Strategi dan Metode Pendidikan Karakter

34 Dalam lingkungan satuan pendidikan sekolah harus dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-kultural sekolah memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga sekolah lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di sekolah yang mencerminkan perwujudan nilaikarakter. Kegiatan ko-kurikuler maupun ekstrakurikuler perlu dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan reinforcement dalam rangka pengembangan nilaikarakter. Kegiatan ko-kurikuler yaitu kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada suatu materi dari suatu mata pelajaran. Sedangkan kegiatan ekstrakurikuler, yakni kegiatan satuan pendidikan yang bersifat umum dan tidak terkait langsung pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan Dokter Kecil, Palang Merah Remaja, Pecinta Alam dan lain-lain. Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orangtuawali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di sekolah menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing. Desain pendidikan karakter dalam tataran mikro dapat digambarkan sebagai berikut: 35 Gambar 2. Desain Pendidikan Karakter dalam Tataran Mikro Sumber: Udin Saripudin Winatraputra , 2010: 14 Sesuai dengan Desain Induk Pendidikan Karakter yang dirancang Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2010 strategi pengembangan pendidikan karakter yang akan diterapkan di Indonesia antara lain melalui transformasi budaya sekolah school culture dan habituasi melalui kegiatan ekstrakurikuler. Pusat Kurikulum Kementrian Pendidikan Nasional dalam kaitan pengembangan budaya sekolah yang dilaksanakan dalam kaitan pengembangan diri, menyarankan empat hal yang meliputi kegiatan rutin, kegiatan spontan, keteladanan, dan pengondisian. Kegiatan rutin adalah kegiatan yang dilaksanakan siswa secara terus-menerus dan konsisten. Misalnya upacara bendera setiap hari Senin, salam dan salim didepan pintu gerbang sekolah, piket kelas, 36 salat berjamaah, berdoa sebelum dan sesudah jam pelajaran berakhir, berbaris saat masuk kelas, dan lain-lain. Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang bersifat spontan, saat itu juga, pada waktu terjadi keadaan tertentu, misalnya mengumpulkan sumbangan bagi korban bencana alam, mengunjungi teman yang sakit atau sedang tertimpa musibah, dan lain-lain. Keteladanan merupakan munculnya sikap dan perilaku siswa karena meniru perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan di sekolah, bahkan perilaku seluruh warga sekolah yang dewasa lainnya sebagai model, termasuk misalnya petugas kantin, satpam sekolah, penjaga sekolah dan sebagainya. Pengondisian yaitu penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaaan pendidikan karakter, misalnya kondisi meja guru dan kepala sekolah yang rapi, kondisi toilet yang bersih, disediakan tempat sampah yang cukup, halaman sekolah yang hijau penuh pepohonan, tidak ada puntung rokok di sekolah. Sedangkan Howard Kirschenbaum Zubaedi, 2011: 233 mengatakan pembelajaran pendidikan karakter secara komprehensif dapat dilakukan dengan metode inkulkasi inculcation, keteladanan modeling, fasilitasi facilitation, dan pengembangan keterampilan skill building. a. Metode Inkulkasi 37 Kirschenbaum Zubaedi, 2011: 234 mengatakan metode inkulkasi penanaman nilai memiliki ciri-ciri yaitu mengkomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya, memberikan perlakuan kepada orang lain secara adil, menghargai pandangan dan pendapat orang lain, mengungkapkan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya disertai alasan, dan dengan rasa hormat, tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan tidak mencegah kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki, menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai- nilai yang dikehendaki secara ekstrem. Metode ini juga ditandai dengan adanya pembuatan aturan, pemberian penghargaan, dan memberikan konsekuensi yang disertai alasan, tetap terbuka dengan kritik dan saran dan tidak menutup komunikasi dengan pihak yang tidak setuju dengan pendapat seseorang. Dalam inkulkasi penanaman nilai ini memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda apabila sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah. b. Keteladanan Modeling 38 Dalam pendidikan nilai dan spiritualitas, permodelan atau pemberian teladan merupakan strategi yang biasa digunakan. Hal ini mengingat karakter merupakan perilaku behavior, bukan pengetahuan, sehingga untuk dapat diinternalisasi oleh peserta didik, maka harus diteladankan bukan diajarkan. Dalam mendidik karakter sangat dibutuhkan sosok yang menjadi model. Model dapat ditemukan oleh peserta didik di lingkungan sekitarnya. Semakin dekat model pada peserta didik akan semakin mudah dan efektiflah pendidikan karakter tersebut. Peserta didik butuh contoh yang nyata, bukan hanya contoh yang tertulis dalam buku apalagi contoh khayalan. Mukhamad Murdiono 2010: 103 menyatakan strategi keteladanan dapat dibedakan menjadi dua yaitu keteladanan internal internal modelling dan keteladanan ekstrernal external modelling. Keteladanan internal dapat dilakukan melalui pemberian contoh yang diberikan oleh guru dalam pembelajaran, sementara keteladanan ekstrenal dilakukan dengan pemberian contoh-contoh yang baik dari pada tokoh yang dapat diteladani, baik tokoh lokal maupun tokoh internasional. c. Fasilitasi Inkulkasi dan keteladanan mendemonstrasikan kepada subjek didik cara yang terbaik untuk mengatasi berbagai masalah, 39 sedangkan fasilitasi melatih subjek didik mengatasi masalah- masalah tersebut. Bagian yang terpenting dari fasilitasi ini adalah pemberian kesempatan kepada subjek didik Zubaedi, 2011: 239. d. Keterampilan Ada beberapa keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat mengamalkan nilai-nilai yang dianut sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Keterampilan ini antara lain berpikir kritis, kreatif, komunikasi secara jelas, menyimak, bertindak, asertif, dan menemukan resolusi konflik, yang secara ringkas disebut keterampilan akademik dan keterampilan sosial. Dua dari keterampilan akademik dan keterampilan sosial ini, yaitu keterampilan berpikir kritis dan keterampilan mengatasi konflik Zubaedi, 2011: 239. Dwiningrum 2010: 47 pendidikan karakter harus dikembangkan secara holistik sehingga hasilnya akan lebih optimal. Karena dalam membangun manusia yang berkarakter bukan hanya dari dimensi kognitif saja, tetapi dalam prosesnya harus mampu mengembangkan potensi manusia. Pendidikan karakter harus dirancang secara sistemik dan holistik agar hasilnya lebih optimal. 40

7. Evaluasi Program Pendidikan Karakter

Evaluasi menurut Ralph Tyler Farida Yusuf Tayibnapis, 2008: 3 evaluasi ialah proses yang menentukan sampai sejauh mana tujuan pendidikan dapat dicapai. Cronbach dan Stufflebeam Suharsimi Arikunto, 2012: 3 menambahkan bahwa proses evaluasi bukan sekedar mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi digunakan untuk membuat keputusan. Scriven Farida Yusuf Tayibnapis, 2008: 4 evaluasi memiliki dua fungsi yaitu fungsi formatif dan fungsi sumatif. Evaluasi formatif berarti bahwa evaluasi tersebut dipakai untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedang berjalan program, orang, produk, dan sebagainya. fungsi sumatif, evaluasi dipakai untuk pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau lanjutan. Jadi evaluasi hendaknya membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan dukungan dari mereka yang terlibat. Menurut Stufflebeam Farida Yusuf Tayibnapis, 2008: 5 evaluasi dapat berfokus pada empat aspek yaitu konteks, input, proses implementasi, dan produk. Karakter merupakan bagian dari ranah afektif. Menurut Andersen 1980 ada dua metode yang dapat digunakan untuk mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan 41 diri. Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karateristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang ditampilkan, reaksi psikologi, atau keduanya. Metode laporan diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah dirinya sendiri. Namun, hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap karakteristik afektif diri sendiri Djemari Mardapi, 2014: 4

C. Pondok Pesantren

1. Pengertian Pondok Pesantren

Manfred Ziemek Wahjoetomo 1997: 70 kata pondok berasal dari funduq Arab yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata santri yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran –an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah ‘tempat para santri’. Zamakhsyari Dhofier 1985: 44 sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai”. Sugeng Haryanto 2012: 39 memberikan definisi pondok pesantren sebagai berikut : 42 “Pondok pesantren pada dasarnya adalah lembaga pendidikan Islam yang dilaksanakan dengan sistem asrama pondok, kyai encik, ajengan, atau tuan guru sebagai tokoh utama, dan masjid atau mushalla sebagai pusat lembaganya. Istilah pesantren menurut beberapa ahli pada mulanya lebih dikenal di Pulau Jawa karena pengaruh istilah pendidikan Jawa kuno, yang dikenal dengan sistem pendidikan asrama yakni kyai dan santri hidup bersama.” Zamakhsyari Dhofier 1985: 44 menyebutkan bahwa pondok, masjid, santri, kitab-kitab Islam klasik dan kyai merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren. Sedangkan Sugeng Haryanto 2012: 40 dalam keputusan lokakarya intensifikasi pengembangan pondok pesantren yang diselenggarakan pada tanggal 2-6 Mei 1978 di Jakarta, pengertian pondok pesantren didefinisikan sebagai lembaga pendidikan Islam yang minimal terdiri dari tiga unsur yaitu kyaiSyeh Ustadz yang mendidik serta mengajar, santri dengan asramanya, dan masjid atau mushalla. Kegiatan-kegiatan dalam pondok pesantren ini adalah mencakup “Tri Dharma Pondok Pesantren” yaitu: a Keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT; b Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; c Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara. Dari beberapa pengertian tentang pondok pesantren dapat disimpulkan bahwa pondok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang didalamnya terdapat pondok tempat tinggal 43 santri, masjid, santri, kajian tentang kitab-kitab, serta kyai yang membimbing santri.

2. Model-model Pondok Pesantren

Wahjoetomo 1997: 83 membedakan model-model pesantren ke dalam dua bentuk yakni : a. Pesantren Salaf Pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik salaf sebagai inti pendidikan. Sedangkan sistem madrasah ditetapkan hanya untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Zamakhsyari Dhofier Wahjoetomo, 1997: 83 menyatakan bahwa sistem pengajaran pesantren salaf lebih sering menerapkan model sorogan dan weton. Istilah weton ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti waktu. Disebut weton karena pengajian model ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu dan biasanya sesudah mengerjakan shalat fardhu. Sistem weton atau yang juga dikenal dengan istilah bendongan adalah model pengajian yang dilakukan seperti kuliah terbuka yang diikuti oleh sekelompok santri sejumlah 100-500 orang atau lebih. Kyai akan membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan sekaligus mengulas kitab-kitab salaf berbahasa Arab yang menjadi acuannya, kemudian para santri mendengarkan dan 44 memperhatikan kitabnya sambil menulis arti dan keterangan tentang kata-kata atau pemikiran yang sukar. b. Pesantren Khalaf Wahjoetomo 1997: 87 Pesantren Khalaf adalah lembaga pesantren yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum seperti SMP, SMU, dan bahkan perguruan tinggi dalam lingkungannya. Pesantren khalaf tidak meninggalkan sistem salaf. Hampir semua pesantren modern, meskipun telah menyelenggarakan sekolah-sekolah umum, tetap menggunakan sistem salaf di pondoknya. Dalam fase pertumbuhan pesantren telah mengalami beberapa perkembangan termasuk di dalamnya ada yang memasukkan program pendidikan jalur sekolah di bawah naungan Depag dan Diknas, dan ada yang tidak memasukkan program pendidikan jalur sekolah formal. Manfred Ziemek 1986: 98-99 mengklasifikasikan jenis-jenis pesantren dalam lima jenis yaitu: 1 Jenis A Pesantren jenis ini merupakan tingkat awal mendirikan sebuah pesantren. Pesantren ini terdiri dari masjid dan rumah kyai bersifat sederhana. Kyai menggunakan masjid atau rumahnya sendiri untuk mengajar kitab Islam Klasik. Dalam