Mari Menterjemahkan QS. An Nisâ’: 36 Mari Memahami Kandungan QS. An Nisâ’: 36

Buku Siswa Kelas XII 70 • Kata ٗ لاَتۡ ُم mukhtâlan terambil dari akar kata yang sama dengan khayal. Karenanya, kata ini pada mulanya berarti orang yang tingkah lakunya diarahkan oleh khayalannya, bukan oleh kenyataan yang ada pada dirinya. Biasanya orang semacam ini berjalan angkuh dan metasa diri memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang lain. Dengan demikian, keangkuhannya tampak secara nyata dalam kesehariannya. Seorang yang mukhtal membanggakan apa yang dimilikinya, bahkan tidak jarang membanggakan apa yang pada hakikatnya tidak ia miliki. Dan inilah yang ditunjuk oleh kata ·‘qã‚sù fakhuran yakni sering kali membanggakan diri. Memang, kedua kata ini yakni mukhtdl dan fakhur mengandung makna kesombongan. Tetapi yang pertama kesombongan yang terlihat dalam tingkah laku, sedang yang kedua adalah kesombongan yang terdengar dari ucapan-ucapan.

d. Mari Menterjemahkan QS. An Nisâ’: 36

36. “ Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,”

c. Mari Memahami Kandungan QS. An Nisâ’: 36

Syekh Muhammad Abduh menjelaskan bahwa ibadah merupakan suatu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya karena adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi, serta sebagai dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang arti hakekatnya tidak terjangkau. Dia lah Allah SWT, yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ibadah yang dimaksud tidak hanya dalam bentuk ibadah ritual mahdhah, yakni ibadah yang cara, kadar dan waktunya ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti shalat, zakat, puasa dan haji, tetapi mencakup segala macam aktivitas, yang hendaknya dilakukan demi karena Allah SWT baca juga ayat QS.al-An’âm:162. Karena itu, Islam melarang pemeluknya melakukan perbuatan syirik. Sebab syirik merupakan induk perbuatan dosa dzulmun adzhîm. Keimananketauhidan tidak boleh bercampurdicampur dengan perbuatan syirik. Tafsir Ilmu Tafsir Kurikulum 2013 71 Islam memerintahkan kepada setiap anak hendaklah berbakti kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya ihsan. Redaksi ayat berkaitan perintah berbakti kepada kedua orang tua, dirangkai setelah perintah menyembah kepada Allah menunjukkan bahwa orang tua memiliki kedudukan yang tinggi dan terhormat. Artinya apabila seorang anak berbuat durhaka kepada orang tua, maka ia pun dianggap telah berbuat durhaka kepada Allah. Bahkan terhadap anak yang berbeda keyakinan dengan kedua orang tuanya, misalnya seorang anak beragama Islam tetapi kedua orang tua atau salah satu dari orang tuanya ada yang non Mulim, maka anak tetap diperintahkan untuk berbuat baik. Jika orang tua yang demikian itu memerintahkan kepada si anak, tetapi perintahnya itu bertentangan dengan ketentuan Allah.—misalnya menyuruh melakukan perbuatan syirik—maka si anak harus menolak dengan penolakan secara baik ma’ruf. Di dalam hadis Nabi Saw dijelaskankan bahwa di antara tujuh perbuatan yang membinakan yang hatus dijauhi oleh seorang muslim adalah salah satunya uqûq al-wâlidaindurhaka kepada kedua orang dua. Redaksinya pun diurutkan setelah perbuatan syirik kepada Allah al-isyrâku billâhi. Hal ini menunjukkan bahwa durhaka kepada kedua orang tua merupaka dosa besar. Karena itulah ayat tersebut memerintahkan agar berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Sehingga al-Qur’an melarang bagi anak berucap dengan ucapan “uhah” uffin kepada orang tua karena ucapan itu dianggap tidak baik, dan dikategorikan sebagai perbuatan tercela. Islam juga memerintahkan kepada setiap muslim agar berbuat baik kepada anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan jauh, serta ibnu sabil dan hambah sahaya. Sikap ini sebagai bentuk kepedulian terhadap nasib mereka, orang yang tidak memperhatikan keadaaan mereka dipandang sebagai bentuk keangkuhankesombongan. Sebab orang yang sombong hanya mementingkan dirinya sendiri. Kualitas keimanan seseorang dapat dilihat sejauhmana tanggungjawabnya terhadap lingkungan sekitarnya. Kepedulian yang tinggi kepada tetangga menunjukkan pantulan iman seseorang. Orang dianggap tidak beriman, jika ia melantarkan tetangganya lingkungannya. Karena itulah, Islam melarang sikap apatisme terhadap lingkungannya. Selanjutnya untuk memperkuat pembahasan tentang tanggungjawab manusia terhadap keluarga dan masyarakat, pelajari QS. Hûd: 117-119 berikut Buku Siswa Kelas XII 72 Ananda sekalian mari kita pelajari surah Hûd: 117-119 bersama-sama dan beru- lang-ulang hingga lancar dan usahakan dapat menghafalnya

a. Mari Membaca QS. Hûd: 117-119 secara Tartil.