pelengkapan buku 16 04 13 indd
Pelengkap
BUKU PEGANGAN
Penyelenggaraan Pemerintahan
dan Pembangunan Daerah
2013
Af
fi
rmative Policy
Dalam Percepatan Pembangunan Daerah
Untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
(2)
Pelengkap Buku Pegangan 2013
Affi rmative Policy Dalam Percepatan Pembangunan Daerah Untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan
April 2013
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN
Gedung Radius Prawiro Lantai 9
Jl. DR. Wahidin No. 1 Jakarta Pusat 10710 Telp. (021) 3509442, Faks. (021) 3509443 Website: www. Djpk.depkeu.go.id Email: [email protected]
(3)
KATA PENGANTAR
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat, taufi k dan hidayah-Nya sehingga Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dapat menyelesaikan Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah. Pelengkap Buku Pegangan ini mengambil tema: Affi rmative Policy dalam Percepatan Pembangunan Daerah untuk Peningkatan Kesejahteraan Rakyat.
Indonesia telah melakukan transisi ekonomi yang cukup cepat. Namun sejalan dengan kecepatan transformasi tersebut Pemerintah Pusat menghadapi kendala dalam implementasinya, baik dari sisi kapasitas keuangan negara maupun dari sisi penataan institusi pengelola keuangan negara. Penerimaan negara dari sumber daya terutama minyak dan gas relatif semakin terbatas, sementara mobilisasi dari pajak masih menghadapi banyak kendala. Akibatnya keuangan negara masih harus ditopang dari pembiayaan melalui pinjaman dalam dan luar negeri. Sementara di sisi lain, ketergantungan Pemerintah Daerah terhadap dana transfer dari
(4)
Pemerintah Pusat (APBN) cenderung semakin meningkat. Mengingat tantangan yang semakin berat dalam mengelola APBN ke depan, perlu kiranya untuk memaksimalkan pendapatan serta mengefi sienkan dan mengefektifkan belanja negara termasuk transfer ke Daerah. Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan Pusat terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih efektif apabila Daerah dapat mengelolanya dengan profesional.
Melalui penguatan sumber-sumber pendapatan daerah dan pemberian diskresi belanja daerah maka diharapkan terdapat efi siensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di Daerah. Hal ini dikarenakan dekatnya tingkatan pemerintahan yang memberikan layanan dengan masyarakat yang dilayaninya sehingga pemerintah daerah lebih memahami kebutuhan dan prioritas daerah mereka. Dalam jangka waktu selanjutnya peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan akan mendorong akses layanan publik dan akan mendorong perekonomian daerah serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dengan kewenangan yang dimiliki dan keleluasaan di dalam penggunaaan dana transfer yang diterimanya, Daerah dapat berbuat banyak untuk penguatan sektor riil di wilayahnya masing-masing. Disamping itu, koordinasi dan kerja sama antar daerah juga perlu dilakukan agar terjadi sinergi dalam pelaksanaan program yang direncanakan oleh Daerah. Selanjutnya masyarakat sebagai subyek dan obyek dari semua program yang dilaksanakan pemerintah, perlu diminta masukan dan sarannya, agar terjadi kesesuaian apa yang dilakukan oleh pemerintah dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
(5)
Peranan Pemerintah Daerah yang lebih besar dalam fungsi alokasi menunjukkan tanggung jawab daerah yang juga lebih besar dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan di Daerah, sehingga tujuan otonomi daerah dan desentralisasi fi skal dapat tercapai. Dalam kaitan inilah, maka upaya untuk membangun kebijakan yang lebih mempertimbangkan kepentingan publik dirasakan semakin penting. Untuk itu, penciptaan lingkungan yang kondusif perlu dibangun, antara lain melalui kepastian peraturan, transparansi pelaksanaan aturan, kecepatan pemberian layanan, kemudahan dan kesederhanaan proses memperoleh layanan publik tersebut, serta sinergi antara Pusat dan Daerah, serta antar daerah.
Sejalan dengan semakin besarnya kewenangan Pemerintah Daerah melalui otonomi daerah dan semakin besarnya dana yang didaerahkan melalui desentralisasi fi skal, maka sudah sepatutnya semakin besar pula peran dan tanggung jawab Daerah dalam ikut serta mengatasi berbagai masalah yang terjadi secara nasional, seperti krisis global yang sedang kita hadapi pada saat ini. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah harus secara bersama-sama, bahu membahu, berkontribusi untuk mengatasi krisis ekonomi tersebut.
Buku ini diterbitkan sebagai upaya untuk menjembatani kebutuhan informasi tentang pelaksanaan kebijakan desentralisasi fi skal di Indonesia. Diharapkan dengan adanya buku ini, Daerah akan lebih memahami kebijakan pemerintah di bidang desentralisasi fi skal dan dengan demikian Daerah dapat melaksanakan program-program pembangunannya yang sejalan dengan kebijakan tersebut. Pada kesempatan ini saya menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh jajaran Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang telah bekerja dengan itikad dan dedikasi yang baik serta
(6)
memberikan kontribusi dalam penyusunan buku ini, mulai dari proses perancangan hingga fi nalisasi dan harmonisasi substansinya. Akhirnya saya berharap semoga buku ini dapat memberikan motivasi yang positif dan bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait lainnya dalam mendukung pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fi skal yang lebih baik di Indonesia demi meningkatkan kesejateraan rakyat yang lebih cepat dan lebih luas.
MENTERI KEUANGAN,
(7)
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ... iii
Daftar Isi ... vii
Daftar Grafi k ... x
Daftar Gambar... xi
Daftar Tabel ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II PENGATURAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH... 6
2.1. Kewenangan Perpajakan dan Retribusi Daerah ... 8
2.1.1. Sinkronisasi Penetapan Tarif Pajak Daerah dengan Kebijakan Nasional ... 12
2.1.2. Pengalihan PBB-P2 Menjadi Pajak Daerah ... 15
2.1.3. Penambahan Jenis Retribusi Daerah ... 20
2.2. Dana Perimbangan ... 24
2.2.1. DBH ... 24
2.2.2. DAU ... 42
2.2.3. DAK ... 45
2.3. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian ... 49
2.3.1. Dana Otonomi Khusus... 49
2.3.2. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Tunjangan
(8)
2.3.3. Dana Insentif Daerah dan P2D2 ... 55
2.3.4. Dana Keistimewaan DIY ... 59
2.4. Dana Darurat, Pinjaman dan Hibah ... 60
2.4.1. Dana Darurat ... 60
2.4.2. Pinjaman Daerah ... 62
2.4.3. Hibah Daerah... 63
2.5. Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ... 66
2.6. Pengelolaan Keuangan Daerah ... 68
2.6.1. Pengelolaan APBD ... 68
2.6.2. Pengelolaan Defi sit ... 79
2.6.3. Sistem Informasi Keuangan Daerah ... 82
2.7. Arah Kebijakan Revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 84 BAB III ARAH KEBIJAKAN TRANSFER DAN HIBAH KE DAERAH TAHUN 2013 ... 88
3.1. Perkembangan Transfer ke Daerah ... 89
3.2. Kebijakan DAU ... 95
3.2.1. Penetapan Besaran DAU Nasional ... 95
3.2.2. Perhitungan Alokasi DAU ... 95
3.3. Kebijakan DAK ... 98
3.3.1. Kebijakan Umum DAK Tahun 2013 ... 98
3.3.2. Penentuan Daerah Penerima DAK ... 99
(9)
3.3.4. Penentuan Besaran Alokasi DAK ... 101
3.3.5. Arah Kebijakan, Ruang Lingkup dan Indikator Teknis Masing-masing Bidang DAK ... 102
3.4. Kebijakan Hibah ... 123
BAB IV AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT ... 125
4.1. Latar Belakang ... 125
4.2. Kriteria Ketertinggalan ... 126
4.3. Kondisi Keuangan Daerah Tertinggal ... 130
4.4. Arah Kebijakan Pembangunan Daerah Tertinggal ... 131
4.5. Penganggaran dan Pengalokasian DAK Daerah Tertinggal . 138 4.6. Pedoman Pelaksanaan ... 142
BAB V PENUTUP ... 147
DAFTAR PUSTAKA ... 149 LAMPIRAN
(10)
DAFTAR GRAFIK
Grafi k 2.1 Perkembangan Alokasi BOS Melalui Transfer ke Daerah 52 Grafi k 2.2 Grafi k Penetapan APBD Tahun Anggaran 2008-2012
Provinsi, Kabupaten, dan Kota di Indonesia ... 71
Grafi k 2.3 Trend Belanja Daerah TA 2009 – 2012 ... 72
Grafi k 2.4 Penyerapan Belanja APBD ... 75
Grafi k 2.5 Tren SiLPA Tahun Berkenaan ... 76
Grafi k 2.6 Trend Dana Pemda di Perbankan 2009 – 2012 (data per Desember) ... 77
Grafi k 2.7 Opini BPK Atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2007 – 2011 ... 78
Grafi k 3.1 Komposisi Dana Transfer ke Daerah ... 90
Grafi k 3.2 Pertumbuhan Dana Transfer ke Daerah ... 91 Grafi k 3.3 Pertumbuhan Dana Transfer ke Daerah (Per Jenis Dana) 92
(11)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah 8
Gambar 2.2 Tahap Penyaluran DBH SDA ... 41
(12)
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tarif PBB-KB Sesuai Perda Provinsi ... 13
Tabel 2.2 Kesiapan Daerah Dalam Memungut PBB-P2 ... 17
Tabel 2.3 Pemerintah Daerah yang Belum Menetapkan Perda BPHTB ... 20
Tabel 2.4 Jenis dan Persentase DBH Pajak ... 25
Tabel 2.5 Pembagian Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat (DJP) dengan Pemerintah Daerah 27 Tabel 2.6 Penyaluran DBH Pajak dan CHT ... 31
Tabel 2.7 Jenis dan Porsi Bagi Hasil DBH SDA ... 33
Tabel 2.8 Jenis dan Tarif PNBP yang Dibagihasilkan ... 34
Tabel 2.9 Periode Lifting dan Penyaluran DBH SDA Migas ... 40
Tabel 2.10 Daerah Yang Melakukan Perjanjian Pinjaman Dengan PIP Tahun 2012 ... 66
Tabel 3.1 Alokasi 2012-2013 Dana Transfer ke Daerah dan Dana Penyesuaian ... 90
Tabel 3.2 Tingkat Pertumbuhan Dana Transfer ke Daerah ... 92
Tabel 3.3 Pagu dan Realisasi 2009 – 2013 ... 93
Tabel 3.4 Perkembangan Hibah ke Daerah ... 95
Tabel 3.5 Data Dalam Perhitungan DAU ... 96
Tabel 3.6 Penetapan Bobot Variabel Dalam Penghitungan DAU .... 97
(13)
Tabel 4.1 Daerah Tertinggal Per Provinsi ... 129
Tabel 4.2 Kapasitas Fiskal dan DAK Tahun 2012 ... 130
Tabel 4.3 Perbandingan Rata-Rata Alokasi DAK Tahun 2012 ... 131
Tabel 4.4 Hubungan Kriteria Daerah Tertinggal Dengan Kriteria Alokasi DAK ... 135
Tabel 4.5 Dukungan DAK Terhadap Program PDT ... 136
Tabel 4.6 Alokasi DAK Per Bidang TA 2013 ... 140
Tabel 4.7 Besaran Dana Pendamping DAK Tambahan ... 142
(14)
(15)
Bab I
Pendahuluan
Komitmen Pemerintah untuk melaksanakan kebijakan desentralisasi secara konsisten dan berkelanjutan telah terlihat dengan jelas baik dari kenaikan dana transfer ke daerah dari tahun ke tahun dan revisi berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Komitmen tersebut tentunya didasari pertimbangan dan fakta yang menunjukkan bahwa kebijakan desentralisasi merupakan instrumen yang lebih efektif dan efi sien untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik di tingkat lokal. Secara nasional, transfer perkapita meningkat sangat tajam dari tahun ke tahun dan selaras dengan pengurangan tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Tingkat kemiskinan menurun dari 17,75% dalam tahun 2006 menjadi 11,96% pada tahun 2012. Pada beberapa daerah yang tingkat transfer perkapitanya sangat tinggi, ternyata juga mengalami penurunan kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Dengan kebijakan desentralisasi, daerah-daerah yang selama ini masih tertinggal telah dapat mengejar ketertinggalannya. Keberhasilan desentralisasi juga terlihat dari beberapa indikator pelayanan publik di daerah. Sebagai contoh di bidang pendidikan, angka partisipasi murni (APM) SD meningkat di seluruh provinsi dan dalam bidang kesehatan angka kematian bayi (IMR) menurun signifi kan di seluruh provinsi.
Secara keseluruhan disadari bahwa kebijakan desentralisasi yang diambil oleh pemerintah belum sepenuhnya sejalan dengan capaian tingkat kesejahteraan di tingkat lokal. Pelayanan publik yang disediakan oleh Pemerintah Daerah yaitu penyediaan barang-barang untuk kebutuhan publik (public goods) seperti jalan, jembatan, pasar terminal, rumah sakit dan lain-lainnya dan kedua adalah pengaturan-pengaturan publik (public regulations) yang dikemas dalam bentuk peraturan daerah seperti Perda Ijin Mendirikan Bangunan, Perda Kependudukan, Perda
(16)
Pajak dan Retribusi Daerah dan lain-lainnya belum banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat. Setelah lebih dari satu dekade pasca reformasi, pelaksanaan otonomi daerah masih memerlukan pembenahan dalam penyediaan pelayanan publik khususnya yang terkait dengan penyediaan pelayanan dasar yang masih belum menunjukkan pencapaian yang signifi kan dari standard pelayanan minimal (SPM).
Politik anggaran di tingkat lokal kurang sejalan dengan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Proses penetapan anggaran memerlukan waktu yang cukup lama. Masih banyak daerah yang terlambat menetapkan APBD sehingga berpengaruh pada efektivitas penyerapan anggaran. Beberapa daerah dikenakan sanksi berupa penundaan penyaluran DAU karena penetapan APBD terlambat. Di sebagian besar daerah, alokasi anggaran belanja lebih banyak untuk pegawai dibandingkan untuk pelayanan kepada masyarakat (belanja modal). Sampai dengan tahun 2011, alokasi belanja pegawai cenderung terus meningkat hingga mencapai lebih dari 40% dari total belanja APBD (untuk provinsi di kisaran 25% dan untuk Kab/Kota di kisaran 51%) dan pada tahun 2012 mengalami penurunan. Proporsi belanja modal mengalami peningkatan di tahun 2011 dan 2012, yaitu diatas 20%. Di sisi lain, pengalokasian anggaran APBD juga masih belum optimal. Dana APBD juga masih banyak yang tidak dimanfaatkan oleh Daerah secara optimal. Dalam tahun 2012 jumlah dana APBD yang mengendap di perbankan mencapai 106,9 triliun atau sekitar 18,04% dari total APBD. Besarnya dana idle ini dapat mendistorsi pencapaian sasaran fi skal nasional. Selain permasalahan pengelolaan keuangan, berbagai tudingan negatif masyarakat juga dialamatkan kepada pelaksanaan otonomi daerah, seperti munculnya istilah raja-raja kecil, desentralisasi korupsi, dinasti kepemimpinan daerah dan lain-lainnya. Sedangkan cita-cita reformasi adalah bagaimana mengembalikan kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara diantaranya melalui otonomi daerah dan
(17)
menjadikan otonomi daerah sebagai instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan.
Pengaturan mengenai hubungan kewenangan Pusat dan Daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah perlu terus didiseminasikan kepada berbagai pihak terkait dan bahkan diperbaharui agar sejalan dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat. Desentralisasi politik yang memberikan tanggung jawab yang besar kepada masyarakat lokal dalam menentukan preferensi kebutuhannya masih jauh dari harapan. Pemilihan DPRD dan kepala daerah secara langsung belum menunjukkan keterkaitan yang erat dengan tingkat pelayanan. Pemilihan DPRD dan kepala daerah secara langsung diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih akuntabel dan bertanggung jawab. Keterlibatan masyarakat secara langsung maupun melalui lembaga DPRD dalam berbagai pengambilan keputusan berbagai kebijakan daerah diharapkan dapat meningkatkan efi siensi dan efektivitas penyediaan pelayanan. Sistem rekrutmen partai politik dan Pilkada kelihatannya perlu diperbaiki agar bisa sejalan dengan tujuan desentralisasi tersebut.
Pengaturan dan konsistensi pelaksanaan urusan antara tingkat pemerintahan, pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang menjadi dasar pembagian sumber-sumber keuangan perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Beberapa urusan yang telah menjadi tanggung jawab daerah berdasarkan undang-undang, ditetapkan kembali menjadi tanggung jawab Pusat baik dengan peraturan yang lebih rendah (Peraturan Pemerintah/ Peraturan Presiden/Peraturan Menteri) maupun dengan undang-undang sektoral. Juga masih terdapat inkonsistensi mengenai pendanaan. Pada dasarnya pengaturan mengenai pembagian urusan dalam undang-undang menempatkan daerah lebih kompeten dalam penyediaan layanan kepada masyarakat. Pemerintah Pusat dibatasi hanya bertanggung jawab terhadap urusan yang menyangkut kedaulatan negara dan bertanggung
(18)
jawab untuk menyusun norma, standard, prosedur dan kriteria (NSPK) yang menjadi acuan bagi daerah dalam melaksanakan urusannya. Dalam praktiknya, Pemerintah Pusat masih banyak melaksanakan kegiatan-kegiatan yang telah menjadi tanggung jawab daerah.
Di bidang fi skal, kebijakan desentralisasi diarahkan untuk memberikan diskresi yang besar dalam pengelolaan keuangan sejalan dengan pemberian tanggung jawab yang besar pula dalam pelayanan. Kewenangan daerah dalam perpajakan daerah terus ditingkatkan baik dari jenis pajak yang dapat dipungut oleh daerah maupun dalam penetapan tarif pajak. Kebijakan ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengendalikan pengeluaran daerah dengan mengkaitkan pembayaran pajak dengan tingkat pelayanan di daerah. Selain itu, dana transfer yang disalurkan kepada daerah sebagian besar berupa dana alokasi umum. Kebijakan ini diambil agar daerah dapat mengalokasikan dana sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap daerah.
Pengaturan mengenai hubungan Pusat dan Daerah baik terkait politik, pembagian urusan dan fi skal akan disesuaikan terus dengan arah memperkuat otonomi daerah. Saat ini RUU terkait Desa, Pilkada dan Pemerintahan Daerah sedang dibahas di DPR. Sementara itu, RUU terkait desentralisasi fi skal (pengganti Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004) juga akan disampaikan ke DPR untuk dibahas menjadi undang-undang. Undang-undang tersebut akan diarahkan untuk memperbaiki formulasi dana transfer dan pengendalian terhadap belanja APBD. Sistem pendanaan urusan akan diatur dengan jelas dan bahkan akan dikenakan sanksi bagi setiap level pemerintahan yang mengalokasikan dana untuk kegiatan di luar tanggung jawabnya. Pengalokasian dana perimbangan akan direformulasi dengan arah memberikan kepastian sumber pendanaan bagi daerah dan memberikan insentif bagi peningkatan kualitas pelayanan. Alokasi dana akan lebih diarahkan pada pencapaian standar pelayanan minimum pelayanan dasar di bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan, jembatan, sanitasi, irigasi dan air
(19)
minum. Kementerian dan Lembaga yang menangani urusan tersebut akan lebih berperan untuk menilai tingkat pencapaian pelayanan pada bidang tersebut dan penilaian tersebut menjadi dasar untuk mengalokasikan dana alokasi khusus.
Terkait dengan pengelolaan keuangan daerah, dalam RUU tersebut juga diatur mengenai sistem penganggaran APBD yang harus sejalan dengan APBN. Target fi skal nasional harus dipertimbangkan dalam penyusunan APBD.
(20)
Bab II
Pengaturan Hubungan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Hubungan keuangan Pusat dan Daerah timbul sebagai konsekuensi dari adanya pembagian urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan, antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Masing-masing tingkat pemerintahan berhak dan berkewajiban menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Seperti diketahui, urusan pemerintahan dibagi menjadi urusan absolut dan urusan konkuren. Urusan absolut yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fi skal nasional, dan agama merupakan urusan yang mutlak menjadi urusan Pusat. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan. Selain urusan mutlak tersebut, terdapat bagian dari urusan pemerintahan yang bersifat konkuren yang dapat dilakukan secara bersama antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Distribusi urusan pemerintahan antara tingkat pemerintahan tersebut dilakukan dengan kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efi siensi. Ketiga level pemerintahan tersebut dapat saja melakukan kegiatan dalam satu urusan, namun berbeda dalam hal cakupan atau jenis kegiatannya. Dengan pertimbangan tersebut, Pemerintah Pusat berwenang untuk melaksanakan berbagai urusan di luar urusan absolut sepanjang urusan tersebut memiliki eksternalitas nasional dan internasional.Urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab pusat diselenggarakan sendiri oleh Pemerintah Pusat atau dapat dilimpahkan sebagian kepada perangkatnya di daerah atau kepada wakil pemerintah di daerah atau ditugaskan kepada pemerintah daerah atau kepala desa.
(21)
Walaupun semua urusan pemerintahan telah dibagi habis antar tingkat pemerintahan, namun terdapat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam penyelenggaraan urusan tersebut. Sebagai Negara Kesatuan, tanggung jawab akhir terhadap semua urusan tersebut tetap berada pada tingkat Pusat. Terkait dengan tanggung jawab tersebut, Pemerintah Pusat berwenang membuat norma-norma, standar, prosedur, kriteria (NSPK) yang menjadi acuan bagi Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan tersebut. Pemerintah Pusat juga akan melakukan monitoring dan evaluasi, supervisi, fasilitasi terhadap penyelenggaraan urusan tersebut.
Sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan tersebut, sumber-sumber keuangan dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagai daerah otonom, Daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak dan retribusi (local taxing power). Pemberian kewenangan untuk mengenakan pajak dan retribusi dimaksudkan agar daerah dapat menyediakan pelayanan sesuai dengan kemampuan masyarakatnya. Namun demikian, perbedaan dalam pertimbangan pembagian urusan pemerintahan dan kewenangan perpajakan mengakibatkan terjadinya ketimpangan vertikal antara Pusat dan Daerah. Artinya, pembagian urusan tidak selalu bisa diselaraskan dengan pembagian kewenangan perpajakan. Terdapat hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah. Pemerintah Pusat harus mengalokasi dana perimbangan kepada daerah untuk mendanai urusan-urusan yang menjadi tanggung jawab daerah. Selain pemberian dana perimbangan tersebut, Pemerintah pusat juga memberikan sumber pendanaan lainnya berupa hibah dan pinjaman.
Dalam rangka menjamin harmonisasi pengelolaan fi skal daerah dengan Pusat, pengaturan mengenai hubungan keuangan tidak saja mengatur pembagian sumber-sumber keuangan tetapi juga mengatur pengelolaan keuangan dan pengendalian terhadap belanja daerah. Selengkapnya mengenai kerangka pengaturan hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dapat dilihat dalam gambar 2.1.
(22)
Gambar 2.1
Kerangka Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
2.1 Kewenangan Perpajakan dan Retribusi Daerah
Salah satu esensi desentralisasi fiskal adalah adanya pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power) dan retribusi. Kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut telah diatur terakhir dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-Undang 28 Tahun 2009 merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang secara efektif mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010. Undang-undang tersebut merupakan langkah strategis untuk memperkuat desentralisasi yang lebih ideal. Beberapa perubahan kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, yaitu:
1. Kebijakan dalam penetapan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) dari open-list system menjadi closed-list system. Salah satu
(23)
pertimbangan penerapan closed-list system adalah untuk memberikan kepastian bagi masyarakat dan dunia usaha mengenai jenis pungutan daerah yang wajib dibayar, serta meningkatkan efi siensi pemungutan PDRD. Dengan closed-list system, pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis PDRD yang tercantum dalam undang-undang. Dengan kebijakan ini, pemerintah daerah didorong untuk mengoptimalkan pemungutan PDRD dengan landasan hukum yang kuat dan tidak menciptakan jenis pungutan baru yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
2. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang perpajakan dan retribusi daerah (local taxing empowerment), melalui beberapa kebijakan, yaitu:
a. memperluas basis PDRD yang sudah ada, seperti perluasan basis Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) yang meliputi kendaraan Pemerintah/TNI/ Polri, Pajak Hotel termasuk persewaan ruangan, Pajak Restoran termasuk jasa boga/katering, dan Retribusi Izin Gangguan yang juga mencakup ketertiban lingkungan dan keselamatan kerja;
b. menambah jenis PDRD, seperti Pajak Rokok, Pajak Sarang Burung Walet, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Selain itu, khusus untuk jenis retribusi daerah masih dibuka peluang untuk ditambah jenisnya sesuai dengan kriteria yang diatur dalam undang-undang dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
c. menaikkan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, seperti PKB, BBN-KB, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB), Pajak Hiburan, Pajak Parkir, dan Pajak Mineral Bukan
(24)
Logam dan Batuan. Dengan kebijakan ini, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah sekaligus sebagai kompensasi hilangnya penerimaan dari beberapa jenis pungutan daerah akibat dari adanya perubahan dari open-list system menjadi closed-list system; dan
d. memberikan diskresi penetapan tarif pajak.
Pemerintah daerah diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menetapkan besaran tarif pajak daerah, namun tidak boleh melebihi tarif maksimum yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009. Kecuali Pajak Rokok, seluruh jenis pajak daerah dalam Undang-undang Nomor 28 tahun 2009 diberikan batas tarif maksimum. Kebijakan ini memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk memberikan insentif dan disinsentif kepada masyarakat berkaitan dengan pemungutan pajak daerah.
3. Memperbaiki sistem pengelolaan PDRD melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota yang lebih pasti, serta kebijakan earmarking untuk jenis pajak daerah tertentu. Kebijakan bagi hasil pajak ini mencerminkan bentuk tanggung jawab pemerintah provinsi untuk ikut serta menanggung beban biaya yang diperlukan oleh kabupaten/ kota dalam melaksanakan fungsinya, yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, dengan adanya kebijakan earmarking, dapat menjamin bahwa sebagian hasil pendapatan pajak daerah tertentu dialokasikan untuk mendanai kegiatan tertentu yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.
4. Meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme pengawasan dari sistem represif menjadi sistem preventif dan korektif.
Pelaksanaan pemungutan PDRD tersebut dilakukan melalui penetapan peraturan daerah (Perda). Setiap Rancangan Perda (Raperda) tentang PDRD, sebelum ditetapkan menjadi Perda harus dievaluasi terlebih
(25)
dahulu. Untuk Raperda Kabupaten/Kota dievaluasi oleh Gubernur dan untuk Raperda Provinsi dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri. Evaluasi Raperda yang dilakukan oleh Gubernur dan Menteri Dalam Negeri tersebut dilakukan dengan berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.
Setelah Raperda dievaluasi dan disampaikan kepada pemerintah daerah yang bersangkutan, Raperda disesuaikan dengan hasil evaluasi dan kemudian ditetapkan menjadi Perda. Perda yang sudah ditetapkan dapat dibatalkan oleh Pemerintah apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum. Pembatalan Perda yang semula dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri diubah dengan Peraturan Presiden. Hal ini dilakukan dalam rangka memperkuat dasar hukum pembatalan Perda. Selain itu, terhadap pemerintah daerah yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang PDRD dapat dikenakan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil atau restitusi.
Dalam kaitan dengan pelaksanaan desentralisasi fi skal, perubahan kebijakan tersebut diharapkan akan memberikan dampak positif khususnya bagi pemerintah daerah. Dampak positif yang diharapkan antara lain, pemerintah daerah dapat lebih menyesuaikan kebijakan perpajakan dengan kondisi daerah masing-masing, munculnya competitiveness antar pemerintah daerah untuk lebih menciptakan iklim investasi yang lebih baik, terjalinnya hubungan kemitraan yang lebih baik antara pemerintah daerah dengan pengusaha/investor dan masyarakat untuk memikul tanggung jawab pembangunan karena didukung dengan adanya kejelasan, kepastian dan kesederhanaan berbagai regulasi yang ada, serta pertumbuhan ekonomi daerah akan lebih cepat karena didorong dengan sumber pendanaan yang memadai dalam memenuhi kebutuhan pembangunan sarana dan prasarana perekonomian.
(26)
2.1.1 Sinkronisasi Penetapan Tarif Pajak Daerah dengan Kebijakan Nasional
Pada prinsipnya diskresi daerah dalam perpajakan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 terletak pada penetapan besarnya tarif dalam batas yang ditetapkan dalam undang-undang. Namun demikian, penetapan besaran tarif tersebut perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian daerah dan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, tarif PBB-KB ditetapkan maksimum 10 persen dari sebelumnya maksimum 5 persen. Pemerintah Provinsi diberikan kewenangan untuk menerapkan tarif PBB-KB sampai dengan 10 persen dalam Perda. Undang-undang tersebut juga memberikan kewenangan kepada provinsi untuk menetapkan tarif PBB-KB untuk bahan bakar minyak (BBM) yang digunakan kendaraan umum paling sedikit 50% lebih rendah dari tarif PBB-KB untuk kendaraan pribadi. Dengan demikian, pengenaan tarif PBB-KB dapat dilakukan secara diskriminatif baik antar daerah maupun antar jenis penggunaan kendaraan bermotor. Pengenaan tarif diskriminatif antara kendaraan bermotor dilakukan dengan memperhatikan aspek kesiapan daerah untuk membedakan pengguna bahan bakar. Peluang pemberlakuan diskriminasi tarif tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing daerah, karena harga jual per liter BBM dapat berbeda antar daerah. Diskriminasi harga tersebut secara tidak langsung juga ditujukan agar pemerintah daerah dapat berperan optimal menurunkan konsumsi BBM, memperbaiki moda transportasi umum, mengurangi tingkat kemacetan, mengurangi polusi, meningkatkan produktivitas masyarakat dengan adanya penurunan kemacetan, serta untuk meningkatkan Penerimaan Asli Daerah (PAD). Bagi Pemerintah Pusat, kenaikan tarif PBB-KB tersebut untuk jangka panjang akan mengurangi beban subsidi dengan asumsi penggunaan BBM bersubsidi (bensin dan minyak solar) menurun akibat adanya kenaikan harga.
Dalam kondisi tertentu, sesuai Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengintervensi tarif
(27)
PBB-KB yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan menerbitkan peraturan presiden. Penetapan tarif oleh Pemerintah dilakukan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun. Kewenangan Pemerintah untuk mengubah tarif PBB-KB tersebut dilakukan dalam hal:
1. kenaikan harga minyak dunia melebihi 130 persen dari asumsi harga minyak dunia yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun berjalan. Bila harga minyak dunia sudah kembali normal, peraturan presiden dicabut dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan.
2. Stabilisasi harga BBM untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009. Ketentuan ini diperlukan untuk menghindari gejolak sosial akibat adanya kemungkinan perbedaan harga BBM antar daerah.
Berdasarkan data yang ada, dari 33 pemerintah provinsi yang telah menetapkan perda tentang PBB-KB, sebanyak 14 daerah menetapkan tarif sebesar 5 persen, 13 daerah sebesar 7,5 persen dan 6 daerah sebesar 10 persen. Data daerah yang telah menetapkan Perda tentang PBB-KB selengkapnya dapat dilihat pada Tabel. 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1
Tarif PBB-KB Sesuai Perda Provinsi
No. Provinsi Nomor dan Tahun Perda Tarif PBB-KB
1 Aceh Perda 2 Tahun 2012 5%
2 Sumatera Utara Perda 1 Tahun 2011 10%
3 Sumatera Barat Perda 1 Tahun 2012 5%
4 Riau Perda 8 Tahun 2011 5%
5 Jambi Perda 6 Tahun 2011 7,5%
6 Sumatera Selatan Perda 3 Tahun 2011 7,5%
7 Bengkulu Perda 2 Tahun 2011 5%
8 Lampung Perda 2 Tahun 2011 7,5%
(28)
10 Kepulauan Riau Perda 8 Tahun 2011 10%
11 DKI Jakarta Perda 10 Tahun 2010 5%
12 Jawa Barat Perda 13 Tahun 2011 5%
13 Jawa Tengah Perda 2 Tahun 2011 5%
14 Daerah Istimewa Yogyakarta Perda 3 Tahun 2011 5%
15 Jawa Timur Perda 9 Tahun 2010 10%
16 Banten Perda 1 Tahun 2011 5%
17 Bali Perda 1 Tahun 2011 10%
18 Nusa Tenggara Barat Perda 1 Tahun 2011 10%
19 Nusa Tenggara Timur Perda 2 Tahun 2010 10%
20 Kalimantan Barat Perda 8 Tahun 2010 7,5%
21 Kalimantan Tengah Perda 7 Tahun 2010 7,5%
22 Kalimantan Selatan Perda 5 Tahun 2011 7,5%
23 Kalimantan Timur Perda 01 Tahun 2011 7,5%
24 Sulawesi Utara Perda 7 Tahun 2011 5%
25 Sulawesi Tengah Perda 1 Tahun 2011 7,5%
26 Sulawesi Selatan Perda 10 Tahun 2010 7,5%
27 Sulawesi Tenggara Perda 5 Tahun 2011 7,5%
28 Gorontalo Perda 5 Tahun 2011 5%
29 Sulawesi Barat Perda 01 Tahun 2011 7,5%
30 Maluku Perda 05 Tahun 2010 7,5%
31 Maluku Utara Perda 05 Tahun 2011 7,5%
32 Papua Barat Perda 5 Tahun 2011 5%
33 Papua Perda 4 Tahun 2011 5%
(29)
KEBIJAKAN TARIF PAJAK BAHAN BAKAR KENDARAAN BERMOTOR
Mengingat saat ini harga jual eceran jenis BBM tertentu, antara lain, bensin (gasoline) RON 88 dan minyak solar (gas oil) masih disubsidi oleh Pemerintah, peningkatan tarif PBB-KB yang ditetapkan oleh Provinsi di satu pihak akan meningkatkan PAD, namun di lain pihak dapat berdampak terhadap peningkatan subsidi BBM dalam kebijakan harga tidak seragam. Dalam rangka mengendalikan beban subsidi dan stabilisasi harga BBM, Pemerintah mengambil kebijakan mengubah tarif PBB-KB dengan menetapkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Tarif PBB-KB. Peraturan Presiden tersebut mengubah tarif PBB-KB yang telah ditetapkan dalam Perda Provinsi menjadi sebesar 5 persen dan berlaku sampai dengan tanggal 15 September 2012.
Dengan mempertimbangkan kondisi keuangan negara, ekonomi dunia, serta pertimbangan lainnya, Pemerintah mengambil kebijakan untuk menjaga stabilitas harga BBM bersubsidi agar tidak terjadi disparitas harga antar daerah akibat perbedaan tarif PBB-KB. Salah satu langkah yang dilakukan Pemerintah untuk menjaga stabilitas harga BBM bersubsidi tersebut adalah dengan menyampaikan himbauan kepada Gubernur dan Ketua DPRD Provinsi di seluruh Indonesia agar tarif PBB-KB untuk BBM bersubsidi dapat ditetapkan sebesar 5 persen melalui Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 973/2896/SJ tanggal 31 Juli 2012.
Meskipun demikian, Pemerintah perlu menyiapkan kebijakan/regulasi yang selaras dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dengan mempertimbangkan dampak tarif PBB-KB terhadap fi skal, infl asi, dan sosial. Pemerintah juga perlu memberikan kepastian kepada Pemerintah Provinsi, penyedia BBM bersubsidi, dan masyarakat pengguna BBM bersubsidi terkait dengan kebijakan PBB-KB pasca berakhirnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2011.
2.1.2 Pengalihan PBB-P2 Menjadi Pajak Daerah
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, seluruh kewenangan pengelolaan PBB-P2 diserahkan kepada pemerintah daerah. Dengan penyerahan ini, PBB-P2 diharapkan akan menjadi salah satu sumber PAD yang cukup potensial bagi pemerintah daerah, dibandingkan penerimaan jenis pajak daerah yang ada selama ini. Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut, selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 2014 pelaksanaan pemungutan PBB-P2 dialihkan ke pemerintah daerah. Beberapa daerah telah melaksanakan pemungutan
(30)
PBB-P2 tersebut, dan 2013 ini merupakan tahun terakhir untuk melakukan berbagai persiapan pemungutan pajak tersebut. Apabila daerah dalam tahun 2014 belum memungut PBB-P2 tersebut, maka pemerintah daerah tidak lagi mendapatkan bagi hasil PBB-P2 seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah Pusat sejak tahun 2014 tidak lagi berhak untuk memungutnya.
Agar kualitas layanan kepada Wajib Pajak dan stakeholders tetap terjaga selama masa peralihan, maka proses dalam masa peralihan menjadi hal yang paling penting untuk dipikirkan dan direncanakan secara cermat. Kunci sukses pelaksanaan devolusi PBB-P2 kepada Pemerintah Daerah, antara lain:
1. Proses peralihan kewenangan pemungutan PBB-P2 berjalan lancar (smooth) dengan harga (cost) yang minimal, baik untuk pihak yang mengalihkan maupun pihak yang menerima pengalihan;
2. Stabilitas penerimaan PBB-P2 bagi Pemerintah Daerah tetap terjaga dengan tingkat deviasi yang dapat ditekan seminimal mungkin sehingga daerah tidak banyak kehilangan penerimaan dengan adanya pengalihan tersebut;
3. Masyarakat sebagai Wajib Pajak tidak merasakan adanya perubahan pelayanan atau bahkan dapat merasakan adanya peningkatan yang signifi kan dalam hal kualitas dan kecepatan pelayanan.
Dalam rangka persiapan pengalihan kewenangan memungut PBB-P2, sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 213/ PMK.07/2010 dan Nomor 58 Tahun 2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan PBB-P2 sebagai Pajak Daerah, pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab untuk mempersiapkan beberapa hal, yaitu Perda tentang PBB-P2, Peraturan Kepala Daerah mengenai standard operating procedure (SOP) pemungutan PBB-P2, sarana dan prasarana, kerjasama dengan pihak terkait, dan pembukaan rekening penampungan PBB-P2. Langkah persiapan tersebut perlu dilakukan sedini mungkin oleh pemerintah daerah.
(31)
Sampai dengan 18 Maret 2013, terdapat 284 daerah atau 57,7 persen dari jumlah daerah yang telah menetapkan Perda PBB-P2. Potensi PBB-P2 dari 284 daerah tersebut mencakup sekitar 93,9 persen dari total penerimaan PBB-P2 tahun 2011. Sementara itu, terdapat 107 daerah atau 21,8 persen dari jumlah daerah yang masih dalam proses menetapkan Perda PBB-P2. Dari keseluruhan daerah ini, potensi penerimaan PBB-P2 sekitar 4,2 persen dari total penerimaan PBB-P2 tahun 2011. Daerah lainnya sebanyak 101 daerah atau 20,5 persen dari jumlah daerah yang belum menyusun Perda PBB-P2 dengan potensi penerimaan PBB-P2 sekitar 1,9 persen dari total penerimaan tahun 2011.
Dari 284 daerah yang telah menetapkan Perda PBB-P2, terdapat 1 daerah, yaitu Kota Surabaya yang telah memungut PBB-P2 pada tahun 2011, 17 daerah pada tahun 2012, dan 105 daerah pada tahun 2013. Sementara itu, 161 daerah akan memungut pada tahun 2014. Data kesiapan daerah dalam memungut PBB-P2 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel. 2.2.
Tabel 2.2
Kesiapan Daerah dalam Memungut PBB-P2 (Posisi: 18 Maret 2013)
No. Kesiapan Daerah
Jumlah Prosentase (%)
Daerah
Potensi Berdasar-kan Penerimaan Tahun 2011 (Rp)
Jumlah Daerah
Potensi Berdasarkan
Penerimaan Tahun 2011 1. Perda yang telah
siap:
284 7.756.855.238.926 57,72 93,91
a. Memungut tahun 2011
1 498.640.108.488 0,20 6,04
b. Memungut tahun 2012
17 1.074.236.906.348 3,46 13,01
c. Memungut tahun 2013
105 4.905.980.775.043 21,34 59,41 d. Memungut
tahun 2014
(32)
2. Raperda (dalam proses)
107 344.382.362.565 21,75 4,17
3. Belum menyusun Raperda
101 158.865.407.221 20,53 1,92
Total 492 8.260.103.008.712 100 100
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak
Dalam rangka mempercepat pengalihan PBB-P2 dan sekaligus sebagai bentuk pelaksanaan tanggung jawab moral, pada tahun 2011 Pemerintah bersama dengan DPR-RI telah melakukan kegiatan sosialisasi di 160 Kabupaten/Kota. Kegiatan sosialisasi ini akan terus dilakukan kepada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota sampai dengan tahun 2013. Pada tahun 2012, kegiatan sosialisasi juga telah dilaksanakan di 160 Kabupaten/ Kota. Sosialisasi tersebut dimaksudkan untuk menumbuhkan awareness dan memotivasi daerah agar segera menyiapkan fasilitas dan infrastruktur yang diperlukan untuk menerima pengalihan pemungutan PBB-P2. Di sisi lain, sosialisasi ini juga sebagai public announcement, khususnya kepada masyarakat dan aparat yang akan menangani pemungutan terkait dengan kebijakan pengalihan PBB-P2 sebagai pajak daerah.
Pelaksanaan sosialisasi ini melibatkan Komisi XI DPR-RI, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri. Materi yang disampaikan meliputi, fi losofi pengalihan, kebijakan pengalihan, teknis pemungutan PBB-P2, serta struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Daerah terkait dengan persiapan pengalihan. Peserta sosialisasi meliputi, unsur DPRD Kabupaten/Kota, SKPD terkait, Camat, Kepala Desa/Lurah, Sekretaris Desa/Lurah, Kantor Pertanahan (BPN), KPP Pratama, Notaris/PPAT, akademisi, dan tokoh masyarakat setempat.
Selanjutnya, sebagai upaya pemerintah mendukung suksesnya pengalihan PBB-P2, khususnya terkait dengan penyiapan sumber daya manusia,
(33)
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, telah membuka program D1 Keuangan Spesialisasi Pajak Konsentrasi Penilai PBB-P2 dan D1 Keuangan Spesialisasi Pajak Konsentrasi operator console (OC). Pemerintah daerah dapat mengirimkan beberapa pegawai yang akan menangani pemungutan PBB-P2 untuk dididik dan dipersiapkan agar pada saatnya nanti bisa mengelola PBB-P2 dengan baik.
Sementara itu, pelaksanaan pemungutan BPHTB menjadi pajak daerah yang secara efektif telah berlaku sejak 1 Januari 2011, masih terdapat sejumlah pemerintah daerah yang belum menetapkan Perda BPHTB karena berbagai kendala dan pertimbangan. Kendala dan pertimbangan yang dihadapi tersebut, antara lain, pemerintah daerah mengambil kebijakan untuk menunda menerbitkan Perda karena tidak ada atau kecilnya potensi penerimaan BPHTB, proses pembahasan Raperda dengan DPRD yang berlarut-larut karena perbedaan kepentingan politik. Selain itu, beberapa kepala daerah sedang tersangkut masalah hukum, persiapan pemilihan kepala daerah, serta masa transisi pergantian kepala daerah juga mengakibatkan proses penyusunan Perda BPHTB menjadi terhambat.
Berdasarkan data sampai dengan 18 Februari 2013, terdapat 482 daerah atau 98,0 persen dari jumlah daerah yang telah menetapkan Perda BPHTB. Kelompok daerah ini memiliki potensi BPHTB sekitar 99,9 persen dari total penerimaan BPHTB tahun 2010. Sementara itu, terdapat 10 daerah atau 2,0 persen dari jumlah daerah yang masih dalam proses menetapkan Perda BPHTB. Kelompok daerah ini memiliki potensi penerimaan BPHTB sekitar 0,000002 persen dari total penerimaan BPHTB tahun 2010. Data daerah yang belum menetapkan Perda BPHTB selengkapnya dapat dilihat pada Tabel. 2.3.
(34)
Tabel 2.3
Pemerintah Daerah yang Belum Menetapkan Perda BPHTB (Posisi: 18 Maret 2013)
No. Daerah Provinsi
Progres/Status Raperda Sudah Dievaluasi
Menkeu
Dibahas di DPRD
Dibahas di Eksekutif
1 Kab. Kep. Aru Maluku √
2 Kab. Sarmi Papua √
3 Kab. Pegunungan Bintang Papua √
4 Kab. Tolikara Papua √
5 Kab. Memberamo Tengah Papua √
6 Kab. Nduga Papua √
7 Kab. Puncak Papua √
8 Kab. Dogiyai Papua √
9 Kab. Intan Jaya Papua √
10 Kab. Deiyai Papua √
Sumber: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
2.1.3 Penambahan Jenis Retribusi Daerah
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya sesuai Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, kewenangan penetapan PDRD bersifat closed-list system. Namun demikian, khusus untuk retribusi daerah, masih dibuka peluang untuk dapat menambah jenis retribusi daerah selain yang telah ditetapkan undang-undang sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Dibukanya peluang untuk menambah jenis retribusi daerah dimaksud dalam rangka mengantisipasi penyerahan fungsi pelayanan dan perizinan dari Pemerintah kepada daerah. Selain itu, peluang untuk menambah jenis retribusi daerah ini juga dapat dijadikan sebagai instrumen kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi pemerintah. Salah satu permasalahan yang menjadi isu nasional adalah kemacetan lalu lintas di berbagai kota besar.
(35)
Kemacetan lalu lintas terutama di kota-kota besar bukan merupakan masalah yang berdiri sendiri. Pertumbuhan kendaraan bermotor merupakan dampak langsung dari kemajuan ekonomi masyarakat. Sejalan dengan kemajuan dan pertumbuhan ekonomi tersebut, kepemilikan kendaraan pribadi terus meningkat. Pada kondisi demikian, jumlah kendaraan yang beredar di jalan makin bertambah, sementara volume jalan tidak tumbuh secara signifi kan sehingga mengakibatkan tingkat kemacetan yang semakin tinggi. Kemacetan yang terjadi secara langsung akan menyebabkan dampak negatif lainnya, yaitu meningkatnya tingkat pencemaran/polusi udara dan suara, kerugian ekonomi, gangguan kesehatan karena kualitas udara yang semakin buruk, pemborosan konsumsi BBM dan lain sebagainya.
Pemecahan masalah kemacetan dengan menambah kapasitas jalan atau membangun jalan-jalan baru di kota-kota besar tidak mudah untuk dilakukan, karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan lahan yang akan digunakan makin terbatas. Salah satu instrumen yang akan diaplikasikan guna mengatasi permasalahan kemacetan adalah dengan menerapkan electronic road pricing (ERP). Pengenaan ERP diharapkan akan dapat mengurangi kemacetan lalu lintas dan hasil penerimaannya dapat di-earmark untuk memperbaiki infrastruktur serta sistem angkutan massal.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, penerbitan perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam Provinsi merupakan urusan Provinsi dan penerbitan perpanjangan IMTA yang lokasi kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota merupakan urusan Kabupaten/Kota.
Dalam rangka melaksanakan prinsip money follows function, penerbitan perpanjangan IMTA yang lokasi kerjanya lintas kabupaten/kota dalam Provinsi dan penerbitan perpanjangan IMTA yang lokasi kerjanya dalam
(36)
wilayah kabupaten/kota yang sudah menjadi urusan Daerah juga disertai dengan pendanaannya. Hal ini dapat dilihat dengan kebijakan dihapusnya biaya kompensasi atas pelayanan penerbitan perpanjangan IMTA yang sudah menjadi urusan pemerintah daerah dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Sejalan dengan pemberian kewenangan untuk menambah jenis retribusi daerah selain yang telah ditetapkan dalam undang-undang, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing.
RETRIBUSI PENGEDALIAN LALU LINTAS DAN RETRIBUSI PERPANJANGAN IMTA
1. Retribusi Pengendalian Lalu Lintas
a. Objek Retribusi adalah penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau
kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh kendaraan bermotor perseorangan dan barang, kecuali oleh:
• sepeda motor;
• kendaraan penumpang umum; • kendaraan pemadam kebakaran; dan • ambulans.
b. Kriteria ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu yang dapat dipungut retribusi, yaitu:
• Memiliki 2 jalur jalan yang masing-masing jalur memiliki paling sedikit 2 (dua)
lajur; dan
• Tersedia jaringan dan pelayanan angkutan umum massal dalam trayek.
c. Kriteria tingkat kepadatan lalu lintas:
• Memiliki perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan
kapasitas jalan pada salah satu jalur jalan sama dengan atau lebih besar dari 0,9 (nol koma sembilan); dan
(37)
• kecepatan rata-rata sama dengan atau kurang dari 10 (sepuluh) km/jam; dan
berlangsung secara rutin pada setiap hari kerja.
d. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan
kendaraan perseorangan atau kendaraan barang pada ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu.
e. Golongan Retribusi adalah Retribusi Jasa Umum.
f. Penerimaan Retribusi Pengendalian Lalu Lintas diperuntukkan bagi peningkatan
kinerja lalu lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kegiatan peningkatan kinerja lalu lintas paling sedikit meliputi:
• perbaikan pada jalan yang dilakukan pembatasan;
• pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan jalan pada
kawasan, koridor, atau ruas jalan tertentu yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan di ruas jalan dan/atau persimpangan;
• pemeliharaan dan pengembangan teknologi untuk kepentingan lalu lintas;
dan peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Kegiatan peningkatan pelayanan angkutan umum paling sedikit meliputi:
• penyediaan dan pemeliharaan lajur, jalur, atau jalan khusus untuk angkutan
umum massal;
• penyediaan dan pemeliharaan sarana dan fasilitas pendukung angkutan
umum massal; dan
• penerapan dan pengembangan teknologi informasi untuk kepentingan
pelayanan angkutan umum massal. 2. Retribusi Perpanjangan IMTA
a. Objek Retribusi adalah pemberian Perpanjangan IMTA kepada pemberi kerja tenaga kerja asing yang telah memiliki IMTA dari Menteri yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan atau Pejabat yang ditunjuk, tidak termasuk perpanjangan IMTA bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
b. Subjek Retribusi adalah badan selaku pemberi kerja tenaga kerja asing yang memperoleh Perpanjangan IMTA dari Pemerintah Daerah.
c. Golongan Retribusi adalah Retribusi Perizinan Tertentu.
d. Besarnya tarif Retribusi Perpanjangan IMTA ditetapkan paling tinggi sebesar tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada kementerian di bidang ketenagakerjaan.
(38)
2.2 Dana Perimbangan
Dana Perimbangan diberikan kepada Daerah sebagai konsekuensi logis atas adanya pembagian kewenangan antara tingkat pemerintahan, Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Implikasi dari pembagian kewenangan tersebut adalah terjadinya ketimpangan fi skal antar tingkat pemerintahan. Ketimpangan tersebut terjadi karena perbedaan dalam kapasitas fi skal dan perbedaan dalam kebutuhan fi skal. Dengan pertimbangan efi siensi dan stabilitas fi skal pemerintah pusat biasanya menguasai sumber-sumber penerimaan pajak yang besar, daerah hanya menguasai sumber-sumber penerimaan yang relatif kecil. Sementara itu, daerah dengan pertimbangan lebih dekat dengan masyarakat mempunyai tanggungjawab yang lebih besar dalam penyediaan pelayanan. Perbedaan dalam potensi ekonomi, karakteristik antar daerah juga menyebabkan perbedaan dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut, di dalam negara yang menganut desentralisasi terdapat perimbangan keuangan antar tingkat pemerintahan atau terdapat sistem transfer dari pusat ke daerah. Dana perimbangan berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
2.2.1. Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan presentase tertentu dengan memperhatikan potensi daerah penghasil dan untuk pemerataan. DBH tersebut digunakan untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA).
e. Penerimaan Retribusi Perpanjangan IMTA diutamakan untuk mendanai kegiatan pengembangan keahlian dan keterampilan tenaga kerja lokal.
f. Ketentuan mengenai Retribusi Perpanjangan IMTA sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013.
(39)
DBH Pajak
Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, penerimaan pajak yang dibagihasilkan kepada pemerintah daerah sebagai DBH pajak terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 WPOPDN dan Pasal 21. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sejak tahun 2011 BPHTB telah menjadi pajak daerah sehingga tidak lagi dibagihasilkan kepada daerah. Di samping PBB dan PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 WPOPDN, berdasarkan ketentuan Pasal 66A Undang-undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, sejak tahun 2008 penerimaan negara dari cukai hasil tembakau termasuk penerimaan negara yang dibagihasilkan ke daerah.
Persentase bagian provinsi dan kabupaten/kota dari PBB, PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 WPOPDN telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004. Besaran persentase pembagian dapat dilihat dalam Tabel 2.4.
Tabel 2.4
Jenis dan Persentase DBH Pajak
Jenis Pusat Provinsi Kab./Kota Keterangan
1. PBB 10% 16,2% 64,8%
9% biaya pemungutan dibagi antara Pusat, provinsi dan kab/kota, 10 % bagian pusat dikemba-likan 6,5% secara merata ke seluruh kab/kota dan 3,5% sisanya sebagai in-sentif
2. PPh Pasal 21,
Pasal 25/29 80% 8% 12%
Bagian Kab/Kota 12% dibagi antara Kab/Kota WP terdaftar 8,4%, 3,6% bagi rata dalam provinsi bersangkutan
(40)
3. CHT 98% 0,6% 1,4%
Pembagian per Provinsi berdasarkan penerimaan cukai dan produksi tem-bakau, Pembagian per Kab/Kota dilakukan oleh Provinsi
PBB sektor pertambangan migas yang dikenakan atas tubuh bumi dan PBB sektor pertambangan Migas perairan (offshore) dibagi kepada seluruh daerah termasuk kepada daerah bukan penghasil Migas. Pembagian tersebut dilakukan berdasarkan formula tertentu yang tidak saja mempertimbangkan daerah penghasil Migas, tetapi juga untuk pemerataan keuangan antar daerah. PBB sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan dan kehutanan dibagi berdasarkan realisasi penerimaan dari daerah yang bersangkutan.
Bagian pemerintah pusat dari PBB sebesar 10% dibagihasilkan lagi kepada daerah dengan ketentuan 6,5% dibagikan secara merata kepada kabupaten/kota dan 3,5% dibagikan sebagai insentif bagi kabupaten/kota yang penerimaan PBB sektor perkotaan dan pedesaannya melebihi target penerimaan. Pemberian insentif ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Pemerintah Pusat (Kementerian Keuangan) telah melibatkan kabupaten/ Kota di Provinsi DKI Jakarta dalam pemungutan PBB Perdesaan dan Perkotaan.
Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (BP PBB) adalah dana yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan operasional pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan pemerintah daerah. Biaya Pemungutan PBB dibagi antara Pemerintah Pusat dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, dengan Pemerintah Daerah. Pembagiannya diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 83/KMK.04/2000 tentang Pembagian dan Penggunaan Biaya Pemungutan PBB.
(41)
Imbangan pembagian Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan antar Direktorat Jenderal Pajak dan pemerintah daerah didasarkan pada besar atau kecilnya peranan masing-masing dalam melakukan kegiatan operasional pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan.
Besarnya imbangan pembagian Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.5
Pembagian Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pusat dengan Daerah
No Sektor Pusat Daerah
1 Perdesaan 10 90
2 Perkotaan 20 80
3 Perkebunan 60 40
4 Perhutanan 65 35
5 Pertambangan 70 30
Sementara untuk imbangan antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/ kota diatur oleh masing-masing gubernur yang ditetapkan dalam peraturan gubernur. BP PBB merupakan bagian dari Dana Perimbangan, dengan demikian BP PBB dapat digunakan untuk membiayai pelaksanaan kegiatan yang menjadi urusan daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(42)
PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 tidak sepenuhnya dibagihasilkan kepada daerah kabupaten/kota penghasil. Sebesar 3,6% dari penerimaan PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 dari daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota yang ada di provinsi yang bersangkutan. PPh Pasal 21 dipotong oleh pemberi kerja (bendahara di Pemerintahan) dimana karyawan yang bersangkutan bekerja, tidak dikenakan berdasarkan domisili. Demikian juga dengan karyawan swasta PPh Pasal 21 dikenakan dan diadministrasikan di wilayah daerah tempat kerja.
Perhitungan DBH PBB migas dan panas bumi
Perhitungan alokasi DBH PBB migas dan panas bumi ditatausahakan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. PBB migas onshore dan panas bumi ditatausahakan berdasarkan letak dan kedudukan objek pajak dan dibagi by origin;
2. PBB migas offshore dan PBB migas tubuh bumi ditatausahakan per kabupaten/ kota dengan menggunakan formula dan dibagi sesuai persentase DBH PBB. dimana perhitungan PBB migas offshore dan PBB migas tubuh bumi per kabupaten/ kota dari PBB migas yang ditanggung Pemerintah ditetapkan
– 10% menggunakan formula
– 90% dibagi secara proporsional sesuai realisasi PBB migas tahun anggaran sebelumnya.
Formula yang digunakan untuk menghitung PBB migas yang ditanggung pemerintah:
PBB migas yang dibayar langsung oleh KKKS ke bank persepsi menggunakan formula:
Ȁ ൌ
݂݂ݏ݄ݎ݁
Ȁ ൌ ቐ
ሺʹͲΨሻ ሺͳͲΨሻ ሺͷΨሻ ሺͷΨ
ሻ ቑ
݂݂ݏ݄ݎ݁
(43)
Sementara itu, pembagian DBH CHT kepada kabupaten/kota sebesar 1,4% dapat dijabarkan sebesar 0,8% dibagikan kepada kabupaten/ kota penghasil dan 0,6% dibagikan kepada kabupaten/kota lainnya. Pembagian lebih lanjut kepada kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur.
Perencanaan dan Penganggaran
Berdasarkan PMK Nomor 165/PMK.07/2012 tentang Pengalokasian Anggaran Transfer ke Daerah, indikasi kebutuhan dana dan rencana dana pengeluaran untuk bagi hasil disusun oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan berdasarkan perkiraan penerimaan PBB, PPh dan CHT setelah berkoordinasi dengan Ditjen Pajak, Ditjen BC, dan BKF. Indikasi kebutuhan dana DBH Pajak dan CHT digunakan sebagai dasar penyusunan indikasi kebutuhan dana pengeluaran Bendahara Umum Negara, sedangkan rencana dana pengeluaran DBH Pajak dan CHT digunakan sebagai dasar penyusunan rancangan Undang-Undang mengenai APBN.
Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 25/29 WPOPDN
Pajak penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan atas gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh WPOP dalam negeri. Pajak Penghailan Pasal 21 dipotong, disetor, dan dilaporkan oleh Pemotong Pajak, yaitu pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggaraan kegiatan. Pelaporan penerimaan PPh Pasal 21 dilakukan berdasarkan tempat kerja
PPh Pasal 25 terkait dengan Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas atau memperoleh penghasilan teratur lainnya yang bersifat tidak fi nal yang diangsur setiap bulannya. Sedangkan PPh Pasal 29 adalah Pajak Penghasilan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai akibat PPh Terutang dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan lebih besar dari pada kredit pajak yang telah disetor sendiri. Pencatatan penerimaan PPh Pasal25/29 berdasarkan asas domisili wajib pajak.
(44)
Penetapan Alokasi
Perhitungan alokasi DBH Pajak dan CHT dilakukan setelah ditetapkannya pagu penerimaan pajak dan CHT tersebut dalam APBN. Berdasarkan PMK No. 165/PMK.07/2012, perhitungan alokasi dilakukan berdasarkan data rencana penerimaan PBB dan PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 untuk alokasi sementara DBH Pajak dan data rencana penerimaan CHT untuk alokasi sementara DBH CHT. Alokasi sementara tersebut merupakan dasar untuk penyaluran sampai dengan triwulan III. Mengingat penyaluran DBH dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan maka pada akhir tahun ditetapkan alokasi defi nitif berdasarkan prognosa realisasi penerimaan PBB, PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29, dan CHT. Alokasi defi nitif tersebut merupakan dasar untuk penyaluran pada triwulan terakhir. Penyesuaian terhadap alokasi defi nitif tersebut dilakukan setelah realisasi penerimaan PBB, PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29, dan CHT ditetapkan dan telah diaudit oleh BPK.
Alokasi sementara DBH PBB terdiri dari DBH PBB bagi rata, insentif pemungutan PBB (mulai tahun 2013), DBH PBB bagian daerah, dan biaya pemungutan PBB. Sementara itu, alokasi defi nitif PBB terdiri dari DBH PBB bagi rata, insentif PBB, bagian daerah sektor Pertambangan Migas dan Panas Bumi dan biaya pemungutan sektor Migas dan Panas Bumi tersebut. Alokasi defi nitif bagian daerah dari sektor lainnya tidak ditetapkan karena telah disalurkan secara langsung di masing-masing daerah.
Alokasi sementara PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 ditetapkan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran berjalan berdasarkan pagu rencana penerimaan yang telah ditetapkan dalam APBN. Sedangkan alokasi defi nitif ditetapkan paling lambat bulan Oktober tahun anggaran berjalan berdasarkan prognosa realisasi penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 tahun yang bersangkutan.
(45)
Penetapan alokasi oleh DJPK dalam Peraturan Menteri Keuangan dilakukan setelah data rencana dan prognosa penerimaan disampaikan oleh Ditjen Pajak. Dalam hal rencana penerimaan yang disampaikan Ditjen Pajak sangat berbeda dengan data realisasi tahun sebelumnya, alokasi sementara DBH dapat disesuaikan dengan realisasi penerimaan tahun sebelumnya. Apabila data prognosa penerimaan tidak disampaikan oleh Ditjen Pajak, maka penyaluran DBH untuk triwulan menggunakan alokasi sementara.
Alokasi DBH CHT sementara ditetapkan berdasarkan rencana penerimaan CHT yang ditetapkan dalam APBN dan alokasi defi nitif ditetapkan berdasarkan prognosa realisasi penerimaan CHT yang disampaikan oleh Ditjen Bea Cukai. Alokasi DBH CHT provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan berdasarkan ketetapan pembagian DBH CHT per kabupaten/kota oleh gubernur.
Tabel 2.6
Penyaluran DBH Pajak dan CHT
I Dana Bagi Hasil Pajak A DBH PBB
a. DBH PBB Bagian Pusat (10%)
Tahap I : 25%; Tahap II : 50%; dari alo-kasi sementara Tahap III : selisih aloalo-kasi defi nitif dengan yang telah disalurkan b. DBH PBB Bagian Daerah
(81%)
Setiap minggu yaitu sebesar 81% (64,8 % untuk Kabupaten/Kota; 16,2% untuk Provinsi) dari realisasi penerimaan se-cara mingguan
c. DBH Biaya Pemungutan PBB Bagian Daerah (9%)
Setiap minggu, yaitu sebesar persen-tase yang ditetapkan untuk Provinsi dan Kabupaten/kota sesuai dengan realisasi penerimaan secara mingguan
d. DBH PBB & Biaya Pemun-gutan DBH PBB Sektor Pertambangan Migas & Panas Bumi
Setiap triwulan sebesar 25% (Maret, Juni, September, Desember); dari aloka-si sementara;Triwulan IV : selialoka-sih alokaaloka-si defi nitif dengan yang telah disalurkan
(46)
a. DBH PPh Pasal 21 Triwulan I : 20%; Triwulan II : 20%; Triwulan III : 20%; dari alokasi semen-tara; Triwulan IV : selisih alokasi defi nitif dengan yang telah disalurkan
b. DBH PPh Pasal 25/29 Triwulan I : 20%; Triwulan II : 20%; Triwulan III : 20%; dari alokasi semen-tara; Triwulan IV : selisih alokasi defi nitif dengan yang telah disalurkan
II DBH Cukai Hasil Tembakau Triwulan I : 20%; Triwulan II & Triwulan III: 30% ; dari alokasi sementara; Triwu-lan IV : selisih alokasi defi nitif dengan yang telah disalurkan
Penyaluran DBH PBB dan Biaya Pemungutan PBB sektor pertambangan migas dan panas bumi yang dilaksanakan setiap triwulan sebesar 25% dilakukan oleh pemerintah pusat melalui pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah. Demikian juga dengan penyaluran PBB bagi rata, insentif, DBH PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29, dan DBH CHT dilaksanakan dari Pusat melalui pemindahbukuan. Khusus untuk PBB sektor Perdesaan, Perkotaan, Perkebunan, dan Perhutanan, termasuk biaya pungut yang merupakan bagian daerah disalurkan setiap minggu di masing-masing daerah.
Penyaluran DBH CHT triwulan IV dilakukan setelah diterimanya laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH CHT semester I tahun anggaran berjalan. Apabila laporan yang dipersyaratkan belum disampaikan maka penyaluran triwulan IV akan ditunda sampai dengan diterimanya laporan realisasi penggunaan DBH CHT sampai dengan akhir tahun berjalan.
DBH SDA
Dana Bagi hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) merupakan dana yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sumber daya alam (SDA). Jenis dan besaran persentase bagian daerah dari PNBP SDA tersebut ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004. DBH SDA bersumber dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi. DBH SDA diberikan
(47)
kepada daerah kabupaten/kota penghasil dan daerah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Provinsi Papua dan Aceh selain mendapatkan bagi hasil yang sama seperti provinsi lainnya, juga mendapatkan tambahan bagi hasil minyak dan gas bumi masing-masing sebesar 55% dan 40%. Berikut tabel mengenai jenis dan porsi masing-masing jenis DBH SDA.
Tabel 2.7
Jenis dan Porsi Bagi Hasil DBH SDA
Jenis Pusat Provinsi Kab./Kota
Kab/Kota dalam satu
Provinsi (bagi rata)
Tamba-han Khusus
Papua, Papua Barat
dan Aceh Kehutanan
- IIUPH 20% 16% 64%
-- PSDH 20% 16% 32% 32%
- Dana Reboisasi 60% - 40%
Pertambangan Umum
- Landrent 20% 16% 64%
- Royalti 20% 16% 32% 32%
- Perikanan 20% - 80%
Minyak Bumi 55%
- Wilayah Kab/Kota 84,5% 3,1% 6,2% 6.2%
- Wilayah Provinsi 5,17% 10,33%
Gas Bumi 40%
- Wilayah Kab/Kota 69,5% 6,1 12,2% 12.2%
- Wilayah Provinsi 10,17% 20,33%
Panas Bumi 20% 16% 32% 32%
Tarif dan dasar perhitungan PNBP yang dibagihasilkan kepada daerah sangat bervariasi dan diatur dalam peraturan pemerintah. Khusus penerimaan Negara dari pertambangan migas, bagian daerah dihitung setelah memperhitungkan pajak dan pungutan lainnya sesuai ketentuan perundang-undangan. Selanjutnya, jenis dan tarif PNBP yang dibagihasilkan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
(48)
Tabel 2.8
Jenis dan Tarif PNBP yang Dibagihasilkan
Jenis Dasar Hukum Dasar Perhitungan
Pungutan Tarif Keterangan
1. Kehutanan
- IIUPH PP 92 Tahun
1999 Luas areal Hutan Rp/ha
• Besarnya tarif tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) status HPH (baru/ perpanjangan/HPHTI).
• IHPH dikenakan satu kali untuk jangka waktu ber-lakunya HPH (atau sekitar 20 tahun)
- PSDH
• PP 6/1999
• KepMen Kehutanan dan Perkebunan Nomor 859/ Kpts-II/1999
Volume kayu Rp/m3
• Besarnya tarif tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu.
• PSDH) dikenakan terha-dap pemegang HPH, pe-megang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) dan pemegang Izin Peman-faatan Kayu (IPK).
- Dana Reboisasi PP 92/1999 Volume kayu/bahan
baku serpih USD/m3
• DR dihitung dengan
men-jumlahkan penerimaan kayu bulat dan/atau bahan baku serpih yang berasal dari HPH sesuai dengan SAKB atau DKB dengan mengalikan tariff DR yang berlaku
2. Pertambangan Umum:
- Landrent PP 9/2012
Luas Wilayah Ijin Usaha Pertambangan
(ha)
USD
- Royalti PP 9/2012 Jumlah Produksi yang terjual
Persentase Harga Jual
(USD)
3. Perikanan
• PP 19/2006
• KEPMEN KP No.22/ MEN/2004
Tonase Kapal Rp/GT
4. Minyak Bumi UU 21/2001
PNBP dihitung dari hasil usaha minyak bumi dengan porsi pembagian pusat 84,5 %, Daerah 15,5 %
(49)
5. Gas Bumi UU 21/2001
PNBP dihitung dari hasil us-aha gas bumi dengan porsi pembagian Pusat 69,5%, Daerah 30,5%
6. Panas Bumi UU 27/2003 Jumlah listrik yang terjual (kwh) Rp
- Setoran bagian Pemerintah
Penerimaan bersih usaha (Net Operating
Income/NOI)
34%
Dikenakan atas kontrak pen-gusahaan panas bumi yang ditandatangani sebelum ditetapkan UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
- Iuran Tetap Dikenakan atas kontrak
pen-gusahaan panas bumi yang ditandatangani setelah ber-lakunya UU No. 27 Tahun 2003.
- Iuran Produksi
Perencanaan, Penganggaran dan Penetapan Alokasi
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyusun Indikasi Kebutuhan Dana DBH SDA serta Rencana Dana Pengeluaran DBH SDA setelah berkoordinasi dengan Kementerian Teknis yang mengelola SDA tersebut terlebih dahulu. Masing-masing indikasi kebutuhan dana dan rencana dana pengeluaran disampaikan kepada Direktorat Jenderal Anggaran minggu pertama bulan Maret dan bulan Juni tahun anggaran sebelumnya untuk digunakan sebagai dasar penyusunan Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara dan sebagai dasar penyusunan Rancangan Undang-undang mengenai APBN.
Berdasarkan pagu yang ditetapkan dalam Undang-undang APBN, Menteri Teknis menerbitkan surat penetapan daerah penghasil dan dasar penghitungan bagian daerah penghasil PNBP SDA tahun anggaran bersangkutan dan menyampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan. Berdasarkan surat penetapan daerah penghasil dan dasar perhitungan bagian daerah penghasil PNBP SDA, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan perhitungan perkiraan alokasi DBH SDA untuk provinsi, kabupaten, dan kota dan dapat dilakukan rasionalisasi dengan mempertimbangkan realisasi PNBP SDA per daerah paling kurang 3 (tiga) tahun terakhir. Sebagaimana tercantum dalam PMK Nomor 165/
(50)
PMK.07/2012 tentang Pengalokasian Anggaran Transfer ke Daerah perhitungan perkiraan alokasi DBH SDA dapat ditetapkan di bawah pagu yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN. Selanjutnya Kementerian Keuangan c.q. Ditjen Perimbangan Keuangan menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perkiraan Alokasi DBH SDA paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya Surat Penetapan tersebut.
Jika terdapat perubahan terhadap target penerimaan SDA dalam APBN Perubahan, maka Kementerian Teknis menyampaikan kembali Surat Ketetapan tentang Perubahan Penetapan Daerah Penghasil dan Dasar Perhitungan Bagian Daerah Penghasil DBH SDA paling lambat bulan Oktober tahun anggaran bersangkutan. Berdasarkan perubahan tersebut, Ditjen Perimbangan Keuangan melakukan perubahan terhadap PMK Perkiraan Alokasi DBH SDA.
PMK Alokasi DBH SDA ditetapkan setiap akhir tahun anggaran yang merupakan realisasi penyaluran satu tahun (triwulan I s.d IV). Selain itu PMK Alokasi memuat adanya Dana Cadangan DBH SDA untuk menampung perkiraan realisasi penerimaan SDA pada tahun anggaran bersangkutan yang belum dibagihasilkan sampai dengan penyaluran triwulan IV tahun bersangkutan. Besaran Dana Cadangan DBH SDA adalah sebesar selisih antara Pagu APBN/APBN Perubahan dengan realisasi penyaluran triwulan I s.d IV atau sebesar perkiraan penerimaan SDA sampai dengan akhir tahun anggaran. Besaran alokasi yang terdapat dalam PMK Alokasi DBH SDA merupakan realisasi DBH SDA yang dibagihasilkan dan di beberapa daerah besaran alokasi disertai dengan lebih salur yang terjadi pada periode penyaluran sebelumnya.
(1)
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013
169
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH
UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Lampiran II
No Nama Daerah DBH DAU DAK DAK TAMBAHAN OTSUS TJ. PROF TAMSIL DID BOS JUMLAH TOTAL 2013
ALOKASI DANA TRANSFER KE DAERAH TAHUN ANGGARAN 2013
445 Kab. Lembata 13,021,004,060 352,353,778,000 44,392,020,000 8,375,580,000 - 17,762,814,259 3,719,750,000 - - 426,603,942,259
446 Kab. Manggarai 14,512,550,832 452,287,758,000 78,762,710,000 12,574,540,000 - 44,531,880,576 4,905,000,000 - - 593,061,888,576
447 Kab. Ngada 10,720,134,243 350,219,646,000 52,642,880,000 8,844,700,000 - 25,350,858,720 4,503,000,000 - - 441,561,084,720
448 Kab. Sikka 14,469,902,641 498,499,639,000 53,021,380,000 10,714,070,000 - 45,773,447,328 8,042,998,000 - - 616,051,534,328
449 Kab. Sumba Barat 10,522,546,426 307,533,200,000 50,647,940,000 7,779,780,000 - 15,341,780,577 2,675,424,250 - - 383,978,124,827
450 Kab. Sumba Timur 18,665,928,986 515,736,111,000 59,600,690,000 9,346,400,000 - 31,090,233,888 2,933,000,000 - - 618,706,434,888
451 Kab. Timor Tengah Selatan 17,727,201,922 606,976,388,000 83,450,850,000 13,641,050,000 - 64,510,858,596 7,784,750,000 - - 776,363,896,596
452 Kab. Timor Tengah Utara 16,170,014,528 459,487,080,000 73,708,320,000 9,974,750,000 - 29,931,103,152 5,283,750,000 - - 578,385,003,152
453 Kota Kupang 26,615,001,168 527,785,630,000 56,499,880,000 - - 93,045,223,356 5,268,500,000 - - 682,599,233,356
454 Kab. Rote Ndao 13,671,569,338 345,248,896,000 74,327,900,000 8,827,030,000 - 18,761,533,056 3,638,000,000 - - 450,803,359,056
455 Kab. Manggarai Barat 13,893,709,368 382,403,558,000 51,447,280,000 8,417,970,000 - 30,063,071,856 5,287,494,000 - - 477,619,373,856
456 Kab. Nagekeo 12,900,239,045 334,481,490,000 56,854,560,000 9,515,660,000 - 27,422,617,872 4,965,250,000 - - 433,239,577,872
457 Kab. Sumba Barat Daya 13,766,600,435 363,108,797,000 60,835,470,000 10,736,910,000 - 20,015,811,264 5,775,000,000 - - 460,471,988,264
458 Kab. Sumba Tengah 11,989,834,182 253,664,988,000 39,521,410,000 7,015,630,000 - 7,898,546,485 2,227,000,000 - - 310,327,574,485
459 Kab. Manggarai Timur 11,221,499,692 382,067,746,000 71,809,730,000 11,645,260,000 - 31,239,626,532 4,007,250,000 - - 500,769,612,532
460 Kab. Sabu Raijua 7,248,711,625 270,624,355,000 54,134,330,000 7,211,830,000 - 9,365,757,792 9,018,000,000 - - 350,354,272,792
461 Provinsi Maluku 71,905,132,371 897,657,192,000 53,424,880,000 - - - 468,000,000 - 218,360,410,000 1,169,910,482,000
462 Kab. Maluku Tenggara Barat 20,403,798,895 412,152,331,000 59,209,450,000 8,942,050,000 - 28,824,053,136 5,455,250,000 - - 514,583,134,136
463 Kab. Maluku Tengah 32,767,199,567 766,730,637,000 77,612,370,000 13,200,000,000 - 67,868,232,048 16,097,250,000 - - 941,508,489,048
464 Kab. Maluku Tenggara 20,118,653,121 376,516,763,000 57,973,600,000 - - 23,269,347,024 4,820,500,000 - - 462,580,210,024
465 Kab. Buru 22,103,518,109 356,075,091,000 43,960,610,000 8,315,750,000 - 17,729,607,216 5,253,000,000 - - 431,334,058,216
466 Kota Ambon 29,601,726,216 551,507,941,000 49,531,570,000 - - 109,112,773,680 9,708,000,000 - - 719,860,284,680
467 Kab. Seram Bagian Barat 20,686,873,946 441,210,135,000 48,554,000,000 8,342,970,000 - 26,795,277,096 6,869,512,500 - - 531,771,894,596
468 Kab. Seram Bagian Timur 71,313,859,702 366,782,861,000 54,801,590,000 10,025,780,000 - 9,310,685,280 4,656,000,000 - - 445,576,916,280
469 Kab. Kepulauan Aru 22,493,178,345 375,944,887,000 63,828,880,000 7,891,670,000 - 9,111,818,304 5,046,000,000 - - 461,823,255,304
470 Kota Tual 11,034,199,431 265,698,683,000 36,233,490,000 - - 12,221,942,256 1,310,500,000 - - 315,464,615,256
471 Kab. Maluku Barat Daya 17,600,289,969 402,856,361,000 77,006,310,000 11,245,640,000 - 10,780,563,644 5,091,000,000 - - 506,979,874,644
472 Kab. Buru Selatan 17,254,861,152 294,019,779,000 53,477,510,000 8,322,190,000 - 2,497,451,616 2,832,000,000 - - 361,148,930,616
473 Provinsi Maluku Utara 104,488,221,335 772,591,162,000 69,688,380,000 - - - 297,000,000 - 153,315,130,000 995,891,672,000
474 Kab. Halmahera Tengah 38,831,273,344 353,060,178,000 58,040,620,000 9,963,140,000 - 7,206,178,248 3,310,912,500 - - 431,581,028,748
475 Kab. Halmahera Barat 32,385,116,285 364,686,843,000 58,595,820,000 9,927,640,000 - 18,184,488,336 6,111,000,000 - - 457,505,791,336
476 Kota Ternate 44,699,424,944 462,645,746,000 44,427,830,000 - - 43,877,309,164 5,313,000,000 - - 556,263,885,164
477 Kab. Halmahera Timur 78,879,441,259 337,707,086,000 61,106,960,000 9,999,900,000 - 5,335,513,776 4,456,750,000 - - 418,606,209,776
478 Kota Tidore Kepulauan 30,578,113,795 443,177,446,000 55,218,880,000 - - 29,960,835,396 1,931,487,500 - - 530,288,648,896
479 Kab. Kepulauan Sula 34,918,261,728 408,687,131,000 59,309,800,000 11,081,360,000 - 19,121,820,508 4,699,500,000 - - 502,899,611,508
480 Kab. Halmahera Selatan 57,433,789,526 479,627,293,000 56,746,770,000 10,918,940,000 - 18,010,991,316 3,376,000,000 - - 568,679,994,316
(2)
170
Lampiran II
No Nama Daerah DBH DAU DAK DAK TAMBAHAN OTSUS TJ. PROF TAMSIL DID BOS JUMLAH TOTAL 2013
ALOKASI DANA TRANSFER KE DAERAH TAHUN ANGGARAN 2013
482 Kab. Pulau Morotai 21,301,702,726 312,486,619,000 74,061,240,000 9,961,630,000 - 2,216,681,024 3,033,000,000 - - 401,759,170,024
483 Provinsi Papua 468,458,373,762 1,889,267,850,000 133,897,240,000 - 4,927,378,620,000 - - - 336,580,280,000 7,287,123,990,000
484 Kab. Biak Numfor 30,870,172,231 464,681,810,000 69,072,170,000 10,955,440,000 - 24,920,863,056 4,384,521,440 - - 574,014,804,496
485 Kab. Jayapura 42,543,232,161 533,111,084,000 53,194,590,000 - - 27,311,704,912 3,854,000,000 - - 617,471,378,912
486 Kab. Jayawijaya 34,794,053,590 584,835,644,000 119,214,180,000 13,503,860,000 - 9,938,302,128 2,898,000,000 - - 730,389,986,128
487 Kab. Merauke 56,788,445,357 1,039,460,880,000 206,952,630,000 27,803,190,000 - 35,407,164,479 4,665,000,000 - - 1,314,288,864,479
488 Kab. Mimika 464,176,308,841 506,661,741,000 67,650,930,000 12,712,620,000 - 11,162,012,560 6,258,000,000 - - 604,445,303,560
489 Kab. Nabire 37,520,832,660 545,482,656,000 64,768,350,000 10,956,310,000 - 15,588,589,512 3,739,500,000 - - 640,535,405,512
490 Kab. Paniai 30,841,901,378 440,647,916,000 83,329,290,000 15,301,330,000 - 3,098,162,854 283,500,000 - - 542,660,198,854
491 Kab. Puncak Jaya 34,865,575,844 533,372,754,000 100,652,240,000 13,100,620,000 - 787,544,208 1,614,000,000 - - 649,527,158,208
492 Kab. Kepulauan Yapen 37,446,397,298 389,582,165,000 44,538,660,000 8,695,000,000 - 19,422,646,560 2,756,500,000 - - 464,994,971,560
493 Kota Jayapura 46,600,978,472 586,198,486,000 61,325,080,000 - - 51,986,826,432 4,821,000,000 - - 704,331,392,432
494 Kab. Sarmi 45,928,068,354 566,914,711,000 54,261,970,000 9,104,280,000 - 2,636,976,384 1,629,000,000 - - 634,546,937,384
495 Kab. Keerom 41,188,402,635 432,257,068,000 88,859,360,000 12,314,990,000 - 11,077,653,312 1,470,000,000 - - 545,979,071,312
496 Kab. Yahukimo 43,193,612,390 556,257,151,000 92,691,290,000 11,354,230,000 - 126,971,712 2,127,000,000 - - 662,556,642,712
497 Kab. Pegunungan Bintang 43,870,957,768 695,877,613,000 166,675,970,000 14,814,660,000 - 1,556,323,632 1,343,250,000 - - 880,267,816,632
498 Kab. Tolikara 36,276,848,661 507,270,132,000 112,040,130,000 12,278,260,000 - 285,460,848 1,878,000,000 - - 633,751,982,848
499 Kab. Boven Digoel 60,022,182,110 660,845,140,000 75,729,370,000 10,701,180,000 - 2,547,005,472 1,749,000,000 - - 751,571,695,472
500 Kab. Mappi 45,751,713,332 639,823,176,000 97,510,130,000 15,443,870,000 - 4,600,208,976 4,425,000,000 - - 761,802,384,976
501 Kab. Asmat 42,643,385,271 744,492,145,000 78,242,870,000 11,684,280,000 - 2,885,129,280 2,733,000,000 - - 840,037,424,280
502 Kab. Waropen 46,267,250,152 416,243,438,000 49,873,850,000 8,556,900,000 - 2,397,309,696 2,775,000,000 - - 479,846,497,696
503 Kab. Supiori 28,307,560,739 372,146,683,000 65,949,670,000 8,529,090,000 - 2,520,837,936 1,776,000,000 - - 450,922,280,936
504 Kab. Mamberamo Raya 144,089,154,287 605,620,692,000 64,316,240,000 12,802,130,000 - 391,128,096 2,748,000,000 - - 685,878,190,096
505 Kab. Mamberamo Tengah 22,091,581,145 491,012,731,000 85,019,920,000 11,735,580,000 - - 1,365,000,000 - - 589,133,231,000
506 Kab. Yalimo 23,443,870,024 488,582,116,000 105,540,220,000 11,753,620,000 - - 663,000,000 - - 606,538,956,000
507 Kab. Lanny Jaya 24,684,069,947 517,505,342,000 128,530,710,000 12,460,450,000 - 292,377,867 1,770,000,000 - - 660,558,879,867
508 Kab. Nduga 23,028,979,734 439,888,368,000 84,924,940,000 11,681,550,000 - - 1,497,000,000 - - 537,991,858,000
509 Kab. Dogiyai 27,130,952,320 388,183,045,000 62,797,340,000 10,422,080,000 - 996,241,216 2,229,000,000 - - 464,627,706,216
510 Kab. Puncak 28,699,199,211 624,649,053,000 116,635,450,000 19,460,610,000 - 380,147,904 2,457,000,000 - - 763,582,260,904
511 Kab. Intan Jaya 27,224,180,653 557,179,679,000 98,873,620,000 10,425,920,000 - 247,357,152 1,011,000,000 - - 667,737,576,152
512 Kab. Deiyai 24,258,907,378 336,371,266,000 75,547,990,000 12,677,030,000 - - 1,905,000,000 - - 426,501,286,000
513 Provinsi Papua Barat 665,085,300,975 1,064,872,637,000 64,931,200,000 - 2,295,407,163,000 - 153,000,000 - 119,650,480,000 3,545,014,480,000
514 Kab. Sorong 229,802,271,142 465,669,519,000 77,112,120,000 12,766,480,000 - 22,285,611,856 3,154,500,000 - - 580,988,230,856
515 Kab. Manokwari 86,092,578,799 614,096,216,000 50,113,510,000 - - 15,834,715,920 4,296,000,000 - - 684,340,441,920
516 Kab. Fak Fak 87,333,731,186 541,068,761,000 43,082,050,000 - - 13,992,102,860 4,644,000,000 - - 602,786,913,860
517 Kota Sorong 44,008,330,956 392,494,592,000 51,340,410,000 - - 32,522,557,176 3,220,750,000 - - 479,578,309,176
(3)
Pelengkap Buku Pegangan Tahun 2013
171
AFFIRMATIVE POLICY DALAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DAERAH
UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Lampiran II
No Nama Daerah DBH DAU DAK DAK TAMBAHAN OTSUS TJ. PROF TAMSIL DID BOS JUMLAH TOTAL 2013
ALOKASI DANA TRANSFER KE DAERAH TAHUN ANGGARAN 2013
519 Kab. Raja Ampat 68,648,144,770 486,042,052,000 73,356,220,000 9,361,150,000 - 3,428,674,652 2,280,000,000 - - 574,468,096,652
520 Kab. Teluk Bintuni 253,681,986,136 550,845,412,000 72,351,590,000 12,344,180,000 - 2,020,108,992 1,509,000,000 - - 639,070,290,992
521 Kab. Teluk Wondama 53,464,174,018 351,726,364,000 58,984,770,000 8,295,660,000 - 1,263,993,984 698,250,000 - - 420,969,037,984
522 Kab. Kaimana 49,019,177,146 499,597,980,000 51,305,450,000 7,614,360,000 - 5,648,056,128 1,577,530,800 - - 565,743,376,928
523 Kab. Maybrat 30,113,636,285 353,978,783,000 75,330,990,000 9,559,010,000 - 1,614,533,472 1,554,000,000 - - 442,037,316,472
524 Kab. Tambrauw 28,806,347,048 368,794,108,000 91,792,340,000 10,814,390,000 - 538,779,632 323,250,000 - - 472,262,867,632
90,233,231,388,540 311,139,289,165,000 29,697,143,000,000 2,000,000,000,000 13,445,571,566,000 43,057,800,000,000 2,412,000,000,000 1,387,800,000,000 23,446,900,000,000 426,586,503,731,000
518
183 3 488 515 74
PAGU TOTAL JUMLAH DAERAH
(4)
(5)
(6)