negara maju berupa himbauan penggunaan produk-produk dalam negeri berdampak pada penurunan permintaan produk ekspor negara-negara yang menjadi mitra dagangnya, sehingga mengakibatkan terganggunya neraca perdagangan. Terlihat pada Gambar 3, pertumbuhan volume ekspor barang dan jasa seluruh negara-negara ASEAN+3 mengalami penurunan yang cukup tajam pada tahun 2009. Diantara negara-negara ASEAN+3, Jepang mengalami penurunan pertumbuhan volume ekspor yang paling signifikan yaitu sebesar 33,10 persen. Hal ini disebabkan kemajuan perekonomian Jepang yang memang sebagian besar bertumpu pada kegiatan ekspor, khususnya produk mesin, terutama ke Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Negara Tahun

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Indonesia 9,8 8,1 10,5 8,3 6,3 7,3 4,7 4,2 5,4 4,0 1,1 2,8 1,6 Malaysia 22,0 25,1 19,2 17,4 17,3 19,7 20,4 22,8 22,6 20,6 23,2 21,5 17,8 Philipina -9,1 -3,9 -2,0 -6,7 -8,9 -7,5 -5,5 -5,6 -1,8 -0,1 -2,5 -1,1 -1,8 Singapura 21,7 17,2 12,9 15,6 17,5 27,9 25,7 29,4 29,8 32,3 20,9 23,6 28,1 Thailand 15,9 12,6 8,6 6,5 6,7 6,8 4,9 -1,1 3,5 8,4 2,6 10,6 7,4 China 4,3 2,7 2,4 2,1 2,6 2,2 2,6 5,5 7,7 8,8 7,7 4,4 3,9 Jepang 1,9 1,6 1,5 0,6 1,3 1,6 1,9 1,4 1,3 1,7 0,2 0,3 1,2 Korea 12,9 6,7 2,9 2,3 1,5 2,3 4,2 2,7 1,4 1,5 -1,2 3,7 2,8


(29)

5

Sumber :World Bank(2012)

Gambar 3 Pertumbuhan volume ekspor barang dan jasa negara-negara di kawasan ASEAN+3 periode 1993-2010 (persen).

1.2 Rumusan Masalah

Hubungan defisit fiskal, defisit perdagangan dan pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu isu penting dalam literatur kebijakan moneter dan fiskal di dunia. Terdapat sebuah persepsi yang menyatakan bahwa defisit fiskal yang terlalu besar dan dalam waktu yang relatif lama dapat memengaruhi variabel moneter yang kemudian menjadi akar permasalahan dari ketidakstabilan kondisi makro ekonomi suatu negara seperti inflasi yang tinggi, defisit perdagangan, kewajiban utang yang besar dan pertumbuhan ekonomi yang rendah (Abimanyu, 2003).

Beberapa penelitian mengenai pola hubungan defisit fiskal dan defisit perdagangan, yang lebih dikenal dengan istilah twin deficit menemukan hasil yang berbeda pada masing-masing negara. Secara teori terdapat empat kemungkinan pola hubungan kedua defisit tersebut. Pertama, pola hubungan yang menyatakan bahwa defisit fiskal akan menyebabkan defisit perdagangan, yang berarti mendukung twin deficit hypothesis (TDH). Pola hubungan yang kedua bahwa kedua defisit tersebut tidak berkaitan satu sama lain, saling terpisah atau lebih dikenal dengan istilah Ricardian equivalence hypothesis (REH). Pola hubungan ini biasanya ditunjukkan dengan koefisien regresi yang bertanda negatif. Pola hubungan ketiga arahnya berkebalikan dengan pola hubungan pertama, yaitu defisit perdagangan menyebabkan defisit fiskal, dapat dikatakan bahwa negara tersebut menganut trade targeting. Sedangkan pola hubungan terakhir menyatakan bahwa terdapat hubungan kausalitas dua arah ataubi-directionalantara defisit fiskal dan defisit perdagangan.

Ketidakpastian pola hubungan kedua defisit tersebut bergantung pada kebijakan yang sedang dijalankan, baik kebijakan fiskal maupun kebijakan

-40 -30 -20 -10 0 10 20 30 40 Pe rtu m bu ha n vo lu m e ek sp or (% ) Indonesia M alaysia Philipina Singapura Thailand China Jepang Korea


(30)

moneter serta kondisi perekonomian masing-masing negara. Langkah apa yang digunakan dalam pembiayaan defisit, rezim nilai tukar yang sedang dianut serta target inflasi yang ditetapkan adalah contoh beberapa kebijakan yang diterapkan oleh suatu negara. Ketika pola hubungan kedua defisit sudah dapat dipastikan, maka perumusan kebijakan yang tepat dapat dilakukan. Hal ini diperlukan karena kehadiran kedua defisit tersebut dalam perekonomian dianggap dapat mengganggu kestabilan kondisi perekonomian suatu negara dalam jangka panjang (Edwards, 2001).

Beberapa penelitian mengenai masalah ini diantaranya dilakukan oleh Corsetti dan Muller pada tahun 2005. Penelitian ini menguji hubungan antara kedua defisit dengan data triwulanan periode 1979:1-2005:3 pada empat negara maju yaitu Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Inggris. Kesimpulan yang didapatkan, defisit fiskal pada tiga negara yaitu Kanada, Australia dan Inggris tidak menyebabkan defisit perdagangan. Sedangkan pola hubungan satu arah yaitu defisit perdagangan menyebabkan defisit fiskal terjadi di Amerika Serikat. Hal ini dikarenakan pemerintah Amerika Serikat menggunakan penerimaan fiskal mereka untuk menutupi defisit perdagangan atau disebut trade targeting. Sedangkan Baharumshah, Lau dan khlid mengadakan penelitian tentang fenomena twin deficitdi ASEAN-4 pada tahun 2006 dengan metode VAR. Didapatkan hasil bahwa pola hubungan antara kedua defisit berbeda di masing-masing negara. Di Thailand defisit fiskal menyebabkan defisit perdagangan, sementara di Indonesia defisit perdagangan menyebabkan defisit fiskal. Sedangkan hubungan dua arah atau bi-directional antara defisit fiskal dan defisit perdagangan terjadi di negara Malaysia dan Filipina.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fatima, Ahmed dan Rehman (2011) mengenai dampak defisit fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Pakistan menemukan hasil bahwa defisit fiskal di negara ini menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan penelitian mengenai hubungan defisit perdagangan dan krisis mata uang terhadap pertumbuhan ekonomi dengan sampel 67 negara telah dilakukan oleh Abmann pada tahun 2008. Berdasarkan hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa kedua krisis, yaitu defisit perdagangan dan krisis mata uang, mempunyai efek yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Dengan demikian identifikasi dan pemahaman yang baik mengenai pola hubungan antara defisit fiskal dengan defisit perdagangan, serta dampak keduanya


(31)

7

terhadap pertumbuhan ekonomi negara ASEAN+3 mutlak diperlukan agar kebijakan yang diterapkan dapat berjalan efektif dan tepat sasaran. Penelitian ini melengkapi penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya, dengan menguji dampak kedua defisit sekaligus terhadap pertumbuhan ekonomi dengan faktor-faktor pendukung lainnya. Kajian-kajian ilmiah tentang negara-negara ASEAN+3 diperlukan untuk menambah literatur yang ada sehingga dapat mendorong pencapaian stabilitas kawasan yang semakin kokoh dan integrasi ekonomi yang semakin kuat. Berdasarkan latar belakang dan uraian diatas, maka permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana keterkaitan antara defisit fiskal, defisit perdagangan dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3?

2. Bagaimana dampak defisit fiskal terhadap defisit perdagangan negara-negara di kawasan ASEAN+3?

3. Bagaimana dampak defisit fiskal dan defisit perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan ASEAN+3?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis keterkaitan antara defisit fiskal, defisit perdagangan dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3;

2. Menganalisis dampak defisit fiskal terhadap defisit perdagangan negara-negara di kawasan ASEAN+3;

3. Menganalisis dampak defisit fiskal dan defisit perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan ASEAN+3.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Memperoleh gambaran dan informasi yang lebih jelas mengenai dampak

defisit fiskal terhadap defisit perdagangan, serta dampak kedua defisit terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN+3;


(32)

2. Menjadi masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang tepat untuk menanggulangi dampak dari defisit fiskal dan defisit perdagangan bagi perekonomian di masa yang akan datang.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup delapan negara di kawasan ASEAN+3 yang meliputi Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura, Thailand, China, Jepang dan Korea Selatan dengan menggunakan data tahunan dari tahun 1993-2010. Periode penelitian ini diambil untuk mengetahui dampak krisis ekonomi dan krisis keuangan global terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN+3. Untuk memenuhi syarat analisis dan upaya menjawab permasalahan penelitian, dari kombinasi data tahunan (time series) di negara-negara ASEAN+3 (cross sectional) maka dibangun menjadi sebuah data panel untuk dilakukan pengolahan lebih lanjut.

Mengacu pada hasil penelitian Achsani dan Siregar (2010), maka kedelapan negara tersebut diatas dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :

1. Kelompok I (the big economy) : Singapura, China, Jepang dan Korea; 2. Kelompok II (the new industrialized countries) : Malaysia dan Thailand; 3. Kelompok III (the new Asian tiger) : Indonesia dan Filipina.


(33)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peranan Pemerintah

Pemerintah adalah satu institusi yang dapat melakukan beberapa hal lebih baik dari swasta atau individu. Pemerintah melalui kebijakan fiskal mempunyai tiga fungsi utama yaitu fungsi alokasi, fungsi stabilisasi dan fungsi distribusi. Fungsi alokasi berkaitan dengan cara pemerintah membelanjakan anggarannya secara efektif dan efisien ditinjau dari sudut sektoral maupun daerah. Fungsi stabilisasi berkaitan dengan penentuan arah pertumbuhan dalam mencapai kestabilan perekonomian nasional yang mengarah pada pemanfaatan sumberdaya secara penuh (full employment).

Sedangkan fungsi distribusi bertujuan untuk menghasilkan distribusi kekayaan dan pendapatan yang merata antar golongan ekonomi dalam masyarakat, karena kekuatan dan mekanisme pasar diyakini tidak akan pernah dapat mewujudkannya. Distribusi pendapatan yang relatif merata merupakan satu fenomena yang diinginkan oleh masyarakat secara umum. Tugas pemerintah adalah memastikan bahwa terdapat pembagian pendapatan yang lebih merata di antara kelompok-kelompok masyarakat. Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan pengeluaran untuk meningkatkan pengeluaran agregat dalam resesi dan depresi. Pemerintah dapat memengaruhi perekonomian makro melalui dua saluran kebijakan: kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal merujuk kepada perilaku pemerintah di bidang pengeluaran dan perpajakan, dengan kata lain kebijakan anggarannya. Kebijakan fiskal umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu:

a. kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa; b. kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan

c. kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga.

Kebijakan fiskal berhubungan erat dengan kegiatan pemerintah sebagai pelaku sektor publik. Pada prinsipnya kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang


(34)

mengatur tentang penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal dalam hal penerimaan pemerintah dianggap sebagai suatu cara untuk mengukur mobilisasi sumber dana domestik, dengan instrumen utamanya perpajakan. Perpajakan mempunyai tujuan ganda, yaitu menyediakan dana untuk kepentingan umum dan memengaruhi tingkah laku ekonomi. Tingkat pajak dapat ditingkatkan untuk menurunkan permintaan apabila ekonomi sedang baik dan diturunkan kalau ingin meningkatkan permintaan pada waktu resesi. Berdasarkan sisi pengeluaran, dilihat penggunaan dari dana yang diperoleh, yang ditujukan untuk mendukung tercapainya sasaran dan tujuan negara.

Sumber-sumber penerimaan negara antara lain dari pajak, penerimaan bukan pajak serta bantuan/pinjaman dari luar negeri. Pengeluaran dibagi menjadi dua kelompok besar yakni pengeluaran yang bersifat rutin seperti membayar gaji pegawai dan belanja barang serta pengeluaran yang bersifat pembangunan. Secara umum, kebijakan fiskal merupakan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan terbatas pada sumber-sumber penerimaan dan alokasi pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara).

2.2 Defisit Fiskal

Selisih antara penerimaan dan belanja pemerintah akan membentuk tabungan ataupun defisit yang tergantung besaran nilai selisihnya. Tabungan terbentuk apabila penerimaan pemerintah lebih besar daripada belanjanya. Jika belanja pemerintah lebih besar daripada penerimaannya maka negara tersebut akan mengalami defisit fiskal. Secara identitas, menurut Musgrave (1980) konsep surlus/defisit tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :

GB = [R + G] – [E + (L – Re)] ……….. (2.1) dimana :

GB =Government Balance,defisit jika (-) dan surplus jika (+); R =Revenue(penerimaan/pendapatan pemerintah);

G =Grant(hibah);

E =Expenditure(pengeluaran/belanja pemerintah); L =Lending(pemberian pinjaman/piutang);


(35)

11

Pembiayaan defisit fiskal dapat dilakukan melalui dua sumber, yaitu pembiayaan dalam negeri maupun luar negeri. Pembiayaan dalam negeri adalah semua pembiayaan yang berasal dari perbankan dan non perbankan dalam negeri yang meliputi penerbitan obligasi pemerintah atau surat utang negara, privatisasi BUMN dan dukungan infrastruktur. Sedangkan pembiayaan luar negeri bersih adalah semua pembiayaan yang berasal dari penarikan utang/pinjaman luar negeri yang terdiri dari pinjaman program dan pinjaman proyek, dikurangi dengan pembayaran cicilan pokok utang/pinjaman luar negeri.

Efek yang ditimbulkan dari kedua sumber pembiayaan tersebut akan berbeda. Pertama, ketika defisit fiskal didanai melalui pinjaman yang bersumber dari sistem perbankan dalam negeri, maka sistem perbankan akan dipaksa untuk mengurangi pemberian kredit kepada sektor swasta sebagai akibat dari pemberian kredit kepada pemerintah. Fenomena ini biasa dikenal dengan istilah “crowding out effect”. Kedua, pinjaman dalam negeri non-perbankan dengan cara mengeluarkan obligasi pemerintah atau surat utang negara (SUN) yang dijual kepada masyarakat atau dunia usaha di dalam negeri. Melalui metode pembiayaan ini, pemerintah dapat memperoleh dana pinjaman tanpa menimbulkan dampak peningkatan uang primer yang dapat menimbulkan inflasi. Tetapi seperti halnya dengan pinjaman dari sistem perbankan, metode pembiayaan yang demikian dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif(crowding out effect)terhadap dunia usaha, karena pemerintah akan berkompetisi dengan dunia usaha dalam mencari pembiayaan untuk investasi pada sumber yang sama. Pemerintah juga harus menawarkan tingkat bunga yang kompetitif agar masyarakat dan dunia usaha tertarik untuk membeli dan memegang obligasi yang dikeluarkan pemerintah. Hal ini cenderung akan mendorong suku bunga pasar semakin meningkat. Untuk dapat memanfaatkan metode pembiayaan ini secara optimal, sebagai prasyarat, diperlukan faktor penunjang yaitu tersedianya pasar keuangan atau pasar obligasi yang memadai (Widodo, 2003).

Dan ketika defisit perdagangan dibiayai oleh pinjaman dari luar negeri maka efek yang ditimbulkan akan berbeda. Walaupun tidak bersifat non-nflationarydan tidak menyebabkancrowding-out, pembiayaan dengan pinjaman luar negeri dapat menjadi pemicu terjadinya krisis neraca pembayaran. Kenaikan suku bunga


(36)

pinjaman di luar negeri dan terdepresiasinya nilai tukar domestik akan mengakibatkan pembayaran cicilan pokok dan bunga utang luar negeri dalam mata uang domestik akan semakin membengkak.

Menurut Barro (1989) ada beberapa sebab terjadinya defisit fiskal, yaitu : 1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Untuk mempercepat pembangunan diperlukan investasi yang besar dan dana yang besar pula. Apabila dana dalam negeri tidak mencukupi, biasanya negara melakukan pilihan dengan meminjam ke luar negeri untuk menghindari pembebanan warga negara apabila kekurangan itu ditutup melalui penarikan pajak. Negara memang di bebani tanggung jawab yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan warga negaranya.

2. Pemerataan pendapatan masyarakat.

Pengeluaran ekstra juga diperlukan dalam rangka menunjang pemerataan di seluruh wilayah, sehingga pemerintah mengeluarkan biaya yang besar untuk pemerataan pendapatan tersebut. Misalnya pengeluaran subsidi transportasi ke wilayah yang miskin dan terpencil, agar masyarakat di wilayah tersebut dapat menikmati hasil pembangunan yang tidak jauh berbeda dengan wilayah yang lebih maju.

3. Melemahnya nilai tukar.

Bila suatu negara melakukan pinjaman luar negeri, maka negara tersebut akan mengalami masalah bila ada gejolak nilai tukar setiap tahunnya. Masalah ini disebabkan karena nilai pinjaman dihitung dengan valuta asing, sedangkan pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman dihitung dengan mata uang negara peminjam tersebut. Misalnya apabila nilai tukar rupiah mengalami depresiasi terhadap mata uang dollar AS, maka pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman yang akan dibayarkan juga membengkak. Sehingga pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman yang diambil dari APBN bertambah, lebih dari apa yang dianggarkan semula.

4. Pengeluaran akibat krisis ekonomi.

Krisis ekonomi akan menyebabkan meningkatnya pengangguran, sementara penerimaan pajak akan menurun akibat melemahnya sektor-sektor perekonomian sebagai dampak krisis tersebut, padahal negara harus bertanggung jawab untuk


(37)

13

menaikkan daya beli masyarakat yang tergolong miskin. Dalam hal ini negara terpaksa mengeluarkan dana ekstra untuk program-program kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat terutama di wilayah pedesaan yang miskin.

5. Realisasi yang menyimpang dari rencana.

Apabila realisasi penerimaan negara meleset dibanding dengan yang telah direncanakan, atau dengan kata lain rencana penerimaan negara tidak dapat mencapai sasaran seperti apa yang direncanakan, maka berarti beberapa kegiatan proyek atau program harus dipotong. Pemotongan proyek itu tidak begitu mudah, karena bagaimanapun juga untuk mencapai kinerja pembangunan, suatu proyek tidak bisa berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan proyek lain. Jika hal ini terjadi, negara harus menutup kekurangan, agar kinerja pembangunan dapat tercapai sesuai dengan rencana semula.

6. Pengeluaran karena inflasi.

Penyusunan anggaran negara pada awal tahun, didasarkan menurut standar harga yang telah ditetapkan. Harga standar itu sendiri dalam perjalanan tahun anggaran, tidak dapat dijamin ketepatannya. Dengan kata lain, selama perjalanan tahun anggaran standar harga itu dapat meningkat tetapi jarang yang menurun. Apabila terjadi inflasi, dengan adanya kenaikan harga-harga barang berarti biaya pembangunan program juga akan meningkat, sedangkan anggaran tetap sama. Semuanya ini akan berakibat pada menurunnya kuantitas dan kualitas program, sehingga anggaran negara perlu direvisi. Akibatnya, negara terpaksa mengeluarkan dana dalam rangka menambah standar harga.

Dampak negatif yang ditimbulkan defisit fiskal terhadap kondisi makro ekonomi saling terkait satu dengan yang lain. Diantaranya adalah (1) tingkat bunga akan meningkat, (2) memburuknya neraca perdagangan akibat turunnya kinerja ekspor, (3) menimbulkan terjadinya inflasi, (4) berkurangnya pendapatan riil masyarakat yang mengakibatkan berkurangnya tingkat tabungan dan konsumsi, (5) pengangguran meningkat, dan (6) turunnya investasi yang disusul dengan rendahnya pertumbuhan.

2.3 Defisit Perdagangan

Neraca perdagangan hanya terdapat pada negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, karena transaksi-transaksi yang tercakup didalamnya


(38)

merupakan transaksi domestik suatu negara dengan negara lain atau sering disebut dengan istilah perdagangan internasional. Menurut Halwani (2005), sebab-sebab yang mendorong perdagangan internasional adalah perbedaan potensi sumber daya alam (natural resources), sumber daya modal (capital resources), sumber daya manusia (human capital) dan kemajuan teknologi antarnegara. Sementara menurut Teorema Heckser-Ohlin (H-O theorem) menyatakan bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditas yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu dan dalam waktu yang bersamaan mengimpor komoditas yang produksinya memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di negara tersebut.

Neraca perdagangan (trade balance)atau sering disingkat transaksi berjalan merupakan sebuah neraca khusus yang mencatat transaksi barang dan jasa internasional serta transfer unilateral bersih dari negara lain. Secara matematis, definisi CA adalah :

CA = EX – IM + Net ……….. (2.2) dimana:

CA = Current Account atau neraca perdagangan EX = Ekspor

IM = Impor

Net = Pendapatan dan transfer bersih dari luar negeri

Untuk menyederhanakan, pendapatan dan transfer dari luar negeri diasumsikan tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap neraca perdagangan. Sehingga persamaan diatas dapat ditulis ulang menjadi:

CA = EX – IM ……….….. (2.3) Berdasarkan persamaan (2.8), neraca perdagangan merupakan selisih antara nilai ekspor dan nilai impor suatu negara. Apabila nilai impor suatu negara melebihi nilai ekspornya, maka maka negara tersebut mengalami defisit perdagangan. Suatu negara disebut mengalami surplus transaksi berjalan jika nilai ekspor lebih besar daripada nilai impornya.


(39)

15

2.4 Hubungan Defisit Fiskal dan Defisit Perdagangan

Hubungan defisit fiskal dan defisit perdagangan dapat dijelaskan secara lengkap melalui persamaan pendapatan nasional pada perekonomian terbuka. Persamaan tersebut dapat dituliskan :

Y = C + I + G + X – M ……… (2.4) dimana Y adalah pendapatan nasional, C adalah konsumsi swasta, I adalah investasi swasta, G adalah pengeluaran pemerintah, X adalah ekspor barang dan jasa serta M adalah impor barang dan jasa. Pada sisi lain tabungan swasta merupakan bagian dari pendapatan disposibel yang tidak digunakan untuk membiayai konsumsi.

S = Y – T – C ……….. (2.5) dimana T adalah tingkat pajak. Dengan pengaturan ulang kedua persamaan diatas, didapatkan persamaaan :

Y – T – C = I + G – T + X – M ……….. (2.6) S = I + G – T + X – M ………....………... (2.7) (X – M) = (S – I) + (T – G) ………....………. (2.8) Persamaan diatas menunjukkan neraca perdagangan berhubungan dengan keseimbangan fiskal melalui perbedaan tabungan dan investasi swasta. Ketika pemerintah mengalami defisit fiskal (T–G < 0), dengan asumsi gap antara tabungan dan investasi swasta tetap, maka akan menghasilkan defisit perdagangan (X–M < 0). Tetapi ketika defisit fiskal dapat dibiayai dengan surplus sektor swasta, dengan tingkat tabungan lebih besar dari investasi, maka hal ini tidak akan menimbulkan defisit perdagangan (Afonso dan Rault, 2008). Sementara surplus transaksi berjalan terjadi ketika tabungan nasional lebih besar dari investasinya. Ketika terjadi defisit fiskal yang mengurangi tabungan nasional, maka akan mengurangi investasi atau mengurangi ekspor neto ataupun mengurangi keduanya. Terdapat empat kemungkinan pola hubungantwin deficits, yaitu : 1. Tidak terdapat hubungan antara defisit fiskal dan defisit perdagangan.

Pandangan ini sering disebut dengan Ricardian Equivalence Hypothesis (REH). Mengacu pada persamaan (2.8) bahwa penurunan tingkat pajak sekarang akan diasumsikan sebagai penundaan tingkat pajak pada masa depan. Sehingga masyarakat akan menambah tingkat tabungan dengan mengurangi konsumsi


(40)

Aliran modal keluar net t o, CF

Ekspor net o, NX Kurs, e

NX (e) LM

1

3 2

5

6 4

r

sekarang untuk membayar peningkatan pajak di masa depan. Penurunan tabungan pemerintah akan di offside dengan peningkatan tabungan swasta, sehingga tabungan nasional tidak akan mengalami perubahan. Kehadiran defisit fiskal tidak akan berpengaruh terhadap neraca perdagangan ketika negara tersebut mempunyai tingkat tabungan yang tinggi (Barro, 1989).

2. Defisit fiskal menyebabkan defisit perdagangan.

Dengan asumsi gap tabungan dan investasi tetap, maka defisit fiskal akan menyebabkan defisit perdagangan. Pandangan ini lebih dikenal dengan Keynessian Proposition. Defisit fiskal akan meningkatkan penyerapan domestik, sehingga akan memperluas impor dan memperburuk defisit perdagangan. Jadi defisit fiskal akan menyebabkan peningkatan pengeluaran domestik terhadap barang luar negeri, akan menekan ekspor ke bawah dan meningkatkan impor. Pandangan ini disebut denganTwin Deficit Hypothesis.

Hal ini juga dapat dijelaskan menggunakan analisis Mundell-Fleming framework, pada rezim nilai tukar mengambang dengan asumsi perekonomian terbuka kecil dan mobilitas modal sempurna. Defisit fiskal akibat peningkatan pengeluaran pemerintah atau penurunan tingkat pajak, akan mendorong ke atas tingkat suku bunga, seperti yang terlihat pada Gambar 4.

(a) Model IS-LM (b) Aliran Modal Keluar Neto

(c) Pasar Valuta Asing

Sumber: Mankiw (2006)

Gambar 4 Ekspansi fiskal dalam perekonomian terbuka dan kurs mengambang. Out put , Y

r


(41)

17

Peningkatan tingkat suku bunga tersebut menyebabkan terjadinya arus modal masuk (capital inflows) dan membuat nilai tukar terapresiasi, dan berdampak pada penurunan daya saing produk domestik di pasar internasional, impor akan lebih besar daripada ekspor menyebabkan terjadinya defisit perdagangan. Di bawah rezim nilai tukar tetap, defisit fiskal akan menghasilkan pendapatan riil yang lebih tinggi dan akan memperburuk kondisi keseimbangan neraca perdagangan. Pada intinya, kehadiran defisit fiskal akan menyebabkan defisit perdagangan baik dibawah rezim nilai tukar tetap maupun mengambang dengan mekanisme yang berbeda (Bose dan Jha, 2011).

Selain itu, twin deficit hypothesis juga akan terjadi ketika institusi fiskal yaitu pemerintah di masing-masing negara kurang tanggap dalam merespon setiap surplus atau defisit fiskal yang terjadi. Kebijakan fiskal yang tidak responsif akan menyebabkan defisit fiskal memengaruhi tingkat suku bunga dan akan berdampak pada nilai tukar. Perubahan nilai tukar inilah yang rentan menyebabkan defisit perdagangan (Artana,et.al, 2003).

3. Defisit perdagangan menyebabkan defisit fiskal.

Terjadi ketika defisit perdagangan yang memperlambat pertumbuhan ekonomi dibiayai dengan peningkatan pengeluaran pemerintah sehingga menyebabkan defisit fiskal. Sering disebut dengan “trade targeting”. Kasus ini terutama terjadi pada perekonomian suatu negara yang sangat bergantung pada aliran modal asing (foreign direct investment) dan posisi anggarannya dipengaruhi oleh akumulasi hutang yang tinggi. Atau hal ini dialami oleh negara dengan tingkat keterbukaan yang besar atau tengah melakukan ekspansi pasar sehingga pemerintah negara yang bersangkutan merasa bahwa neraca perdagangan sangat penting dan diperlukan suntikan dana yang besar dari pemerintah untuk menutupi defisit perdagangan yang dialami negara tersebut (Chang dan Hsu, 2009).

4. Hubungan kausalitas dua arah (bi-directional) antara defisit fiskal dan defisit perdagangan.

Ketika masing-masing defisit saling dependen, dapat saling menyebabkan satu sama lain, sering disebut dengan Feldstein-Horioka Puzzle. Empat kemungkinan tipe hubungantwin deficitsdapat dilihat pada Gambar 5.


(42)

Sumber : Chang dan Hsu (2009)

Gambar 5 Empat kemungkinan tipe hubungantwin deficits. 2.5 Teori Pertumbuhan Ekonomi Model Keynesian

Peran investasi yang merupakan komponen pengeluran pemerintah yang bersifat pembangunan dapat dipisahkan atas perannya sebagai komponen pengeluaran agregat dan perannya dalam proses produksi. Investasi merupakan bagian dari komponen pengeluaran agregat, sedangkan stok kapital fisik merupakan bagian dari faktor produksi dalam fungsi produksi sektoral atau agregat. Berdasarkan katagori tersebut, penjelasan teoritis mengenai peran investasi akan dilihat dari sisi permintaan dalam sebuah model makroekonomi dan sisi penawaran yang direpresentasikan oleh model pertumbuhan ekonomi. Pada bagian ini akan diuraikan teori sisi permintaan yaitu model ekonomi makro Keynesian.

Model ekonomi makro Keynesian merupakan teori yang menjelaskan fluktuasi ekonomi dalam jangka pendek dengan menfokuskan perhatiannya pada sisi pengeluaran agregat. Identitas Produk Nasional Bruto (PNB) standar Keynesian, dapat diilustrasikan sebagai berikut:

C + I + G + (X-M) = PNB = C + S + T + Rf ……… (2.9)

Keterangan:

C : total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa I : investasi

G : pengeluaran pemerintah

(X – M): ekspor bersih barang dan jasa S : tabungan swasta bruto

T : penerimaan pajak bersih


(43)

19

Identitas di atas menunjukkan bahwa kondisi ekuilibrium dicapai ketika total pengeluaran agregat sama dengan total pendapatan agregat dan keduanya sama dengan total nilai produksi barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu perekonomian. Pada posisi keseimbangan, nilai ekspor bersih sama dengan total pembayaran ke luar negeri, sehingga kedua komponen ini dapat dikeluarkan untuk penyederhanaan identitas pendapatan nasional, sebagai berikut:

C + I + G = PNB = C + S + T……… (2.10)

Seluruh komponen pengeluaran dan pendapatan agregat apabila dideflasikan terhadap tingkat harga umum yang berlaku, diperoleh identitas pendapatan nasional dalam nilai riil sebagai berikut:

c + i + g = y = c + s + t……… (2.11)

Keterangan:

t = t’y; t‘ > 0

c = c’yd; c’ > 0 s = s’yd; s’ > 0

i i

=

;

g g

=

; yd= y – ty;

Pada persamaan penerimaan pajak (t), total pengeluaran konsumsi (c) dan total tabungan (s) semuanya merupakan fungsi dari tingkat pendapatan, dengan kecenderungan tambahan pajak (t’) atau marginal propensity to tax (MPT), kecenderungan tambahan konsumsi (c’) atau marginal propensity to consume (MPC) dan kecenderungan tambahan tabungan (s’) atau marginal propensity to save(MPS) positif tetapi lebih kecil dari satu. Pada persamaan investasi swasta (i) dan pengeluaran pemerintah (g) diasumsikan sebagai peubah eksogen.

Seluruh komponen pengeluaran agregat apabila disubstitusikan ke sisi pengeluaran pada persamaan asal akan diperoleh pengeluaran agregat riil sebagai berikut:

g i ty y c

y = ( − )+ + ... (2.12)


(44)

Derivasi total pendapatan nasional, y, terhadap komponen-komponenc, t, g dani pada persamaan diatas dan menyusunnya kembali akan menghasilkan efek pengganda (multiplier) pendapatan dari perubahan peubah eksogen investasi swasta dan pengeluaran pemerintah sebagai berikut:

) (

) 1 ( 1

1

g d i d t c

dy +

− −

= ... (2.13) Pada persamaan diatas, setiap perubahan peubah eksogen investasi swasta dan pengeluaran pemerintah akan mengakibatkan perubahan pendapatan nasional sebesar hasil kali angka pengganda dengan kenaikan komponen pengeluaran tersebut. Besarnya dampak kenaikan investasi dan pengeluaran pemerintah tergantung pada MPC dan MPT. Semakin besar MPC dan semakin kecil MPT maka semakin besar dampak perubahan investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan nasional.

2.6 Hubungan Defisit Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi

Ada dua kelompok besar yang berbeda pendapat mengenai dampak defisit fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. Kedua kelompok tersebut adalah kaum Keynesian dan Neoklasik.

2.6.1 Kelompok Keynesian

Kelompok pertama adalah kaum Keynesian yang berpendapat bahwa defisit fiskal berpengaruh secara positif terhadap perekonomian. Kelompok Keynesian mengasumsikan bahwa pelaku ekonomi mempunyai pandangan jangka pendek (myopic), hubungan antar generasi tidak erat, serta tidak semua pasar selalu dalam posisi keseimbangan. Salah satu ketidakseimbangan terjadi di pasar tenaga kerja, dan dalam perekonomian selalu terjadi pengangguran. Menurut kaum Keynesian, defisit anggaran akan menigkatkan pendapatan dan kesejahteraan, dan konsumsi pada giliran berikutnya. Defisit anggaran yang dibiayai utang, yang berarti beban pajak pada masa sekarang relatif menjadi lebih ringan, akan menyebabkan peningkatan pendapatan yang siap dibelanjakan. Peningkatan pendapatan yang siap dibelanjakan akan meningkatkan konsumsi dan sisi permintaaan secara keseluruhan. Jika perekonomian belum dalam kondisi kesempatan penuh, peningkatan sisi permintaan akan mendorong produksi dan selanjutnya


(45)

21

peningkatan pendapatan nasional. Pada periode selanjutnya, peningkatan pendapatan nasional akan mendorong perekonomian melalui efek multiplier Keynesian. Karena defisit anggaran meningkatkan konsumsi dan tingkat pendapatan sekaligus, tingkat tabungan dan akumulasi kapital juga akan meningkat. Menurut kaum Keynesian secara keseluruhan, defisit fiskal dalam jangka pendek akan menguntungkan perekonomian.

2.6.2 Kelompok Neoklasik

Kelompok Neoklasik mengkritisi pendapat dari kelompok Keynesian dengan melakukan perluasan lebih lanjut pada model Keynes, melihat dampak defisit fiskal dalam jangka panjang. Kelompok ini berpendapat bahwa setiap individu mempunyai informasi yang cukup, sehingga mereka dapat merencanakan tingkat konsumsi sepanjang waktu hidupnya. Defisit anggaran dengan pemotongan pajak akan meningkatkan tingkat konsumsi sepanjang waktu hidupnya. Defisit anggaran akan meningkatkan tingkat konsumsi dalam jangka panjang dengan cara membebankan pajak untuk generasi berikutnya. Jika seluruh sumber daya secara penuh dapat digunakan, maka peningkatan konsumsi akan menurunkan tingkat tabungan dan suku bunga akan meningkat. Peningkatan suku bunga akan mendorong permintaan investasi swasta menurun, sehingga kaum Neoklasik menyimpulkan bahwa dalam kondisi kesempatan kerja penuh, defisit anggaran yang permanen akan menyebabkan investasi swasta tergusur ( crowding-out). Sehinggan besaran pengganda pada model Keynes akan berkurang karena adanya crowding out. Secara umum kaum Neoklasik berpendapat bahwa defisit anggaran akan merugikan perekonomian dengan mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi.

Menurut Abimanyu (2003) besaran turunnya dampak pengganda akan tergantung pada hal-hal berikut:

1. Sensitivitas investasi terhadap tingkat bunga, naiknya sensitivitas investasi terhadap tingkat bunga akan menurunkan koefisien pengganda. Namun demikian, apabila investasi merupakan fungsi positif dari pendapatan, maka angka pengganda tidak terlalu berpengaruh.

2. Hubungan antara permintaan uang dengan tingkat bunga dan pendapatan. Semakin besar pengaruh tingkat bunga terhadap permintaan uang, akan


(46)

semakin menekan besarnya dampak pengganda, sebaliknya dengan kenaikan pendapatan.

3. Tingkat keterbukaan ekonomi dan sistem nilai tukar yang digunakan. Keterbukaan ekonomi menimbulkan peluang substitusi permintaan, dari domestik menjadi impor, sehingga memperkecil dampak kebijakan fiskal yang diharapkan. Terkait dengan sistem nilai tukar, sistem nilai tukar fleksibel yang digunakan dapat meningkatkan crowding out, sehingga menurunkan efektivitas stimulus fiskal.

4. Flesibelitas harga berpengaruh secara negatif terhadap besarnya pengganda. 5. Rational expectation, apabila kebijakan stimulus fiskal ditempuh secara

permanen, maka hal tersebut akan menimbulkan harapan naiknya tingkat bunga dan menguatnya nilai tukar. Sehingga stimulus fiskal menjadi kurang efektif, karena mempunyaicrowding outyang cukup besar.

2.7 Hubungan Defisit Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi

Pendapatan nasional dalam sebuah perekonomian terbuka merupakan penjumlahan belanja domestik dan pengeluaran pihak luar negeri atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi domestik, dapat dituliskan : Y = C + I + G + EX – IM ……… (2.14) Persamaan diatas menunjukkan salah satu alasan mengapa transaksi berjalan penting bagi perekonomian suatu negara. Karena sisi kanan persamaan merupakan pengeluaran total atas output domestik, maka perubahan-perubahan dalam transaksi berjalan dapat merubah output atau merubah pendapatan nasional.

Transaksi berjalan juga penting karena ia mengukur arah dan besarnya pinjaman internasional. Ketika suatu negara mengimpor lebih banyak daripada mengekspor, maka ia membeli dari pihak-pihak luar negeri lebih banyak daripada jumlah yang ia jual kepada mereka. Akibatnya negara tersebut mengalami defisit perdagangan, dan akan membayar impornya dengan menarik pinjaman dari negara yang mengekspor. Akibatnya suatu negara yang mengalami defisit perdagangan akan menambah utang luar negerinya sebanyak jumlah defisitnya tersebut. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap kestabilan perekonomian negara yang bersangkutan (Krugman dan Obstfeld, 2005).


(47)

23

2.8 Hubungan PDB Negara Lain dan Defisit perdagangan

Dengan mengasumsikan bahwa impor suatu negara adalah konstan, maka variabel yang menentukan kondisi neraca perdagangan hanyalah ekspor. Ekspor merupakan bagian dari permintaan luar negeri atas barang dan jasa yang diproduksi domestik. Sehingga dapat dikatakan bahwa salah satu variabel yang memengaruhi ekspor adalah pendapatan atau output negara lain, terutama negara yang menjadi tujuan utama ekspor negara tersebut. Semakin besar pendapatan negara tujuan ekspor maka permintaan atas barang dan jasa domestik akan meningkat. Ketika terjadi peningkatan ekspor, hal ini berarti bahwa neraca perdagangan akan mengalami surplus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendapatan atau output negara lain akan memberikan dampak positif terhadap neraca perdagangan, atau pendapatan negara lain akan mengurangi defisit perdagangan. Selain pendapatan negara lain, variabel yang memengaruhi ekspor adalah nilai tukar riil. Yaitu perbandingan harga barang domestik dengan harga barang di negara lain. Semakin rendah nilai tukar riil, atau mata uang domestik terdepresiasi, maka semakin murah harga barang domestik sementara harga barang negara lain semakin mahal, sehingga akan terjadi peningkatan ekspor (Blanchard, 2005). Persamaan fungsi ekspor dapat dituliskan:

EX = EX ( Y*, ) ……… (2.15) ( + , - )

dimana EX adalah ekspor, Y* adalah output atau pendapatan negara lain dan adalah nilai tukar riil.

2.9 Hubungan Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi dijelaskan melalui kurva permintaan agregat. Kurva ini diturunkan dari kondisi keseimbangan pasar barang dan pasar uang. Keseimbangan pasar barang (kurva IS):

Y = C(Y-T) + I(Y,i) + G ………. (2.16) Keseimbangan ini menunjukkan bahwa total output akan sama dengan total permintaan barang yaitu jumlah dari konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah.

Keseimbangan pasar uang (kurva LM):

……….….. (2.17)


(48)

Keseimbangan pasar uang menunjukkan bahwa penawaran uang akan sama dengan permintaan uang. Pada sisi kiri persamaan kurva LM adalah real money stock, M/P. Perubahan real money stock dapat disebabkan oleh perubahan uang nominal, M, yang dilakukan oleh bank sentral dan juga dapat disebabkan karena perubahan tingkat harga P. Kenaikan tingkat harga sebesar 10 persen akan sama dampaknya terhadap real money stock dengan penurunan uang nominal sebesar 10 persen. Menggunakan relasi kurva IS dan LM, kita dapatkan hubungan antara tingkat harga dan tingkat output dari keseimbangan pasar barang dan pasar uang. Kurva IS downward sloping, peningkatan suku bunga akan menyebabkan pengurangan output. Sementara kurva LM upward sloping, dengan nilai real money stock yang telah ditentukan, peningkatan output akan meningkatkan permintaan uang dan suku bunga akan naik untuk menjaga jumlah permintaan uang sama dengan penawaran uang. Sehingga keseimbangan awal kedua pasar adalah dititik A.

Kita lihat efek yang akan ditimbulkan ketika terjadi kenaikan tingkat harga dari P ke P’. Dengan stok uang nominal yang tetap, peningkatan harga akan mengurangi real money stock. Hal ini akan menggeser kurva LM ke kiri disepanjang kurva IS, dan akan mengakibatkan peningkatan suku bunga dari i ke i’ serta penurunan output dari Y ke Y’. Dapat disimpulkan bahwa kenaikan tingkat harga dari P ke P’ akan menyebabkan penurunan output dari Y ke Y’, sehingga titik keseimbangan bergeser dari A ke A’. Terdapat hubungan negatif antara output dan tingkat harga, yang ditunjukkan dengan kurva permintaan agregatdownward sloping. Prosesnya dapat dilihat pada Gambar 6.


(49)

25

Sumber: Blanchard (2005)

Gambar 6 Penurunan kurva permintaan agregat.

2.10 Hubungan Keterbukaan Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi Perdagangan antar negara atau lebih dikenal dengan perdagangan internasional sudah ada sejak zaman dahulu, namun dalam lingkup dan ruang yang masih terbatas. Perdagangan internasional berlangsung atas dasar saling percaya dan saling menguntungkan, mulai dari barter hingga transaksi jual-beli antara pedagang dari berbagai penjuru dunia. Menurut Halwani (2005), sebab-sebab yang mendorong perdagangan internasional adalah perbedaan potensi sumber daya alam (natural resources), sumber daya modal (capital resources), sumber daya manusia (human capital) dan kemajuan teknologi antarnegara. Sejumlah keunggulan khusus yang dimiliki oleh masing-masing negara akan dijadikan basis dalam meningkatkan perdagangan yang saling menguntungkan.

Teori pertumbuhan ekonomi dalam hubungannya dengan perdagangan dapat dilacak kembali pada teori keunggulan absolut oleh Adam Smith pada tahun 1776 dan teori keunggulan komparatif oleh David Ricardo pada tahun 1817 (Salvatore, 1997). Menurut teori keunggulan absolut (absolut advantage theory), jika sebuah negara lebih efisien daripada negara lain dalam memroduksi sebuah komoditas (memiliki keunggulan absolut), namun kurang efisien dibanding negara lain dalam memroduksi komoditas lainnya (memiliki kerugian absolut) maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing


(50)

melakukan spesialisasi pada komoditas yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkannya dengan komoditas yang memiliki kerugian absolut.

Sementara itu, menurut teori keunggulan komparatif (comparative advantage theory), meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding negara lain dalam memroduksi kedua komoditas (tidak memiliki keunggulan absolut) maka kedua negara masih dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Caranya adalah negara pertama harus melakukan spesialisasi dalam memroduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (memiliki keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar atau memiliki kerugian komparatif.

Lebih lanjut, Eli Hecksher dan Bertil Ohlin dalam teorinya (factor-proportion theory) menekankan adanya saling keterkaitan antara perbedaan proporsi faktor-faktor produksi antarnegara dan perbedaan proporsi dalam penggunaannya untuk memroduksi berbagai macam barang. Teorema Hecksher-Ohlin (H-O theorem) menyatakan bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditas yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu yang bersamaan mengimpor komoditas yang produksinya memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di negara tersebut.

Kemudian, Paul Samuelson menelaah sebuah teorema mengenai penyamaan harga faktor (price factor equalization theorem) yang merupakan kelanjutan dari teorema Hecksher-Ohlin. Pada intinya teorema tersebut (H-O-S theorem) menyatakan bahwa perdagangan internasional akan mendorong terjadinya penyamaan harga-harga faktor, baik secara relatif maupun secara absolut, di antara negara-negara yang terlibat di dalamnya. Artinya bahwa perdagangan internasional akan membuat tingkat upah riil tenaga kerja menjadi homogen, demikian pula terjadi pada tingkat hasil (bunga modal), yakni risiko dan produktivitas modal relatif sama, di negara-negara yang terlibat dalam perdagangan (Salvatore, 1997).

2.11 Penelitian Terdahulu

Hubungan defisit fiskal dan defisit perdagangan sebenarnya telah menjadi isu yang menarik bagi para peneliti sejak dekade 1980-an ketika terjadi


(51)

27

ketidakseimbangan neraca perdagangan di Amerika Serikat dan Jepang yang sangat besar. Sementara defisit perdagangan Amerika Serikat mencapai titik terendah, di lain pihak surplus transaksi berjalan Jepang mencapai titik puncaknya. Yang menjadi masalah adalah karena surplus ekspor Jepang sebagian besar bersumber dari pasar Amerika Serikat, sehingga Jepang menjadi sasaran utama kemarahan penduduk Amerika Serikat.

Beberapa pembuat kebijakan internasional menuding ketidakseimbangan transaksi berjalan tersebut sebagai penyebab utama meningkatnya defisit anggaran pemerintah di Amerika Serikat dan mengurangi defisit anggaran pemerintah Jepang. Dari hasil kajian teori berdasarkan data-data yang tersedia, tanpa dilakukan pengujian empiris, disimpulkan bahwa di Amerika Serikat defisit fiskal bukan merupakan penyebab terjadinya defisit perdagangan, tetapi karena ada faktor lain yaitu lonjakan investasi domestik akibat pemberlakuan keputusan pemotongan pajak yang memberikan banyak insentif investasi. Sedangkan untuk kasus negara Jepang didapatkan kesimpulan bahwa perubahan-perubahan dalam defisit anggaran pemerintah Jepang merupakan faktor penting yang sangat memengaruhi posisi transaksi berjalannya (Krugman dan Obstfeld, 2005).

Perbedaan hubungan defisit fiskal dan defisit perdagangan di kedua negara inilah yang menjadi awal kemunculan penelitian-penelitian berikutnya. Penelitian yang akan dilakukan ini tidak hanya menguji secara empiris hubungan kedua defisit pada masing-masing negara ASEAN+3, tetapi melakukan pengujian lebih lanjut tentang dampak yang ditimbulkan oleh kedua defisit terhadap pertumbuhan ekonomi, secara ringkas kajian penelitian terdahulu dapat dilihat pada Lampiran 1. Untuk lebih memperjelas, tinjauan penelitian terdahulu dibagi menjadi tiga bagian:

2.11.1 Defisit Fiskal dan Defisit Perdagangan

Penelitian yang dilakukan oleh Baharumshah, Lau dan Khalid (2006) menguji fenomena twin deficits hypothesis di empat negara ASEAN menggunakan metode VAR dengan data triwulanan dari tahun 1976:1-2000:4. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan tidak langsung antara defisit fiskal dan defisit perdagangan dalam jangka panjang, hubungan tersebut dijelaskan melalui variabel suku bunga dan nilai tukar. Di Thailand hubungan


(52)

yang terjadi adalah defisit fiskal memengaruhi defisit perdagangan, sedangkan di Indonesia arah hubungan adalah sebaliknya Indonesia menganut trade targeting. Sementara di Malaysia dan Filipina kedua defisit mempunyai hubungan kausalitas dua arah atau saling menyebabkan satu sama lain.

Ardiyanto (2006) melakukan penelitian mengenai hubungan defisit perdagangan dan defisit fiskal di Indonesia. Hasil analisis dengan metode VAR selama periode 1981-2004 menunjukkan bahwa suku bunga signifikan memengaruhi kedua defisit. Di Indonesia terdapat hubungan satu arah antara kedua defisit yaitu defisit perdagangan menyebabkan defisit fiskal, sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Baharumshah, Lau dan Khalid pada tahun 2006.

Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Bartolini dan Lahiri (2006) dengan menggunakan metode data panel Fixed Effect Model (FEM)pada negara-negara OECD tahun 1972-2003. Variabel yang digunakan adalah defisit fiskal, defisit perdagangan, konsumsi, tabungan, pertumbuhan penduduk dan hutang. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan defisit fiskal yang terjadi pada negara-negara OECD akan meningkatkan tingkat konsumsi dan mengurangi tabungan nasional. Selanjutnya peningkatan defisit fiskal sebesar 1 persen akan menyebabkan defisit perdagangan di negara yang bersangkutan meningkat sebesar 0,6 persen.

Chang dan Hsu (2006) melakukan studi “Causality Relationships Between the Twin Deficits in the Regional Economy”. Studi ini mengambil 5 negara Eropa (Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, Swedia), 4 negara macan Asia (Hongkong, Korea, Singapura, Taiwan) dan Amerika Serikat. Twin deficit hypothesisterbukti di semua negara yang diteliti, dengan kekuatan hubungan yang berbeda di masing-masing negara. Dengan obyek penelitian yang jauh lebih banyak yaitu 176 negara, Abbas et al (2010) melakukan pengujian dengan menggunakan dua metode ekonometrik yang berbeda sekaligus yaitu VAR dan panel data. Penelitian ini menggunakan lima variabel yaitu defisit fiskal, defisit perdagangan, PDB riil per kapita, keterbukaan perdagangan serta keterbukaan finansial dengan periode waktu dari tahun 1980-2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan dua metode ekonometrik yang berbeda ternyata


(1)

Pr ob > chi 2 = 0. 7382 c hi 2( 106) = 96. 34892

H0: ov er i dent i f yi ng r es t r i ct i ons ar e val i d Sar gan t est of ov er i dent i f yi ng r es t r i ct i ons . es t at s ar gan

St andar d: _c ons GMM- t y pe: LD2. c ad

I ns t r ument s f or l ev el equat i onSt andar d: D2. f d D2. l ngdpf D2. r er D2. r i r GMM- t y pe: L( 2/ . ) . D. c ad

I ns t r ument s f or di f f er enc ed equat i on

_c onsD1. . 1900211. 0412866 1. 171784. 0722697 0. 160. 57 0. 8710. 568 - 2. 106634- . 1003594 2. 486676. 1829326 r i r

D1. . 0016895 . 0006906 2. 45 0. 014 . 0003359 . 0030431

r er

D1. . 4849273 13. 35597 0. 04 0. 971 - 25. 6923 26. 66215 l ngdpfD1. - . 3918517 . 1565009 - 2. 50 0. 012 - . 6985877 - . 0851157

f d

LD. - . 0281229 . 0707959 - 0. 40 0. 691 - . 1668802 . 1106345 cad

D. cad Coef . St d. Er r . z P>| z | [ 95% Conf . I nt er v al ]

One- st ep r es ul t s Pr ob > c hi 2 = 0. 0016

Number of i nst r ument s = 112 Wal d chi 2( 5) = 19. 43

max = 16

avg = 16

Obs per gr oup: mi n = 16

Ti me v ar i abl e: t ahun

Gr oup var i abl e: neg Number of gr oups = 8

Sys t em dy nami c panel - dat a es t i mat i on Number of obs = 128 . x t dpds ys D. c ad D. f d D. l ngdpf D. r er D. r i r , l ags( 1) ar t es t ( 2)

.

H0: no aut ocor r el at i on

2

- 1. 5912 0. 1116

1

- 2. 21 0. 0271

Or der

z

Pr ob > z

Ar el l ano- Bond t est f or zer o aut ocor r el at i on i n f i r st - di f f er enced er r or s

ar t est s not comput ed f or one- st ep syst em est i mat or wi t h vce( gmm)

. est at abond


(2)

mo r e

F t e s t t ha t al l u_ i =0: F( 7 , 115 ) = 0. 22 Pr ob > F = 0. 97 99 r ho . 0 20 66 33 7 ( f r a c t i on o f v a r i an c e d ue t o u_ i )

s i g ma _e 3 . 9 25 63 7 s i g ma _u . 5 70 22 30 1

_ c o ns . 54 29 77 9 1. 21 717 6 0. 45 0 . 6 56 - 1 . 8 68 013 2. 95 39 69 D1. . 00 11 84 7 . 0 00 650 7 1. 82 0 . 0 71 - . 00 01 041 . 0 02 47 35 r er

D1. . 00 28 61 1 . 0 746 9 0. 04 0 . 9 70 - . 14 50 854 . 1 50 80 76 r i r

D1. - 3 . 3 12 05 9 13 . 9 505 6 - 0. 24 0 . 8 13 - 3 0. 94 543 24 . 3 21 32 l n gd pf

D1.f d - . 36 33 33 3 . 1 58 533 7 - 2. 29 0 . 0 24 - . 6 77 358 - . 0 49 30 86 L D. - . 04 02 43 2 . 0 89 340 9 - 0. 45 0 . 6 53 - . 21 72 103 . 1 36 72 39 c ad

D. c ad Co ef . St d. Er r . t P>| t | [ 95 % Con f . I nt er v a l ] c or r ( u _i , Xb ) = - 0. 12 94 Pr o b > FF( 5 , 1 15 ) == 0. 01 922. 82

o v e r a l l = 0 . 1 01 1 max = 16

b et we en = 0 . 0 51 0 av g = 16 . 0

R- s q : wi t hi n = 0 . 1 09 4 Obs p er g r o up : mi n = 16

Gr ou p v a r i ab l e : ne g Numbe r of g r o up s = 8

Fi x e d- ef f e c t s ( wi t hi n) r eg r e s s i o n Numbe r of o bs = 1 28 . x t r e g D. c a d L. D. c a d D. f d D. l ng dpf D. r i r D. r er , f e

r ho 0 ( f r a c t i on o f v a r i an c e d ue t o u_ i ) s i g ma _e 3 . 9 25 63 7

s i g ma _u 0

_ c o nsD1. - . 0 34 75 8. 0 01 13 5 . 7 54 348 4. 00 061 8 - 0. 051. 84 0 . 9 630 . 0 66 - 1 . 5 13 254- . 00 00 763 1. 44 37 38. 0 02 34 63 r er

D1. . 00 04 41 5 . 0 71 631 4 0. 01 0 . 9 95 - . 13 99 535 . 1 40 83 65 r i r

D1. 3 . 5 37 42 5 8. 02 324 9 0. 44 0 . 6 59 - 1 2. 18 786 1 9. 26 27 l n gd pfD1. - . 40 35 06 4 . 1 48 449 5 - 2. 72 0 . 0 07 - . 6 94 462 - . 1 12 55 08

f d

L D. - . 02 91 43 9 . 0 86 585 9 - 0. 34 0 . 7 36 - . 19 88 492 . 1 40 56 14 c ad

D. c ad Co ef . St d. Er r . z P>| z | [ 95 % Con f . I nt er v a l ] c or r ( u _i , X) = 0 ( as s u me d) Pr o b > c h i 2 = 0. 01 20 Rand om e f f ec t s u _i ~ Gau s s i a n Wal d c h i 2 ( 5 ) = 1 4. 63

o v e r a l l = 0 . 1 07 1 max = 16

b et we en = 0 . 1 15 1 av g = 16 . 0

R- s q : wi t hi n = 0 . 1 07 0 Obs p er g r o up : mi n = 16

Gr ou p v a r i ab l e : ne g Numbe r of g r o up s = 8

Rand om- e f f ec t s GLS r eg r e s s i o n Numbe r of o bs = 1 28 . x t r e g D. c a d L. D. c a d D. f d D. l ng dpf D. r i r D. r er , r e

_cons

D1.

- . 0283482

. 0011404

. 7550775

. 0006187

- 0. 04

1. 84

0. 970

0. 068

- 1. 523099

- . 0000843

1. 466403

. 0023651

r er

D1.

. 0012213

. 071711

0. 02

0. 986

- . 1407377

. 1431803

r i r

D1.

3. 487349

8. 031303

0. 43

0. 665

- 12. 41142

19. 38612

l ngdpf

D1.

- . 3951384

. 1480383

- 2. 67

0. 009

- . 6881951

- . 1020817

f d

LD.

- . 0295451

. 0866735

- 0. 34

0. 734

- . 2011239

. 1420337

cad

D. cad

Coef .

St d. Er r .

t

P>| t |

[ 95% Conf . I nt er val ]

Tot al

2011. 47949

127

15. 8384212

Root MSE

Adj R- squar ed =

=

3. 8408

0. 0686

Resi dual

Model

1799. 70432

211. 775166

122

5

14. 7516748

42. 3550333

R- squar ed

Pr ob > F

=

=

0. 1053

0. 0174

F(

5,

122) =

2. 87

Sour ce

SS

df

MS

Number of obs =

128

. r egr ess D. cad L. D. cad D. f d D. l ngdpf D. r i r D. r er


(3)

2. Model Pertumbuhan Ekonomi

Pr o b > c h i 2 = 0 . 4 8 7 2 c h i 2 ( 1 0 5 ) = 1 0 4 . 7 9 7 1

H0 : o v e r i d e n t i f y i n g r e s t r i c t i o n s a r e v a l i d Sa r g a n t e s t o f o v e r i d e n t i f y i n g r e s t r i c t i o n s . e s t a t s a r g a n

St a n d a r d : _ c o n s GMM- t y p e : L D2 . l n g d p

I n s t r u me n t s f o r l e v e lSt a n d a r d : D2 . c a d e s t D2 . f d D2 . l n c p ie q u a t i o n D2 . t o t D. d k 1 D. d k 2 GMM- t y p e : L ( 2 / . ) . D. l n g d p

I n s t r u me n t s f o r d i f f e r e n c e d e q u a t i o n

_ c o n sd k 2 - . 0 3 9 5 3 4 5. 0 4 5 9 2 4 4 . 0 0 4 2 3 3 7. 0 1 0 0 0 3 7 1 0 . 8 5- 3 . 9 5 0 . 0 0 00 . 0 0 0 - . 0 5 9 1 4 1 3. 0 3 7 6 2 6 5 - . 0 1 9 9 2 7 6. 0 5 4 2 2 2 2 d k 1 - . 0 9 8 0 4 8 8 . 0 0 9 1 7 8 - 1 0 . 6 8 0 . 0 0 0 - . 1 1 6 0 3 7 4 - . 0 8 0 0 6 0 2 D1 . - . 0 0 0 0 1 2 5 . 0 0 0 1 9 8 3 - 0 . 0 6 0 . 9 5 0 - . 0 0 0 4 0 1 2 . 0 0 0 3 7 6 3 t o t

D1 . - . 0 0 4 1 1 4 5 . 0 0 2 6 5 1 3 - 1 . 5 5 0 . 1 2 1 - . 0 0 9 3 1 0 9 . 0 0 1 0 8 1 8 l n c p iD1 . . 0 0 2 7 5 3 4 . 0 0 1 2 9 0 1 2 . 1 3 0 . 0 3 3 . 0 0 0 2 2 4 8 . 0 0 5 2 8 2

f d

D1 . - . 0 0 2 8 4 7 4 . 0 0 1 5 0 9 7 - 1 . 8 9 0 . 0 5 9 - . 0 0 5 8 0 6 3 . 0 0 0 1 1 1 5 c a d e s tL D. . 1 9 7 0 8 3 8 . 0 6 5 3 6 9 1 3 . 0 1 0 . 0 0 3 . 0 6 8 9 6 2 7 . 3 2 5 2 0 4 9

l n g d p

D. l n g d p Co e f . St d . Er r . z P> | z | [ 9 5 % Co n f . I n t e r v a l ]

On e - s t e p r e s u l t s Pr o b > c h i 2 = 0 . 0 0 0 0

Nu mb e r o f i n s t r u me n t s = 1 1 3 Wa l d c h i 2 ( 7 ) = 2 7 3 . 8 6

ma x = 1 6

a v g = 1 6

Ob s p e r g r o u p : mi n = 1 6 Ti me v a r i a b l e : t a h u n

Gr o u p v a r i a b l e : n e g Nu mb e r o f g r o u p s = 8

Sy s t e m d y n a mi c p a n e l - d a t a e s t i ma t i o n Nu mb e r o f o b s = 1 2 8 . x t d p d s y s D. l n g d p D. c a d e s t D. f d D. l n c p i D. t o t d k 1 d k 2 , l a g s ( 1 ) a r t e s t s ( 2 )

H0: no aut ocor r el at i on

2

. 66504 0. 5060

1

- 2. 4132 0. 0158

Or der

z

Pr ob > z

Ar el l ano- Bond t est f or zer o aut ocor r el at i on i n f i r st - di f f er enced er r or s

ar t est s not comput ed f or one- st ep syst em est i mat or wi t h vce( gmm)

. est at abond


(4)

Pr ob > c h i 2 = 0. 39 11 c h i 2( 10 5) = 10 8. 37 71

H0 : o v e r i de nt i f y i n g r e s t r i c t i on s ar e v al i d Sa r g an t es t o f ov er i d ent i f y i ng r es t r i c t i o ns . es t a t s a r ga n

St and ar d: _ c o ns GMM- t y p e: L D2 . l n gd p

I n s t r u me nt s f or l ev el eq ua t i onSt and ar d: D2. c ad es t D2 . f d D2. l n c p i D2. t o t D. f d 1 D. f d2 D. d k 1 D. dk 2 GMM- t y p e: L ( 2 / . ) . D. l ng dp

I n s t r u me nt s f or d i f f e r en c e d eq ua t i o n

_ c o nsd k 2 . 0 51 209 5- . 03 917 1 . 0 05 312 3. 0 09 965 5 - 3. 939. 64 0. 00 00. 00 0 - . 05 87 02 9. 04 07 97 6 . 0 61 621 3- . 01 963 9 d k 1 - . 0 96 646 6 . 0 09 209 1 - 1 0. 49 0. 00 0 - . 11 46 96 2 - . 0 78 597 1 f d2 . 0 02 810 1 . 0 01 920 5 1. 46 0. 14 3 - . 0 00 95 4 . 0 06 574 3 f d1 . 0 01 523 7 . 0 01 350 8 1. 13 0. 25 9 - . 00 11 23 9 . 0 04 171 2 D1. 1. 07 e- 0 6 . 0 00 197 1 0. 01 0. 99 6 - . 00 03 85 3 . 0 00 387 5 t ot

D1. - . 0 03 850 2 . 00 267 2 - 1. 44 0. 15 0 - . 00 90 87 3 . 0 01 386 8 l nc piD1. . 0 02 192 7 . 0 01 312 2 1. 67 0. 09 5 - . 00 03 79 1 . 0 04 764 6

f d

D1. - . 0 02 163 6 . 0 01 523 3 - 1. 42 0. 15 6 - . 00 51 49 2 . 00 082 2 c a de s tL D. . 1 18 707 4 . 0 78 051 5 1. 52 0. 12 8 - . 03 42 70 8 . 2 71 685 5

l ng dp

D. l ng dp Coef . St d. Er r . z P> | z | [ 95 % Co nf . I nt er v al ]

On e- s t ep r es u l t s Pr o b > c h i 2 = 0. 000 0

Nu mb er o f i ns t r umen t s = 1 15 Wal d c h i 2 ( 9) = 27 8. 4 2

ma x = 1 6

av g = 1 6

Obs p er g r ou p: mi n = 1 6 Ti me v ar i a bl e : t a hu n

Gr ou p v a r i abl e: n eg Numbe r of gr ou ps = 8

Sy s t em d y n ami c pa ne l - dat a es t i ma t i o n Numbe r of ob s = 12 8 . x t dp ds y s D. l n gd p D. c ad es t D. f d D. l n c p i D. t ot f d1 f d2 dk 1 dk 2, l ags ( 1 ) ar t es t s ( 2 )

H0: no aut ocor r el at i on

2

. 51036

0. 6098

1

- 2. 4419

0. 0146

Or der

z

Pr ob > z

Ar el l ano- Bond t est f or zer o aut ocor r el at i on i n f i r st - di f f er enced er r or s

ar t est s not comput ed f or one- st ep syst em est i mat or wi t h vce( gmm)

. est at abond


(5)

Pr ob > c hi 2 = 0. 5249 chi 2( 90) = 88. 5015

H0: over i dent i f y i ng r est r i c t i ons ar e v al i d Sar gan t es t of over i dent i f y i ng r est r i c t i ons . est at sar gan

St andar d: _cons

I nst r ument s f or l evel equat i onSt andar d: D2. cadest D2. f d D2. l nc pi D2. t ot D. dk 1 D. dk 2 GMM- t ype: L( 2/ . ) . D. l ngdp

I nst r ument s f or di f f er enced equat i on

_consdk2 - . 0430535. 0481295 . 0045662. 0110425 10. 54- 3. 90 0. 0000. 000 - . 0646965. 0391799 - . 0214105. 0570791 dk1 - . 089091 . 0101826 - 8. 75 0. 000 - . 1090485 - . 0691334 D1. - . 0000546 . 0002081 - 0. 26 0. 793 - . 0004624 . 0003532 t ot

D1. - . 0042104 . 0026335 - 1. 60 0. 110 - . 0093721 . 0009512 l nc piD1. . 0025581 . 0013584 1. 88 0. 060 - . 0001043 . 0052206

f d

D1. - . 0018694 . 001524 - 1. 23 0. 220 - . 0048565 . 0011177 c adestLD. . 1428428 . 0762456 1. 87 0. 061 - . 0065959 . 2922815

l ngdp

D. l ngdp Coef . St d. Er r . z P>| z | [ 95% Conf . I nt er val ]

One- s t ep r esul t s Pr ob > chi 2 = 0. 0000

Number of i ns t r ument s = 98 Wal d chi 2( 7) = 165. 15

max = 15

av g = 15

Obs per gr oup: mi n = 15

Ti me var i abl e: t ahun

Gr oup v ar i abl e: neg Number of gr oups = 8

Ar el l ano- Bond dy nami c panel - dat a es t i mat i on Number of obs = 120 . xt abond D. l ngdp D. c adest D. f d D. l ncpi D. t ot dk1 dk 2, l ags( 1) ar t es t s( 2)

H0: no aut ocor r el at i on 2 . 24551 0. 8061 1 - 2. 4874 0. 0129 Or der z Pr ob > z

Ar el l ano- Bond t est f or zer o aut ocor r el at i on i n f i r s t - di f f er enced er r or s ar t est s not c omput ed f or one- s t ep s ys t em est i mat or wi t h vc e( gmm) . es t at abond

F t es t t hat al l u _ i = 0: F( 7, 1 1 3) = 6 . 6 3 Pr o b > F = 0 . 00 00 r h o . 3 99 72 6 41 ( f r ac t i on of v a r i a nc e du e t o u _ i )

s i g ma_ e . 0 24 82 4 69 s i g ma_ u . 0 20 25 7 72

_ c on sdk 2 - . 04 27 0 51. 04 74 7 45 . 01 09 5 06. 0 04 4 45 10 . 6 8- 3 . 9 0 0 . 00 00 . 00 0 - . 06 44 0 03. 03 86 6 81 - . 0 2 1 00 99. 0 5 6 28 08 dk 1 - . 08 79 2 79 . 00 99 7 74 - 8 . 8 1 0 . 00 0 - . 10 76 9 49 - . 0 6 8 16 08 D1 . - . 00 00 6 39 . 00 02 0 33 - 0 . 3 1 0 . 75 4 - . 00 04 6 67 . 0 0 03 39 t o t

D1 . - . 00 34 3 54 . 00 25 8 25 - 1 . 3 3 0 . 18 6 - . 00 85 5 18 . 0 0 1 68 09 l nc p iD1 . . 0 02 4 13 . 00 13 0 53 1 . 8 5 0 . 06 7 - . 0 00 1 73 . 0 0 4 99 89

f d

D1 . - . 00 21 3 68 . 0 01 4 76 - 1 . 4 5 0 . 15 0 - . 0 05 0 61 . 0 0 0 78 75 c a des tLD. . 15 49 3 44 . 07 37 5 47 2 . 1 0 0 . 03 8 . 00 88 1 31 . 3 0 1 05 58

l ngd p

D. l ngd p Co e f . St d . Er r . t P>| t | [ 95 % Conf . I nt e r v a l ] c o r r ( u_ i , Xb ) = 0 . 1 26 7 Pr ob > FF( 7, 1 13 ) == 0 . 00 002 3. 82

o v er a l l = 0 . 5 16 9 max = 16

b et we en = 0 . 9 27 5 a v g = 16 . 0

R- s q: wi t h i n = 0 . 5 96 0 Obs p er g r o up : mi n = 16

Gr o up v a r i a b l e : n e g Numb e r of g r o up s = 8

Fi x ed - e f f ec t s ( wi t hi n) r e gr e s s i on Numb e r of o bs = 1 28 . x t r eg D. l n gd p L . D. l n g dp D. c ad es t D. f d D. l n c p i D. t o t d k 1 d k 2 , f e


(6)

r ho 0 ( f r act i on of v ar i ance due t o u_i ) si gma_e . 02482469

si gma_u 0

_c onsdk 2 - . 0368313. 0319888 . 0043894. 0125609 - 2. 937. 29 0. 0000. 003 - . 0614503. 0233857 - . 0122123. 0405918 dk 1 - . 0856151 . 0114728 - 7. 46 0. 000 - . 1081014 - . 0631288 D1. . 0000767 . 0002293 0. 33 0. 738 - . 0003727 . 0005261 t ot

D1. - . 0049294 . 0029638 - 1. 66 0. 096 - . 0107384 . 0008795 l ncpiD1. . 0009814 . 0014599 0. 67 0. 501 - . 00188 . 0038429

f d

D1. - . 0054832 . 0015929 - 3. 44 0. 001 - . 0086052 - . 0023612 c ades tLD. . 462626 . 0669671 6. 91 0. 000 . 3313729 . 5938791

l ngdp

D. l ngdp Coef . St d. Er r . z P>| z| [ 95% Conf . I nt er val ]

c or r ( u_i , X) = 0 ( as sumed) Pr ob > chi 2 = 0. 0000

Random ef f ect s u_i ~ Gauss i an Wal d chi 2( 7) = 170. 40

ov er al l = 0. 5868 max = 16

bet ween = 0. 9901 av g = 16. 0

R- s q: wi t hi n = 0. 5459 Obs per gr oup: mi n = 16

Gr oup v ar i abl e: neg Number of gr oups = 8

Random- ef f ect s GLS r egr ess i on Number of obs = 128

. x t r eg D. l ngdp L. D. l ngdp D. cadest D. f d D. l nc pi D. t ot dk1 dk2, r e

( V_b- V_B i s not posi t i ve def i ni t e)

Pr ob>chi 2 =

=

0. 0000

98. 61

chi 2( 7) = ( b- B) ' [ ( V_b- V_B) ^( - 1) ] ( b- B)

Test :

Ho:

di f f er ence i n coef f i ci ent s not syst emat i c

B = i nconsi st ent under Ha, ef f i ci ent under Ho; obt ai ned f r om xt r eg

b = consi st ent under Ho and Ha; obt ai ned f r om xt r eg

dk2

- . 0427051

- . 0368313

- . 0058738

.

dk1

- . 0879279

- . 0856151

- . 0023128

.

D. t ot

- . 0000639

. 0000767

- . 0001406

.

D. l ncpi

D. f d

- . 0034354

. 002413

- . 0049294

. 0009814

. 0014315

. 001494

.

.

D. cadest

- . 0021368

- . 0054832

. 0033464

.

LD. l ngdp

. 1549344

. 462626

- . 3076916

. 0309058

f i xed

( b)

r andom

( B)

Di f f er ence

( b- B)

sqr t ( di ag( V_b- V_B) )

S. E.

Coef f i ci ent s

. hausman f i xed r andom

_consdk2 - . 0368313. 0319888 . 0043894. 0125609 - 2. 937. 29 0. 0000. 004 - . 0617011. 0232981 - . 0119615. 0406795 dk1 - . 0856151 . 0114728 - 7. 46 0. 000 - . 1083305 - . 0628998 D1. . 0000767 . 0002293 0. 33 0. 739 - . 0003772 . 0005306 t ot

D1. - . 0049294 . 0029638 - 1. 66 0. 099 - . 0107976 . 0009387 l nc piD1. . 0009814 . 0014599 0. 67 0. 503 - . 0019092 . 003872

f d

D1. - . 0054832 . 0015929 - 3. 44 0. 001 - . 008637 - . 0023294 c adestLD. . 462626 . 0669671 6. 91 0. 000 . 3300358 . 5952162

l ngdp

D. l ngdp Coef . St d. Er r . t P>| t | [ 95% Conf . I nt er val ] Tot al . 237773321 127 . 001872231 Root MSEAdj R- squar ed == . 028610. 5627 Res i dualModel . 139520472. 09825285 1207 . 000818774. 019931496 R- squar edPr ob > F == 0. 58680. 0000 F( 7, 120) = 24. 34

Sour ce SS df MS Number of obs = 128