BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini rumah sakit sangat memerlukan sumber daya manusia yang handal. Faktor sumber daya manusia sangat menentukan mutu rumah sakit.
Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang handal, faktor utama yang perlu diperhatikan oleh direktur rumah sakit adalah melakukan kegiatan rekruitmen
sumber daya manusia secara benar. Dengan demikian, diharapkan pekerjaan mereka dapat memenuhi standar yang telah ditetapkan dan mengalami
peningkatan dari waktu ke waktu. Penilaian kinerja merupakan kegiatan yang dilakukan atasan terhadap
pelaksanaan kerja individukaryawan bawahannya. Menurut John Soeprihanto 1988:8 tujuan diadakan penilaian kinerja karyawan adalah untuk
mengembangkan dan mendayagunakan karyawan, meningkatkan mutu dan hasil kerja, mengetahui kondisi rumah sakit dari bidang personalia, mengetahui
kelebihan dan kekurangan diri karyawan, mendorong terciptanya hubungan yang baik antara atasan dan bawahan, dan secara keseluruhan hasil penilaian
pelaksanaan pekerjaan dapat bermanfaat bagi penelitian dan pengembangan rumah sakit.
Penilaian kinerja karyawan di rumah sakit tidak hanya berdasarkan tingkat kepandaian atau berdasarkan pelatihan dan pengalaman kerja, tetapi
berdasarkan kemampuan dalam mengembangkan kecerdasan emosi yang
- 1 -
dimilikinya. Hal demikian disebabkan kecerdasan emosi menduduki peran yang sangat penting dalam dunia kerja di rumah sakit. Seorang perawat, misalnya,
diharapkan mampu menggunakan emosinya sebagai energi positif dalam bekerja. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan individu dalam mengenali
perasaan diri dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri dan kemampuan untuk mengelola emosi dengan baik sehingga bisa menjalin
hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional, dengan demikian, menentukan potensi seseorang untuk mempelajari keterampilan-keterampilan
praktis yang didasarkan pada kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati dan hubungan sosial.
Derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan kinerja karyawan diduga kuat berbeda antara karyawan satu dengan lainnya. Perbedaan ini
disebabkan adanya faktor locus of control, jenis pekerjaan, dan tingkat pendidikan dari masing-masing karyawan. Karyawanindividu yang mempunyai
locus of control internal memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah pengaruh dari dirinya sendiri. Sedangkan individu dengan locus
of control eksternal memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi pada dirinya adalah berasal dari luar dirinya, seperti nasib, keberuntungan, kesempatan,
kekuasaan orang lain ataupun kondisi yang tidak bisa dikuasai dirinya. Dengan adanya locus of control yang berbeda, maka sikap karyawan
dalam menjalankan profesinya akan menghasilkan kinerja yang berbeda. Pada karyawan dengan locus of control internal diduga kuat akan cenderung lebih
berprestasi. Hal ini disebabkan karena karyawan tersebut mempunyai keyakinan diri yang tinggi bahwa prestasi yang didapat adalah berasal dari apa yang
dikerjakan dan bukan dari orang lain. Hal ini menjadi faktor pendorong baginya untuk berusaha lebih keras dalam mencapai puncak prestasi. Sikap yang
berbeda akan ditunjukkan oleh karyawan dengan locus of control eksternal, karyawan hanya pasrah pada nasib, tidak mau bekerja keras karena ada
keyakinan bahwa prestasi kerja yang bisa diraih berasal dari kesempatan yang tersedia atau dari faktor keberuntungan.
Jenis pekerjaan karyawan di rumah sakit diduga kuat juga menjadi pembeda derajat hubungan kecerdasan emosional dengan kinerja karyawan.
Karyawan di rumah sakit pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: tenaga medis, tenaga paramedis perawatan, tenaga paramedis
nonperawatan dan tenaga nonmedis. Pada tenaga medis yang terdiri dari dokter umum, spesialis, dan subspesialis diduga kuat derajat hubungan antara
kecerdasan emosional dengan kinerja karyawan akan lebih tinggi dibandingkan tenaga paramedis perawatan, tenaga paramedis nonperawatan dan tenaga
nonmedis. Dugaan ini didasarkan pada Undang-Undang no.23 tahun 1992 tentang kesehatan yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan dokter dalam
melaksanakan kewajibannya harus mematuhi standar profesi dan menghormati hak-hak pasien. Hak-hak pasien adalah hak atas informasi, hak untuk
memberikan persetujuan, hak atas rahasia kedokteran, dan hak atas pendapat kedua Santoso Soeroso, 2003:28. Di sebuah rumah sakit, dokter diakui
memiliki peran sentral dalam membentuk citra dan kinerja rumah sakit. Sementara pada tenaga paramedis perawatan perawat dan bidan bertanggung
jawab terhadap pasien sebatas sebagai tenaga pelaksana untuk membantu tugas dokter. Tenaga paramedis nonperawatan terdiri dari analis laborat, radiologi,
instalasi gizi. Mereka bertanggung jawab sebatas sebagai tenaga operator dan menjalankan tugas sesuai dengan permintaan dokter. Sedangkan tenaga
nonmedis bertanggung jawab untuk memperlancar pelayanan rumah sakit. Berdasarkan karakteristik masing-masing jenis pekerjaan, tenaga medis
merupakan tenaga sentral di rumah sakit, sedangkan yang lain menjadi tenaga pelaksana.
Pada tingkat pendidikan karyawan yang berbeda, diduga kuat derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan kinerja karyawan akan berbeda.
Karyawan dengan tingkat pendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan dan wawasan luas, sehingga ia bisa mengembangkan bakat dan keterampilan
keahliannya secara lebih optimal. Selain itu, mereka secara umum mampu mengintegrasikan pengetahuan yang dimiliki pada praktik di rumah sakit.
Kemampuan mengintegrasikan tersebut diduga kuat akan mengembangkan kecerdasan emosional dan kinerja karyawan yang bersangkutan. Pada karyawan
dengan tingkat pendidikan menengah dan dasar memiliki pengetahuan dan wawasan yang kurang luas, sehingga keterampilan keahliannya tidak
berkembang secara optimal. Dengan keterbatasan tersebut karyawan dengan tingkat pendidikan menengah dan dasar kurang mampu mengintegrasikan
tingkat pendidikan formalnya pada praktik kerja di rumah sakit. Dampaknya adalah tingkat kecerdasan emosional dan kinerja juga akan lebih rendah.
Penelitian ini berusaha menguji dan menganalisis apakah variabel moderating locus of control, jenis pekerjaan, dan tingkat pendidikan yang
berbeda memberi pengaruh terhadap hubungan antara kecerdasan emosional dengan kinerja. Berdasarkan uraian di atas dan kenyataan yang terjadi di rumah
sakit, maka peneliti tertarik untuk meneliti dan menuangkannya ke dalam sebuah judul: “PENGARUH LOCUS OF CONTROL, JENIS PEKERJAAN,
DAN TINGKAT PENDIDIKAN TERHADAP HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KINERJA KARYAWAN” dengan
menggunakan studi kasus di RSU St. Maria Pemalang dan RSU St. Maria Cilacap.
B. Batasan Masalah