V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perubahan Penggunaan Lahan di Hulu
Kajian mengenai perubahan penggunaan lahan di daerah hulu dari Sub DAS Daerah Aliran Sungai Saluran Tarum Barat, dalam hal ini Waduk Jatiluhur dan
sekitarnya, dirasa perlu untuk melihat sedikit banyaknya pengaruh perubahan penggunaan lahan itu sendiri dengan kualitas air Saluran Tarum Barat.
Pembukaan wilayah hutan di bagian hulu dapat mengakibatkan terjadinya erosi dan pengendapan padatan terlarut di bagian hilir yang pada akhirnya berakibat
pada memburuknya kualitas air dan pendangkalan sungai. Pada DAS dimana daerah hulunya terbuka maka mempunyai kecenderungan proses aliran
permukaan run off yang lebih besar yang dapat mengakibatkan erosi dan banjir serta sedimentasi ke dalam sungai Dephutbun 1998.
Tabel 10 Perubahan penggunaan lahan di hulu Sub DAS Saluran Tarum Barat STB periode 2004 – 2009
No Penggunaan Lahan
Luas ha Perubahan 2004 – 2009
2004 2009
ha
1 Sawah
238,20 11.829,33
11.591,03 4.866,09
2 Permukiman
3.864,97 5.181,24
1.316,27 34,05
3 Pertanian lahan kering
34.538,00 11.832,00
-22.706,00 -65,74
4 Kebun
17,50 11.144,60
11.127,10 63.583,43
5 Hutan
7.206,46 7.779,28
572,82 7,95
6 Lahan terbuka
1.826,76 102,57
-1.724,19 -94,38
7 DanauWaduk
8.333,35 8.333,35
0,00 0,00
8 Semakbelukar
675,00 1.497,87
822,87 121,90
Sumber: BPDAS Ciliwung – Citarum periode 2004 – 2009.
Perubahan penggunaan lahan di bagian hulu dari tahun 2004 ke tahun 2009 cukup menonjol. Lahan hutan bertambah luasannya sebesar 572, 82 ha dari tahun
2004 – 2009. Seharusnya kenaikan luas areal hutan ini dapat mempengaruhi kualitas air menjadi lebih baik walaupun masih ada faktor lain seperti aktivitas
manusia. Hofer 2003 dalam Supangat 2008 menjelaskan bahwa tutupan hutan dapat melakukan siklus nutrisi dan kimia serta menurunkan kandungan sedimen
zat padat terlarut. Penggunaan lahan kebun bertambah pesat seluas 11.127,10 ha dari luas
semula di tahun 2004 sebesar 17,50 ha menjadi 11.144,60 ha di tahun 2009. Penambahan luasan kebun ini paling besar merupakan hasil konversi dari
pertanian lahan kering. Pertanian lahan kering sendiri berkurang luasannya sebesar 22.706 ha dari tahun 2004 ke tahun 2009. Dilihat dari tajuk vegetasinya
sebenarnya kebun memiliki pengaruh positif seperti hutan, yakni sebagai penahan air dan cadangan air. Tetapi jika dilihat dari pengelolaannya kebun memakai
pupuk seperti halnya aktivitas pertanian. Dengan demikian kenaikan luas kebun yang begitu besar dapat mempengaruhi kualitas air cenderung menjadi lebih
buruk karena kandungan nitrat yang masuk ke dalam air akan semakin besar. Zamrin 2007 mengatakan bahwa penurunan luas lahan sawah dan perkebunan
mengakibatkan kandungan nitrat di dalam sungai menurun, sebaliknya apabila luas lahan sawah atau kebun meningkat maka kandungan nitrat akan meningkat
juga. Luas sawah tahun 2004 hanya sebesar 238,20 ha. Pada tahun 2009 luas
sawah bertambah pesat menjadi 11.829,23 ha. Penambahan luasan ini juga merupakan konversi dari luas pertanian lahan kering. Penambahan luas sawah
secara besar-besaran ini dapat mengakibatkan hal yang buruk bagi kualitas air di Saluran Tarum Barat. Selain karena potensi erosi yang semakin besar, aktivitas
pertanian khususnya di sawah juga dapat memberikan kontribusi yang besar dalam masuknya nitrat ke dalam sungai. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan
Zamrin 2007 bahwa aktivitas pertanian dapat mempengaruhi kualitas air dari segi fisik, yakni erosi, dan dari segi kimia, yakni bertambahnya nitrat dari pupuk
ke dalam air. Tahun 2004 luas permukiman di hulu Sub DAS Daerah Aliran Sungai
Saluran Tarum Barat sebesar 3.864,97 ha. Luas itu bertambah sebesar 1.316,27 ha di tahun 2009 menjadi 5.181,24 ha. Pertambahan permukiman dirasa cukup
mengkhawatirkan dalam mempengaruhi kualitas air sungai setempat. Jika tidak diikuti dengan pengelolaan das yang baik aktivitas dari permukiman ini bisa
berkebalikan dengan harapan untuk mendapatkan ekosistem sungai yang baik. Dephutbun 1998 menjelaskan bahwa salah satu karakteristik yang membedakan
kondisi DAS yang satu dengan lainnya adalah penggunaan lahan dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Apabila keduanya baik maka kondisi suatu DAS
Daerah Aliran Sungai bisa dibilang baik, sebaliknya apabila keduanya buruk maka buruk pula kondisi DAS itu pada akhirnya.
5.2 Perubahan Penggunaan Lahan di Sub DAS Saluran Tarum Barat selama Periode 2004 – 2009
Penggunaan lahan di Sub DAS Saluran Tarum Barat mengalami perubahan yang menonjol dari tahun 2004 – 2009. Jenis tata guna lahan yang ada di Sub
DAS Saluran Tarum Barat dan perubahannya dari tahun 2004 ke tahun 2009 bisa dilihat pada Tabel 11.
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa tata guna lahan yang perubahannya paling menonjol adalah lahan terbuka. Tahun 2004 luas wilayah lahan terbuka di
wilayah penelitian hanya seluas 25 ha tetapi bertambah pesat luasannya sebesar 317,47 ha di tahun 2009 menjadi 342,47 ha. Penambahan yang pesat ini terjadi
karena peralihan konversi sebagian besar hutan di Kabupaten Karawang menjadi area lahan terbuka. Diperkirakan nantinya di tempat tersebut akan dijadikan area
perkebunan ataupun penggunaan lain. Peningkatan luas lahan terbuka dapat mempengaruhi kualitas air menjadi cenderung lebih buruk. Pada lahan terbuka
laju erosi akan semakin besar sehingga parameter zat padat terlarut juga akan semakin tinggi. Selain itu BOD Biochemical Oxygen Demand juga akan
semakin tinggi berkaitan dengan sedimentasi bahan-bahan organik yang ikut terbawa ketika terjadi erosi. Zamrin 2007 mengungkapkan bahwa apabila luas
lahan terbuka meningkat maka parameter-parameter yang terpengaruh diantaranya kekeruhan, padatan tersuspensi dan BOD.
Tahun 2004 luas wilayah semakbelukar di wilayah penelitian adalah sebesar 283,50 ha, relatif sempit dibandingkan dengan semakbelukar pada tahun
2009 yang memiliki luas 2.174,27 ha atau bertambah sebesar 766,94. Areal tersebut merupakan peralihan dari sawah dan pertanian lahan kering. Areal
tersebut diperkirakan akan digunakan sebagai areal permukiman ke depannya. USLE 1976 dalam Waryono T 2003 menyebutkan bahwa walaupun secara
teoritis semakbelukar mampu secara efektif mengendalikan erosi, tetapi kapasitas infiltrasi air ke dalam tanah lebih sedikit dibandingkan dengan tutupan hutan.
Sehingga debit air pada kawasan semakbelukar yang dihasilkan pada musim hujan lebih besar dibandingkan pada tutupan hutan. Hal ini dapat berakibat positif
terhadap kualitas air karena debit air yang besar dapat mengencerkan polutan yang terdapat di dalam sungai.
Hutan di wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Karawang tepatnya di sekeliling Waduk Jatiluhur. Seperti kita ketahui peran kawasan hutan dalam
sistem DAS Daerah Aliran SungaiSub DAS sangat besar yaitu agar tidak terjadi erosi dan menahan air limpasan permukaan yang nantinya masuk ke dalam
sungai. Pada DAS dimana di daerah hulunya terbuka maka mempunyai kecenderungan proses aliran permukaan run off yang lebih besar yang dapat
mengakibatkan erosi dan banjir serta sedimentasi ke dalam sungai Dephutbun 1998. Tahun 2004 luas wilayah hutan di wilayah penelitian adalah sebesar
1.813,63 ha, bekurang sebesar 31,57 menjadi 1.117,81 ha di tahun 2009. Perubahan ini akibat konversi hutan menjadi lahan terbuka dan semakbelukar.
Perubahan ini jelas memberikan pengaruh buruk bagi kualitas air Sub DAS Saluran Tarum Barat karena tutupan hutan dapat memberikan pengaruh positif
terhadap kualitas air khususnya parameter nitrat. Supangat 2008 menjelaskan bahwa nilai rata-rata kandungan nitrat pada areal Sub DAS yang pola penggunaan
lahannya berupa tutupan hutan lebih rendah, yang berarti lebih baik kualitas airnya, daripada areal Sub DAS yang pola penggunaan lahannya berupa lahan
campuran. Tabel 11 Perubahan penggunaan lahan di DAS Saluran Tarum Barat STB
periode 2004 – 2009
No Penggunaan Lahan
Luas ha Perubahan 2004 – 2009
2004 2009
ha
1 Sawah
13.652,00 15.774,50
2.122,50 15,55
2 Permukiman
11.588,10 13.592,10
2.004,00 17,29
3 Pertanian lahan kering
8.611,58 1.847,89
-6.763,69 -78,54
4 Kebun
590,10 1.325,12
735,02 124,56
5 Hutan
1.813,63 1.117,81
-695.82 -38,57
6 Lahan terbuka
25,00 342,47
317,47 1.269,88
7 Rawa
79,61 185,75
106,14 133,32
8 Semakbelukar
283,50 2.457,77
2.174,27 766,94
Sumber: BPDAS Ciliwung – Citarum periode 2004 – 2009.
Tahun 2004 luas wilayah rawa di wilayah penelitian adalah sebesar 79,61 ha, bertambah sebesar 106,14 ha 133,32, di tahun 2009 menjadi 185,75 ha.
Penambahan luas ini merupakan konversi dari areal persawahan. Selanjunya kebun merupakan penggunaan lahan dengan perubahan luas wilayah yang cukup
berarti. Tahun 2004 luas kebun di wilayah penelitian adalah 590,10 ha, bertambah sebesar 735,02 124,56. Penambahan luasan perkebunan ini berasal dari
konversi pertanian lahan kering. Adanya daerah rawa pada daerah hilir dapat
mengurangi resiko terjadinya banjir Noordwijk M et al. 2004. Jika banjir terjadi di daerah hilir maka nilai parameter yang ikut terpengaruh adalah bertambahnya
nilai BOD Biochemical Oxygen Demand, nitrat, menurunnya oksigen terlarut, naiknya kadar zat padat terlarut dan kadar kemasaman pH. Hal ini disebabkan
ikut masuknya limbah cair maupun sampah padat ke dalam sungai sehingga mempengaruhi parameter-parameter tersebut. Meskipun dalam teorinya apabila
debit air besar maka kepekatan akan terencerkan, tetapi sampah padat yang pada awalnya tidak masuk ke dalam sungai jika banjir datang sampah tersebut akan
tersapu dan masuk ke dalam sungai. Tahun 2004 luas pertanian lahan kering di wilayah penelitian adalah sebesar
8.611,58 ha, berkurang sebesar 6.763,69 ha 78,54, di tahun 2009 menjadi 1.847,89 ha. Dari sini dapat dilihat bahwa kecenderungan masyarakat dalam
bercocok tanam di lahan kering berubah drastis dari tahun 2004 ke tahun 2009. Pola penggunaan pertanian lahan kering berakibat pada meningkatnya parameter
kadar kemasaman pH, BOD, dan nitrat akibat dari penggunaan pupuk dan sedimentasi zat organik di dalam sungai. Hal ini seperti yang disampaikan oleh
Zamrin 2007 yang mengatakan bahwa parameter kadar kemasaman, BOD dan nitrat akan naik seiring dengan bertambahnya aktivitas pertanian.
Tahun 2004 luas permukiman adalah 11.588,10 ha, bertambah sebesar 2.004 ha 17,29 ditahun 2009 menjadi 13.592,10 ha. Permukiman penduduk
merupakan wilayah yang memberikan kontribusi beban pencemaran yang cukup besar terhadap kualitas air di dalam suatu sistem DAS Daerah Aliran Sungai.
Apabila luas permukiman bertambah, maka aktivitas manusia juga akan semakin meningkat. Limbah dari aktivitas manusia tersebut terutama yang berada di
bantaran sungai mempengaruhi kualitas air yakni meningkatnya kadar BOD dari aktivitas mencuci, kakus dan sebagainya. Selain itu juga meningkatnya kadar
nitrat dari aktivitas buang air besar, menurunnya kadar oksigen terlarut DO dan meningkatnya kadar kekeruhan Ryadi 1985 dalam Yani et al. 1994.
Tahun 2004 luas wilayah sawah di wilayah penelitian adalah sebesar 13.652 ha, bertambah 2.122,50 ha 15,55, menjadi 15.774,50 ha di tahun 2009.
Bertambahnya luas sawah merupakan konversi pertanian lahan kering menjadi sawah di daerah Karawang. Sawah mempunyai peran yang cukup berarti dalam
mempengaruhi kualitas air di dalam suatu sistem DAS Daerah Aliran Sungai. Nitrogen yang berasal dari pupuk NPK yang berfungsi sebagai penyubur tanah
sedikit banyaknya terbuang dari saluran irigasi ke sistem DAS, hal ini dapat meningkatkan kadar nitrogen di dalam air sehingga memperburuk kualitas air
tersebut. Aktivitas pertanian dapat mempengaruhi kualitas air suatu perairan dari segi parameter fisik air maupun parameter kimia air. Dari segi fisik, pembukaan
lahan hijau menjadi lahan pertanian dapat meningkatkan erosi yang menyebabkan padatan-padatan tanah terbawa aliran air hujan ke dalam badan air. Hal tersebut
mengakibatkan meningkatnya kekeruhan di suatu perairan Zamrin 2007. Sementara itu dari segi parameter kimia, aktivitas pertanian yang menggunakan
pestisida dan pupuk sintetik dapat menyumbang racun kimia yang dapat memperburuk kualitas air sungai setempat.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
peta perubahan tutupan lahan di Lampiran 8 dan Lampiran 9. Dilihat dari peta perubahan tutupan lahan dapat dilihat juga persentase luas
wilayah suatu tutupan lahan terhadap keseluruhan luas wilayah penelitian. Dari data tersebut bisa dilihat perubahan persentase yang cukup signifikan. Data luasan
bisa dilihat pada tabel 12. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa persentase perubahan terbesar terjadi pada pertanian lahan kering. Pertanian lahan kering di
tahun 2004 mencakup 23,50 dari total luas wilayah lahan di wilayah penelitian, tetapi menurun drastis hingga angka 5,04 saja. Disini berarti kecenderungan
masyarakat akan bercocok tanam di lahan kering menurun dari tahun ke tahun. Tahun 2004 semakbelukar mencakup 0,77 dari total luas wilayah penelitian,
tetapi pada tahun 2009 bisa dilihat semakbelukar mencakup 5,94 dari total luas wilayah penelitian. Hal ini berarti pada wilayah penelitian luas semakbelukar dari
tahun ke tahun terus bertambah dan nantinya diduga akan berubah menjadi kawasan permukiman yang juga terus bertambah luasannya dari tahun ke tahun.
Tabel 12 Cakupan masing-masing luas kelas penggunaan lahan dalam keseluruhan wilayah penelitian di tahun 2004 dan 2009
Penggunaan Lahan Luas Lahan 2004
Luas Lahan 2009 ha
ha
Sawah 13.652,00
37,26 15.774,50
43,05 Permukiman
11.588,10 31,62
13.592,10 37,09
Pertanian lahan kering 8.611,58
23,50 1.847,89
5,04 Kebun
590,10 1,61
1.325,12 3,62
Hutan 1.813,63
4,95 1.117,81
3,05 Lahan terbuka
25,00 0,07
342,47 0,93
Rawa 79,61
0,22 185,75
0,51 Semakbelukar
283,50 0,77
2.457,77 6,71
Total 36.643,42
100 36.643,42
100 Sumber: BPDAS Ciliwung – Citarum periode 2004 – 2009.
5.3 Perubahan Kualitas Air di Sub DAS Saluran Tarum Barat