Coping stres ibu menyusui eksklusif yang bekerja di Jakarta : dalam pendekatan kualitatif deskriptif.
COPING STRES IBU MENYUSUI EKSKLUSIF YANG BEKERJA DI
JAKARTA
(Dalam Pendekatan Kualitatif Deskriptif)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Vicke Vira Disainta
NIM
: 089114031
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2012
The image cannot be displayed. Your computer may not have enough memory to open the image, or the image may have been corrupted. Restart your computer, and then open the file again. If the red x still appears, you may have to delete the image and then insert it again.
(2)
(3)
(4)
iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Loser make promises they often break, winners make commitments they always
keep.” Anonim
-“Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat
perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.” Matius 5:16
-Untuk semua orang yang tidak pernah berhenti mendukung dan mendoakanku,
- Bapak dan mama
- Eyang ‘nti, Eyang ‘kung, Opung ewe, dan Opung doli.
- Ara, Vinka, Dyca, Laras, Lala, semua adik dan kakakku.
- Bu ‘ncis (Tempo), Om Dedy, Om Edu, Tata, Ma’ tua, Pa’ tua, semua keluargaku
- Om Donal, Tante Widy, Razan, Didan.
- Semua ‘kakak’, ‘adik’, dan sahabatku.
(5)
(6)
vi
STRESS COPING OF EXCLUSIVE BREASTFEEDING MOTHERS WHO WORK IN JAKARTA
A Descriptive Qualitative Approach Vicke Vira Disainta
ABSTRACT
The purpose of this study is to describe stress coping in exclusive breastfeeding mothers who works in Jakarta. This topic is worth studied because the low prevalence of breastfeeding practices in Indonesia. Indonesian demographical health survey found out only 32.3% mothers who gave exclusive breastfeeding to their babies in 2007. This finding draws concern considering many studies conducted before found out babies given formulated milk are susceptible to illnesses. From many factors causing mothers not giving exclusive breastfeeding to their babies, it was known that one factor mothers do not give exclusive breastfeeding to their babies is mother working. It is because of stress experienced by working mothers may disrupt breastfeeding process and production. This study conducted to four working mothers in Jakarta who successfully breastfeed exclusively using descriptive qualitative method. According to data analysis, it is known that breastfeeding mothers who work in Jakarta are capable to show 8 forms of stress coping by 2 classifications of coping strategies appeared as effort to face stressors. The forms of stress coping are 4 forms of problem-focused coping such as active coping, planning, suppression of competing, and seeking social support for instrumental action; and 4 forms of emotion-focused coping such as coping positive reinterpretation and growth, acceptance, turning to religion, and seeking social support for emotional reason.
Keywords: exclusive breastfeeding, stress coping, problem-focused coping, emotion-focused coping.
(7)
vii
COPING STRES IBU MENYUSUI EKSKLUSIF YANG BEKERJA DI JAKARTA
Dalam Pendekatan Kualitatif Deskriptif Vicke Vira Disainta
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan memberi gambaran coping stres ibu menyusui eksklusif yang bekerja di Jakarta. Hal ini menarik untuk diteliti karena diketahui bahwa praktek menyusui di Indonesia prevalensinya terbilang rendah. Survey demografi kesehatan Indonesia menyebutkan hanya 32,3% ibu yang memberikan ASI eksklusif pada bayinya di tahun 2007. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat banyak penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, menemukan bahwa bayi yang diberikan susu formula rentan terserang penyakit. Dari banyak faktor yang menyebabkan seorang ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, diketahui bahwa salah satu penyebab utama ibu tidak memberikan ASI eksklusif adalah ibu bekerja. Hal ini dikarenakan stres yang dialami oleh ibu bekerja itu sendiri dapat mengganggu proses dan produksi ASI. Penelitian ini dilakukan kepada 4 orang ibu bekerja di Jakarta yang telah berhasil menyusui eksklusif dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Dari hasil analisis data diketahui bahwa ibu menyusui yang bekerja di Jakarta mampu memunculkan 8 bentuk coping stres berdasarkan 2 klasifikasi strategi coping yang muncul sebagai usaha untuk menghadapi stressor. Bentuk coping stres tersebut di antaranya adalah 4 bentuk coping yang berfokus pada masalah seperti, active coping, planning, suppression of competing, dan seeking social support for instrumental action serta 4 bentuk coping yang berfokus pada emosi seperti, coping positive reinterpretation and growth, acceptance, turning to religion, dan seeking social support for emotional reason.
Kata Kunci: ASI eksklusif, coping stres, coping yang berfokus pada masalah, coping yang berfokus pada emosi
(8)
(9)
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
bimbingan dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
Coping Stres Ibu Menyusui Eksklusif yang Bekerja di Jakarta (Dalam Pendekatan Kualitatif Deskriptif).Adapun penulisan ini dimaksudkan untuk memenuhi syarat dalam mendapatkan gelar sarjana psikologi. Pada kesempatan ini penulis hendak
menyampaikan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah banyak
membantu penulis,
1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dosen pembimbing akademik
dan dekan saya. Terimakasih bu tidak pernah bosan mengingatkan saya
untuk segera lulus setiap awal semester. Terimakasih juga sudah
menularkan semangat yang luar biasa.
2. Ibu Dr.Tjipto Susana, M.Si selaku dosen matakuliah seminar saya, atas
kritik dan masukkannya yang membangun.
3. Ibu Sylvia CMYM, M.Si atas bimbingannya selama saya mengerjakan
skripsi, dan untuk segala kesempatan yang pernah diberikan.
4. Ibu A. Tanti Arini, M.Si dan Bapak C.Siswa Widyatmoko, M.Psi selaku
dosen penguji yang telah memberikan saran dan pengetahuan baru bagi
saya untuk menjadikan skripsi ini semakin baik.
5. Semua dosen di fakultas psikologi, terutama yang pernah mengajar saya.
Terimakasih untuk ilmu yang sudah diberikan dengan rela hati dan
(10)
x
6. Seluruh pengurus dan anggota AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia)
untuk inspirasi, pengetahuan, dan bantuan-bantuan dalam pencarian
subjek. Terutama untuk mbak Sari yang sejak awal membantu saya dan
menerima niat saya bekerjasama dengan sangat baik. Serta semua yang
telah bersedia menjadi subjek dan berbagi kepada saya.
7. Bapak Anton dan Mama Eva untuk semua dukungan dan doa nya, untuk
cinta dan kasih yang luar biasa. Terimakasih buat kesempatan yang tidak
pernah habis mama bapak kasih buat Vicke. You’re the best!!! I love you
mom dad…
8. Eyang ‘nti, Eyang ‘kung, Opung Doli, dan Opung Ewe, makasih doa dan
semangatnya. Makasih untuk kesabarannya menunggu dan kesempatan
membuktikan diri hingga semua ini selesai juga.
9. Bu’ncis (Tempo) sebagai sumber inspirasiku, ibuku selama di Jogja.
Makasih buat segala kesempatan mengembangkan dirinya bu... Om Dedy
makasih buat dukungan dan doanya, Om Du dan Tata buat semua
semangat dan doanya.
10. Ara dan Vinka buat celetuk-celetukkannya, isengnya yang selalu buat
kangen rumah. Buat semangat dan doanya. Makasih ya adik-adikku yang
manis…
11. Om Donal, Tante Widy, Razan, dan Didan yang selalu mendoakan dan
menyemangati. Makasih ya…
12. Mas Dian Wibowo alias mas Aconk, makasih buat kehadirannya yang
(11)
xi
skripsi ini selesai juga. Makasih buat 3 modal utamanya. I will always
remember!!!
13. Teman-teman seperjuanganku, Nopai (mamak), Rina (bundo), Henri
(Om), Cynthia, Dila, Stanley, Anna, Ayu, Dewi, Dessy, Koko Ed, Cece,
Fanny, Puji, dan Tiwai. Ingat saat-saat kita galau bersama atau saat-saat
saling menguatkan, menyemangati, saat-saat konyol kita. Makasih
teman-teman ayo lanjutkan perjuangan kalian…
14. Dicky, Christy, Mbak Putri, Mas Pandji, Fany, Nani, Ko Sam, Cha2,
Tiok, Wi Badut, dll. Makasih ya buat semangatnya, bantuannya di
saat-saat tak terduga. Makasih teman…
15. Anak-anak Oel yang selalu gak berhenti menyemangati dan
mengingatkanku untuk pulang ke BSD. Tania, Zai-zai, Lelen, Js, Opa,
Tsu-tsu, Tin-tin, Merlin, Ta-ta, Raden, dan Angga. Makasih-makasih…
special buat zai-zai makasih untuk kesetiaannya menunggu di garis finish.
16. Semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Terimakasih
banyak.
Akhir kata, penulis hendak menyampaikan permintaan maaf sebesar-besarnya
apabila dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan kesalahan baik yang
disengaja maupun tidak. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna untuk
siapapun yang membacanya.
(12)
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..………...….…...…………. i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING…...…………. ii
HALAMAN PENGESAHAN………...….. iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN…….……….. iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..……..v
ABSTRACT………...…….. vi
ABSTRAK……….…….. vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.…….. viii
KATA PENGANTAR………...…….. ix
DAFTAR ISI……….…….. xii
DAFTAR TABEL……….…….. xvi
DAFTAR GAMBAR……….. xvii
DAFTAR LAMPIRAN……….…….. xviii
BAB I PENDAHULUAN……….…….. 1
A. Latar Belakang……….…….. 1
B. Rumusan Masalah………...….. 7
C. Tujuan Penelitian……….……….. 7
D. Manfaat Penelitian………...……... 7
1. Manfaat Teoritis……….. 7
2. Manfaat Praktis……….. 7
a. Bagi Konselor ASI dan Petugas Kesehatan…………. 7
(13)
xiii
c. Bagi Pemerintah dan Perusahaan……… 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….. 9
A. Coping Stres……….. 9
1. Stres………..…….. 9
2. Aspek Fisiologis dari Stres……….……... 10
3. Pengertian Coping Stres………... 11
4. Tipe Strategi Coping………... 11
B. ASI Eksklusif…….………...……... 15
1. Pengertian Menyusui Eksklusif………...……... 15
2. Manfaat Pemberian ASI Eksklusif………... 16
a. Bagi Bayi………. 16
b. Bagi Ibu………... 17
3. Gambaran Pemberian ASI di Indonesia………... 18
4. Gambaran Pemberian ASI di Luar Negeri……….. 20
5. Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI……….. 21
C. Stres dan Tubuh……….. 23
1. Mekanisme Tubuh Saat Stres………...…….. 23
2. Hubungan Stres dengan Terganggunya Praktek Pemberian ASI Eksklusif……….…….. 23
BAB III METODE PENELITIAN……….. 26
A. Metode Penelitian Kualitatif……….. 26
B. Responden Penelitian………..….. 26
(14)
xiv
1. Stres………..…….. 27
2. Coping Stres……….…….. 28
3. Pengertian Menyusui Eksklusif………. 30
D. Teknik Pengambilan Data.………..…….. 30
E. Kredibilitas Penelitian………..…….. 31
F. Metode Analisis Data………...…….. 33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 35
A. Proses Pengambilan Data………..………..…….. 35
1. Pelaksanaan……….….…….. 35
2. Data Subjek…….………... 36
B. Analisis Hasil………..……... 37
1. Bentuk Coping Stres Subjek 1………. 37
a. Problem Focused Coping………. 38
2. Bentuk Coping Stres Subjek 2………. 41
a. Problem Focused Coping………. 41
b. Emotional Focused Coping... 45
3. Bentuk Coping Stres Subjek 3………. 47
a. Problem Focused Coping………. 48
b. Emotional Focused Coping……….. 50
4. Bentuk Coping Stres Subjek 4………. 52
a. Problem Focused Coping………. 52
b. Emotional Focused Coping……….. 54
(15)
xv
C.Pembahasan………...…... 58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..……….………65
A. Kesimpulan……….. 65
B. Saran………..….. 66
a. Bagi Pemerintah Pusat dan Daerah……… 66
b. Bagi Pihak Perusahaan……… 66
c. Bagi Peneliti Selanjutnya………. 66
DAFTAR PUSTAKA….….………..…….. 68
(16)
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Daftar Pelaksanaan Konfirmasi Data Subjek………... 32
Tabel 4.1 Daftar Pelaksanaan Wawancara Langsung dengan Subjek... 36
Tabel 4.2 Data Subjek………..……..37
Tabel 4.3 Gambaran Coping Stres Ibu Menyusui Eksklusif yang
(17)
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema Pola Stres Ibu Bekerja yang Menyusui
Eksklusif…………...………. 25
Gambar 4.1 Skema Dinamika Stres Keempat Subjek Ibu Menyusui Eksklusif yang Bekerja di Jakarta………...…... 64
(18)
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Panduan Pertanyaan Wawancara……….…...… 72
Lampiran 2. Indikator Kriteria Subjek…………..………...…….... 74
Lampiran 3. Data Verbatim Wawancara Subjek 1………...……... 76
Lampiran 4. Data Verbatim Wawancara Subjek 2………...……... 99
Lampiran 5. Data Verbatim Wawancara Subjek 3………...……... 125
(19)
1
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Praktek pemberian ASI eksklusif prevalensinya terbilang rendah di
Indonesia. Survey demografi kesehatan Indonesia tahun 2007 menyebutkan
hanya 32,3% ibu yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (Marnoto,
2010). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan pemberian ASI eksklusif adalah
memberikan hanya ASI tanpa makanan dan minuman lain kepada bayi sejak
lahir sampai berusia 6 bulan kecuali obat dan vitamin (Roesli, 2000).
Kenyataan bahwa banyak bayi di Indonesia yang tidak mendapatkan ASI
eksklusif sangatlah memprihatinkan. Hal ini dikarenakan bayi yang diberikan
susu formula sangat rentan terserang penyakit.
Berdasarkan penelitian Dewey, Beudry dan Krammer (dalam Roesli,
2008) diketahui bahwa susu formula dapat menyebabkan bayi menjadi mudah
muntah-mencret dan mencret menahun. Bayi yang diberikan susu formula
juga mengalami penyakit infeksi saluran pernapasan tiga kali lebih parah dan
memerlukan rawat inap dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI eksklusif
(Bachrach, Schwarz & Bacharch, 2003 dalam Roesli 2008). Selain itu, Dr.
Widodo Judarwanto SpA, melakukan penelitian berdasarkan uji laboratorium
kandungan susu formula terhadap potensi alergi yang dapat terjadi pada
(20)
formula dapat berpotensi menyebabkan alergi pada anak-anak yang rentan
terhadap zat tertentu, terutama pada usia bayi (Judarwanto, 2009).
Amstrong J, dkk (dalam Roesli,2008) menyimpulkan dalam
penelitiannya bahwa pemberian susu formula berhubungan dengan
peningkatan risiko obesitas pada anak-anak. Susu formula juga dapat
meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah (Singhal, Cole,
Lucas, 2001). Sebuah lembaga penelitian yang memiliki fokus terhadap
anak-anak dan kanker, UK Childhood Cancer Investigation menemukan bahwa terdapat risiko kanker pada anak yang diberi susu formula (Roesli, 2008).
Selain itu, baru-baru ini Institut Pertanian Bogor melakukan penelitian
terhadap kandungan susu formula di Indonesia. Hasilnya, 74 kemasan
makanan bayi, 10 di antaranya (13.5%) ditemukan mengandung Enterobacter sakazakii. Bakteri ini merupakan jenis bakteri patogen yang dalam 20 tahun terakhir ini dilaporkan menyebabkan beberapa kasus kematian serta penyakit
pada bayi-bayi yang lahir prematur (Meutia, 2008).
Ada berbagai hambatan yang menyebabkan para ibu tidak memberikan
ASI eksklusif kepada bayinya. Penelitian mengenai pemberian ASI eksklusif
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya oleh Muhamad Arifin Siregar pada
tahun 2004 menyebutkan salah satu penyebab utama ibu tidak memberikan
ASI eksklusif kepada bayinya adalah ibu bekerja (Siregar, 2004).
Meningkatnya tenaga kerja perempuan menjadi salah satu kendala dalam
mensukseskan program ASI eksklusif. Survey Demografi Kesehatan
(21)
Indonesia adalah wanita sedangkan pada tahun 2002 hanya 39,5%. Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Sri Rejeki tahun 2008 mengenai Pengalaman
Menyusui Eksklusif Ibu Bekerja di Wilayah Kendal Jawa Tengah, telah
didapatkan banyak faktor yang menyebabkan ibu bekerja terhambat dalam
memberikan ASI eksklusif. Salah satunya adalah stres yang dialami ibu
bekerja itu sendiri, menjadi hambatan dalam memberikan ASI eksklusif bagi
anaknya (Rejeki,2008).
Sebelumnya, peneliti telah melakukan wawancara awal pada bulan
November 2011 dan awal Maret 2012 melalui pertanyaan singkat yang
dikirim melalui e-mailuntuk mendapatkan gambaran dari dua orang ibu yang telah berhasil menyusui eksklusif sambil bekerja. Peneliti bertanya mengenai
pengalaman menyusui mereka dan hambatan apa yang menyebabkan mereka
merasa tidak nyaman dan bahkan mungkin tertekan selama praktek menyusui
eksklusif sambil bekerja. Mereka semua menjawab, selain jarak tempuh yang
begitu jauh stres terjadi akibat tekanan dan tidak adanya dukungan dari
lingkungan kerja untuk tetap memberikan ASI.
Sebagai contoh tidak adanya ruangan untuk memerah ASI membuat
ibu-ibu tersebut harus rela memerah ASI-nya di tempat yang kurang nyaman.
Hal lainnya adanya gangguan-gangguan selama memerah seperti rekan kerja
yang penasaran dan rekan kerja pria yang ingin mengintip membuat ibu
merasa malu dan risih. Tidak adanya dukungan dari teman sesama ibu yang
memiliki anak seusia anaknya juga menambah rasa tertekan ibu-ibu yang
(22)
dukungan dari manajemen tempatnya bekerja yang berpendapat pekerjaan
lebih penting daripada memberikan ASI eksklusif yang bagi mereka dapat
diganti dengan susu formula. Ada pula masalah dari lingkungan interen
keluarga seperti tanggapan negatif dari mertua yang masih beranggapan
bahwa ASI adalah darah dan jika diperah akan basi juga membuat ibu-ibu ini
merasa mendapat tekanan lagi. Ibu-ibu ini tetap memberikan ASI eksklusif
karena sadar betul akan kebaikan ASI yang tidak tergantikan oleh nutrisi
apapun. Selain itu, terdapat keinginan untuk memiliki ikatan dan kelekatan
dengan anaknya yang mereka yakini bisa terbentuk melalui proses menyusui.
Mereka juga meyakini bahwa memberikan ASI eksklusif merupakan hak
anak-anak mereka yang harus mereka penuhi.
Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 33 tahun 2012. Tentang
pemberian ASI eksklusif. Hak ibu menyusui dan anak untuk mendapatkan
ASI eksklusif sebetulnya dilindungi oleh negara meskipun dalam
pelaksanaannya, peraturan tersebut belum didukung oleh petunjuk
pelaksanaan yang jelas serta sanksi yang tegas bagi siapa saja yang
melanggarnya, sehingga banyak tempat bekerja tidak membuat regulasi
khusus yang mendukung praktek pemberian ASI eksklusif.
(http://www.depkes.go.id/downloads/PP%20ASI.pdf, diakses tanggal 4 April
2012, 13.15 WIB.) Hal ini menyebabkan semakin lemahnya perlindungan
bagi ibu menyusui ekskusif yang bekerja.
Stres dapat menghambat refleks hormon oksitosin. Hormon oksitosin
(23)
dihambat oleh katekolamin yang diproduksi jika ibu stres. Jika hormon
oksitosin terhambat maka ASI yang keluar pun ikut terhambat. Kondisi
seperti ini jika terus berlangsung, dapat menghambat pengosongan payudara,
sehingga lama kelamaan produksi ASI pun akan berkurang dan semakin
lama, bisa menghentikan ASI. Pengosongan payudara merupakan
perangsangan diproduksinya ASI kembali. Maka, jika ASI semakin sering
dikeluarkan atau payudara semakin sering dikosongkan, ASI akan terus
diproduksi dan begitu pula sebaliknya (Lawrence, 2005).
Hambatan dalam praktek pemberian ASI eksklusif yang disebabkan
oleh stres menyusui yang terjadi akibat tekanan dan tidak adanya dukungan
dari lingkungan kerjanya untuk tetap memberikan ASI eksklusif bagi bayinya
pada ibu bekerja membuat peneliti tertarik untuk melihat keberhasilan para
ibu yang bekerja di kota besar seperti Jakarta dalam memberikan ASI
eksklusif kepada anaknya. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat terlihat
bagaimana ibu yang bekerja di kota besar seperti Jakarta dapat menenangkan
dirinya dan dapat tetap memberikan ASI eksklusif pada anaknya tanpa
masalah kekurangan produksi ASI.
Jakarta dipilih untuk menjadi lokasi penelitian karena merupakan ibu
kota dan dapat dikatakan sebagai kota besar. Populasi penduduk yang cukup
padat, persaingan pekerjaan yang sangat ketat, tuntutan perekonomian yang
sangat tinggi, serta tekanan pekerjaaan yang sangat berat di Jakarta dapat
memunculkan stres dan kesibukkan kerja yang cukup berat bagi ibu-ibu
(24)
seperti kemacetan dan jarak, tetapi kedua hal tersebut tidak dimasukkan
sebagai salah satu alasan pemilihan lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan
adanya fasilitas seperti jasa kurir ASI di Jakarta yang sudah mulai marak dan
dapat memudahkan ibu untuk mengirimkan ASI kepada anaknya.
Banyaknya informasi dari internet, buku, dan majalah serta dari media
lainnya juga turut serta memudahkan ibu menyusui untuk mendapatkan
pengetahuan mengenai cara memompa dan menyimpan ASI. Hal ini
menyebabkan ibu bekerja tidak lagi kesulitan untuk mendistribusikan ASI
nya sendiri dengan mengetahui cara memompa dan menyimpan ASI yang
benar. Hal-hal tersebut membuat kemacetan dan jarak tidak lagi menjadi
masalah yang dapat menambah stres ibu menyusui dewasa ini.
Penelitian berdasarkan keberhasilan ibu-ibu bekerja mengatasi stres
menyusui yang terjadi akibat stres harus menyusui eksklusif sambil tetap
bekerja di kantor dengan minimnya dukungan dari lingkungan perusahaan
ataupun lingkungan keluarga, dapat menjadi pembuktian ilmiah bagi banyak
ibu bekerja lainnya terutama pada mereka yang bekerja di luar rumah dan
bukan usaha milik sendiri bahwa masalah stres menyusui pada ibu bekerja
masih dapat diatasi dengan cara yang tepat, sehingga tidak ibu bekerja dapat
tetap memberikan ASI eksklusif bagi anaknya. Pada ibu yang bekerja di luar
rumah dan bukan bisnis milik sendiri, tentunya terikat dengan sistem yang
ada pada tempat mereka bekerja dan hal tersebut dapat menjadi tantangan
tersendiri dalam memberikan ASI eksklusif. Peneliti memilih Ibu bekerja dari
(25)
eksklusif karena kesadaran akan manfaat ASI bukan karena faktor lain seperti
ketidaksanggupan membeli susu formula. Selain itu, gambaran coping stres pada ibu bekerja ini dapat juga menjadi masukan bagi para ibu bekerja
lainnya dalam praktek pemberian ASI eksklusif dan dasar dukungan terhadap
perlindungan bagi ibu bekerja yang menyusui agar dibuatkan regulasi khusus,
serta fasilitas pendukung menyusui di tempatnya bekerja.
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana gambaran copingstres ibu menyusui eksklusif yang bekerja di Jakarta?
C. TUJUAN PENELITIAN
Melihat gambaran coping stres ibu menyusui eksklusif yang bekerja di
Jakarta.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi dan pengetahuan di
bidang psikologi, terutama psikologi klinis dan kesehatan karena nantinya
akan diketahui gambaran coping stres ibu menyusui yang bekerja di Jakarta.
2. Manfaat Praktis
(26)
Penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi petugas
kesehatan dan konselor ASI dalam upaya membantu ibu yang menyusui
atau akan menyusui eksklusif dalam mengatasi stres-nya.
b. Bagi Ibu Menyusui
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah
mengenai strategi coping stres yang baik bagi ibu bekerja yang akan
menyusui eksklusif, sehingga prevalensi pemberian ASI eksklusif di
Indonesia dapat meningkat.
c. Bagi Pemerintah dan Perusahaan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam
memperjuangkan regulasi yang jelas, serta fasilitas pendukung
(27)
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. COPING STRES
1. Stres
Hans Seyle mengungkapkan bahwa stres adalah suatu bentuk respon
tubuh yang tidak spesifik terhadap segala tuntutan yang dialami dan
diterima seseorang (Landy dan Conte, 2004). Pengertian stres yang
dikemukakan oleh Hans Seyle (dalam Landy dan Conte, 2004)
digolongkan dalam pengertian stres sebagai respon. Dalam pendekatan ini,
seseorang dapat mengalami stres atau tidak dipengaruhi oleh bagaimana ia
bereaksi terhadap stimulus (Cooper, 2001). Suatu keadaan dapat direspon
secara berbeda oleh individu, sehingga dalam pengertian ini, perbedaan
dan keunikan individu mulai diperhatikan sebagai salah satu faktor yang
memperngaruhi terjadinya stres pada seseorang (Ogden, 2007).
Lazarus (dalam Ogden, 2007) mengungkapkan stres tidak dapat hanya
dipandang sebagai stimulus atau respon saja. Stres adalah pola transaksi
manusia dengan lingkungan yang terjadi terus menerus.
Sumber atau penyebab terjadinya stress dinamakan stressor. Individu
merasa stres tergantung bagaimana ia menginterpretasi suatu situasi yang
dihadapinya (Lazarus dalam Nairne, 2003). Stres merupakan hal yang
bersifat subjektif atau tergantung pada cara individu memahami dan
(28)
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah terganggunya
keseimbangan antara kondisi biologis, psikologis serta sosial akibat suatu
kejadian tertentu yang menyebabkan reaksi yang tidak menyenangkan
dalam diri individu.
2. Aspek Fisiologis dari Stres
Seyle (dalam Wade & Tavris, 2009) menggambarkan respon tubuh
terhadap segala jenis stresor eksternal sebagai general adaptation syndrome, tahapan rangkaian tersebut adalah sebagai berikut:
a. Fase alarm (the alarm phase)
Fase saat tubuh menggerakkan sistem saraf simpatetik untuk
menghadapi ancaman langsung. Walter Cannon (1929, dalam Wade &
Tavris, 2009) menggambarkan perubahan-perubahan ini sebagai respon
“flight or flight”(melawan atau melarikan diri). b. Fase penolakan (the resistance phase)
Saat tubuh berusaha menolak atau mengatasi stresor yang tidak
dapat dihindari. Pada fase ini, respon fisiologis yang terjadi pada fase
alarm terus berlangsung, sehingga tubuh rentan terhadap stresor-stresor
lain.
c. Fase kelelahan (the exhaustion phase)
Saat stres yang berkelanjutan menguras energi tubuh,
meningkatkan kerentanan terhadap masalah fisik dan akhirnya dapat
(29)
3. Pengertian Coping Stres
Coping stres menurut Lazarus dan Launier tahun 1978 adalah
proses pengelolaan stressor yang dinilai melelahkan atau melebihi sumber
daya seseorang sebagai upaya untuk mengelola tuntutan lingkungan dan
internal (Lazarus & Launier, 1978 dalam Ogden, 2007). Dalam konteks
terhadap stress, coping menggambarkan cara individu berinteraksi dengan
stressor. Folkman, dkk (dalam Lyons & Chamberlain, 2006)
mendefinisikan coping stres sebagai upaya yang melibatkan kognitif dan
perilaku seseorang untuk mengelola tuntutan internal dan eksternal dari
situasi yang melelahkan atau melebihi sumber daya orang tersebut.
Stres bisa diikuti dengan ketegangan fisik maupun psikologis.
Ketegangan ini menyebabkan perasaan tidak nyaman. Situasi seperti ini
menyebabkan individu melakukan sesuatu untuk meredakan stres-nya.
Tindakan yang dilakukannya ini disebut dengan coping (Sarafino, 2006).
4. Tipe Strategi Coping
Lazarus dan Folkman (dalam Lyons & Chamberlain, 2006) membagi
dua cara strategi coping, yaitu coping yang berfokus pada masalah
(problem focused coping) dan coping yang berfokus pada emosi (emotional focused coping). Pada coping yang berfokus pada masalah seseorang biasanya berusaha untuk menekan atau mengurangi kondisi
(30)
untuk menyelesaikan permasalahan. Pada coping yang berfokus pada
emosi, seseorang biasanya menghindari suatu hal yang menyebabkan
masalah dalam dirinya, sehingga ia tidak menyelesaikan masalah
melainkan hanya menghindari masalah.
Carver, Weintraub & Scheier (1989) mengklasifikasikan strategi
coping tersebut menjadi seperti di bawah ini:
a. Coping yang Berfokus pada Masalah (Problem Focused Coping): 1) Active coping : Pengambilan langkah aktif untuk menghilangkan
tekanan, menghindari tekanan dan memperbaiki dampaknya.
2) Planning : Membuat rencana bagaimana mengatasi tekanan, memikirkan tindakan.
3) Suppression of competing : Berkonsentrasi penuh pada usaha yang lebih mendekati pemecahan masalah, mengesampingkan hal-hal
yang dianggap tidak perlu.
4) Restraint coping : Menahan diri dalam melakukan respon (tindakan) sampai ada waktu yang dirasa tepat.
5) Seeking social support for instrumental action : Upaya mencari dukungan sosial (dari orang lain), berupa bimbingan, nasehat, dan
informasi.
b. Coping yang Berfokus pada Emosi (Emotional Focused Coping).
1. Positive reinterpretation and growth : Memandang ulang masalah secara positif dan mencari manfaat positif dari masalah yang
(31)
2. Acceptance : Menerima stressor, dalam arti mengakomodasinya, karena mungkin keadaan permasalahan tersebut sulit diubah.
3. Denial : Menyangkal realita agar tidak terlalu menyakiti perasaan (menjaga agar emosi stabil).
4. Behavioral disengagement : Agak menyerah (dalam hal tindakan) dalam melakukan suatu usaha mengatasi permasalahan.
5. Mental disengagement : Agak menyerah (secara mental), bahkan menggunakan aktivitas alternatif untuk melupakan masalah.
6. Turning to religion: Kembali pada ajaran agama untuk mendapatkan kekuatan dan pikiran positif.
7. Focus on and venting emotion: Memfokuskan pada segala sesuatu yang menyedihkan dan mengekspresikan perasaan tersebut.
8. Seeking social support for emotional reason : Mencari dukungan sosial, untuk membantu emosi kita, misalnya mencari
rasa simpati, pengertian, dan dukungan moral.
Wade & Tavris (2009) memberikan beberapa cara-cara sukses
mengatasi stres yang dibagi kedalam beberapa kategori sebagai berikut,
a. Strategi fisik.
Cara yang paling sederhana dalam mengatasi tekanan fisiologis
dari stress adalah dengan menenangkan diri dan mengurangi
rangsangan fisik tubuh melalui meditasi atau relaksasi. Cara efektif lain
adalah dengan pemijatan sehingga tubuh dapat menjadi lebih tenang.
(32)
olahraga juga dapat mengurangi stres. Semakin sering orang
berolahraga, maka kecemasan, depresi, dan sensitivitas mereka
berkurang.
b. Strategi yang berorientasi terhadap masalah.
Pada strategi yang berorientasi terhadap masalah, terdapat emotion-focused coping yang berfokus pada emosi yang muncul akibat dari masalah yang dihadapi baik marah, cemas, atau duka cita. Pada coping
yang berfokus pada emosi seseorang tidak memfokuskan diri untuk
menyelesaikan masalah, namun hanya melampiaskan emosi yang
disebabkan oleh masalah. Selain itu ada problem-focused coping. Pada strategi coping yang berfokus pada masalah, seseorang berusaha untuk tahu cara mengatasi permasalahannya dan melakukan suatu hal untuk
mengatasi masalahnya tersebut.
c. Strategi kognitif.
Saat kita tidak dapat menyelesaikan suatu masalah, kita dapat
mengubah cara pikir mengenai masalah tersebut.
1) Menilai atau meninjau kembali situasinya (reappraisal). Masalah dapat diubah menjadi tantangan dan kehilangan dapat diubah
menjadi keuntungan yang tidak terduga.
2) Belajar dari pengalaman.
3) Membuat perbandingan sosial. Pada situasi sulit, orang yang sukses
bertahan seringkali membandingkan kondisi mereka dengan orang
(33)
d. Strategi sosial.
Dukungan sosial juga dapat menjadi strategi coping stres bagi diri
kita. Dukungan sosial dapat kita dapatkan dengan mengandalkan teman
dan keluarga, menemukan kelompok dukungan, dan membantu orang
lain. Dukungan sosial meningkatkan kesehatan sebagian karena kita
memililki locus of control internal dan perasaan optimisme.
B. ASI EKSKLUSIF
1. Pengertian Menyusui Eksklusif
Pemberian ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI tanpa
makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6
bulan kecuali obat dan vitamin (Roesli, 2000). Bayi dianjurkan diberi
ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupannya. Kemudian,
setelah 6 bulan, dilanjutkan dengan didampingi makanan pendamping
ASI selama dua tahun. Makanan padat, dapat diperkenalkan pada bayi
pada usia 6 bulan untuk melengkapi nutrisi ASI (Hegar, 2010).
Badan kesehatan dunia (WHO) (dalam Trihono, Suradi, Oswari,
dan Hendarto, 2011) menganjurkan ASI eksklusif sejak bayi lahir
sampai usia 6 bulan dan untuk selanjutnya, bayi tetap diberi ASI beserta
(34)
2. Manfaat Pemberian ASI Eksklusif
Dalam artikel ilmiah berdasarkan review yang dilakukan Hegar terhadap penelitian yang dilakukan oleh Department of Nutrition for Health and Development dan Department of Child and Adolescent Health and DevelopmentWHO pada tahun 2002, serta penelitian yang dilakukan oleh Carfoot, Williamson, dan Dickson tahun 2005, dan juga
penelitian yang dilakukan oleh Kostrya dan Mazur pada tahun 2002
membuktikan bahwa ada banyak manfaat yang ditemukan dalam
praktek pemberian ASI eksklusif (Hegar, 2010). Manfaat tersebut
antara lain:
a. Bagi Bayi
1. Perlindungan kesehatan bayi.
Menyusui eksklusif selama 6 bulan terbukti memberikan
risiko yang lebih kecil terhadap berbagai penyakit infeksi dan
penyakit lainnya di kemudian hari.
2. Kesehatan saluran cerna.
Keuntungan lainnya adalah ASI lebih mudah dicerna
daripada susu formula, sehingga saluran cerna dapat melakukan
kerjanya secara optimal. Selain itu, ASI keluar langsung dari
payudara, sehingga kemungkinan tercemarnya pun menjadi lebih
kecil ketimbang susu formula.
(35)
Berdasarkan kajian ilmiah, ditemukan bahwa ASI
berpengaruh terhadap perkembangan intelektual anak.
4. Rasa aman, nyaman, dan hangat selama menyusui.
Bayi menikmati rasa aman, nyaman, hangat, serta
keberadaan ibunya selama menyusu. Khususnya bila terjadi
‘kontak kulit-dengan-kulit’ selama menyusu.
b. Bagi Ibu
1. Praktis dan Ekonomis.
Pemberian ASI tidak perlu melalui proses penyajian dan
pensterilan alat makan seperti dot bayi sehingga menjadi lebih
praktis. Selain iu, ASI diproduksi oleh tubuh ibu sehingga lebih
ekonomis.
2. Meningkatkan kadar antibodi dalam darah ibu.
Menyusui dapat membuat antibodi yang ada dalam darah
ibu secara otomatis akan bertambah, sehingga ibu tidak mudah
terpapar penyakit dan jika ibu terkena penyakit, tubuh ibu akan
memproduksi antibodi untuk dirinya sendiri dan juga untuk
anaknya melalui ASI.
3. Menunda kehamilan.
Menyusui dapat berperan sebagai alat kontrasepsi alami.
Selama menyusui, ovulasi akan tertekan, sehingga kemungkinan
(36)
3. Gambaran Pemberian ASI di Indonesia.
Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 33 tahun 2012. Tentang
pemberian ASI eksklusif. Hak ibu menyusui dan anak untuk mendapatkan
ASI eksklusif sebetulnya dilindungi oleh negara meskipun dalam
pelaksanaannya, peraturan tersebut belum tersosialisasikan dengan baik
dan tidak didukung dengan sanksi yang kuat bagi siapa saja yang
melanggarnya. Berikut adalah uraian peraturan pemerintah dalam tentang
permberian ASI eksklusif.
a. Inisiasi Menyusui Dini
Dalam Pasal 9, pada ayat 1 dikatakan bahwa tenaga kesehatan dan
penyelenggara fasilitas pelayanan wajib melakukan inisiasi menyusui
dini. Pada bayi yang baru lahir selama 1 jam. Pada ayat 2 juga
dijelaskan bagaimana cara melakukan inisiasi dini sesuai standarat yang
benar.
b. Rawat Gabung
Pada pasal 10, ayat 1 dan 2 dikatakan bahwa penyelenggara
fasilitas kesehatan wajib menempatkan ibu dan bayi dalam satu ruangan
kecuali ada indikasi dokter untuk memudahkan ibu dalam memberikan
ASI eksklusif.
c. ASI Eksklusif 6 Bulan
Pada pasal 2 dijelaskan bahwa pengaturan pemberian ASI
eksklusif bertujuan untuk menjamin hak bayi untuk mendapatkan ASI
(37)
dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Pada pasal 6
dikatakan bahwa setiap ibu harus memberikan ASI eksklusif kepada
bayi yang baru dilahirkannya.
Sebenarnya, ibu bekerja yang menyusui juga dilindungi hak
menyusuinya oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat melalui peraturan
perundangan sebagai berikut:
a. Pada pasal 30, ayat 1 dikatakan bahwa pengurus tempat kerja dan
penyelengara tempat umum harus mendukung program pemberian
ASI eksklusif. Pada ayat 3 dikatakan bahwa pengurus tempat kerja
dan penyelenggara sarana umum harus menyediakan fasilitas
khusus untuk menyusui/ memerah ASI.
b. Pada pasal 34, dikatakan bahwa pengurus tempat kerja wajib
memberikan kesempatan pada ibu bekerja untuk memberikan ASI
eksklusif kepada bayi, atau memerah ASI selama waktu kerja di
tempat kerja.
c. Pada pasal 35, juga pemerintah mengharuskan pengurus tempat kerja
untuk membuat peraturan internal yang mendukung keberhasilan
program ASI eksklusif.
Meskipun peraturan pemerintah tersebut sudah dirumuskan.
Namun, petunjuk pelaksanaannya belum diterbitkan, sehingga peraturan
ini belum mampu ditegakkan secara tegas. Selain itu peraturan
pemerintah ini juga belum disosialisasikan dengan baik,
(38)
pemerintah daerah, sehingga sanksi atas segala bentuk pelanggaran
ataupun penghalangan dalam praktek pemberian ASI eksklusif bisa
dikatakan kurang tegas, sebagian rumah sakit di beberapa kota besar di
Indonesia telah memberlakukan praktek rumah sakit sayang ibu dan
bayi. Tercatat, ada 26 rumah sakit terbaik dari 26 provinsi yang telah
memenuhi 10 kriteria sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri
Kesehatan nomor 273/1997 tentang Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif. Di
antaranya adalah tidak memasang iklan susu formula serta mendukung
upaya ibu untuk memberikan ASI Eksklusif.
4. Gambaran Pemberian ASI di Luar Negeri
Berbeda dengan di Indonesia, sebagian Negara di luar Negeri
seperti Kanada memberikan perlindungan yang lebih ketat pada hak ibu
menyusui dan anak untuk mendapatkan ASI eksklusif, bahkan tempat
kerjanya pun memberlakukan cuti bagi ibu menyusui hingga 54 minggu
dan para ibu menyusui tersebut tetap mendapatkan gajinya selama cuti
menyusui sebagai hak atas karyawan (Association of Registered Nurses
of Newfoundland and Labrador et al, 2006).
Provinsi-provinsi di Kanada saling bekerja sama dengan
pemerintah dan sektor-sektor lain seperti swasta, pendidikan, dan
organisasi sukarela untuk membantu melindungi hak ibu menyusui dan
bayi mendapatkan ASI eksklusif. Di Kanada provinsi Newfoundland
(39)
menyusui di wilayahnya. Kedua provinsi ini menetapkan kebijakan
untuk melindungi, mempromosikan, dan mendukung menyusui bagi
kemajuan kesehatan Kanada. Kedua provinsi ini sungguh-sungguh
mendedikasikan sumber daya keuangan untuk pengembangan dan
implementasi dari program ini. Mereka membatasi iklan produk susu
formula. Mereka sungguh-sungguh memantau inisiasi-inisiasi terkait
dan memastikan bahwa praktek pemberian ASI eksklusif berjalan
dengan baik dan membatasi pemberian susu formula (Association of
Registered Nurses of Newfoundland and Labrador et al, 2006).
5. Faktor yang Mempengaruhi Pemberian ASI.
Banyak hal yang menyebabkan ASI Eksklusif tidak diberikan
khususnya bagi ibu-ibu di Indonesia, hal ini bisa dipengaruhi oleh
(Siregar, 2004):
a. Hubungan kerabat yang luas di daerah pedesaan menjadi renggang
setelah adanya perubahan struktur masyarakat dan keluarga
-keluarga pindah ke kota.
b. Kemudahan-kemudahan yang didapat sebagai hasil kemajuan
teknologi, mendorong ibu untuk mengganti ASI dengan makanan
olahan lain.
c. Iklan yang menyesatkan dari produksi makanan bayi menyebabkan
ibu beranggapan bahwa makanan-makanan itu lebih baik daripada
(40)
d. Para ibu sering keluar rumah baik karena bekerja maupun karena
tugas-tugas sosial, maka susu formula adalah satu-satunya jalan
keluar dalam pemberian makanan bagi bayi yang ditinggalkan
dirumah.
e. Adanya anggapan bahwa memberikan susu botol kepada anak
sebagai salah satu simbol bagi kehidupan tingkat sosial yang lebih
tinggi, terdidik dan mengikuti perkembangan zaman.
f. Ibu takut bentuk payudara rusak apabila menyusui dan
kecantikannya akan hilang.
g. Belum semua petugas paramedis diberi pesan dan diberi cukup
informasi agar menganjurkan setiap ibu untuk menyusui bayi
mereka, serta praktek yang keliru dengan memberikan susu
formula botol kepada bayi yang baru lahir.
h. Sering juga ibu tidak menyusui bayinya karena terpaksa, baik
karena faktor intern dari ibu seperti terjadinya bendungan ASI yang
mengakibatkan ibu merasa sakit sewaktu bayinya menyusu,
luka-luka pada puting susu yang sering menyebabkan rasa nyeri,
kelainan pada puting susu dan adanya penyakit tertentu. Disamping
itu juga karena faktor dari pihak bayi seperti bayi lahir sebelum
waktunya (prematur) atau bayi lahir dengan berat badan yang
(41)
i. Kurangnya pengertian dan pengertahuan ibu tentang manfaat ASI
dan menyusui menyebabkan ibu – ibu mudah terpengaruh dan
beralih kepada susu formula.
C. STRES DAN TUBUH
1. Mekanisme Tubuh Saat Stres
Para peneliti modern mempelajari bagaimana mekanisme tubuh pada
saat stres. Pada saat seseorang dalam kondisi stres, hipotalamus dalam otak
mengirimkan pesan ke kelenjar endokrin dalam dua jalur besar. Seperti yang
telah diamati oleh Seyle (dalam Wade & Tavris, 2009) di jalur pertama,
hipotalamus mengaktifkan bagian simpatetik dari sistem saraf otonom yang
menstimulasi adrenal medulla untuk memproduksi epinephrine dan
norepinephrine. Hasilnya adalah banyak perubahan tubuh yang berhubungan
dengan “lawan atau lari”, di jalur yang lain, pesan berjalan menuju ke aksis
HPA (hypothalamus pituitary adrenal cortex) yang kemudian akan mengeluarkan kortisol dan hormon lain yang meningkatkan gula darah dan
melindungi jaringan tubuh dari peradangan.
2. Hubungan Stres dengan Terganggunya Praktek Pemberian ASI Eksklusif.
Pada payudara, terutama pada puting susu terdapat banyak ujung saraf
sensoris. Perangsangan pada payudara akibat hisapan bayi saat menyusu
(42)
dalam otak kita. Impuls dari hipotalamus selanjutnya akan diteruskan ke
hipofisis bagian depan yang mengeluarkan hormon prolaktin dan ke
hipofisis bagian belakang yang berfungsi mengeluarkan hormon oksitosin.
Hormon prolaktin dialirkan oleh darah ke kelenjar payudara, maka terjadilah
refleks pembentukan ASI (Roesli, 2009).
Stres dapat menghambat refleks hormon oksitosin. Hormon oksitosin
berperan pada refleks pengeluaran ASI (let down reflex). Pelepasan oksitosin dihambat oleh katekolamin yang diproduksi jika ibu stres. Jika
hormon oksitosin terhambat maka ASI yang keluar pun ikut terhambat.
Kondisi seperti ini jika terus berlangsung, dapat menghambat pengosongan
payudara, sehingga lama kelamaan produksi ASI pun akan berkurang dan
semakin lama, bisa menghentikan ASI. Pengosongan payudara merupakan
perangsangan diproduksinya ASI kembali. Maka, jika ASI semakin sering
dikeluarkan atau payudara semakin sering dikosongkan, ASI akan terus
diproduksi dan begitu pula sebaliknya (Lawrence, 2005).
Menurut Lazarus, dkk (dalam Ogden, 2007) tujuan dari coping adalah meminimalisir stresor yang dirasakan oleh individu. Oleh karena itu,
memahami coping stres menjadi penting agar seseorang belajar dari pengalaman untuk mengatasi kesulitannya ataupun sekedar membantu
mereka bertahan dalam kesulitan (Wade & Tavris, 2009).Copingstres yang tepat, dapat membantu ibu untuk tetap dapat memberikan ASI dengan lancar
dan baik kepada bayinya. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat
(43)
Ibu Bekerja yang Menyusui
Faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif (Siregar, 2004):
- Perubahan struktur masyarakat dan keluarga. - Pengaruh Iklan
- Kemudahan yang ditawarkan hasil kemajuan teknologi (makanan olahan)
- Informasi dari petugas kesehatan - Ibu sering keluar rumah karena bekerja
- Anggapan bahwa susu formula merupakan symbol tingkat sosial yang lebih tinggi
- Sakit
- Pengetahuan yang kurang
Coping Stres
Problem Focused Coping Emotional Focused Coping
Gambar 2.1
Skema Pola Stres Ibu Bekerja yang Menyusui Eksklusif
Stres Menyusui Produksi ASI terganggu
Perlindungan Ibu Menyusui:
- Peraturan Pemerintah - Regulasi Tempat Kerja
(44)
26
BAB III
METODE PENELITIAN
A. METODE PENELITIAN KUALITATIF
Penelitian ini akan dilakukan menggunakan metode kualitatif deskriptif.
Menurut Poerwandari (2005) penelitian kualitatif menghasilkan dan
mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara, catatan
lapangan, gambar, foto, rekaman video dan lain sebagainya. Penelitian
deskriptif memberikan gambaran, paparan, dan penjabaran suatu fenomena.
(Audifax, 2008)
Metode ini dipilih oleh peneliti karena pengalaman mengatasi stres
pada ibu bekerja di Jakarta yang menyusui eksklusif berbeda-beda. Begitu
pula dengan bagaimana orang tersebut memaknai pengalamannya itu. Dengan
menggunakan penelitian kuantitatif tentunya hal ini tidak dapat terlihat, lain
halnya dengan menggunakan metode kualitatif.
B. RESPONDEN PENELITIAN
Jenis pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan kriteria
tertentu. Sebelumnya peneliti telah menentukan kriteria subjek penelitian,
yaitu ibu bekerja di Jakarta. Ciri yang lebih spesifik adalah mereka yang
bekerja di luar rumah dan bukan bisnis milik sendiri karena, jika mereka
bekerja di luar rumah dan bukan bisnis milik sendiri tentunya mereka terikat
(45)
tersendiri dalam memberikan ASI eksklusif. Selain itu tentu saja mereka
sudah memiliki anak dan sudah memiliki pengalaman berhasil menyusui
eksklusif, pengalaman tersebut baru berlalu sekitar 3 tahun yang lalu
setidaknya masih mudah diingat dan peneliti meyakini bahwa pada kurun
waktu 3 tahun belakangan ini kampanye menyusui eksklusif, informasi
mengenai penyimpanan ASI dan menyusui eksklusif dari berbagai media
sudah cukup banyak beredar. Fasilitas-fasilitas yang membuat jarak tidak lagi
menjadi masalah seperti kurir ASI dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini
juga sudah ada dan dapat memudahkan ibu untuk tetap memberikan ASI
eksklusif meskipun sambil bekerja. Kriteria subjek yang terakhir adalah ibu
bekerja dari kalangan menengah ke atas. Hal ini dipilih peneliti agar dapat
memastikan bahwa ibu memberi ASI eksklusif sungguh karena kesadaran
akan manfaat ASI bukan karena faktor lain seperti ketidaksanggupan
membeli susu formula.
C. BATASAN ISTILAH 1. Stres
Stres adalah terganggunya keseimbangan antara kondisi biologis,
psikologis serta sosial akibat suatu kejadian tertentu yang menyebabkan
reaksi yang tidak menyenangkan dalam diri individu. Sumber atau
penyebab terjadinya stres dinamakan stressor. Individu merasa stres
tergantung bagaimana ia menginterpretasi suatu situasi yang dihadapinya
(46)
atau tergantung pada cara individu memahami dan memandangnya serta
sumber daya yang dimiliki individu.
Stres menyusui yang ingin diteliti dalam hal ini adalah stres yang
terjadi akibat harus menyusui eksklusif sambil tetap bekerja di kantor
dengan minimnya dukungan dari lingkungan perusahaan ataupun
lingkungan pendukung seperti keluarga.
2. Coping Stres
Stres bisa diikuti dengan ketegangan fisik maupun psikologis.
Ketegangan ini menyebabkan perasaan tidak nyaman. Situasi seperti ini
menyebabkan individu melakukan sesuatu untuk meredakan stres-nya.
Tindakan yang dilakukannya ini disebut dengan coping stres
(Sarafino,2006). Dalam penelitian ini, hal-hal yang ingin diungkap
berkaitan dengan coping stres ibu bekerja yang menyusui di Jakarta
adalah, Tipe Strategi coping:
a. Coping yang Berfokus pada Masalah (Problem Focused Coping):
1) Active coping : Pengambilan langkah aktif untuk menghilangkan tekanan, menghindari tekanan dan memperbaiki dampaknya.
2) Planning : Membuat rencana bagaiman mengatasi tekanan, memikirkan tindakan.
3) Suppression of competing : Berkonsentrasi penuh pada usaha yang lebih mendekati pemecahan masalah, mengesampingkan hal-hal
(47)
4) Restraint coping : Menahan diri dalam melakukan respon (tindakan) sampai ada waktu yang dirasa tepat.
5) Seeking social support for instrumental action : Upaya mencari dukungan sosial (dari orang lain), berupa bimbingan, nasehat, dan
informasi.
b. Coping yang Berfokus pada Emosi (Emotional Focused Coping).
1) Positive reinterpretation and growth : Memandang ulang masalah secara positif dan mencari manfaat positif dari masalah yang
dihadapi.
2) Acceptance : Menerima stressor, dalam arti mengakomodasinya, karena mungkin keadaan permasalahan tersebut sulit diubah.
3) Denial : Menyangkal realita agar tidak terlalu menyakiti perasaan (menjaga agar emosi stabil).
4) Behavioral disengagement : Agak menyerah (dalam hal tindakan) dalam melakukan suatu usaha mengatasi permasalahan.
5) Mental disengagement : Agak menyerah (secara mental), bahkan menggunakan aktivitas alternatif untuk melupakan masalah.
6) Turning to religion: Kembali pada ajaran agama untuk mendapatkan kekuatan dan pikiran positif.
7) Focus on and venting emotion: Memfokuskan pada segala sesuatu yang menyedihkan dan mengekspresikan perasaan tersebut.
(48)
8) Seeking social support for emotional reason : Mencari dukungan sosial, untuk membantu emosi kita, misalnya mencari rasa simpati,
pengertian, dan dukungan moral.
3. Pengertian Menyusui Eksklusif
Pemberian ASI eksklusif adalah memberikan hanya ASI tanpa
makanan dan minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia 6 bulan
kecuali obat dan vitamin (Roesli, 2000). Bayi dianjurkan diberi ASI
eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupannya. Kemudian, setelah 6
bulan, dilanjutkan dengan didampingi makanan pendamping ASI selama
dua tahun. Makanan padat, dapat diperkenalkan pada bayi pada usia 6
bulan untuk melengkapi nutrisi ASI (Hegar,2010).
D. TEKNIK PENGAMBILAN DATA
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara
mendalam menggunakan teknik wawancara semi terstruktur. Peneliti tetap
membuat daftar pertanyaan sebagai panduan dalam melakukan wawancara agar
tetap mengacu pada fokus penelitian dan mendalam. Beberapa hal yang
peneliti lakukan dalam proses pengambilan data adalah:
1) Mencari subjek yang bersedia untuk dijadikan subjek penelitian dan sesuai
dengan kriteria subjek penelitian yang sudah dibatasi sebelumnya
2) Membangun rapport dengan subjek dan menjelaskan tujuan dari penelitian
(49)
mengatasi stres yang terjadi akibat tekanan dan tidak adanya dukungan dari
lingkungan kerjanya untuk tetap memberikan ASI eksklusif bagi bayinya.
Peneliti juga menyampaikan bahwa saat wawancara nanti peneliti meminta
ijin untuk merekam suara subjek. Hal ini bertujuan agar subjek bersedia
berproses bersama peneliti.
3) Menyusun jadwal wawancara agar antara peneliti dan subjek penelitian
terjadi kesepakatan, sehingga tidak mengganggu aktivitas dari subjek
penelitian.
4) Langkah selanjutnya adalah menyusun panduan pertanyaan yang bersifat
semi-terstruktur. Pertanyaan semi-terstruktur bertujuan untuk mendorong
subjek penelitian menceritakan tentang pengalamannya mengatasi stres
yang terjadi akibat tekanan dan tidak adanya dukungan dari lingkungan
sekitar dan kerjanya untuk tetap memberikan ASI eksklusif bagi bayinya,
dengan sesedikit mungkin komentar yang diberikan peneliti.
5) Melakukan Wawancara.
E. KREDIBILITAS PENELITIAN
Kredibilitas dalam penelitian kualitatif dipilih untuk menggantikan
konsep validitas. Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya
mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting,
proses, kelompok sosial atau pola interaksi kompleks. Penelitian dilakukan
dengan cara tertentu yang menjamin bahwa subjek penelitian diidentifikasi dan
(50)
Kredibilitas penelitian ini tercapai dengan cara:
a. Mengkonfirmasikan data dan analisisnya kepada reponden penelitian
(validitas komunikatif). Peneliti melakukan pengecekan pemahaman
yang peniliti dapatkan dengan subjek melalui e-mail ataupun pertemuan langsung yang kemudian direspon oleh subjek.
Tabel 3.1
Daftar Pelaksanaan Konfirmasi Data Subjek
Subjek Hari / Tanggal
1. Senin, 28 Mei 2012
2. Rabu, 30 Mei 2012
3. Selasa, 24 Juli 2012
4. Rabu, 25 Juli 2012
b. Presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik dan
rasional, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data
mentah (validitas argumentatif).
c. Penelitian dilakukan pada kondisi alamiah dari subjek ‘apa adanya’
dan kehidupan sehari-hari menjadi konteks penting penelitian
(51)
F. METODE ANALISIS DATA
Dalam penelitan kualitatif, analisis data dapat dilakukan dengan content analysisatau menganalisis isi dari data yang telah didapatkan (Audifax, 2008). Langkah-langkah yang diambil dalam melakukan analisis data di penelitian ini
adalah:
1. Organisasi data
Dalam mengorganisasi data, peneliti akan membuat verbatim dengan
memindahkan data kasar dalam alat perekam kedalam catatan lengkap dari
semua kata ataupun kalimat yang ada dalam rekaman.
2. Pengenalan data
Peneliti mengenali mana yang data dan mana yang bukan. Pada tahap
ini, peneliti memperkirakan kategori-kategori yang mungkin muncul. Pada
tahap ini, peneliti membuat coding tanpa merubah esensi kalimat dan melakukan interpretasi.
3. Pemilahan data
Peneliti memberi nama pada setiap domain yang ditemukan
berdasarkan penguasaan literatur peneliti.
4. Review terhadap pemilahan
Peneliti melakukan check dan recheck mengenai logika peneliti dalam mengkategorikan data dengan orang lain yang diaanggap capable atau memiliki kompetensi.
(52)
5. Merangkai dan membunyikan data
Pada tahap ini, peneliti mencoba melihat apa yang telah didapat dan
(53)
35
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PROSES PENGAMBILAN DATA 1. Pelaksanaan
Dalam proses pengambilan data, peneliti mendapatkan subjek dengan
menyebar informasi pencarian subjek penelitian melalui media internet,
yaitu milis dan jejaring sosial dengan dibantu oleh Asosiasi Ibu Menyusui
Indonesia (AIMI). Dari banyak orang yang bersedia menjadi subjek,
ditemukan 7 yang dapat menjadi subjek penelitian ini. Akan tetapi, hanya
ada 4 orang subjek yang paling sesuai dengan kriteria subjek yang dicari
oleh peneliti.
Kriteria subjek yang dicari oleh peneliti adalah ibu yang bekerja di
Jakarta (bukan usaha milik pribadi), memiliki pengalaman berhasil
menyusui eksklusif, dan pengalaman tersebut baru berlalu sekitar 3 tahun
yang lalu. Subjek yang gugur disebabkan karena tidak dapat dihubungi
kembali, ada juga subjek yang setelah diwawancara baru diketahui bahwa
dirinya tidak termasuk dalam kriteria ibu menyusui eksklusif selama 6 bulan
ataupun ternyata hambatan dan tekanan yang dihadapinya tidak sesuai
dengan yang ingin peneliti lihat sebagai contoh: Ibu terganggu produksi ASI
nya dikarenakan hamil lagi. Hal ini lebih disebabkan oleh gangguan
(54)
dukungan dari lingkungan kerja atau keluarga, sehingga peneliti merasa
tidak dapat memasukkan ibu ini ke dalam subjek penelitian.
Setelah melakukan proses pendekatan melalui media e-mail dan
handphone peneliti melakukan wawancara langsung dengan para subjek. Berikut adalah daftar pelaksanaan wawancara langsung dengan subjek:
Tabel 4.1
Daftar Pelaksanaan Wawancara Langsung dengan Subjek
No. Inisial Hari, Tanggal/ jam Tempat
1. YH Rabu, 21 Maret 2012 / 12.05 – 12.32
Café di daerah Menteng, Jakarta Pusat. 2. LM Kamis, 22 Maret
2012 / 13.00-13.28
Emporium Mall Pluit, Jakarta Barat.
3. AO Jumat, 6 April 2012 / 16.15- 16.46
Rumah Subjek di Kalibata, Jakarta Selatan.
4. DW Senin, 9 April 2012 / 11.46-12.15
Kantin Beltway Office Park, Jakarta Selatan.
2. Data Subjek
Keempat subjek, merupakan ibu bekerja di Jakarta yang telah
berhasil memberikan ASI eksklusif kepada anaknya. Meski demikian,
keempat subjek tersebut memiliki usia, jenis pekerjaan, jam kerja, jenis
transportasi untuk ke kantor, dan jarak tempuh dari rumah ke kantor dan
(55)
dampak, tekanan, dan kesulitan yang bervariasi pula pada tiap subjek.
Berikut adalah uraian data subjek:
Tabel 4.2
Data Subjek
No Inisial Usia (Tahun) Usia saat menyusui (Tahun) Anak Ke Pekerjaan Trans-portasi pilihan Jam kerja Waktu tempuh
1. YH 34 29 1 Sekretaris
Presiden
Direktur
Mobil ± 8 jam ± 20 – 30 menit (pergi) ± 45 menit (pulang)
2. LM 28 26 1 Guru Mobil /
Taksi
± 9 – 10 jam
± 30 – 60 menit
3. AO 30 30 1 Data
management specialist
Metro mini / Kereta
± 9 jam ± 60 menit (pergi) ± 30 menit (pulang)
4. DW 30 30 2 Business
Assistant
Motor ± 9 jam
± 30 menit
B. ANALISIS HASIL
1. Bentuk Coping Stres Subjek 1
Secara umum subjek 1 menggunakan tiga bentuk coping stres berdasarkan klasifikasi strategi problem focused coping atau coping yang berfokus pada masalah saja. Berikut adalah gambaran bentuk coping stres
(56)
yang digunakan oleh subjek 1 yang diurutkan berdasarkan yang paling
sering digunakannnya.
a. Problem Focused Coping a.1 Active Coping
Bentuk coping stres yang sering subjek gunakan adalah active coping atau pengambilan langkah aktif untuk menghilangkan tekanan, menghindari tekanan dan memperbaiki dampaknya
(Carver, dkk, 1989). Bentuk copingstres ini sering kali digunakan dalam situasi harus segera mengambil langkah untuk
mengusahakan pemenuhan kebutuhan ASI anaknya. Sebagai
contoh, ketika sedang berada di kantor demi memenuhi kebutuhan
ASI anaknya, subjek harus mau mencuri-curi kesempatan memerah
kapan saja dimana saja. Hal ini dapat dibuktikan dari kutipan
wawancara berikut:
“Sometimes, saya harus meresnya di bawah kolong meja. Itu meja gede gitu. Di bawah kolong meja saya narohnya. Saya memerah manual pake tangan. Jadi saya berusaha pake baju yang ada bukaan di depan gitu. Jadi dengan cepat gw mesti meres ASI secepat mungkin gitu. Soalnya begitu dipanggil gw harus segera… Setiap ada kesempatan saya meres ASI. Kerjaan tetep kerjaan.”
WS1 B 41- 43; B 75
Bentuk active coping juga digunakan oleh subjek ketika subjek berusaha menghindari konflik keluarga dengan mengatur distribusi
ASI nya sendiri. Dengan memberikan ASI eksklusif kepada
anaknya, subjek selalu memastikan bahwa anaknya mendapatkan
(57)
demi memberikan yang terbaik untuk anaknya ini terlihat dari
kutipan wawancara berikut:
“Hee cool box gitu, whiches muat berapa botol gitu. Udah gua siapin nih satu hari minumnya sekali minum 120 atau sekali minum 200 udah saya siapin botolnya jadi dia tinggal minum doang tinggal panasin aja. Wah kalau harus delivery ASI lagi nanti orang rumahnya pada marah-marah.”
WS1 B 102
a.2. Suppression of Competting
Bentuk coping stres lain yang juga seringkali digunakan oleh subjek adalah suppression of competing atau berkonsentrasi penuh pada usaha yang lebih mendekati pemecahan masalah dan
mengesampingkan hal-hal yang dianggap tidak perlu (Carver, dkk,
1989). Suppression of competing seringkali digunakan subjek dalam situasi penuh tekanan, sehingga ketenangan dan motivasi sangat
dibutuhkan untuk dapat memproduksi ASI. Sebagai contoh ketika
subjek harus mengejar target untuk menyediakan ASI perah bagi
anaknya dengan beban pekerjaan yang cukup berat di kantor dan
ketidaktersediaannya fasilitas di kantor subjek. Subjek harus
mempertahankan dirinya agar tetap rileks saat memerah ASI agar
produksi ASI tidak terganggu. Salah satu cara yang seringkali
dilakukan oleh subjek adalah berusaha fokus pada target dan
menenangkan diri dengan memerah sambil mendengarkan musik.
Seperti dalam kutipan wawancara berikut:
“kadang saya eee ini apa ya.. sambil dengerin lagu. Sambil meras ASI sambil dengerin lagu. Kalau saya udah di bawah kolong meja itu dah gak
(58)
bisa ngapa-ngapain pokoknya saya berusaha sebisa mungkin itu dapet berapa.”
WS1 B 74
Subjek selalu menanamkan dalam pikirannya bahwa produksi
ASI nya selalu cukup dan subjek terus mengkomunikasikannya
kepada anak. Hal ini dilakukan subjek untuk tetap fokus dalam
berjuang memenuhi kebutuhan ASI anak. Bagi subjek, demi anak ia
harus berjuang. Dalam tekanan seperti apapun, subjek menanamkan
hal ini dalam dirinya agar ia tetap bisa memproduksi ASI. Bentuk
suppression of competing ini terlihat dalam kutipan wawancara berikut:
“Even apapun hambatannya saya pikir kalau buat anak ya loe harus berjuang. Gitu…”
WS1 B 66 a.3. Planning
Planning atau membuat rencana bagaimana mengatasi tekanan dan memikirkan tindakan (Carver, dkk, 1989) juga merupakan salah
satu bentuk coping yang digunakan oleh subjek. Bentuk coping ini biasa dilakukan oleh subjek pada saat subjek harus mempersiapkan
diri menghadapi tekanan-tekanan yang akan diterimanya saat akan
memenuhi kebutuhan ASI anaknya. Bentuk coping planning yang dilakukan subjek di awal adalah pada saat subjek memutuskan untuk
memberikan ASI eksklusif dan merencanakan memberi ASI meskipun
(59)
perharinya agar mampu mencukupi kebutuhan anak. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan wawancara berikut:
“… menurut refrensi yang saya baca, maksudnya susu yang biasa tuh formula itu gak bisa mengcover semua kebutuhan dia. Semua mau kalsium atau protein, apapun itu. Dengan ASI tuh dia bisa nyesuaiin dengan umurnya. Jadi umurnya berapa, berapa persen kalsium yang dibutuhkan tuh dah langsung diproduksi sesuai dengan kebutuhan bayinya. Dari situ saya tertarik dan berusaha harus fully. Even saya harus ngantor. Trus sebelumnya saya mesti stok ASI berapa liter dah saya hitung-hitung. Pokoknya gitu. Supaya mencukupi karena anaknya minumnya banyak banget. Sehari kalo ditinggal dia waktu tiga bulan pertama bisa 8,5 literan. Berarti saya harus meres sekitar 850 ml setiap hari. Targetnya harus segitu.”
WS1 B28-29
2. Bentuk Coping Stres Subjek 2
Secara umum subjek 2 menggunakan enam bentuk coping stres, yang dapat dibagi menjadi 3 bentuk coping stres berdasarkan klasifikasi strategi
problem focused coping atau coping yang berfokus pada masalah dan 3 bentuk coping stres berdasarkan klasifikasi strategi emotional focused coping atau coping yang berfokus pada emosi. Berikut adalah gambaran bentuk coping stres yang digunakan oleh subjek 2 yang diurutkan berdasarkan yang paling sering digunakannnya.
a. Problem Focused Coping a.1. Active Coping
Bentuk coping stres yang sering subjek gunakan adalah active coping atau pengambilan langkah aktif untuk menghilangkan tekanan, menghindari tekanan dan memperbaiki dampaknya
(Carver, dkk, 1989). Bentuk coping stres ini sering kali digunakan dalam situasi harus segera mengambil langkah untuk mengusahakan
(60)
pemenuhan kebutuhan ASI anaknya. Sebagai contoh , ketika stok
ASI beku yang disimpang subjek tidak dapat digunakan karena
kandungan enzim lipase-nya tinggi, sehingga berbau zat besi dan
anak subjek menolaknya. Subjek harus segera mengambil langkah
mengejar stok ASI dengan cara mengejar stok harian. Subjek
memerah hari ini untuk diminum keesokan harinya. Seperti terdapat
dalam kutipan wawancara berikut:
“Cuman eee ternyata pas waktunya saya kerja lagi, anak saya gak mau minum ASI beku saya. Setelah saya cium-cium emang baunya bau zat besi. Setelah saya cari tahu ternyata enzim lipase nya tinggi. Cuman waktu itu kan saya gak tau mesti diapain. Wah itu dah panik. Lumaya stok nya udah ada sekitar 60 an. Tapi anaknya gak mau minum sama sekali kan panik juga. Jadi ya udah… akhirnya dari saya masuk, 3,5 bulan anak saya sampai 2 tahun itu kerja tayang. Jadi saya pompa hari ini ya buat besok. Jadi ASI bekunya gak kepake sama sekali.”
WS2 B 37
Selain itu, bentuk active coping juga terlihat dalam usaha subjek mendistibusikan ASI perahannya setiap hari. Subjek memilih
untuk membawa langsung ASI perahannya tanpa mengunakan jasa
kurir ASI. Seperti terlihat dalam kutipan wawancara berikut:
“Oh gak gak… karena kan deket… tempat kerjanya dan yang saya pumping hasilnya cukup. Untuk besok dia minum. Jadi gak gak… ya tinggal dibawa pulang aja. Jadi, saya pumping siangnya, sorenya tinggal saya bawa pulang buat besok anak saya minum.”
WS2 B 70
Dengan jarak tempuh yang relatiif dekat dari rumah subjek yang
hanya berkisar 30-60 menit waktu tempuh perjalanan, memudahkan
subjek juga untuk dapat mengantar sendiri ASI perahnya tanpa
khawatir ASI perahnya akan rusak karena terlalu lama di jalan atau
(61)
a.2. Suppression of Competting
Ketika subjek berada dalam situasi penuh tekanan, sehingga
ketenangan dan motivasi sangat dibutuhkan untuk dapat
memproduksi ASI bentuk coping suppression of competing juga digunakan oleh subjek. Suppression of competing adalah coping stres dengan berkonsentrasi penuh pada usaha yang lebih mendekati
pemecahan masalah dan mengesampingkan hal-hal yang dianggap
tidak perlu (Carver, dkk, 1989).
Sebagai contoh ketika subjek sedang berjuang memberi ASI
eksklusif kepada anaknya namun subjek harus tetap bekerja dan di sisi
lain, ibu mertua subjek yang turut mengasuh anak subjek tidak
mendukung usaha pemberian ASI eksklusif subjek. Maka yang dapat
dilakukan subjek agar dirinya dapat tetap bertahan adalah
menanamkan dalam dirinya bahwa ASI adalah investasi masa depan
anak. Hambatan-hambatan apapun hanya sementara. Subjek
membangkitkan kembali kerelaan hatinya untuk melakukan yang
terbaik bagi anaknya sambil terus berusaha. Hal ini dapat dilihat dari
kutipan wawancara berikut:
“Dan saya pikir dengan ngasih ASI tuh apa yang saya punya bisa saya kasih buat anak saya. Saya mungkin gak bisa kasih… gedenya nanti mungkin saya gak bisa… ya amit-amit sih ya… mungkin saya gak bisa kasih harta yang belebih. Tapi, saya bisa kasih dia satu fondasi yang kuat. Badannya sehat, psikologisnya baik, dia punya ikatan yang kuat dengan saya. Itu aja. Saya pikir kasih ASI nya untuk anak saya. Gitu loh. Saya pikir hambatan-hambatan itu hanya sementara kok. Tapi masa depan anak saya itu kalau gak saya investasi dari sekarang tuh kapan lagi. Gitu. Itu aja sih
(62)
dasarnya. Saya pikir apa aja sih buat anak, mau kepala di kaki, kaki-nya di kepala, ya mestinya sih bisa lewat. Gitu…”
WS2 B 76
a.3. Seeking Social Support for Instrumental Action
Bentuk coping lain yang digunakan oleh subjek adalah seeking social support for instrumental action atau upaya mencari dukungan sosial (dari orang lain), berupa bimbingan, nasehat, dan informasi
(Carver, dkk, 1989). Bentuk coping stres ini digunakan subjek ketika berada dalam situasi ketidaktahuan terhadap suatu masalah yang
dihadapinya dan informasi yang dimilikinya dirasa tidak cukup,
sehingga subjek merasa membutuhkan dukungan dan bantuan dari
orang lain. Sebagai contoh ketika anak subjek menolak menyusu
langsung dari payudara subjek. Penolakkan dari anak subjek ini tidak
diketahui penyebabnya dan terjadi secara tiba-tiba. Hal ini bahkan
berakibat pada terlukanya puting payudara subjek akibat ditarik oleh
anaknya (nipple pore). Dalam situasi seperti ini, subjek akhirnya memutuskan untuk pergi ke klinik laktasi dan berkonsultasi langsung
dengan dokter. Seperti dapat dilihat dalam kutipan wawancara berikut:
“Akhirnya saya ke klinik laktasi, eee… di sana dibilang iya.. ini karena di tarik… gitu kan dan mungkin dah kena dot… yaudah akhirnya disitu saya sama suami saya dibilangin sama dokternya “ini jangan dikasih dot lagi ya… dikasih sendok aja, diajarin pelan-pelan bayi pasti bisa asal yang ngasihnya ikhlas bayi pasti mau. Kalau yang ngasihnya gak tenang, pasti bayinya bisa merasa.”’
WS2 B 52
Selain itu, bentuk coping stres ini juga digunakan oleh subjek ketika ia harus mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai ASI
(63)
dan harus mengatasi tekanan-tekanan terutama dari keluarga yang
dirasa kurang mendukung usaha subjek memberikan ASI eksklusif.
Karena dalam keluarga subjek tidak ada tradisi menyusui eksklusif,
maka terpaksa subjek harus mencari dukungan dari cerita orang lain
dalam milis. Seperti dapat dilihat dari kutipan wawancara berikut:
“Karena soal ASI ini susah lah… di lingkungan keluarga baru saya yang full ASI sampai 2 tahun… gitu. Di lingkungan teman-teman juga baru saya. Malah kadang mereka yang banyak tanya sama saya… jadi saya… ya… gue kemana ya… (hehehe) paling di milis baca-baca sharing orang… cuman kalau saya sharing ya bingung juga mau sharing sama siapa.”
WS2 B 86
b. Emotional Focused Coping
b.1. Positive Reinterpretation and Growth
Positive reinterpretation and growth atau memandang ulang
masalah secara positif dan mencari manfaat positif dari masalah yang
dihadapi (Carver,dkk, 1989) juga merupakan salah satu bentuk coping
stres yang digunakan oleh subjek. Sebagai contoh adalah ketika subjek
mengingat kembali perjuangannya memberikan ASI eksklusif untuk
anaknya dan bagaimana dukungan dari suami yang dirasa subjek
kurang jika dibandingkan oleh ayah ASI lainnya. Seperti dalam
kutipan wawancara beikut:
“Eee… Jujur masih ada sedikit sreeet… gitu… (hehehe) kalau diinget-inget ya…. Cuma kalau saya pikir, yaudahlah, masih banyak kelebihan suami saya, kalau saya Cuma inget masalah itu terus ya bisa stres nanti saya sampai saya tua nanti kan. Ya semua manusia punya plus minus nya… ya itu Cuma bagian kecil dari minusnya… ya… jujur masih tetep ngerasa gimana… gitu dihati. Kalau nginget. Cuma ya udahlah… ya udah…”
(64)
Bentuk coping stres ini digunakan subjek ketika dirinya berada dalam situasi masih tidak dapat menerima keadaaan dengan
kesulitan-kesulitan, tekanan, dan kurangnya dukungan yang dirasa olehnya.
b.2. Acceptance
Acceptance atau menerima stressor, dalam arti mengakomodasinya, karena mungkin keadaan permasalahan tersebut
sulit diubah (Carver, dkk, 1989) juga merupakan bentuk coping yang digunakan subjek ketika berada dalam situasi berusaha berdamai
dengan kesulitan-kesulitan, tekanan, dan kurangnya dukungan yang
dirasa olehnya. Sebagai contoh adalah ketika subjek merasa suaminya
kurang mendukung dirinya dalam usaha pemberian ASI eksklusif.
subjek berusaha mendukung dan menyemangati dirinya sendiri. Meski
demikian subjek berusaha menerima suaminya apa adanya dengan
tetap bersyukur dengan keberadaan suaminya. Seperti dalam kutipan
wawancara berikut:
“(hehehe) susah jawabnya… (hehehe) ya saya sih mungkin lebih banyak support diri saya sendiri sih… kalau support dari keluarga sih… dari suami… ya… saya sih bersyukur ada dia… ya kalau saya mau bandingin sama suami orang lain di milis, yang katanya aduh kalau lagi pumping subuh-subuh suaminya mau pijitin punggungnya. Suami saya kok gak ya?(hehehe)… suaminya mau bela-belain ambil ASI-nya… hm… kok suami saya gak ya… (hehehehe…) tapi ya buat saya, ya… dengan dia gak nyediain susu formula di rumah ya itu sudah dukungan lah… dengan dia mau beliin saya cooler bag, mau beliin botol susu kaca itu sudah dukungan. Kalau gak stres sendiri banding-bandingin sama suami orang kan… (hehehe)”
(1)
giginya udah saya coba untuk sikat giginya berkali-kali tapi emang susah begitu ya. Jadi ya, nanti saya akan compare yang pertama dengan yang kedua. Dan yang kedua juga mungkin lebih sehat. Semoga semuanya juga lebih sehat gitu ya. Dari situ memang saya lihat ASI emang gak ada dua nya. Hehehe abis gimana lagi ya. Lebih murah. Hehehe karena dibandingkan sama kakak saya. Dia itu beli satu kotak susu formula itu… sekitar 100 sampai 200 ribu dan itu cuma 2 minggu, itu bisa sejuta sebulan. Ok… ya gitu paling.
menilai ASI lebih ekonomis
dibanding susu formula.
63. Lebih ekonomis ya mbak.
Hehehe
64. Heem…
65. Hmm…. Dengan adanya
mungkin tekanan di kantor juga kan ketika harus bekerja, jarak tempuh mungkin… aku gak tau apakah jarak mempengaruhi mbak DIni atau gak. Dan lingkungan sebagainya lah yang mungkin bisa menekan mbak Dini, apa yang biasa mbak
(2)
lakukan untuk tetap bisa pumping?
66. Seeking social support for instrumental action
Yang biasa saya lakukan… hm… baca milis. Jadi, di milis tuh memang bener-bener kasih inspirasi. Trus kemudian, ketika ada kasus dia lagi sedikit pumpingnya, lagi males, lagi galau lah apa lah… ya itu ada lagi yang menguatkan. Mungkin di satu sisi saya lagi males, lagi capek, lagi… saya coba buka milis itu aja.
Membaca milis untuk menguatkan dan media inspirasi di saat-saat down.
67. Hiburannya milis ya. Hehehe
68. Positive reinterpretati on and growth.
Ya… gak juga sih? Hehehe. Kadang saya buka video atau foto anak-anak trus, ya juga ya. Kenapa mesti gak pumping. Gitu misalkan. Hehehe akhirnya balik lagi, pumping lagi.
Membuka video atau foto anak sebagai bahan perenungan.
69. Pernah punya masalah sama
produksi ASI, ketika lagi hectic mungkin, atau apapun itu.
70. Active coping
Heeh pernah sih… waktu itu cuma 20 apa sekali pumping. Yang biasanya 100. Itu kalau gak salah saya lagi flu deh. Flu atau apa… begitu. Trus… ya… saya sekali lagi harus disyukuri… jadi harus positif
Berpikir positif, meminum air putih hangat, dan relax dilakukan subjek saat produksi ASI mulai terganggu.
(3)
thinking meskipun “hah, cuma segini… sampai setengah jam cuma segini…” yang…. Heh… ok… yaudah postif thinking… minum yang banyak. Karena biasanya kalau udah hectic gak minum. Maksudnya bukan gak minum. Lupalah ya… minum air putih. Jadi minum air putih anget… gitu. Pumping yang kedua, dua jam berikutnya nambah jadi 50ml. itu yang buat saya. Oh iya… sebenernya memang relax aja sih harusnya. Hehehe.
71. Biasanya hectic karena apa sih
mbak, yang bisa bikin ganguan produksi?
72. Kesibukkan pekerjaan mengganggu produksi ASI.
Hm… hectic itu biasanya kerjaan sih memang… kerjaan, dateline kan. harus hari itu dikumpulkan, harus hari itu dilaporkan. Atau ada beberapa yang bookingan. Saya kan juga mengkoordinir untuk booking meeting, dan sebagainya. Ada bookingnan yang tercancel dan sebagainya. Itu bikin problem. Atau misalnya tamu dari luar gak dapet kamar, dan
Kesibukkan karena pekerjaan atau masalah di kantor sesekali
menimbulkan gangguan produksi ASI pada subjek.
(4)
sebagainya. Karena saya handle buat big bos juga soalnya. Yang cukup riweh.
73. Keren loh bisa bisa sampai 8
bulan tinggal tunggu sampai 2 tahun lagi. Hehehe
74. Hmm… ya… kita coba… amin..
75. Ok mbak, cukup kayaknya. Nanti
kalau ada yang kurang saya bisa contact lagi.
76. Ok gak pa-pa. saya tanya Vicke juga gak pa-pa nih… hehehe
(5)
vi
STRESS COPING OF EXCLUSIVE BREASTFEEDING MOTHERS WHO WORK IN JAKARTA
A Descriptive Qualitative Approach
Vicke Vira Disainta
ABSTRACT
The purpose of this study is to describe stress coping in exclusive breastfeeding mothers who works in Jakarta. This topic is worth studied because the low prevalence of breastfeeding practices in Indonesia. Indonesian demographical health survey found out only 32.3% mothers who gave exclusive breastfeeding to their babies in 2007. This finding draws concern considering many studies conducted before found out babies given formulated milk are susceptible to illnesses. From many factors causing mothers not giving exclusive breastfeeding to their babies, it was known that one factor mothers do not give exclusive breastfeeding to their babies is mother working. It is because of stress experienced by working mothers may disrupt breastfeeding process and production. This study conducted to four working mothers in Jakarta who successfully breastfeed exclusively using descriptive qualitative method. According to data analysis, it is known that breastfeeding mothers who work in Jakarta are capable to show 8 forms of stress coping by 2 classifications of coping strategies appeared as effort to face stressors. The forms of stress coping are 4 forms of problem-focused coping such as active coping, planning, suppression of competing, and seeking social support for instrumental action; and 4 forms of emotion-focused coping such as coping positive reinterpretation and growth, acceptance, turning to religion, and seeking social support for emotional reason.
Keywords: exclusive breastfeeding, stress coping, problem-focused coping, emotion-focused coping.
(6)
vii
COPING STRES IBU MENYUSUI EKSKLUSIF YANG BEKERJA DI JAKARTA
Dalam Pendekatan Kualitatif Deskriptif
Vicke Vira Disainta
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan memberi gambaran coping stres ibu menyusui eksklusif yang bekerja di Jakarta. Hal ini menarik untuk diteliti karena diketahui bahwa praktek menyusui di Indonesia prevalensinya terbilang rendah. Survey demografi kesehatan Indonesia menyebutkan hanya 32,3% ibu yang memberikan ASI eksklusif pada bayinya di tahun 2007. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat banyak penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, menemukan bahwa bayi yang diberikan susu formula rentan terserang penyakit. Dari banyak faktor yang menyebabkan seorang ibu tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, diketahui bahwa salah satu penyebab utama ibu tidak memberikan ASI eksklusif adalah ibu bekerja. Hal ini dikarenakan stres yang dialami oleh ibu bekerja itu sendiri dapat mengganggu proses dan produksi ASI. Penelitian ini dilakukan kepada 4 orang ibu bekerja di Jakarta yang telah berhasil menyusui eksklusif dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Dari hasil analisis data diketahui bahwa ibu menyusui yang bekerja di Jakarta mampu memunculkan 8 bentuk coping stres berdasarkan 2 klasifikasi strategi coping yang muncul sebagai usaha untuk menghadapi stressor. Bentuk coping stres tersebut di antaranya adalah 4 bentuk coping yang berfokus pada masalah seperti, active coping, planning, suppression of competing, dan seeking social support for instrumental action serta 4 bentuk coping yang berfokus pada emosi seperti, coping positive reinterpretation and growth, acceptance, turning to religion, dan seeking social support for emotional reason.
Kata Kunci: ASI eksklusif, coping stres, coping yang berfokus pada masalah, coping yang berfokus pada emosi