IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SMP AL- HIKMAH KARANGMOJO GUNUNGKIDUL.
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SMP
AL-HIKMAH KARANGMOJO GUNUNGKIDUL
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Desy Dwi Wulandari
NIM 10110241016
PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
(2)
(3)
(4)
(5)
v
MOTTO
Hidup tidak menghadiahkan barang sesuatupun kepada manusia tanpa bekerja
keras (penulis).
(6)
vi
PERSEMBAHAN
Seiring rasa syukur kepada Allah SWT, atas karunia dan nikmat yang tak
terhingga. Sebuah karya ini penulis persembahkan kepada:
1.
Kedua orangtuaku tercinta, Bapak Satidjan dan Ibu Murtinem yang telah
memberikan kasih sayang, doa dan dukungan yang tak pernah terputus untuk
keberhasilan anakmu ini.
(7)
vii
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SMP
AL-HIKMAH KARANGMOJO GUNUNGKIDUL
Oleh
Desy Dwi Wulandari
NIM 10110241016
ABSTRAK
Penelitian ini untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan pendidikan
karakter di SMP Al-Hikmah serta faktor pendukung dan penghambat kebijakan
pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data
melalui observasi, wawancara, dan kajian dokumen. Subjek penelitian adalah
kepala sekolah, guru, karyawan, dan siswa. Analisis data penelitian yaitu reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Uji keabsahan data dengan
triangulasi teknik yaitu hasil penelitian wawancara dicek dengan observasi dan
kajian dokumen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Kebijakan pendidikan karakter
dicetuskan untuk membentuk perilaku siswa yang memiliki karakter yang baik; 2)
Program pendidikan karakter yaitu program intrakurikuler dan ektrakurikuler.
Pendidik dalam pendidikan karakter adalah diri sendiri, orang tua, guru, kepala
sekolah, karyawan, teman, lingkungan masyarakat, dan media massa. Strategi
pendidikan karakter melalui integrasi pembelajaran di sekolah dan pelajaran
pesantren. Metode pendidikan karakter yaitu
inkulkasi (penanaman) nilai,
keteladanan, fasilitasi, dan pengembangan ketrampilan. Evaluasi dilakukan pada
rapat-rapat sekolah; 3) Faktor pendukung kebijakan adalah kemauan siswa,
integrasi pendidikan di sekolah dan pesantren. Faktor penghambat yaitu
input
siswa yang berasal dari berbagai daerah, sarana dan prasarana, dana, konsistensi
guru dalam mengajar, pengaruh lingkungan, serta tidak adanya inovasi kurikulum
di pesantren.
(8)
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, petunjuk, serta karunia-Nya sehingga penulis
dapat melakukan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul
“Kebijakan Pendidikan Karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo Gunungkidul”
ini disusun dalam rangka memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
S1 Kebijakan Pendidikan, Fakultas IlmuPendidikan, Universitas Negeri
Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dariberbagai
pihak skripsi ini tidak akan terwujud.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terimakasih
setinggi-tingginya kepada :
1.
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan
dan fasilitas untuk menimba ilmu selama masa studi di Universitas Negeri
Yogyakarta.
2.
Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah
memberikan ijin penelitian untuk keperluan Tugas Akhir Skripsi.
3.
Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
yang telah memberikan pengesahan hasil Tugas Akhir Skripsi.
4.
Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan yang telah memberikan
pengarahan dalam penyelesaian Tugas Akhir Skripsi.
5.
Ibu Dr. Rukiyati, M. Hum dan Ibu Dr. Siti Irene Astuti D., M. Si selaku
Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyelesaian Tugas Akhir Skripsi.
6.
Ibu Y. Ch. Nany Sutarini, M. Si selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang
telah membimbing dan memberi pengarahan dalam menyelesaikan studi.
7.
Bapak dan Ibu dosen dan pengajar di Jurusan Filsafat dan Sosiologi
Pendidikan, yang telah memberikan banyak ilmu dan bekal pengalaman.
Kedua orangtuaku, Bapak Satijan dan Ibu Murtinem, kakakku dan segenap
keluarga besar yang telah mendukung dan mendoakan sampai selesai studi.
(9)
(10)
x
DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL
... i
HALAMAN PERSETUJUAN
... ii
HALAMAN PERNYATAAN
... iii
HALAMAN PENGESAHAN
... iv
HALAMAN MOTTO
... v
HALAMAN PERSEMBAHAN
... vi
ABSTRAK
... vii
KATA PENGANTAR
... viii
DAFTAR ISI
... x
DAFTAR
TABEL
... xiii
DAFTAR
GAMBAR
... xiv
DAFTAR
LAMPIRAN
... xv
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ... 1
B.
Identifikasi Masalah ... 7
C.
Batasan Masalah ... 8
D.
Rumusan Masalah ... 8
E.
Tujuan Penelitian ... 9
F.
Manfaat Penelitian ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.
Kebijakan Pendidikan ... 10
1.
Pengertian Kebijakan ... 10
2.
Pengertian Kebijakan Pendidikan ... 11
B.
Pendidikan Karakter ... 12
1.
Pengertian Karakter ... 12
(11)
xi
3.
Tujuan Pendidikan Karakter ... 16
4.
Materi Pendidikan Karakter ... 18
5.
Pendidik dalam Pendidikan Karakter... 27
6.
Strategi dan Metode Pendidikan Karakter ... 30
7.
Evaluasi Program Pendidikan Karakter ... 39
C.
Pondok Pesantren ... 41
1.
Pengertian Pondok Pesantren ... 41
2.
Model-model Pondok Pesantren ... 43
3.
Peran Pondok Pesantren ... 46
D.
Kerangka Berpikir ... 50
E.
Pertanyaan Penelitian ... 53
F.
Penelitian Relevan ... 53
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Jenis Penelitian ... 56
B.
Tempat dan Waktu Penelitian ... 56
C.
Subjek dan Objek Penelitian ... 57
D.
Teknik Pengumpulan Data ... 57
E.
Intrumen Penelitian ... 61
F.
Metode Analisis Data ... 61
G.
Keabsahan Data... 63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Deskripsi SMP Al-Hikmah Karangmojo ... 65
B.
Deskripsi Pondok Pesantren Al-Hikmah Karangmojo ... 72
C.
Hasil Penelitian ... 77
1.
Latar Belakang Kebijakan Pendidikan Karakter di SMP Al-Hikmah
Karangmojo... 77
(12)
xii
a.
Program Pendidikan Karakter ... 82
b.
Proses Pendidikan Karakter ... 126
c.
Evaluasi Kebijakan Pendidikan Karakter ... 133
3.
Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Pendidikan Karakter ... 137
D.
Pembahasan ... 140
1.
Latar Belakang Kebijakan Pendidikan Karakter di SMP Al-Hikmah
Karangmojo ... 140
2.
Kebijakan Pendidikan Karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo ... 142
a.
Program Pendidikan Karakter ... 142
b.
Proses Pendidikan Karakter ... 144
c.
Evaluasi Kebijakan Pendidikan Karakter ... 150
3.
Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Pendidikan Karakter ... 152
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan ... 155
B.
Saran ... 157
DAFTAR PUSTAKA
... 158
(13)
xiii
DAFTAR TABEL
hal
Tabel 1. Indikator Keberhasilan Pendidikan Karakter ... 21
Tabel 2. Kisi-kisi dalam Wawancara ... 58
Tabel 3. Kisi-kisi Pedoman Observasi ... 59
Tabel 4. Kisi-kisi Pedoman Dokumentasi ... 60
Tabel 5. Daftar pendidik dan tenaga kependidikan SMP Al-Hikmah ... 70
Tabel 6. Sarana dan Prasarana SMP Al-Hikmah Berupa Kepemilikan Tanah ... 71
Tabel 7. Sarana dan Prasarana SMP Al-Hikmah Berupa Bangunan ... 71
Tabel 8. Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Berupa Kepemilikan Tanah .... 76
Tabel 9. Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Berupa Bangunan ... 76
Tabel 10. Jadwal Aktivitas Siswa/Santri ... 90
Tabel 11. Indikator Nilai-nilai Karakter di SMP Al-Hikmah ... 105
Tabel 12. Form Penilaian Afektif Siswa SMP Al-Hikmah ... 136
(14)
xiv
DAFTAR GAMBAR
hal
Gambar 1. Komponen karakter yang baik ... 14
Gambar 2. Desain Pendidikan Karakter dalam Tataran Mikro ... 35
Gambar 3. Alur Kerangka Pikir ... 52
Gambar 4. Tahap Analisis Data ... 61
Gambar 5. Struktur Organisasi SMP Al-Hikmah ... 69
(15)
xv
DAFTAR LAMPIRAN
hal
1.
Pedoman Observasi, Dokumentasi dan Wawancara ... 161
2.
Transkrip Hasil Wawancara ... 170
3.
Catatan Lapangan ... 200
4.
Dokumentasi Foto ... 208
(16)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan upaya terencana dalam proses pembimbingan
dan pembelajaran bagi individu agar tumbuh kembang menjadi manusia
yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, sehat dan berakhlak
mulia. Pendidikan saat ini dihadapkan pada tuntutan yang berat, terutama
dalam mempersiapkan anak didik menghadapi dinamika perubahan yang
semakin berkembang pesat. Perubahan dinamika zaman yang semakin
modern telah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun
perubahan tersebut tidak serta merta mengiringi perkembangan moral yang
semakin baik, tetapi justru sebaliknya. Perubahan dinamika zaman telah
mengakibatkan menggesernya moral-moral anak bangsa.
Data statistik menunjukkan adanya peningkatan tindakan kriminalitas
di kalangan remaja. Data yang bersumber dari laporan masyarakat dan
pengakuan pelaku tindak kriminal yang tertangkap tangan oleh polisi
mengungkapkan bahwa selama tahun 2007 tercatat sekitar 3.145 orang
pelaku tindak pidana adalah remaja yang berusia 18 tahun atau kurang.
Jumlah tersebut pada tahun 2008 dan 2009 masing-masing meningkat
menjadi sekitar 3.280 remaja dan sekitar 4.213 remaja. (BPS. 2010.
http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/flip_2011/4401003/index11.php?pub
=Profil%20Kriminalitas%20Remaja%202010).
Dari
data
tersebut
(17)
2
menunjukkan adanya peningkatan tindakan kriminalitas yang dilakukan
oleh remaja serta memperlihatkan adanya krisis karakter generasi bangsa
serta gagalnya pendidikan dalam upaya mewujudkan pendidikan moral
maupun penanaman nilai-nilai karakter pada peserta didik.
Selain permasalahan krisis karakter yang dilakukan oleh remaja,
masih banyak masalah-masalah kriminal, permasalahan dalam pendidikan
yang terjadi di Indonesia antara lain seperti kecurangan pada saat Ujian
Nasional (UN), pergaulan bebas, tawuran antar sesama pelajar, dan ada
pula kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh guru dalam sertifikasi
maupun penyelenggaraan UN. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan
pendidikan tidak hanya pada peserta didik tetapi juga pada segi kurikulum,
manajemen, dan juga pendidik. Berbagai macam permasalahan moral
tersebut telah menjadi bukti terjadinya krisis karakter.
Paul Suparno, dkk (2000: 74) mengatakan saat ini gambaran orang
bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah, berbudaya, dan
berbudi luhur telah hancur lebur. Kekerasan dan tindakan tidak manusiawi
terjadi di mana-mana dan berlangsung lama. Tudingan yang tidak dapat
dihindari dan sulit disangkal adalah tudingan yang tertuju pada kegagalan
pendidikan di sekolah pada umumnya dan secara khusus pendidikan nilai
atau pendidikan budi pekerti sebagai penyebabnya.
Y.B. Adimasana (2002: 33) menyatakan bahwa penyebab dari semua
kegagalan pendidikan dari masa Orde Baru sampai sekarang adalah
(18)
3
pendidikan sekolah yang klasikal dan semakin bercorak massal dan formal,
sehingga proses pendidikan di sekolah menjadi dangkal atau tidak
mendasar. Pelajaran-pelajaran hanya dianggap menjadi sekedar upacara
atau acara formal. Proses dan isinya tidak dipandang terlalu penting.
Nilai-nilai ujian dapat diatur, yang paling mencolok adalah minimnya aktivitas
yang mendorong peserta didik untuk berefleksi dan berafeksi untuk
mengembangkan pemikiran yang kritis (
critical thinking
), pemikiran yang
reflektif (
reflektive thinking
), daya afektif dan daya kreatif, yang menjadi
motor penggerak aktivitas hidup yang positif, produktif, dan konstruktif.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Darmiyati Zuchdi (2011: 467)
bahwa:
“Pendidikan perlu direkonstruksi ulang agar dapat menghasilkan
lulusan yang lebih berkualitas dan siap menghadapi dunia masa
depan yang penuh problema dan tantangan serta dapat menghasilkan
lulusan yang memiliki karakter mulia, yakni: memiliki kepandaian
sekaligus kecerdasan, memiliki kreativitas tinggi sekaligus sopan dan
santun dalam berkomunikasi, serta memiliki kejujuran dan
kedisiplinan sekaligus tanggung jawab yang tinggi. Dengan kata lain,
pendidikan harus mengemban misi pembentukan karakter (
character
building
) sehingga para peserta didik dan para lulusannya dapat
berpartisipasi dalam mengisi pembangunan dengan baik dan berhasil
tanpa meninggalkan nilai-nilai karakter mulia.”
Pembentukan dan pendidikan karakter melalui sekolah merupakan
usaha mulia yang mendesak untuk dilakukan. Bahkan, jika berbicara
tentang masa depan, sekolah bertanggung jawab bukan hanya dalam
mencetak peserta didik yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan
(19)
4
teknologi, tetapi juga dalam karakter dan kepribadian (Azyumardi Azra,
2002: 176).
Dalam UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 Pasal 3 menyatakan bahwa:
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka
mencerdaskan
kehidupan
bangsa,
bertujuan
untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta tanggung jawab.”
Fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, seharusnya
memberikan pencerahan bahwa keberhasilan pendidikan itu ditunjukkan
dengan berkembangnya kemampuan peserta didik sesuai dengan potensi
yang dimilikinya, menjadikan peserta didik memiliki watak yang bermoral,
berakhak mulia dan berkepribadian luhur serta menjadikan peserta didik
sebagai manusia yang berakal budi dan beradab. Pendidikan nasional juga
harus mampu membangun manusia yang utuh yang memiliki nilai-nilai
karakter yang baik di samping juga memiliki keimanan dan ketakwaan.
Fungsi
tersebut
menunjukkan
bahwa
bangsa
Indonesia
sangat
memperhatikan pendidikan karakter, tetapi dalam pelaksanaannya masih
belum sesuai dengan yang diharapkan.
Kebijakan pendidikan karakter penting dilaksanakan, hal ini
dimaksudkan sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia.
Tujuan pendidikan karakter ini adalah mewujudkan nilai-nilai luhur yang
(20)
5
terkandung dalam Pancasila dalam pola pikir, pola rasa, dan perilaku
sehari-hari dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Darmiyati Zuchdi (2011: 33) bahwa:
“Pendidikan karakter itu sebaiknya diajarkan secara sistematis dalam
model pendidikan holistik menggunakan metode
knowing the good
,
feeling the good
, dan
acting the good
.
Knowing the good
dapat mudah
diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah
knowing
the good
harus ditumbuhkan
feeling loving the good
, yakni
bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi
engine
yang
dapat membuat orang senantiasa mau berbuat kebaikan, sehingga
tumbuh kesadaran bahwa orang mau melakukan perilaku kebajikan
karena cinta pada kebajikan tersebut. Setelah terbiasa melakukan
kebajikan,
acting the good
itu akan berubah menjadi kebiasaan.”
SMP Al-Hikmah Karangmojo merupakan salah satu Sekolah
Berbasis Pesantren (SBP) di Gunungkidul. Sekolah ini telah menerapkan
kebijakan pendidikan karakter sejak tahun 2010. SMP Al-Hikmah
Karangmojo juga sebagai sekolah berasrama atau
boarding school
dimana
siswanya wajib tinggal di Pondok Pesantren Al-Hikmah. Kehadiran
sekolah berbasis pesantren telah memberikan alternatif pendidikan untuk
membentuk karakter siswa. Sebagai Sekolah Berbasis Pesantren (SBP),
sekolah ini mengintegrasikan pendidikan pesantren di dalam pembelajaran
sekolah.
Terlepas dari kebijakan pendidikan karakter di sekolah, Pondok
Pesantren Al Hikmah sebenarnya telah menanamkan pendidikan karakter
sejak dulu. Kehidupan di Pondok Pesantren Al-Hikmah memiliki
aturan-aturan, nilai dan norma yang harus dipatuhi para santri. Nilai-nilai
(21)
6
kehidupan yang ditanamkan di dalam pondok pesantren bertujuan untuk
membentuk santri yang bermoral, akhlakul karimah sesuai ajaran agama
Islam. Nilai-nilai karakter di dalam pondok pesantren diintegrasikan di
sekolah. Ada setidaknya 17 nilai dari pondok pesantren yang diintegrasikan
di sekolah. Penanaman nilai-nilai karakter ini tidak hanya dalam bentuk
pembelajaran yang terus menerus berupa teori namun diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari dimulai dari saat bangun tidur hingga tidur kembali.
Kedisiplinan, kemandirian, kejujuran, kerja keras, tanggung jawab, dan
nilai-nilai karakter yang lain ditanamkan dalam berbagai kegiatan baik di
sekolah maupun di pondok pesantren, baik intrakurikuler maupun
ekstrakurikuler.
Keberhasilan sekolah dan pondok pesantren dalam mendidik para
peserta didiknya dapat mengantarkan sekolah ini menjuarai berbagai
perlombaan di tingkat kabupaten maupun provinsi di bidang akademik
seperti Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), Olimpiade Sains Nasional
(OSN), Festival dan Lomba Senin Siswa Nasional (FLSSN), dan di bidang
non akademik seperti pencak silat, tenis meja, atletik, tapak suci, dan
lain-lain. Keberhasilan yang lain tentunya adalah keberhasilan dalam
membentuk peserta didik yang memiliki moral dan akhlak sesuai dengan
ajaran Islam.
Dari hasil pra penelitian di SMP Al-Hikmah, ada beberapa hal yang
menunjukkan bahwa pendidikan karakter di sekolah tersebut belum
(22)
7
berjalan dengan baik yaitu adanya siswa yang masih melanggar peraturan
sekolah, nilai karakter kebersihan juga belum tercermin di sekolah dan
pesantren karena masih banyak coretan tembok maupun sarana prasarana
sekolah serta lingkungan pesantren yang kurang bersih. Kedisiplinan di
sekolah juga masih kurang , kreatif, semangat kebangsaan, belum tercermin
di sekolah dan pesantren. Adanya siswa maupun santri yang tidak dapat
mengikuti peraturan atau kehidupan di sekolah dan pondok pesantren ini
sebenarnya menunjukkan bahwa pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah
belum mampu dilaksanakan secara menyeluruh. Siswa di sekolah ini hanya
mampu memahami nilai-nilai baik dan buruk (
knowing the good
) namun
belum dapat merasakan (
feeling the good
) dan menerapkan (
acting the
good
) dalam kehidupan sehari-hari. Atas pertimbangan tersebut perlu
dilakukan penelitian dengan judul “Implementasi Kebijakan Pendidikan
Karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo Gunungkidul” untuk mengetahui
pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah dan di pondok pesantren.
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan kajian latar belakang masalah, dapat diidentifikasikan
beberapa masalah yaitu :
1.
Perubahan dinamika zaman telah mengakibatkan menggesernya
moral-moral anak bangsa.
(23)
8
2.
Terjadinya krisis karakter generasi bangsa serta gagalnya pendidikan
dalam upaya mewujudkan pendidikan moral maupun penanaman
nilai-nilai karakter pada peserta didik.
3.
SMP Al-Hikmah Karangmojo merupakan salah satu Sekolah Berbasis
Pesantren (SBP) yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak
tahun 2010 tetapi masih belum berjalan maksimal.
4.
Masih ada siswa yang melanggar peraturan sekolah, nilai karakter
kebersihan juga belum tercermin di sekolah dan pesantren karena
masih banyak coretan tembok maupun sarana prasarana sekolah serta
lingkungan pesantren yang kurang bersih. Kedisiplinan di sekolah juga
masih kurang , kreatif, semangat kebangsaan, belum tercermin di
sekolah dan pesantren. Pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah
diketahui pelaksanaannya belum mampu secara menyeluruh.
C.
Batasan Masalah
Terbatasnya kemampuan peneliti dan luasnya cakupan penelitian,
maka dalam penelitian ini peneliti membatasi tentang “Implementasi
Kebijakan Pendidikan Karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo”
D.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, diajukan rumusan
masalah sebagai berikut :
1.
Mengapa ada kebijakan pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah
Karangmojo?
(24)
9
2.
Bagaimana implementasi kebijakan pendidikan karakter di SMP
Al-Hikmah Karangmojo?
3.
Apa saja faktor pendukung dan penghambat kebijakan pendidikan
karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo?
E.
Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui latar belakang adanya kebijakan pendidikan
karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo.
2.
Untuk mengetahui dan mendeskripsikan implementasi kebijakan
pendidikan karakter di SMP Al-Hikmah Karangmojo.
3.
Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat implementasi
kebijakan pendidikan karakter di SMP AL-Hikmah.
F.
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
a.
Menambah dan memperkaya khasanah keilmuan dalam dunia
pendidikan khususnya tentang pendidikan karakter di SMP
Al-Hikmah.
2.
Secara Praktis
a.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
tentang sekolah yang menerapkan pendidikan karakter di sekolah
yang berbasis pondok pesantren.
b.
Untuk menambah wawasan dan cakrawala pengetahuan tentang
pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah.
(25)
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Kebijakan Pendidikan
1.
Pengertian Kebijakan
Secara harfiah, kebijakan adalah terjemahan dari
policy
. Kata
policy
secara etimologisberasal dari kata
polis
dalam bahasa Yunani
(Greek), yang berarti negara-kota. Dunn (Maryono, 2010: 20) masuk
dalam bahasa Inggris lama (
middle English
), kata tersebut menjadi
policie
, yang pengertiannya berkaitan dengan urusan perintah atau
administrasi pemerintah. Dalam pengertian umum kata ini seterusnya
diartikan sebagai “...
a course of action intended to accomplish some
end”
Jones (Maryono: 2010: 20) atau sebagai “...
whatever government
choose to do or not to do”
Dye (Maryono, 2010: 20).
Thomas R, Dye (Riant Nugroho, 2008: 32) mendefinisikan
kebijakan sebagai segala sesuatu yang dikerjakan pemerintah untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Kartasasmita (Joko Widodo, 2008: 13) mengatakan kebijakan
merupakan upaya untuk memahami dan mengartikan apa yang
dilakukan (atau tidak dilakukan) oleh pemerintah mengenai suatu
masalah, apa yang menyebabkan atau mempengaruhinya, dan apa
pengaruh dan dampak dari kebijakan tersebut.
(26)
11
Sedangkan Friedrich (Joko Widodo, 2008: 13) mendefinisikan
kebijakan sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang
diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam
lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan
tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau
mewujudkan sasaran yang diinginkan.
2.
Pengertian Kebijakan Pendidikan
Kebijakan pendidikan merupakan salah satu dari kebijakan
publik di suatu negara. Kebijakan pendidikan menurut H.A.R. Tilaar
(Riant Nugroho, 2008: 140) adalah keseluruhan proses dan hasil
perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari
visi, misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya
tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu
tertentu.
Sedangkan menurut Arif Rohman (2009: 108) kebijakan
pendidikan merupakan keputusan berupa pedoman bertindak baik yang
bersifat sederhana maupun kompleks, baik umum maupun khusus,
baik terperinci maupun longgar yang dirumuskan melalui proses
politik untuk suatu arah tindakan, program serta rencana-rencana
tertentu dalam menyelenggarakan pendidikan.
Dari beberapa pengertian tentang kebijakan dapat disimpulkan
bahwa kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
(27)
12
pemerintah untuk mengatasi suatu masalah dan mencapai tujuan yang
dicita-citakan. Sedangkan kebijakan pendidikan dapat disimpulkan
sebagai serangkaian tindakan yang di dalamnya memuat pedoman
dalam pengaturan penyelenggaraan pendidikan.
B.
Pendidikan Karakter
1.
Pengertian Karakter
Wynne (Darmiyati Zuchdi (2009: 10) Istilah karakter diambil
dari bahasa Yunani yang berarti “
to mark
” (menandai). Istilah ini lebih
difokuskan pada bagaimana upaya pengaplikasian nilai kebaikan
dalam bentuk tindakan atau tingkah laku.
Wynne (Darmiyati Zuchdi, 2009: 10) menyatakan ada dua
pengertian tentang karakter yaitu pertama karakter menunjukkan
bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku
tidak jujur, kejam, atau rakus, orang tersebut memanifestasikan
perilaku buruk, sebaliknya apabila seseorang berperilaku jujur, suka
menolong, tentu orang tersebut memanifestasikan karakter mulia.
Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan “
personality
”. Seseorang
dapat disebut “orang yang berkarakter” (
a person of character
) apabila
tingkah lakunya sesuai kaidah moral.
William Berkovitz (Darmiyati Zuchdi, 2011: 14) memberikan
definisi karakter sebagai serangkaian ciri-ciri psikologis individu yang
mempengaruhi kemampuan pribadi dan kecenderungan berfungsi
(28)
13
secara moral. Secara singkat karakter diartikan sebagai tersusun atas
ciri-ciri yang akan memandu seseorang melakukan hal-hal yang benar
atau tidak akan mengerjakan hal-hal yang tidak benar.
Zubaedi (2011: 10) menyatakan karakter (
character
) mengacu
pada serangkaian sikap (
attitudes
), perilaku (
behaviors
), motivasi
(
motivations
) dan keterampilan (
skills
). Karakter meliputi sikap seperti
keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual
seperti kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan
bertanggungjawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam
situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional
yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam
berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan
komunitas dan masyarakatnya.
Karakter
merupakan nilai-nilai
perilaku
manusia
yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat (Zubaedi, 2011:
10). Sedangkan Simon Philips (Fatchul Mu’in, 2011: 160)
mendefinisikan karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada
suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang
ditampilkan.
(29)
14
Thomas Lickona (2012: 81) karakter yang baik merupakan hal
yang kita inginkan bagi anak-anak kita. Karakter baik, terdiri dari
mengetahui hal yang baik, menginginkan hal baik, dan melakukan hal
yang baik yakni kebiasaan dalam cara berpikir, kebiasaan dalam hati,
dan kebiasaan dalam tindakan. Ketiga hal ini diperlukan untuk
mengarahkan suatu kehidupan moral: ketiganya ini membentuk
kedewasaan moral. Dengan demikian pendidikan karakter yang baik,
menurut Lickona, harus melibatkan bukan saja aspek
knowing the
good
(
moral knowing
), tetapi juga “
desiring the good
” atau “
loving the
good
” (
moral feeling
) dan “
acting the good
” (
moral action
).
Thomas Lickona (2012: 84) menggambarkan diagram tentang
kualitas atau ciri-ciri karakter yang membentuk pengetahuan moral,
perasaan moral, dan tindakan moral.
Gambar 1. Komponen karakter yang baik
Sumber: Thomas Lickona, 2012: 84
Komponen Karakter yang Baik Pengetahuan Moral
a. Kesadaran moral b. Pengetahuan nilai c. Penentuan perspektif d. Pemikiran moral e. Pengambilan keputusan f. Pengetahuan pribadi
Perasaan Moral a. Hati nurani b. Harga diri c. Empati
d. Mencintai hal yangbaik e. Kendali diri
f. Kerendahan hati Tindakan Moral
a. Kompetensi b. Keinginan c. Kebiasaan
(30)
15
Dari beberapa definisi tentang karakter, dapat disimpulkan
bahwa karakter adalah ciri-ciri dari individu yang mengacu pada
pengetahuan, perasaan, dan perbuatan yang dimilikinya. Seseorang
memiliki karakter baik ialah orang yang memiliki pengetahuan,
perasaan, dan perbuatan yang baik sesuai dengan kaidah moral.
Sebaliknya orang memiliki karakter buruk adalah orang yang memiliki
pengetahuan, perasaan, dan perbuatan yang tidak sesuai dengan kaidah
moral.
2.
Pengertian Pendidikan Karakter
Zamroni (Darmiyati Zuchdi, 2011: 158) menyatakan pendidikan
karakter merupakan proses untuk mengembangkan pada diri setiap
peserta didik kesadaran sebagai warga bangsa yang bermartabat,
merdeka dan berdaulat dan berkemauan untuk menjaga dan
mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan tersebut.
Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan
sengaja untuk mengembangkan karakter baik (
good characters
)
berlandaskan kebajikan-kebajikan inti (
core virtues
), secara objektif
baik bagi individu maupun masyarakat.
Akhmad Muhaimmin Azzet (2011: 27) menyatakan pendidikan
karakter adalah pendidikan budi pekerti yang melibatkan aspek
pengetahuan (
cognitive
), perasaan (
feeling
), dan tindakan (
action
).
(31)
16
Menurut Dharma Kesuma, dkk (2011: 8) mendefinisikan
pendidikan karakter dalam seting sekolah sebagai “Pembelajaran yang
mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara
utuh yang didasarkan pada suatu niali tertentu yang dirujuk oleh
sekolah”. Definisi ini mengandung makna bahwa pendidikan karakter
merupakan pendidikan yang terintegrasi dengan pembelajaran yang
terjadi pada semua mata pelajaran. Pendidikan karakter ini juga
diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara
utuh. Asumsinya anak merupakan organisme manusia yang memiliki
potensi untuk dikuatkan dan dikembangkan. Penguasaan dan
pengembangan perilaku didasarkan oleh nilai yang dirujuk sekolah
(lembaga).
Dari beberapa definisi tentang pendidikan karakter dapat
disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan pendidikan
tentang nilai-nilai budi pekerti untuk mengembangkan karakter yang
baik yang melibatkan aspek pengetahuan (
knowing
), perasaan
(
feeling
), dan tindakan (
action
).
3.
Tujuan Pendidikan Karakter
Tujuan pendidikan nasional sebenarnya mengarah pada
pengembangan berbagai karakter manusia Indonesia, walaupun dalam
penyelenggaraannya masih jauh dari apa yang dimaksudkan dalam
UU. Pendidikan nasional seharusnya sebagai pendidikan karakter
(32)
17
bukan pendidikan akademik semata. Karena ukuran keberhasilan
pendidikan itu tidak hanya berhenti pada angka ujian tetapi bagaimana
proses menguasai keterampilan dan mengakumulasi pengetahuan.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Zubaedi (2011: 18)
pendidikan karakter secara perinci memiliki lima tujuan yaitu yang
pertama mengembangkan potensi afektif peserta didik sebagai manusia
memiliki nilai-nilai karakter bangsa. Kedua, mengembangkan
kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan
nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius. Ketiga,
menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik
sebagai generasi penerus bangsa. Keempat, mengembangkan
kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, dan
berwawasan kebangsaan. Kelima, mengembangkan lingkungan
kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh
kreativitas dan persahabatan, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi
dan penuh kekuatan.
Tujuan pendidikan karakter dalam seting sekolah oleh Dharma
Kesuma, dkk (2011: 9) ialah: a) Menguatkan dan mengembangkan
nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga
menjadi kepribadian/kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana
nilai-nilai yang dikembangkan; b) Mengoreksi perilaku peserta didik
yang tidak berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh
(33)
18
sekolah; c) Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan
masyarakat dalam memerankan tanggungjawab pendidikan karakter
secara bersama.
Jadi, tujuan kebijakan pendidikan karakter adalah untuk
membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang memiliki
pengetahuan tentang moral, perasaan bermoral, serta perilaku bermoral
sesuai dengan cita-cita di dalam Undang-Undang Sisdiknas yaitu
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi
warga negara yang demokratis serta tanggung jawab.
4.
Materi Pendidikan Karakter
Menurut CEO IDEAL (Darmiyati Zuchdi 2009: 44), ada 7
karakter yang menjadi pilihan untuk dibudayakan. Karakter-karakter
yang dipilih secara keseluruhan yaitu: a)
Honest
(jujur); b)
Forward
Looking
(berpandangan jauh); c)
Competent
(kompeten); d)
Inspiring
(dapat memberi inspirasi); e)
Intelligent
(cerdas); f)
Fair-Minded
(adil); g)
Broad Minded
(berpandangan luas); h)
Supportive
(mendukung); i)
Straight forward
(terus terang); j)
Dependable
(dapat
diandalkan); k)
Cooperative
(kerjasama); l)
Determinded
(tegas); m)
(34)
19
Immaginative
(berdaya imajinasi); n)
Ambitious
(berambisi); o)
Courageous
(berani); p)
Caring
(perhatian); q)
Mature
(matang); r)
Loyal
(setia); s)
Self-controlled
(penguasaan diri); t)
Independent
(independen).
Zubaedi (2011: 72) menyatakan pendidikan karakter dilakukan
melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi dasar
karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada
dasarnya adalah nilai. Pendidikan karakter pada dasarnya adalah
pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau
ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang
terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.
Menurut Puskur Kemendiknas ada 18 nilai karakter yang harus
dimiliki siswa yaitu: a) Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh
dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk
agama lain; b) Jujur adalah perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam
perkataan, tindakan, dan pekerjaan; c) Toleransi adalah sikap dan
tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dengan dirinya; d)
Disiplin adalah tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan; e) Kerja keras adalah perilaku
(35)
20
yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai
hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan
sebaik-baiknya; f) Kreatif adalah berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dan dari sesuatu yang telah
dimiliki; g) Mandiri adalah sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas; h)
Demokratis adalah cara berpikir, bersikap,dan bertindak yang menilai
sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain; i) Rasa ingin tahu
adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat,
dan didengar; j) Semangat kebangsaan adalah cara berpikir, bertindak,
dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di
atas kepentingan diri dan kelompoknya; k) Cinta tanah air adalah cara
berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan
fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa; l) Menghargai
prestasi adalah sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui,
serta
menghormati
keberhasilan
orang
lain;
m)
Komunikatis/bersahabat adalah tindakan yang memperlihatkan rasa
senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain; n)
Cinta damai adalah sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan
(36)
21
orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya; o) Gemar
membaca adalah kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya; p) Peduli
lingkungan adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan
upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi;
q) Peduli sosial adalah sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan; r)
Tanggungjawab
yakni sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya
dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial,
dan budaya), negara, maupun Tuhan Yang Maha Esa.
Puskur Kemdiknas (Asmaun Sahlan & Angga Teguh P., 2012:
178) indikator keberhasilan integrasi pendidikan karakter dengan
kehidupan siswa dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1. Indikator Keberhasilan Pendidikan Karakter
Nilai
Indikator Sekolah
Indikator Kelas
Religius
•
Merayakan hari besar
keagamaan.
•
Memiliki fasilitas yang
dapat digunakan untuk
beribadah.
•
Memberikan kesempatan
untuk melaksanakan
ibadah.
•
Berdoa sebelum dan
sesudah pelajaran.
•
Memberikan kesempatan
untuk semua peserta didik
untuk melaksanakan ibadah.
(37)
22
tempat temuan barang
hilang.
•
Transparansi laporan
keuangan dan penilaian
sekolah secara berkala.
•
Menyediakan kantin
kejujuran.
•
Menyediakan kotak saran
dan pengaduan.
•
Larangan membawa
fasilitas komunikasi pada
saat ulangan atau ujian.
tempat temuan barang
hilang.
•
Transparansi laporan
keuangan dan penilaian
sekolah secaraberkala.
•
Larangan menyontek.
Toleransi
•
Menghargai dan
memberikan perlakuan
yang sama terhadap
seluruh warga sekolah
tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan,
status sosial, status
ekonomi, dan kemampuan
khas.
•
Memberikan perlakuan
yang sama terhadap
stakeholder
tanpa
membedakan suku,
agama, ras, golongan,
status sosial, dan status
ekonomi.
•
Memberikan pelayanan
yang sama terhadap seluruh
warga kelas tanpa
membedakan suku, agama,
ras, golongan, status sosial,
dan status ekonomi.
•
Memberikan pelayanan
terhadap anak berkebutuhan
khusus.
•
Bekerja dalam kelompok
yang berbeda.
Disiplin
•
Memiliki catatatn
kehadiran.
•
Memberikan penghargaan
kepada warga sekolah
yang disiplin.
•
Memiliki tata tertib
sekolah.
•
Membiasakan warga
sekolah untuk berdisiplin.
•
Menegakkan aturan
dengan
•
Memberikan sanksi bagi
pelanggar tata tertib
sekolah
•
Membiasakan hadir tepat
waktu.
•
Membiasakan mematuhi
peraturan.
(38)
23
Kerja Keras
•
Menciptakan suasana
kompetisi yang sehat.
•
Menciptakan suasana
sekolah yang menantang
dan memacu untuk
bekerja keras.
•
Memiliki pajangan tentang
slogan atau motto tentang
kerja.
•
Menciptakan suasana
kompetisi yang sehat.
•
Menciptakan kondisi etos
kerja, pantang menyerah,
dan daya tahan belajar.
•
Menciptakan suasana
belajar yang memacu daya
tahan kerja.
•
Memiliki pajangan tentang
slogan atau motto tentang
giat bekerja dan belajar.
Kreatif
•
Menciptakan situasi yang
menumbuhkan daya
berpikir dan bertindak
kreatif.
•
Menciptakan situasi belajar
yang bisa menumbuhkan
daya pikir dan bertindak
kreatif.
•
Pemberian tugas yang
menantang memunculkan
karya-karya baru baik yang
autentik maupun
modifikasi.
Mandiri
•
Menciptakan situasi
sekolah yang membangun
kemandirian peserta didik.
•
Menciptakan suasana kelas
yang memberikan
kesempatan kepada peserta
didik untuk bekerja
mandiri.
Demokratis
•
Melibatkan warga sekolah
dalam setiap pengambilan
keputusan.
•
Menciptakan suasana
sekolah yang menerima
perbedaan.
•
Pemilihan kepengurusan
OSIS secara terbuka.
•
Mengambil keputusan kelas
secara bersama melalui
musyawarah dan mufakat.
•
Pemilihan kepengurusan
kelas secara terbuka.
•
Seluruh produk kebijakan
melalui musyawarah dan
mufakat.
•
Mengimplementasikan
model pembelajaran yang
dialogis dan interaktif.
Rasa Ingin
Tahu
•
Menyediakan media
komunikasi atau informasi
(media cetak atau media
elektronik) untuk
berekspresi bagi warga
sekolah.
•
Menciptakan suasana kelas
yang mengundang rasa
ingin tahu.
•
Eksplorasi lingkungan
secara terpogram.
(39)
24
•
Memfasilitasi warga
sekolah untuk
bereksplorasi dalam
pendidikan, ilmu
pengetahuan, teknologi,
dan budaya.
•
Tersedia media komunikasi
atau informasi (media cetak
atau media elektronik)
Semangat
Kebangsaan
•
Melakukan upacara rutin
di sekolah.
•
Melakukan upacara
hari-hari besar nasional.
•
Menyelenggarakan
peringatan hari
kepahlawanan nasional.
•
Memiliki program
melakuakan kunjungan ke
tempat bersejarah.
•
Mengikuti lomba pada
hari besar nasional.
•
Bekerja sama dengan teman
sekelas yang berbeda suku,
etnis, dan status
sosial-ekonomi.
•
Mendiskusikan hari-hari
besar nasional.
Cinta Tanah
Air
•
Menggunakan produk
buatan dalam negeri.
•
Menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan
benar.
•
Menyediakan informasi
(dari sumber cetak dan
elektronik) tentang
kekayaan alam dan
budaya Indonesia.
•
Memajangkan:foto presiden
dan wakil presiden, bendera
negara, lambang negara,
peta Indonesia, dan gambar
kehidupan masyarakat
Indonesia.
•
Menggunakan produk
buatan dalam negeri.
Menghargai
Prestasi
•
Menghormati kepada
sesuatu yang sudah
dilakukan guru, kepala
sekolah, dan personalia
sekolah lain.
•
Menghargai hasil kerja
pemimpin di masyarakat
sekaminya.
•
Menghargai tradisi dan
hasil karya masyarakat di
sekitarnya.
•
Menghargai
temuan-temuan yang telah
dihasilkan manusia dalam
•
Rajin belajar untuk
berprestasi tinggi.
•
Mengerjakan tugas dari
guru dengan sebaik-baiknya
•
Berlatih keras untuk
berprestasi dalam bidang
akademik maupun olahraga
dan kesenian.
•
Menghargai prestasi atau
hasil karya teman.
•
Menghargai temuan-temuan
yang telah dihasilkan
manusia dalam bidang ilmu,
(40)
25
bidang ilmu, teknologi,
sosial, budaya, dan seni.
teknologi, sosial, budaya,
dan seni.
Bersahabat/
Komunikati
f
•
Suasana sekolah yang
memudahkan terjadinya
interaksi antar warga
sekolah.
•
Berkomunikasi dengan
bahasa yang santun.
•
Saling menghargai dan
menjaga kehormatan.
•
Pergaulan dengan cinta
kasih dan rela berkorban.
•
Pengaturan kelas yang
memudahkan terjadinya
interaksi peserta didik.
•
Pembelajaran yang dialogis.
•
Guru mendengarkan
keluhan peserta didik.
•
Dalam berkomunikasi, guru
tidak menjaga jarak denagn
peserta didik.
Cinta
Damai
•
Menciptakan suasana
sekolah dan bekerja yang
nyaman, tenteram, dan
harmonis.
•
Membiasakan perilaku
warga sekolah yang anti
kekerasan.
•
Membiasakan perilaku
warga sekolah yang tidak
bias gender.
•
Perilaku seluruh warga
sekolah yang penuh kasih
sayang.
•
Menciptakan suasana kelas
yang damai.
•
Membiasakan perilaku
warga sekolah yang anti
kekerasan.
•
Pemeblajaran yang tidak
bias gender.
•
Kekerabatan di kelas yang
penuh kasih sayang.
Gemar
Membaca
•
Program wajib baca.
•
Frekuensi kunjungan
perpustakaan.
•
Menyediakan fasilitas dan
suasana menyenangkan
untukmembaca.
•
Daftar buku atau tulisan
yang dibaca peserta didik.
•
Frekuensi kunjungan
perpustakaan.
•
Saling tukar bacaan
•
Pembelajaran yang
memotivasi anak
menggunakan referensi.
Peduli
Lingkungan
•
Pembiasaan memelihara
kebersihan dan kelestarian
lingkungan sekolah.
•
Tersedia tempat
pembuangan sampah dan
tempat cuci tangan.
•
Menyediakan kamar
mandi dan air bersih.
•
Memelihara leingkungan
kelas. Tersedia tempat
pembuangan sampah di
dalam kelas.
(41)
26
•
Pembiasaan hemat energi.
•
Membuat biopori di area
sekolah.
•
Membangun saluran
pembuangan air limbah
dengan baik.
•
Melakukan pembiasaan
memisahkan jenis sampah
organik dan anorganik.
Peduli
sosial
•
Memfasilitasi kegiatan
bersifat sosial.
•
Melakukan aksi sosial.
•
Menyediakan fasilitas
untuk menyumbang.
•
Berempati kepada semua
sesama teman kelas.
•
Melakukan aksi sosial.
•
Membangun kerukunan
warga kelas.
Tanggung
Jawab
•
Membuat laporan setiap
kegiatan yang dilakukan
dalam bentuk lisan
maupun tertulis.
•
Melakukan tugas tanpa
disuruh.
•
Menunjukkan prakarsa
untuk mengatasi masalah
dalam lingkup terdekat.
•
Menghindarkan
kecurangan dalam
pelaksanaan tugas.
•
Pelaksanaan tugas piket
secara teratur.
•
Peran serta aktif dalam
kegiatan sekolah.
•
Mengajukan usul
pemecahan masalah.
Sumber: Asmaun Sahlan & Angga Teguh P., 2012: 178
Jadi, dalam kebijakan pendidikan karakter ada setidaknya 18
nilai karakter yang dikembangkan di sekolah yaitu nilai religius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
komunikatis/bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
(42)
27
5.
Pendidik dalam Pendidikan Karakter
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang secara resmi
menyelenggarakan
kegiatan
pembelajaran
secara
sistematis,
berencana, sengaja, dan terarah, yang dilakukan oleh pendidik yang
profesional, dengan program yang dituangkan ke dalam kurikulum
tertentu dan diikuti oleh peserta didik pada setiap jenjang tertentu,
mulai dari tingkat Kanak-Kanak (TK) sampai Pendidikan Tinggi (PT)
(Wiji Suwarno, 2009: 42).
Sekolah memiliki peran yang sangat strategis dalam membentuk
manusia yang berkarakter. Agar pendidikan karakter dapat berjalan
dengan baik memerlukan pemahaman yang cukup dan konsisten oleh
seluruh personalia pendidikan. Di sekolah, kepala sekolah, pengawas,
guru, dan karyawan harus memiliki persamaan persepsi tentang
pendidikan karakter bagi peserta didik. Setiap personalia pendidikan,
mempunyai perannya masing-masing. Kepala sekolah sebagai
manajer, harus mempunyai komitmen yang kuat tentang pendidikan
karakter. Kepala sekolah harus mampu membudayakan
karakter-karakter unggul di sekolahnya (Zubaedi, 2011: 162).
Thomas Lickona (2012: 111) menjelaskan bahwa moralitas
berkaitan dengan cara seseorang memperlakukan orang lain. Dalam
komunitas kecil di kelas, siswa memiliki dua hubungan: hubungan
dengan guru dan hubungan dengan siswa lainnya. Kedua hubungan ini
(43)
28
berpotensial sekali dalam memberi pengaruh, baik positif maupun
negatif terhadap perkembangan karakter seorang anak.
Selanjutnya Thomas Lickona (2012: 112) juga menyatakan
bahwa guru memiliki kekuatan untuk menanamkan nilai-nilai dan
karakter pada anak, setidaknya dengan tiga cara, yaitu: a) Guru dapat
menjadi penyayang yang efektif, menyayangi dan menghormati
murid-murid, membantu mereka meraih sukses di sekolah, membangun
kepercayaan diri mereka, dan membuat mereka mengerti apa itu moral
dengan melihat cara guru mereke memperlakukan mereka dengan etika
yang baik; b) Guru dapat menjadi seorang model, yaitu orang-orang
yang beretika yang menunjukkan rasa hormat dan tanggung jawabnya
yang tinggi, baik di dalam maupun di luar kelas. gurupun dapat
memberi contoh dalam hal-hal yang berkaitan dengan moral beserta
alasannya, yaitu dengan cara menunjukkan etikanya dalam bertindak
di sekolah dan di lingkungannya; c) Guru dapat menjadi mentor yang
beretika, memberikan instruksi moral dan bimbingan melalui
penjelasan, diskusi di kelas, bercerita, pemberian motivasi personal,
dan memberikan umpan balik yang korektif ketika ada siswa yang
menyakiti temannya atau menyakiti diriya sendiri.
Dwiningrum (2010: 53) menyatakan bahwa dalam menghadapi
tantangan global, guru atau pendidik menjadi agen transformasi.
Sebagai agen transformasi, guru diharapkan memahami dan
(44)
29
menerapkan sebelas prinsip yang minimal diperlukan dalam
pendidikan karakter yang kemudian disosialisasikan dengan
integrated
learning
dalam proses pembelajaran. Nilai-nilai yang dibutuhkan
dalam pendidikan karakter sebaiknya sudah menyatu dalam diri
seorang pendidik, hal ini dimaksudkan agar sebagai seorang pendidik
memiliki keyakinan baru, bahwa dalam dirinya sangat dituntut untuk
menjadi orang yang memiliki karakter yang kuat, sehingga dalam
proses transformasi kepada anak didik dapat menjadi “model” atau
“teladan” sebagai orang yang memiliki karakter. Aspek lain yang perlu
dimiliki oleh seorang pendidik adalah tetap mengajarkan nilai-nilai
penting yang dibutuhkan dalam proses pendidikan, yakni
care
(kasih
sayang),
respect
(saling
menghormati),
responsible
(bertanggungjawab),
integrity
(integritas),
harmony
(keseimbangan),
resilience
(daya tahan atau tangguh),
creativity
(kreativitas), dan
lain-lain.
Proses pendidikan karakter menjadi tanggung jawab semua guru,
termasuk juga guru bimbingan dan konseling (konselor sekolah).
Konselor sekolah dalam konteks pendidikan karakter setidak-tidaknya
dapat menjalankan sebagai pendidik karakter, manajer pendidikan
karakter,
konselor
pembimbingan
karakter,
konsultan,
panutan/contoh/figur sentral, perancang kegiatan,
healer/problem
solver
dan mediator atau partner.
(45)
30
Pendidikan karakter menjadi tugas dari semua pihak yang
terlibat dalam usaha pendidikan (pendidik). Baik lembaga informal,
non formal, dan formal harus berbagi tanggungjawab terhadap
keberhasilan pendidikan karakter. Pendidikan karakter diintegrasikan
pada lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Semua unsur
berperan dalam melakukan pendidikan karakter baik guru, orangtua,
atau siapa saja yang penting ia memiliki kepentingan untuk
membentuk pribadi peserta didik atau anak.
Jadi, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki peran
yang penting dalam mewujudkan kebijakan pendidikan karakter.
Kepala sekolah, guru, dan karyawan memiliki perannya
masing-masing dalam mengimplementasikan kebijakan pendidikan karakter di
sekolah. Kepala sekolah bereperan dalam manajerial sekolah agar
sekolah dapat mengimplementasikan kebijakan pendidikan karakter
dengan baik. Guru menjadi pendidik dan sekaligus sebagai model atau
figur yang harus dicontoh oleh peserta didik. Pengawas berperan
dalam mengawasi dan membimbing sekolah dalam mengatasi
permasalahan sekolah, serta karyawan sekolah juga berperan dalam
membantu terlaksananya kebijakan pendidikan karakter di sekolah.
6.
Strategi dan Metode Pendidikan Karakter
Menurut Zamroni (Darmiyati Zuchdi, 2011: 174) pendidikan
karakter berkaitan dengan nilai-nilai, penalaran, dan perilaku dari
(46)
31
seseorang. Pendidikan karakter tidak dapat hanya diceramahkan, atau
dipaksakan
lewat
proses
indoktrinasi
berselubung
pendidik.
Pendidikan karakter perlu didasarkan pada strategi yang tepat.
Zamroni (Darmiyati Zuchdi, 2011: 174-177) menyatakan ada
tujuh strategi yang ditawarkan dalam mewujudkan pendidikan karakter
di sekolah yaitu yang pertama tujuan, sasaran, dan target yang akan
dicapai harus jelas dan konkret. Kedua, pendidikan karakter dikerjakan
tidak hanya oleh sekolah, melainkan harus ada kerjasama antara
sekolah dengan orangtua siswa sehingga akan lebih efektif dan efisien.
Ketiga menyadarkan pada semua guru akan peran yang penting dan
bertanggung jawab dalam keberhasilan melaksanakan dan mencapai
tujuan pendidikan karakter. Pembelajaran yang dilaksanakan oleh para
guru harus mengembangkan kesadaran akan pentingnya keterpaduan
antara hati, pikiran, tangan, cipta, rasa, dan karsa di kalangan peserta
didik guna mengembangkan karakter masing-masing. Keempat, perlu
adanya kesadaran guru akan “
hidden curriculum
”, dan merupakan
instrumen yang amat penting dalam pengembangan karakter peserta
didik. Kelima, guru harus menekankan pada daya kritis dan kreatif
peserta didik (
critical and creative thinking
), kemampuan bekerja
sama, dan keterampilan mengambil keputusan. Metode pembelajaran
yang paling tepat untuk mencapai tujuan tersebut adalah
Cooperative
Learning
dan
Problem Based Teaching and Learning.
Keenam,
(47)
32
memanfaatkan kultur sekolah dalam pengembangan karakter peserta
didik. Nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-norma,
semboyan-semboyan sampai kondisi fisik sekolah yang ada perlu dipahami dan
didesain sedemikian rupa sehingga fungsional untuk mengembangkan
karakter siswa. Ketujuh, pada hakikatnya salah satu fase pendidikan
karakter adalah merupakan proses pembiasaan dalam kehidupan
sehari-hari khususnya di sekolah yang dapat dimonitor dan dikontrol
oleh kepala sekolah dan guru.
Muchlas
Samani
&
Hariyanto
(2011:
111)
strategi
pengembangan karakter secara makro dapat dibagi dalam tiga tahap,
yakni perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil. Pada tahap
perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang dirumuskan
menggunakan berbagai sumber ideologi bangsa, perundangan yang
terkait, pertimbangan teoritis seperti teori tentang otak, psikologis,
nilai dan moral, pendidikan, dan sosio-kultural, serta pertimbangan
empiris berupa pengalaman dan praktik terbaik (
best practice
) dari
tokoh-tokoh, kelompok kultural, pesantren, dan lain-lain. Pada tahap
pelaksanaan (implementasi) dikembangkan pengalaman belajar
(
learning experience
) dan proses pembelajaran yang bermuara pada
pembentukan karakter dalam diri peserta didik. Proses ini berlangsung
di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Pada tahap evaluasi hasil
dilakukan pengukuran (
asesmen
) untuk perbaikan berkelanjutan yang
(48)
33
sengaja dirancang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi
karakter dalam diri peserta didik.
Kemendiknas (Udin Saripudin Winatraputra, 2010: 12) pada
tataran mikro, pengembangan nilai/karakter dapat dibagi dalam empat
pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar di kelas, kegiatan keseharian
dalam bentuk budaya satuan pendidikan (
school culture
), kegiatan
ko-kurikuler dan/atau ekstra ko-kurikuler, serta kegiatan keseharian di rumah,
dan dalam masyarakat.
Pengembangan nilai dan sikap karakter harus menjadi fokus
utama yang dapat menggunakan berbagai strategi/metode pendidikan
nilai (
value/character education
). Dalam kegiatan belajar-mengajar di
kelas
pengembangan
nilai/karakter
dilaksanakan
dengan
mengintegrasikan dalam semua mata pelajaran (
embeded approach
)
terutama untuk mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan
Kewarganegaraan. Untuk kedua mata pelajaran tersebut nilai/karakter
dikembangkan sebagai dampak pembelajaran (
instructional effects
)
dan juga dampak pengiring (
nurturant effects
). Sementara itu untuk
mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi utama selain
pengembangan nilai/karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang
memiliki dampak pengiring (
nurturant effects
) berkembangnya
nilai/karakter dalam diri peserta didik.
(49)
34
Dalam
lingkungan
satuan
pendidikan
(sekolah)
harus
dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-kultural sekolah
memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga sekolah
lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di sekolah yang
mencerminkan perwujudan nilai/karakter.
Kegiatan
ko-kurikuler
maupun
ekstrakurikuler
perlu
dikembangkan proses pembiasaan dan penguatan (
reinforcement
)
dalam rangka pengembangan nilai/karakter. Kegiatan ko-kurikuler
yaitu kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung pada suatu
materi dari suatu mata pelajaran. Sedangkan kegiatan ekstrakurikuler,
yakni kegiatan satuan pendidikan yang bersifat umum dan tidak terkait
langsung pada suatu mata pelajaran, seperti kegiatan Dokter Kecil,
Palang Merah Remaja, Pecinta Alam dan lain-lain.
Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi
proses penguatan dari orangtua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat
terhadap perilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di sekolah
menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat
masing-masing.
Desain pendidikan karakter dalam tataran mikro dapat
digambarkan sebagai berikut:
(50)
35
Gambar 2. Desain Pendidikan Karakter dalam Tataran Mikro
Sumber:
Udin Saripudin Winatraputra , 2010: 14
Sesuai dengan Desain Induk Pendidikan Karakter yang
dirancang Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2010 strategi
pengembangan pendidikan karakter yang akan diterapkan di Indonesia
antara lain melalui transformasi budaya sekolah (
school culture
) dan
habituasi melalui kegiatan ekstrakurikuler. Pusat Kurikulum
Kementrian Pendidikan Nasional dalam kaitan pengembangan budaya
sekolah yang dilaksanakan dalam kaitan pengembangan diri,
menyarankan empat hal yang meliputi kegiatan rutin, kegiatan
spontan, keteladanan, dan pengondisian.
Kegiatan rutin adalah kegiatan yang dilaksanakan siswa secara
terus-menerus dan konsisten. Misalnya upacara bendera setiap hari
Senin, salam dan salim didepan pintu gerbang sekolah, piket kelas,
(51)
36
salat berjamaah, berdoa sebelum dan sesudah jam pelajaran berakhir,
berbaris saat masuk kelas, dan lain-lain.
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang bersifat spontan, saat itu
juga, pada waktu terjadi keadaan tertentu, misalnya mengumpulkan
sumbangan bagi korban bencana alam, mengunjungi teman yang sakit
atau sedang tertimpa musibah, dan lain-lain.
Keteladanan merupakan munculnya sikap dan perilaku siswa
karena meniru perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan di
sekolah, bahkan perilaku seluruh warga sekolah yang dewasa lainnya
sebagai model, termasuk misalnya petugas kantin, satpam sekolah,
penjaga sekolah dan sebagainya. Pengondisian yaitu penciptaan
kondisi yang mendukung keterlaksanaaan pendidikan karakter,
misalnya kondisi meja guru dan kepala sekolah yang rapi, kondisi
toilet yang bersih, disediakan tempat sampah yang cukup, halaman
sekolah yang hijau penuh pepohonan, tidak ada puntung rokok di
sekolah.
Sedangkan Howard Kirschenbaum (Zubaedi, 2011: 233)
mengatakan pembelajaran pendidikan karakter secara komprehensif
dapat dilakukan dengan metode inkulkasi (
inculcation
), keteladanan
(
modeling
), fasilitasi (
facilitation
), dan pengembangan keterampilan
(
skill building
).
(52)
37
Kirschenbaum (Zubaedi, 2011: 234) mengatakan metode
inkulkasi
(penanaman)
nilai
memiliki
ciri-ciri
yaitu
mengkomunikasikan
kepercayaan
disertai
alasan
yang
mendasarinya, memberikan perlakuan kepada orang lain secara
adil, menghargai pandangan dan pendapat orang lain,
mengungkapkan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya
disertai alasan, dan dengan rasa hormat, tidak sepenuhnya
mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan
penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan tidak mencegah
kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki,
menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai
nilai-nilai yang dikehendaki secara ekstrem. Metode ini juga ditandai
dengan adanya pembuatan aturan, pemberian penghargaan, dan
memberikan konsekuensi yang disertai alasan, tetap terbuka
dengan kritik dan saran dan tidak menutup komunikasi dengan
pihak yang tidak setuju dengan pendapat seseorang. Dalam
inkulkasi (penanaman) nilai ini memberikan kebebasan bagi
adanya perilaku yang berbeda-beda apabila sampai pada tingkat
yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan
kemungkinan berubah.
(53)
38
Dalam pendidikan nilai dan spiritualitas, permodelan atau
pemberian teladan merupakan strategi yang biasa digunakan. Hal
ini mengingat karakter merupakan perilaku (
behavior
), bukan
pengetahuan, sehingga untuk dapat diinternalisasi oleh peserta
didik, maka harus diteladankan bukan diajarkan. Dalam mendidik
karakter sangat dibutuhkan sosok yang menjadi model. Model
dapat ditemukan oleh peserta didik di lingkungan sekitarnya.
Semakin dekat model pada peserta didik akan semakin mudah dan
efektiflah pendidikan karakter tersebut. Peserta didik butuh contoh
yang nyata, bukan hanya contoh yang tertulis dalam buku apalagi
contoh khayalan.
Mukhamad Murdiono (2010: 103) menyatakan strategi
keteladanan dapat dibedakan menjadi dua yaitu keteladanan
internal (
internal modelling
) dan keteladanan ekstrernal (
external
modelling
. Keteladanan internal dapat dilakukan melalui
pemberian contoh yang diberikan oleh guru dalam pembelajaran,
sementara keteladanan ekstrenal dilakukan dengan pemberian
contoh-contoh yang baik dari pada tokoh yang dapat diteladani,
baik tokoh lokal maupun tokoh internasional.
c.
Fasilitasi
Inkulkasi dan keteladanan mendemonstrasikan kepada
subjek didik cara yang terbaik untuk mengatasi berbagai masalah,
(54)
39
sedangkan fasilitasi melatih subjek didik mengatasi
masalah-masalah tersebut. Bagian yang terpenting dari fasilitasi ini adalah
pemberian kesempatan kepada subjek didik (Zubaedi, 2011: 239).
d.
Keterampilan
Ada beberapa keterampilan yang diperlukan agar seseorang
dapat mengamalkan nilai-nilai yang dianut sehingga berperilaku
konstruktif dan bermoral dalam masyarakat. Keterampilan ini
antara lain berpikir kritis, kreatif, komunikasi secara jelas,
menyimak, bertindak, asertif, dan menemukan resolusi konflik,
yang secara ringkas disebut keterampilan akademik dan
keterampilan sosial. Dua dari keterampilan akademik dan
keterampilan sosial ini, yaitu keterampilan berpikir kritis dan
keterampilan mengatasi konflik (Zubaedi, 2011: 239).
Dwiningrum (2010: 47) pendidikan karakter harus
dikembangkan secara holistik sehingga hasilnya akan lebih
optimal. Karena dalam membangun manusia yang berkarakter
bukan hanya dari dimensi kognitif saja, tetapi dalam prosesnya
harus mampu mengembangkan potensi manusia. Pendidikan
karakter harus dirancang secara sistemik dan holistik agar hasilnya
lebih optimal.
(55)
40
7.
Evaluasi Program Pendidikan Karakter
Evaluasi menurut Ralph Tyler (Farida Yusuf Tayibnapis, 2008:
3) evaluasi ialah proses yang menentukan sampai sejauh mana tujuan
pendidikan dapat dicapai. Cronbach dan Stufflebeam (Suharsimi
Arikunto, 2012: 3) menambahkan bahwa proses evaluasi bukan
sekedar mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi digunakan untuk
membuat keputusan.
Scriven (Farida Yusuf Tayibnapis, 2008: 4) evaluasi memiliki
dua fungsi yaitu fungsi formatif dan fungsi sumatif. Evaluasi formatif
berarti bahwa evaluasi tersebut dipakai untuk perbaikan dan
pengembangan kegiatan yang sedang berjalan (program, orang,
produk, dan sebagainya). fungsi sumatif, evaluasi dipakai untuk
pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau lanjutan. Jadi evaluasi
hendaknya membantu pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu
program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi,
menambah pengetahuan dan dukungan dari mereka yang terlibat.
Menurut Stufflebeam (Farida Yusuf Tayibnapis, 2008: 5)
evaluasi dapat berfokus pada empat aspek yaitu konteks,
input,
proses
implementasi, dan produk.
Karakter merupakan bagian dari ranah afektif. Menurut
Andersen (1980) ada dua metode yang dapat digunakan untuk
mengukur ranah afektif, yaitu metode observasi dan metode laporan
(56)
41
diri. Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa
karateristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbuatan yang
ditampilkan, reaksi psikologi, atau keduanya. Metode laporan diri
berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah
dirinya sendiri. Namun, hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkap
karakteristik afektif diri sendiri (Djemari Mardapi, 2014: 4)
C.
Pondok Pesantren
1.
Pengertian Pondok Pesantren
Manfred Ziemek (Wahjoetomo 1997: 70) kata pondok berasal
dari
funduq
(Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma sederhana,
karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana
bagi para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata
pesantren
berasal dari kata
santri
yang diimbuhi awalan
pe-
dan
akhiran –
an
yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah
‘tempat para santri’.
Zamakhsyari Dhofier (1985: 44) sebuah pesantren pada dasarnya
adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para
siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang
(atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai”.
Sugeng Haryanto (2012: 39) memberikan definisi pondok
pesantren sebagai berikut :
(57)
42
“Pondok pesantren pada dasarnya adalah lembaga pendidikan
Islam yang dilaksanakan dengan sistem asrama (pondok), kyai
(encik, ajengan, atau tuan guru sebagai tokoh utama), dan masjid
atau mushalla sebagai pusat lembaganya. Istilah pesantren
menurut beberapa ahli pada mulanya lebih dikenal di Pulau Jawa
karena pengaruh istilah pendidikan Jawa kuno, yang dikenal
dengan sistem pendidikan asrama yakni kyai dan santri hidup
bersama.”
Zamakhsyari Dhofier (1985: 44) menyebutkan bahwa pondok,
masjid, santri, kitab-kitab Islam klasik dan kyai merupakan lima
elemen dasar dari tradisi pesantren. Sedangkan Sugeng Haryanto
(2012: 40) dalam keputusan lokakarya intensifikasi pengembangan
pondok pesantren yang diselenggarakan pada tanggal 2-6 Mei 1978 di
Jakarta, pengertian pondok pesantren didefinisikan sebagai lembaga
pendidikan Islam yang minimal terdiri dari tiga unsur yaitu kyai/Syeh/
Ustadz yang mendidik serta mengajar, santri dengan asramanya, dan
masjid atau mushalla.
Kegiatan-kegiatan dalam pondok pesantren ini adalah mencakup
“Tri Dharma Pondok Pesantren” yaitu: a) Keimanan dan ketaqwaan
terhadap Allah SWT; b) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; c)
Pengabdian terhadap agama, masyarakat dan negara.
Dari beberapa pengertian tentang pondok pesantren dapat
disimpulkan bahwa pondok pesantren merupakan salah satu lembaga
pendidikan Islam yang didalamnya terdapat pondok (tempat tinggal
(58)
43
santri), masjid, santri, kajian tentang kitab-kitab, serta kyai yang
membimbing santri.
2.
Model-model Pondok Pesantren
Wahjoetomo (1997: 83) membedakan model-model pesantren ke
dalam dua bentuk yakni :
a.
Pesantren Salaf
Pesantren salaf adalah lembaga pesantren yang mempertahankan
pengajaran kitab-kitab Islam klasik (
salaf
) sebagai inti pendidikan.
Sedangkan sistem madrasah ditetapkan hanya untuk memudahkan
sistem
sorogan
yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian
bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.
Zamakhsyari Dhofier (Wahjoetomo, 1997: 83) menyatakan
bahwa sistem pengajaran pesantren salaf lebih sering menerapkan
model
sorogan
dan
weton.
Istilah
weton
ini berasal dari bahasa Jawa
yang berarti waktu. Disebut
weton
karena pengajian model ini
dilakukan pada waktu-waktu tertentu dan biasanya sesudah
mengerjakan shalat
fardhu
. Sistem
weton
atau yang juga dikenal
dengan istilah
bendongan
adalah model pengajian yang dilakukan
seperti kuliah terbuka yang diikuti oleh sekelompok santri sejumlah
100-500 orang atau lebih. Kyai akan membaca, menerjemahkan,
menerangkan, dan sekaligus mengulas kitab-kitab salaf berbahasa
Arab yang menjadi acuannya, kemudian para santri mendengarkan dan
(1)
207
Kegiatan belajar mengajar Halaman sekolah
Masjid Lab Komputer
(2)
208
Wisuda Santri Rapat Guru
Lap. Basket Pelajaran Malam
(3)
209
(4)
(5)
(6)