LAYANAN PENDIDIKAN BAGI SISWA TUNANETRA LOW VISION KELAS V SD MUHAMMADIYAH BOGOR.

(1)

LAYANAN PENDIDIKAN BAGI SISWA TUNANETRA LOW VISION KELAS V SD MUHAMMADIYAH BOGOR

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Irma Dewi Ramadani NIM 12108244001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

LAYANAN PENDIDIKAN BAGI SISWA TUNANETRA LOW VISION KELAS V SD MUHAMMADIYAH BOGOR

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Irma Dewi Ramadani NIM 12108244001

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(3)

PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul “LAYANAN PENDIDIKAN BAGI SISWA TUNANETRA LOW VISION KELAS V SD MUHAMMADIYAH BOGOR” yang disusun oleh IRMA DEWI RAMADANI, NIM 12108244001 telah disetujui dosen pembimbing untuk diujikan.

Yogyakarta, 21 Oktober 2016 Dosen Pembimbing

Drs. Dwi Yunairifi, M.Si NIP. 19590602 198603 1 004


(4)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar karya saya sendiri. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan orang lain kecuali sebagai acuan atau kutipan dengan mengikuti tata penulisan karya ilmiah yang telah lazim.

Tanda tangan dosen penguji yang tertera dalam halaman pengesahan adalah asli. Jika tidak asli, saya siap menerima sanksi ditunda yudisium pada periode berikutnya.

Yogyakarta, 21 Oktober 2016 Penulis

Irma Dewi Ramadani NIM 12108244001


(5)

PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “LAYANAN PENDIDIKAN BAGI SISWA TUNANETRA LOW VISION KELAS V SD MUHAMMADIYAH BOGOR” yang telah disusun oleh Irma Dewi Ramadani, NIM 12108244001 ini telah dipertahankan di depan dewan penguji pada tanggal 23 November 2016 dan dinyatakan lulus.

DEWAN PENGUJI

Nama Jabatan Tanda Tangan Tanggal

Dwi Yunairifi, M.Si Ketua Penguji ………... ……… Supartinah, M.Hum Sekertaris Penguji ………... ……… Dr. Sari Rudiyati, M.Pd Penguji Utama ………... ………

Yogyakarta, ……… Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta

Dekan,

Dr. Haryanto, M.Pd


(6)

MOTTO

“Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kebenaran dan saling

menasehati untuk kesabaran”


(7)

PERSEMBAHAN

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, penulis persembahkan karya ini kepada:

1. Bapak dan ibu tercinta, Dwi Handoko dan Suhartini.

2. Almamater Fakulatas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. 3. Agama, Nusa, dan Bangsa.


(8)

LAYANAN PENDIDIKAN BAGI SISWA TUNANETRA LOW VISION KELAS V SD MUHAMMADIYAH BOGOR

Oleh

Irma Dewi Ramadani NIM 12108244001

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan layanan pendidikan siswa tunanetra low vision kelas V SD Muhammadiyah Bogor.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian adalah seorang guru kelas, seorang guru agama, seorang guru olahraga dan seorang siswa tunanetra low vision. Pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data dengan reduksi data, display data, dan penarikan kesimpulan. Teknik keabsahan data dengan triangulasi teknik dan sumber. Data dianalisis menggunakan langkah-langkah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian layanan pendidikan siswa tunanetra low vision klas V SD Muhammadiyah Bogor meliputi asesmen berupa asesmen fisik yang dilakukan oleh dokter Rumah Sakit YAP, program pendidikan individual yang tidak dilaksanakan oleh guru kelas, pembelajaran bagi siswa tuanetra low vision yang sama dengan siswa lainnya dan prinsip layanan pendidikan bagi siswa tunanetra

low vision yaitu 1) perbesaran warna dengan cara memperbesar tulisan di papan tulis dilakukan oleh guru kelas; 2) prinsip obyek nyata berupa menggunakan media tiruan atau benda nyata yang diberikan kepada siswa saat proses pembelajaran; 3) memperhatikan cahaya dan penerangan melalui penempatan tempat duduk siswa dan ruangan kelas supaya siswa nyaman; 4) penggunaan warna dasar dan tulisan yang kontras untuk siswa sudah dilakukan sedangkan penggunaan warna yang menarik belum dilakukan; 5) penyesuaian tempat duduk dengan menempatkan tempat duduk siswa di barisan paling depan dan mempermudah akses gerak siswa; 6) prinsip suara berupa pengucapan kalimat yang dituliskan guru di papan tulis dengan suara yang jelas dan penggunaan media bersuara; dan 7) metode pengajaran meliputi pemberian motivasi berupa meningkatkan mengerjakan tugas, menasehati supaya rajin, memberikan kata pujian, menunjukkan perhatian, dan menunjukkan kata penyemangat, penebalan materi cetak belum terlaksana, pengadaaan kerja kelompok berupa peningkatan interaksi siswa dengan siswa lain, pemberian tindak lanjut oleh guru dengan menanyakan kejelasan materi terhadap siswa dan pemberian pekerjaan rumah untuk siswa.

Kata kunci: Layanan Pendidikan, Siswa Tunanetra Low Vision


(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Dzat yang Maha berkuasa atas segala ciptaan-Nya. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Rasa syukur penulis haturkan, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Layanan Pendidikan bagi Siswa Tunanetra Low Vision Klas V SD Muhammadiyah Bogor” dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan menimba ilmu di Universitas Negeri Yogyakarta dalam mewujudkan masa depan.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memaparkan gagasan skripsi ini dan memberikan ijin penelitian

4. Drs Dwi Yunairifi, M.Si, selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan ilmu dan arahan secara tulus serta penuh kesabaran dalam membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.


(10)

5. Kepala SD Muhammadiyah Bogor, Siti Sumiyati, S.Pd, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian di SD Muhammadiyah Bogor.

6. Bapak Ibu guru SD Muhammadiyah Bogor, yang turut serta memberikan informasi dan bantuan dalam memperlancar penulis dalam penelitian skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu tercinta, Dwi Handoko dan Suhartini, terima kasih atas doa, kasih sayang, dukungan, perhatian dan pengorbanan banyak hal yang telah diberikan sepanjang hidup penulis sampai saat ini.

8. Teruntuk Dwi Aji Zulianto, terimakasih atas segala dukungan dan motivasinya.

9. Rekan-rekan saya PGSD Klas D, sahabat-sahabat “Big Sister”, serta teman-teman yang telah memberikan dukungan.

10. Kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan karya ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Semoga segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis menjadi amal yang dapat diterima dan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis juga berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, 21 Oktober 2016 Penulis

Irma Dewi Ramadani NIM 12108244001


(11)

DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Batasan Masalah ... 9

D. Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Anak Tunanetra Low Vision ... 12

1. Pengertian Tunanetra Low Vision ... 12

2. Sebab – Sebab Ketunanetraan ... 14

3. Klasifikasi Anak Tunanetra Low Vision ... 16

4. Karakteristik Anak Tunanetra Low Vision ... 20

B. Kajian Layanan Pendidikan ... 24

1. Pengertian Layanan Pendidikan ... 24


(12)

3. Komponen Layanan Pendidikan ... 31

a. Asessmen... 31

b. Program Pengajaran Individual ... 34

c. Pembelajaran bagi Siswa Tunanetra Low vision ... 35

d. Prinsip- Prinsip Layanan Siswa Tunanetra Low Vision 40 C. Kerangka Pikir ... 42

D. Pertanyaan Penelitian ... 43

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 45

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 45

C. Subjek Penelitian ... 46

D. Teknik Pengumpulan Data ... 46

E. Instrumen Penelitian ... 48

F. Teknik Analisis Data ... 54

G. Pengujian Keabsahan Data ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 57

B. Deskripsi Subjek Penelitian... 57

C. Hasil Penelitian ... 58

D. Pembahasan ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 106


(13)

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Kisi-kisi pedoman observasi ... 48

Tabel 2. Kisi-kisi pedoman wawancara guru kelas ... 51

Tabel 3. Kisi-kisi pedoman wawancara guru mata pelajaran ... 52


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema kerangka berpikir ... 43

Gambar 2. Guru memperbesar tulisan ... 64

Gambar 3. Guru menggunakan media tiruan ... 68

Gambar 4. Guru menggunakan media pencerminan ... 70

Gambar 5. Guru memperhatikan arah pencahayaan ... 72

Gambar 6. Siswa low vision ditempatkan barisan paling depan ... 77

Gambar 7. Guru menggunakan media video ... 84

Gambar 8. Guru memberikan motivasi kepada siswa ... 86


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

hal Lampiran 1. Pedoman observasi pelaksanaan layanan pendidikan siswa

tunanetra low vision ... 109

Lampiran 2. Pedoman Wawancara Kepada Guru ... 142

Lampiran 3. Pedoman Wawancara Siswa ... 147

Lampiran 4. Hasil Wawancara ... 149

Lampiran 5. Reduksi Wawancara ... 164

Lampiran 6. Reduksi Penyajian Data, dan Triangulasi Data ... 180


(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya dan menjadi faktor pendukung yang memegang peranan penting di seluruh sektor kehidupan, karena kualitas kehidupan suatu negara sangat berkaitan erat dengan pendidikan. Sunaryo Kartadinata dan Nyoman Dantes mengartikan pendidikan sebagai upaya membantu anak agar bisa mengembangkan diri secara optimal di dalam masyarakat (Arif Rohman 2009: 8). Dengan hal ini pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi atau kemampuan peserta didik agar menjadi insan yang lebih berkualitas secara intelektual, spiritual, maupun emosional.

Pendidikan yang ada pada masa ini adalah suatu langkah pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bangsa akan disebut sebagai bangsa yang maju apabila rakyatnya dapat mengenyam bangku pendidikan. Tentunya ada berbagai macam cara yang dilakukan pemerintah untuk hal itu. Dalam mewujudkan hal itu maka diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 (amandemen) bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pada pasal 5 ayat 1 juga menyebutkan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.

Berdasarkan landasan di atas, maka dapat ditegaskan bahwa semua warga Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas


(17)

tanpa adanya perkecualian. Bahkan pendidikan yang berkualitas juga berhak didapatkan tanpa adanya diskriminasi. Anak yang menyandang kecacatan juga sama haknya dengan anak normal. Mereka juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang bermutu dari pemerintah supaya cita-cita mereka terpenuhi.

Masing-masing individu mempunyai keunikan atau kekhasan sendiri baik dalam setiap gejala jiwa yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terlihat dalam kemampuan berpikir merasakan sesuatu, serta sikap dan perilakunya sehari-hari (Rita Eka Izzaty, dkk., 2008: 9). Hal ini juga berlaku untuk anak berkebutuhan khusus yang juga merupakan peserta didik yang mempunyai karakteristik dan keunikan sendiri dalam proses pembelajaran. Dilihat dari hakekat, martabat, dan harkat kemanusiaan antara anak berkebutuhan khusus dan anak normal pada dasarnya sama (Parwoto, 2007:16). Dengan adanya anak berkebutuhan khusus di dalam suatu sekolah dengan kekurangan dan kelebihannya tidak lantas menimbulkan diskriminasi kepadanya.

Berkebutuhan khusus dapat dipandang sebagai kebutuhan anak untuk mencapai prestasi dan mengembangkan kemampuannya secara optimal. Anak Berkebutuhan Khusus memiliki hak yang sama dengan anak normal lainnya untuk memperoleh pendidikan. UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 Pasal ayat 2 menyebutkan bahwa “ Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”. Hal ini bertujuan agar setiap anak berkebutuhan khusus bisa mendapatkan pendidikan yaitu dengan pendidikan khusus yang diselenggarakan di sekolah


(18)

sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Namun pada kenyataanya masih banyak anak berkebutuhan khusus yang belum mendapatkan haknya. Anak berkebutuhan khusus yang mengalami kecacatan malah banyak yang didiskriminasi di lingkungan sekitarnya.

Keluarga , sekolah, dan masyarakat sebagai lingkungan yang paling dekat dengan anak seharusnya dapat saling membantu dalam mendidik anak, terutama anak berkebutuhan khusus. Namun pada saat ini masyarakat lebih mempercayakan sekolah sebagai cara untuk menanganinya. Pemerintah yang diberi tanggung jawab oleh Undang-Undang untuk melindungi hak dari anak berkebutuhan khusus mengadakan beberapa program untuk mewujudkan cita-cita mereka.

Undang- Undang Sistem Pendidikan Nasional pada penjelasan pasal 15 alenia terakhir menyebutkan bahwa “ Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah”. Hal ini adalah upaya dari pemerintah dalam rangka memberikan layanan yang maksimal untuk anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Adanya Sekolah Luar Biasa (SLB) dan sekolah inklusif adalah bentuk nyata pemerintah untuk mewujudkan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.

Sekolah inklusif atau SLB adalah solusi yang diberikan pemerintah untuk dapat menyelamatkan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang


(19)

ada di Indonesia, namun masyarakat sering sekali beranggapan jika anak sekolah di SLB adalah anak yang tidak berguna. Bahkan mereka malu jika anaknya disekolahkan di SLB. Dengan adanya sekolah inklusif anak berkebutuhan khusus masih bisa merasakan pendidikan bersama dengan anak lainnya di sekolah yang sama. Hal ini juga dapat mengurangi deskriminasi ras. Sekolah inklusi dapat memberikan kesempatan secara luas kepada semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya.

Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 Agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif serta ramah terhadap pembelajaran. Pendidikan Inklusi menurut Stauban Peck (1995) dalam Mudjito (2014: 68) dapat diartikan sebagai penempatan anak berkebutuhan khusus tingkat ringan, sedang, dan berat secara regular di kelas. Adapun pengertian pendidikan inklusi dalam peraturan pemerintah Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 adalah system penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Dengan begitu sebuah pendidikan inklusi dapat merangkul dan menerima keragaman dalam hal ini keragaman keadaan diri peserta didik.


(20)

Manfaat lainnya adalah bisa menjadikan peserta didik berkebutuhan khusus tidak minder dengan keadaannya, hal ini sejalan dengan pendapat Deddy Kustawan (2009:10) “Manfaat pendidikan inklusif bagi peserta didik berkebutuhan khusus adalah memiliki rasa percaya diri dan memiliki kesempatan menyesuaikan diri serta memiliki kesiapan dalam menghadapi kehidupan nyata pada lingkungan pada umumnya”. Dengan begitu siswa berkebutuhan khusus akan lebih mandiri dalam menghadapi dunia nyata dan dapat bersosialisasi dengan baik dengan lingkungan termasuk teman-temannya.

SD Muhammadiyah Bogor merupakan SD inklusi. SD ini ditunjuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan sekolah inklusi. SD Muhammadiyah mempunyai satu Guru Pembimbing Khusus yang ditugaskan dari Sekolah Luar Biasa. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti SD Muhammadiyah Bogor memiliki satu siswa yang merupakan anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus tersebut mengalami tunanetra low vision. Satu anak tersebut diikutsertakan dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan bersama dengan anak normal lainnya. Hal tersebut dilakukan agar keberadaan anak berkebutuhan khusus tersebut tidak terpisahkan dengan lingkungannya. Mohammad Effendi (2006: 1) menjelaskan bahwa dengan memberikan kesempatan yang sama kepada anak berkebutuhan khusus dalam memperoleh pendidikan dan pengajaran, berarti memperkecil kesenjangan partisipasi pendidikan anak normal dan anak berkebutuhan khusus.


(21)

Layanan pendidikan yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus saat ini masih kurang memadai. Hal tersebut dikarenakan sekolah yang termasuk sekolah inklusi ini belum mampu memenuhi kebutuhan guru profesional yang dapat mengenali potensi anak berkebutuhan khusus. Hal ini sejalan dengan pendapat Sari Rudiyati (2011: 20) yang menjelaskan bahwa pada umumnya guru regular/umum pada pembelajaran anak berkelainan masih sama dengan langkah pembelajaran lainnya, masih kurang adanya langkah spesifik untuk menangani anak berkebutuhan khusus. Keterbatasan akan sumber daya guru dengan kompetensi spesifik ini menyebabkan beberapa program kesetaraan pendidikan yang hendak dilakukan menjadi terhambat. Guru Pendamping Khusus (GPK) datang ke SD Muhammdaiyah dua kali dalam satu minggu. Dalam konsep penyelenggaraan sistem pendidikan inklusi, peran Guru Pendamping Khusus sangat penting. Guru Pendamping Khusus berfungsi membantu guru-guru di sekolah umum bagaimana berinteraksi dengan siswa berkebutuhan khusus. Misalnya, melakukan identifikasi kebutuhan khusus siswa, memproses pemenuhan kebutuhan khusus siswa, melakukan adaptasi kurikulum, melakukan adaptasi materi dan metode pembelajaran. Semuanya disesuaikan dengan kebutuhan khusus siswa, dan sebagainya.

Jumlah Guru Pendamping Khusus (GPK) yang ada di SD Muhammadiyah Bogor adalah satu orang dan dalam kurun waktu satu minggu GPK hanya datang ke sekolah di hari Selasa dan Jum‟at. Terbatasnya alokasi waktu Guru Pendamping Khusus di SD Muhammadiyah Bogor masih menjadi


(22)

kendala dalam pelaksanaan pembelajaran bagi anak low vision. Idealnya anak berkebutuhan khusus mendapatkan pendampingan intensif dari Guru Pendamping Khusus dengan cara dibersamai oleh Guru Pendamping Khusus setiap pembelajaran di dalam kelas. Selain seorang Guru Pendamping Khusus, pembelajaran yang ideal di dalam kelas inklusi semestinya melibatkan tiga guru yang masing-masing bertanggung jawab terhadap anak yang cepat menangkap pelajaran, anak yang menangkap pelajaran dalam batas normal, dan mereka yang lambat menangkap pelajaran. SD Muhammadiyah Bogor juga belum memiliki ahli yang seharusnya mampu berperan sebagai media konsultasi dan pengembangan SDM sekolah.

Guru kelas pada sekolah inklusi belum mencapai kompetensi yang dibutuhkan untuk pengembangan program sekolah inklusi di SD Muhammadiyah Bogor. Kesempatan bagi guru tersebut untuk mengikuti pelatihan-pelatihan terkait dengan kompetensi keahlian yang dibutuhkan untuk meningkatkan profesionalismenya juga masih sangat terbatas. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sari Rudiyati (2011: 16) “Pada umumnya guru sekolah inklusif belum memadai melakukan identifikasi dan asesmen terhadap peserta didik yang berkelainan”. Hal tersebut menyebabkan tidak terjadinya perubahan signifikan terutama dalam hal yang berkaitan dengan pengembangan kualitas guru sesuai bidang keahlian yang dimiliki. Guru kelas V yang di dalam kelasnya ada anak berkebutuhan khusus juga tidak ada perlakuan dan tindakan khusus untuk menangani anak low vision tersebut. Dalam pembelajaran sehari-hari juga tidak ada bedanya dengan kelas yang


(23)

Idealnya di dalam kelas inklusi yang melibatkan siswa tunanetra low vision harus ada pelayanan yang berbeda dengan kelas biasanya karena siswa tunanetra low vision memiliki kebutuhan, keterbatasan, dan kemampuan yang berbeda dengan anak normal pada umumnya. Pembelajaran yang diikuti siswa tunanetra low vision harus didesain sesuai dengan kebutuhan dan keterbatasan siswa seperti memperbesar ukuran huruf, mengatur tempat duduk siswa, mengatur pencahayaan, dan lain sebagainya supaya siswa tersebut dapat menyerap pelajaran dengan maksimal. Hal ini juga diungkapkan oleh Anastasya, dkk (1996: 201) yang mengemukakan bahwa untuk melayani anak

low vision adalah menggunakan prinsip-prinsip pengajaran yaitu pencahayaan, kontras warna, ukuran huruf, waktu, metode pengajaran yang sudah didesain secara khusus dalam pembelajaran di kelas.

Dengan minimnya intensitas pertemuan anak berkebutuhan khusus dengan Guru Pembimbing Khusus dan tidak adanya pelayanan khusus tersebut dikhawatirkan anak berkebutuhan khusus menjadi tidak dapat terbantu saat mengikuti pembelajaran yang berlangsung di kelas. Sekolah dalam hal ini SD Muhammadiyah umumnya belum didukung oleh fasilitas yang diperlukan untuk mendukung aksesbilitas dan keberhasilan pembelajaran secara memadai. Hal tersebut dapat berakibat pada rendahnya prestasi belajar siswa yang memiliki kebutuhan khusus.

Berdasarkan uraian diatas penting untuk dilakukan penelitian mengenai “Pelaksanaan layanan pendidikan bagi anak low vision di kelas V SD Muhammadiyah Bogor, Gunungkidul”.


(24)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas masalah dapat di identifikasi berbagai masalah sebagai berikut.

1. Adanya siswa yang memiliki kebutuhan khusus dalam pembelajaran yang tidak bisa mengikuti pembelajaran secara maksimal.

2. Siswa tunanetra low vision belum terlayani dengan baik oleh guru mata pelajaran.

3. Layanan pendidikan oleh guru kelas terhadap siswa tunanetra low vision

belum optimal di SD Muhammadiyah Bogor. C. Batasan Masalah

Layanan pendidikan bagi siswa tunanetra low vision sangat kompleks, maka penelitian perlu dibatasi dengan memfokuskan pada pelaksanaan layanan pendidikan bagi anak tunanetra low vision di Kelas V SD Muhammadiyah Bogor, Gunungkidul, Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan fokus masalah tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana proses layanan pendidikan bagi siswa tunanetra low vision di kelas V SD Muhammadiyah Bogor, Gunungkidul . E. Tujuan Pennelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pelaksanaan layanan pendidikan bagi siswa low vision kelas V SD Muhammadiyah Bogor, Gunungkidul.


(25)

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan bidang pendidikan anak berkebutuhan khusus, khususnyanya dalam kajian pelaksanaan layanan pendidikan bagi siswa tunanetra low vision di kelas V SD Muhammadiyah Bogor, Gunungkidul, Yogyakarta.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Penulis

1) Menambah wawasan penulis mengenai pelaksanaan layanan pendidikan bagi anak tunanetra low vision kelas V SD Muhammadiyah Bogor, Gunungkidul.

2) Memberikan pengalaman kepada penulis melalui penyusunan skripsi sehingga dapat menambah pengetahuan dan pengalaman terutama dalam bidang pendidikan formal.

b. Bagi Kepala Sekolah

1) Dapat menjadi pertimbangan dalam menetapkan kebijakan untuk meningkatkan layanan pendidikan bagi siswa tunanetra low vision.

2) Sebagai masukan tentang pelaksanaan layanan pendidikan bagi siswa tunanetra low vision SD Muhammadiyah Bogor, Gunungkidul, Yogyakarta.

c. Bagi Akademisi

1) Sebagai literatur bagi mahasiswa dalam praktek pelaksanaan layanan pendidikan bagi anak low vision kelas V SD Muhammadiyah Bogor, Gunungkidul.


(26)

2) Sebagai rujukan mahasiswa dalam pelaksanaan layanan pendidikan bagi anak low vision kelas V SD Muhammadiyah Bogor, Gunungkidul.

d. Bagi Pemerintah

1) Memberikan masukan kepada permerintah tentang praktek pelaksanaan layanan pendidikan bagi anak low vision pada sekolah inklusi.

2) Sebagai rujukan kepada pemerintah dalam penyusunan program layanan pendidikan bagi anak low vision pada sekolah inklusi.


(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Anak Tunanetra Low vision

Masyarakat umum sering menyamakan antara tunanetra dengan buta. Meskipun tidak terlalu salah namun menyamakan tunanetra dengan buta itu kurang tepat. Hal ini sejalan dengan pendapat Munawir Yusuf tanpa tahun pada bukunya yang berjudul Pendidikan Tunanetra Dewasa dan Pembinaaan Karir halaman 21 “Istilah buta lebih dimaksudkan untuk menunjukkan orang yang sudah rusak penglihatannya sehingga tidak mungkin lagi difungsikan untuk melihat.” Dengan demikian orang dikatakan buta apabila sudah tidak bisa melihat sama sekali. Sedangkan orang tunanetra lebih menunjukkan adanya gradasi atau tingkatan kebutuhan seseorang.

1. Pengertian Anak Tunanetra Low vision

Dedy Kustawan (2013: 13) mengatakan “Anak tunanetra adalah anak yang memiliki hambatan penglihatan yang sedemikian rupa”. Anak tunanetra merupakan anak yang mempunyai gangguan penglihatan yang memerlukan bantuan dan penanganan khusus dalam mengikuti pembelajaran. Jadi menurut pendapat di atas anak tunanetra adalah anak yang memilik keterbatasan penglihatan dan memerlukan penanganan dalam proses pembelajaran. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Purwaka Hadi (2005: 38) yang mengatakan “ tunanetra dapat diartikan sebagai suatu kondisi cacat penglihatan sehingga mampu mengganggu proses belajar dan pencapaian belajar secara optimal sehingga diperlukan metode pengajaran, pembelajaran, penyesuaian bahan pelajaran, dan


(28)

lingkungan belajar”. Jadi menurut pendapat Purwaka Hadi anak tunanetra adalah kondisi cacat penglihatan yang dapat mengganggu proses pembelajaran dan dibutuhkan cara-cara khusus sesuai dengan keterbatasannya dalam proses pembelajaran. Pengertian tersebut juga ada kaitannya dengan anak low vision karena anak low vision merupakan bagian dari klasifikasi tunanetra.

Ardhi Widjaya (2013 :16) mengatakan bahwa anak low vision

adalah mereka yang memiliki hambatan penglihatan dan masih bisa menerima rangsang cahaya dari luar tapi ketajamannya lebih dari 6/21 atau anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa 6/21 yang dimaksudkan adalah apabila anak normal dapat melihat suatu obyek dengan jarak 21 meter, namun untuk anak low vision hanya dapat melihat dengan jarak 6 meter saja. Anak low vision juga dikenal dengan anak tunanetra kurang lihat atau anak kurang awas. “Anak tunanetra kurang lihat adalah orang yang masih kurang dalam kemampuan lihatnya meskipun telah dikoreksi, akan tetapi orang ini masih bisa meningkatkan fungsi penglihatannya menggunakan alat-alat bantu optikal dan non optikal serta memodifikasi lingkungan dan atau teknik-teknik”, Corn (dalam Anastasia dan Immanuel, 1996: 200). Anak tunanetra low vision masih bisa menggunakan sedikit sisa penglihatannya dan dapat menggunakan kemampuan matanya untuk melakukan aktivitas sehari- hari. Hal ini sejalan dengan pendapat Ardhi Widjaya ( 2013: 13) juga mengatakan


(29)

bahwa “orang tunanetra yang masih mempunyai sisa penglihatan yang fungsional seperti ini kita sebut sebagai orang “kurang awas” atau lebih dikenal dengan sebutan Low vision”. Definisi lain juga diungkapkan oleh World Health Organization (dalam Ardhi Widjaya, 2013: 16) bahwa “Seseorang dikatakan low vision apabila memiliki kelainan fungsi penglihatan walaupun telah dilakukan pengobatan, misalnya operasi atau koreksi refraksi standart (kacamata atau lensa)”. Pengertian lain juga dijelaskan oleh Aqila Smart (2010: 36) bahwa : low vision adalah mereka yang bila melihat sesuatu, mata harus didekatkan, atau mata harus dijauhkan dari obyek yang dilihatnya, atau mereka yang memiliki pemandangan kabur ketika melihat obyek”.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat ditegaskan bahawa anak low vision adalah anak yang mempunyai masalah dalam indera visualnya atau mengalami kerusakan dan hambatan pada indera penglihatannya sehingga tidak dapat digunakan secara optimal. Anak

low vision masih bisa menggunakan sisa kemampuan indera penglihatannyadalam pembelajaran, namun dalam kegiatan pembelajaran anak low vision tetap harus mendapatkan bantuan yang extra supaya bisa mengikuti pembelajarannya secara optimal.

2. Sebab-Sebab Ketunanetraan

Ketunanetraan dapat disebabkan oleh beberapa factor. Menurut Sari Rudiyati (2003: 7) ketunanetraan pada seseorang dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.


(30)

a. Infeksi atau keracunan b. Penyakit

c. Kecelakaan

d. Kekurangan vitamin A e. Faktor keturunan

f. Kondisi patologik yang tidak jelas penyebabnya

Sebab-sebab yang telah dijelaskan tersebut memberikan pemahaman bahwa penyebab dari anak tunanetra low vision beranekaragam. Infeksi dan keracunan bisa terjadi ketika ibu sedang mengandung. Selain saat mengandung, infeksi juga bisa terjadi ketika mendapati luka di area mata, kemudian terjadi infeksi yang mengenai mata. Oleh sebab itu sebaiknya berhati-hati saat mengandung agar janin tetap sehat. Penyakit juga merupakan sebab terjadinya ketunanetraan seperti katarak, glaucoma, dan sebagainya. Sebab lain terjadinya ketunanetraan adalah kecelakaan. Kecelakaan yang dimaksud adalah terjadinya suatu kejadian yang dapat merusak kornea mata sehingga fungsi organ mata menjadi terganggu seperti terkena duri, terkena bahan kimia, dan sebagainya. Kekurangan vitamin A juga menyebabkan indera penglihatan kita terganggu. Vitamin A adalah zat yang sangat penting untuk menjaga kesehatan mata kita. Apabila kekurangan vitamin A, maka kesehatan mata bisa terganggu, dan jika dibiarkan terus menerus, maka akan berakibat yang fatal. Selain itu factor keturunan dan adanya kondisi patologik yang tidak jelas juga menjadi faktor terjadinya ketunanetraan.

Berdasarkan hasil observasi, penyebab ketunanetraan yang dilami anak low vision yang ada di SD Muhammadiyah Bogor kelas V adalah


(31)

infeksi atau keracunan yang terjadi saat ibunya mengandung. Ketunanetraan yang terjadi diketahui setelah anak tersebut dilahirkan. 3. Klasifikasi Anak Tunanetra Low vision

Berdasarkan saat terjadinya ketunanetraan klasifikasi penyandang tunanetra menurut Sari Rudiyati (2003: 9) adalah sebagai berikut.

a. Penyandang tunanetra prenatal b. Penyandang tunanetra natal c. Penyandang tunanetra postnatal

Berdasarkan pendapat ahli tersebut maka dapat diambil pemahaman bahwa terjadinya ketunanetraan bisa terjadi ketika seseorang masih berada dalam kandungan, ketika seseorang dilahirkan, dan ketika setelah seseorang lahir.

Penyandang tunanetra post natal yaitu seseorang yang mengalami ketunanetraan setelah lahir. Menurut Sari Rudiyati (2003: 11) klasifikasi ketunanetraan setelah proses kelahiran adalah sebagai berikut.

1) Penyandang tunanetra bawah tiga tahun (batita) 2) Penyandang tunanetra kanak-kanak

3) Penyandang tunanetra pra remaja 4) Penyandang tunanetra remaja 5) Penyandang tunanetra dewasa awal 6) Penyandang tunanetra dewasa

7) Penyandang tunanetra lansia atau lanjut usia

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditegaskan bahwa ketunanetraan sesudah kelahiran bisa terjadi dengan berbagai macam tahapan. Mulai dari sebelum usia tiga tahun sampai dengan lanjut usia, semua bisa mengalami ketunanetraan. Semakin dini seseorang terkena ketunanetraan, maka semakin lama juga mereka merasakan kebutaan.


(32)

Jadi ketika seseorang mengalami ketunanetraan dari sebelum usia tiga tahun, maka pengetahuan mereka tentang dunia luar akan semakin sedikit. Beda hal nya dengan seseorang yang mengalami ketunanetraan ketika usia sudah dewasa akgir atau bahkan lanjut usia. Mereka telah mengetahui berbagai macam pengalaman dalam hidupnya menggunakan indera penglihatannya.

Anak low vision merupakan bagian dari tunanetra. Jenis-jenis anak tunanetra low vision adalah sebagai berikut.

a. Penyandang tunanetra Light perception

Penyandang tunanetra Light perception adalah penyandang tunanetra yang mengalami ketunaan pada indera penglihatannya hanya dapat mempersepsikan atau mengetahui bentuk adanya cahaya (terang) maupun tidak adanya cahaya (gelap) (Purwaka Hadi, 2005: 46). Dari pendapat di atas maka dapat ditegaskan bahwa anak penyandang tunanetra Light perception adalah penyandang tunanetra yang hanya dapat mengetahui adanya cahaya atau tidak dengan melihat sumber cahaya. Misalnya di dalam sebuah ruangan yang ada cahayanya, penyandang Light perception ini bisa mengetahui sumber cahaya tersebut.

b. Penyandang tunanetra Light projection

Penyandang tunanetra yang dapat mengetahui perubahan sumber cahaya dan yang dapat menentukan arah sumber cahaya (Purwaka Hadi, 2005 :46). Dari pendapat di atas maka dapat


(33)

ditegaskan bahwa penyandang tunanetra Light projection hanya dapat memproyeksikan atau dapat mengetahui perubahan cahaya serta dapat menentukan arah datangnya cahaya. Cahaya yang diterima oleh organ mata merupakan suatu gambaran kepada penyandang tunanetra untuk mngetahui kondisi di sekitarnya. Misalnya matahari yang datang dari sebelah timur, maka penyandang tunanetra ini dapat dengan spontan menghadap ke timur, karena penyandang tunanetra ini sudah tahu dari mana datangnya arah cahaya.

c. Penyandang tunanetra Tunnel vision atau penglihatan pusat

Penyandang tunanetra tunnel vision atau penglihatan pusat adalah penyandang tunanetra yang mempunyai ketajaman penglihatan pada daerah tengah seluas 20 derajat sehingga apabila melihat obyek hanya terlihat bagian tengahnya saja (Purwaka Hadi 2005: 46). Dari pendapat di atas maka dapat ditegaskan bahwa penyandang tunanetra Tunnel vision hanya dapat melihat obyek di bagian tengah. Penyandang tunanetra ini hanya dapat memandang lurus ke depan, sehingga tidak bisa mengamati obyek secara utuh. d. Penyandang tunanetra Periferal vision atau penglihatan samping

Penyandang tunanetra periferal vision atau penglihatan pusat samping adalah penyandang tunanera yang hanya dapat melihat obyek bagian samping atau tepidari obyek yang dilihatnya (Purwaka Hadi, 2005:46). Dari pendapat di atas maka dapat ditegaskan bahwa


(34)

penyandang tunanetra Periferal vision atau penglihatan samping, kemampuan penglihatannya hanya di bagian samping dan bagian tengah maka tidak dapat melihat obyek yang dilihatnya. Penyandang tunanetra ini akan mendekatkan mata ke bagian obyek yang akan dilihatnya dengan menyamping.

e. Penyandang tunanetra penglihatan bercak

Penyandang tunanetra penglihatan bercak adalah penyandang tunanetra yang hanya dapat melihat obyek pada bagian-bagian tertentu yang tidak terlihat. Obyek yang diamati tidak dapat terlihat oleh penyandang tunanetra secara utuh (Purwaka Hadi, 2005:46). Dari pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa organ mata tunanetra yang mengalami penglihatan bercak tidak dapat melihat obyek secara maksimal karena adanya bercak yang menutupi bagian organ mata. Bercak yang ada di bagian organ mata tersebut akan menghalangi tunanetra untuk mengamati obyek secara utuh. Penyandang tunanetra ini akan mendekatkan organ matanya ke obyek penglihatannya untuk dapat mengamati obyek secara utuh.

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti dan sedikit tanya jawab dengan guru pendamping khusus jenis anak low vision yang ada di SD Muhammadiyah Bogor adalah penglihatan bercak karena anak tersebut tidak dapat melihat obyek secara maksimal dan selalu mendekatkan organ matanya ke benda yang akan diamati.


(35)

4. Karakteristik Anak Tunanetra Low vision

Penyandang tunanetra mempunyai individu yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Menurut Sari Rudiyati (2003: ) secara umum penyandang tunanetra mempunyai ciri-ciri khusus sebagai berikut.

a. Cenderung mengembangkan rasa curiga terhadap orang lain b. Perasaan mudah tersinggug

c. Mengembangkan verbalisme d. Perasaan rendah diri

e. Mengembangkan adatan f. Suka berfantasi

g. Berpikir kristis h. Pemberani

Dari pendapat ahli di atas dapat diketahui bahwa ciri-ciri khusus penyandang tunanetra low vision adalah mengembangkan rasa curiga, mudah tersinggung, mengembangkan verbalisme, mengembangkan adatan, suka berfantasi, berpikir kritis dan pemberani. Ketunanetraan dapat membawa seseorang kehilangan kontak dengan lingkungannya, sehingga mengalami kendala memposisikan dalam lingkungan sekitarnya. Hal ini menyebabkan penderita tunanetra mudah curiga terhadap orang lain. Keterbatasan informasi dan penglihatan menimbulkan banyak kesalah pahaman. Kesalah pahaman menyebabkan penyandang tunanetra mudah tersinggung. Kondisi penglihatan mata tunanetra sangatlah terbatas. Hal ini menyebabkan pengalaman visual mereka juga akan terbatas. Ketunanetraan akan menyebabkan timbulnya beberapa keterbatasan seperti keterbatasan informasi, keterbatasan pengalaman dan keterbatasan kemampuan melakukan ssuatu. Keterbatasan inilah yang menyebabkan penyandang


(36)

tunanetra merasa rendah diri. Akibat dari keterbatasan melihat, membuat tunanetra suka berfantasi atau berangan-angan. Kekurangan informasi visual sering memotivasi para penyandang tunanetra untuk selalu berpikir kritis. Hal itu merupakan hasil analisis pikir mereka tajam, karena keingin tahuan yang tinggi. Penyandang tunanetra juga mempunyai sikap yang positf. Mereka dengan percaya diri berusaha mencari peluang untuk mengubah nasib mereka.

Memperhatikan karakteristik anak tunanetra Low vision

merupakan hal yang penting untuk memberikan layanan pendidikan secara optimal. Ketika anak tunanetra low vision memiliki keterbatasan melakukan berbagai kegiatan layaknya anak normal pada umumnya , perlu bagi kita untuk mengetahui karakteristik anak low vision tersebut. Karakteristik anak tunanetra low vision juga dapat diartikan sebagai ciri khas yang biasa dilakukan oleh anak tunanetra low vision. Anastasia dan Imanuel, (1996: 17) menjelaskan karakteristik anak low vision

adalah sebagai berikut.

a. Selalu melihat benda dengan memfokuskan pada titik benda. Biasanya dengan mengerutkan dahi.

b. Bergerak dengan percaya diri dan bersikap seperti orang awas. c. Memiringkan kepala bila memulai suatu aktivitas.

d. Tertarik dengan benda yang bergerak.

e. Merasa bangga menjadi penuntun temannya yang buta. f. Berjalan dengan menyeret kaki atau salah langkah. g. Kesulitan untuk melakukan gerakan yang halus.

h. Koordinasi antara mata dan anggota badan yang lemah. Karakteristik yang telah dijelaskan di atas mengandung arti bahwa anak tunanetra low vision dapat melihat secara global, namun


(37)

difokuskan pada titik yang masih terlihat oleh anak. Anak low vision

akan merasa bangga jika membantu temannya yang memiliki kebutaan total. Anak penderita low vision memiliki kooerdinasi mata dan anggota badan yang lemah, sehingga kemampuan motorik halusnya juga lemah.

Karakteristik lain tentang anak low vision juga dijelaskan oleh Aqila Smart dalam bukunya yang berjudul Anak Cacat Bukan Kiamat. Aqila Smart, (2010: 40) mengatakan karakteristik anak low vision yaitu,

a. menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat. b. Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar. c. Mata tampak lain, terlihat putih di tengah mata. d. Terlihat tidak menatap lurus ke depan.

e. Memicingkan mata saat melihat sesuatu. f. Lebih sulit melihat pada malam hari.

g. Memakai kacamata tebal, namun tetap kurang bisa melihat dengan jelas.

Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut maka dapat ditegaskan anak low vision mempunyai ciri khas yang sering nampak yaitu sebagai berikut.

a. Melihat suatu benda dengan memfokuskan pada titik benda. b. Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat.

c. Memicingkan mata saat melihat suatu benda atau menerima rangsang cahaya.

d. Koordinasi mata dan anggota badan lemah.

e. Hanya dapat melihat tulisan dengan ukuran yang besar.

f. Memakai kacamata tebal, namun tetap kurang bisa melihat dengan jelas.


(38)

Menurut Ardhi Widjaya (2013: 23-26) menjelaskan tentang karakteristik anak tunanetra low vision adalah sebagai berikut.

a. Karateristik Kognitif b. Karakteristik akademik

c. Karakteristik Sosial dan Emosional d. Karakteristik perilaku

Dari pendapat ahli di atas dapat diambil pemahaman bahwa karakteristik siswa tunanetra low vision diuraikan menjadi karakteristik kognitif, akademik, sosial, dan perilaku. Tingkat keanekaragaman pengalaman bagi anak low vision rendah, kemampuan untuk berpindah tempat rendah, dan interaksi dengan lingkungan kurang. Keterampilan akademisnya kurang terutama pada perkembangan membaca dan menulis karena mempunyai keterbatasan untuk mencari tahu pengetahuan baru. Anak penderita low vision mempunyai keterampilan dalam bersosial yang rendah dibanding dengan anak normal yang bisa melihat dan bisa menunjukkan ekspresi wajah ketika melakukan sesuatu. Siswa dengan penderita low vision biasanya kurang memperhatikan kebutuhan sehari-hari, sehingga sering sekali membutuhkan bantuan dari orang lain. Hal ini menjadikan anak low vision berperilaku pasif.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti, peneliti menemukan memperhatikan ciri khas yang hampir sama dengan pendapat ahli di atas. Ciri khas yang terlihat saat observasi dan berdasarkan tanya jawab singkat dengan guru pembimbing khusus adalah sering memicingkan mata saat melihat, pendiam, rendah diri,


(39)

prestasi belajar rendah, jika berjalan pelan-pelan, ketergantungan dengan teman, membaca tulisan di papan tulis tidak bisa, jika membaca dan menulis selalu menunduk, dan mudah lelah.

B. Kajian Layanan Pendidikan Siswa Tunanetra Low vision 1. Pengertian Layanan Pendidikan

Suparno, (2007: 49-50) mengatakan terdapat jenis layanan yang digunakan oleh anak berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhannya. Namun secara umum mencakup layanan medis dan fisiologis, layananan sosial psikologis, dan layanan pedagogis atau pendidikan. Dalam penelitian ini akan dibatasi pada layanan pendidikan yang diberikan kepada siswa low vision.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan layanan adalah perihal atau cara melayani. Sedang kan pelayanan diartikan sebagai (1) perihal atau cara melayani; (2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan (uang); (3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli jasa atau barang (Alwi Hasan, 2005: 646). Dari pengertian di atas dapat ditegaskan bahwa layanan adalah usaha yang ditempuh oleh seseorang untuk memberikan sesuatu kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk dapat mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia (Undang-Undang No. 20 Tahun 2003.


(40)

Layanan pendidikan adalah upaya yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan anak berkebutuhan khusus yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, dan membedakan mereka dari anak normal pada umumnya. Keadaan ini menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian layanan pendidikan yang dibutuhkan (Suparno 2007: 47). Aini Mahabbati, (2013: 3) mengatakan bahwa layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus adalah pengajaran yang dirancang untuk merespon karakteristik unik anak yang memiliki kebutuhan khusus yang tidak dapat diakomodassikan oleh kurikulum sekolah standar.

Berdasarkan pendapat kedua ahli tersebut tersebut maka dapat ditegaskan bahwa layanan pendidikan adalah usaha yang dilakukan oleh sekolah kepada anak berkebutuhan khusus yang mempunyai bermacam-macam kebutuhan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa untuk mengembangkan bakat dan kemampuan mereka secara optimal.

2. Prinsip Layanan Pendidikan

Musjafak Asjari dalam Suparno, (2007: 152-153) mengemukakan prinsip layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah a) keseluruhan anak, b) kenyataan, c) program yang dinamis, d) kesempatan yang sama, e) kerjasama. Lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut. a. Keseluruhan anak (all the children), layanan pendidikan harus


(41)

b. Kenyataan (reality), pemberian layanan pendidikan harus disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik anak berkebutuhan khusus yang diuangkapkan dengan sebenarnya.

c. Program yang dinamis (a dynamic program), subyek pendidikan adalah manusia yang sedang tumbuh dan berkembang sehingga layanan harus disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi pada subyek didik.

d. Kesempatan yang sama (equality of opportunity), anak berkebutuhan khusus harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensinya

e. Kerjasama (cooperative), dalam pemberian layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus harus melibatkan pihak yang terkait.

Dari pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa prinsip layanan pendidikan itu harus mempunyai prinsip keseluruhan, kenyataan, kedinamisan program, kesempatan sama, dan kerjasama. Adanya penggunaan prinsip itu diharapkan tujuan pembelajaran bisa tercapai. Prinsip – prinsip tersebut sebaiknya digunakan oleh guru dalam pembelajaran. Selain kelima prinsip di atas Suparno, (2007: 154-157) juga mengemukakan prinsip layanan bagi anak berkebutuhan khusus adalah a) kasih sayang, b) keperagaan, c) keterpaduang dan keserasian ranah, d) pengembangan minat dan bakat, e) kemampuan anak, f) model, g) pembiasaan, h) latihan, i) pengulangan, dan j) penguatan. Lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut.


(42)

a. Kasih sayang yang dimaksudkan adalah penerimaan dan pengakuan bahwa mereka sama seperti anak normal yang lainnya. Wujud yang bisa diberikan adalah menghargai pendapat mereka, menganngap mereka ada, dan tidak membeda-bedakan dengan anak yang lainnya. b. Keperagaan guru sebaiknya menggunakan alat peraga yang sesuai

dengan kebutuhan anak sehingga dalam memahami dan menangkap pesan, anak akan terbantu dengan alat peraga tersebut.

c. Keterpaduan dan keserasian antar ranah dapat mendorong terbentuknya kepribadian yang utuh pada diri anak.

d. Pengembangan minat dan bakat proses pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus akan lebih baik jika didasarkan pada minat dan bakat anak. Jadi anak akan mempunyai peran yang besar dalam perkembangannya karena adanya minat dan bakat tersebut.

e. Kemampuan anak proses layanan pendidikan akan dapat mencapai hasil yang memuaskan apabila disesuaikan dengan kemampuan anak. Adanya penyesuaian layanan terhadap kemampuan anak akan menghasilkan layanan yang maksimal, karena tidak memaksakan sesuatu yang anak tersebut tidak mampu.

f. Model, pribadi dan perilaku siswa dapat terbentuk apabila memberikan model dan contoh kepada siswa tersebut. Guru merupakan model bagi peserta didiknya. Perilaku yang dilakukan oleh guru akan diperhatikan oleh muridnya. Guru seharusnya dapat berperilaku yang baik, yang dapat dijadikan model bagi muridnya.


(43)

g. Pembiasaan, anak berkebutuhan khusus membutuhkan penjelasan yang kongkrit dan berulang-ulang karena keterbatasan indera, dan proses berfikir mereka yang lambat. Anak berkebutuhan khusu harus diberikan kebiasaan yang menggunakan benda kongkrit tersebut untuk memudahkannya.

h. Latihan, yang dilakukan oleh anak berkebutuhan khusus sangat penting untuk dilakukan. Adanya latihan yang dilakukan setiap hari akan membentuk kebiasaan yang diinginkan, tentunya dengan memperhatikan anak kemampuan anak berkebutuhan khusus tersebut. i. Pengulangan, pengulangan diperlukan untuk memperjelas informasi yang harus dilakukan oleh anak. Anak berkebutuhan khusus membutuhkan pengulangan agar penguasaan informasi menjadi utuh. j. Penguatan, merupakan tuntutan atau penghargaan untuk membentuk

perilaku anak. Penghargaan akan membentuk motivasi pada dirinya, dengan itu anak akan lebih bersungguh-sungguh dan berusaha menampilkan prestasi yang terbaik.

Prinsip-prinsip pendidikan dan pengajaran penyandang tunanetra pada dasarnya sama dengan anak normal. Namun anak tunanetra mempunyai keterbatasan penglihatan, sehingga memerlukan modifikasi dan prinsip khusus yang dilakukan supaya tujuan pembelajaran dapat terpenuhi. Sejalan dengan hal itu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menjelaskan prinsip-prinsip metodologis dalam pendidikan anak tunanetra dalam (Munawir Yusuf


(44)

halaman 119). Prinsip-prinsip pengajaran tunanetra adalah a) kasih sayang, b) pelayanan individual, c) kesiapan, d) keperagaan, e) motivasi belajar, f) belajar dan bekerja kelompok, g) keterampilan, h) penanaman dan penyempurnaan sikap. Lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut. a. Prinsip kasih sayang, memahami anak adalah hal penting yang harus

diperhatikan dalam mendidik anak berkebutuhan khusus. Kewibawaan yang dimiliki guru perlu diwujudkan untuk mencapai tujuan pendidikan.

b. Prinsip pelayanan individual, adalah pemberian bantuan atau bimbingan kepada seorang anak sesuai dengan kemampuan mereka supaya dapat belajar dengan baik.

c. Prinsip kesiapan adalah kematangan, kepekaan yang berarti kesiapan seseorang siap mengerjakan atau belajar karena telah ada kemampuan fisik atau psikis untuk melakukan hal itu. Jadi guru memberikan pengajaran kepada anak jika anak telah mempunyai kesiapan menerima bahan ajar yang akan diajarkan. Untuk mendidik anak berkebutuhan khusus harus mencari dan menggunakan kesiapan mereka dalam suatu keterampilan.

d. Prinsip keperagaan, asas keperagaan adalah penyajian pelajaran memakai alat bantu pelajaran yaitu alat peraga. Menggunakan alat peraga merupakan hal penting saat terjadinya proses pembelajaran. Alat peraga memberikan keuntungan yaitu bisa menarik perhatian anak dan mencegah terjadinya keabstrakan dalam proses


(45)

e. Prinsip motivasi belajar adalah daya atau kekuatan dalam diri seseorang untuk belajar. Motif berhubungan dengan minat yang berarti sifat yang tetap pada seseorang yang selalu menariknya pada suatu obyek.

f. Prinsip belajar dan bekerja kelompok ialah belajar dan bekerja sama dalam satu kelompok, sebagai lawan arti belajar dan bekerja sendiri. Dengan belajar kelompok maka kemampuan siswa untuk bersosialisasi dan menghargai orang lain akan berkembang. Selain sosialisasi dan sikap menghargai orang lain, keterampilan dan kecakapan siswa juga akan berkembang.

g. Prinsip keterampilan, adalah aktivitas dan kreativitas perpaduan antara teori dan praktek. Keterampilan akan memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan ekspresi dan kreasinya.

h. Prinsip penanaman dan penyempurnaan sikap, sikap dan penampilan seseorang dalam pergaulan sangat menentukan. Anak berkelainan sebagian besar berpenampilan kurang menarik. Penanaman dan penyempurnaan sikap pada anak berkelainan dimaksudkan agar mereka memiliki penampilan yang menarik dalam pergaulan sosialnya.

Dari pendapat ahli tersebut maka dapat ditegaskan bahwa pemberian layanan bagi siswa berkebutuhan khusus tunanetra low vision


(46)

yang lainnya, dan memperhatikan kemampuan dan keterbatasan siswa tunanetra low vision dalam melihat. Kemampuan karakteristik siswa berkebutuhan khusus berbeda dengan siswa yang normal sehingga memerlukan latihan, pembiasaa, pengulangan, penguatan dan pembelajaran yang kongkrit. Pengembangan pembelajaran yang kongkrit serta penggunaan program sesuai dengan kemampuan siswa akan memaksimalkan layanan pendidikan yang diberikan kepada siswa tersebut.

3. Komponen Layanan Pendidikan a. Asessmen

Mcloughin dan Lewis (Sunari dan Sunaryo, 2007: 83) mendefinisikan asessmen adalah proses pengumpulan informasi yang relevan dengan kepentingan pendidikan anak, yang dilakukan secara sistematis dalam rangka pembuatan keputusan pengajaran atau layanan khusus. Jadi asesmen adalah proses mengumpulkan informasi yang digunakan untuk pembuatan kebijakjan sesuai dengan informasi yang didapatkan. Pendapat lain juga dikemukakan oleh Nani Triani, (2012: 5) asesmen dapat diartikan sebagai proses untuk mendapatkan informasi dalam bentuk apapun yang dapat diguanakan untuk dasar pengambilan keputusan tetang peserta didik baik yang menyangkut kurikulumnya, pembelajarannya, sekolah maupun kebijakan sekolah. Jadi asesmen adalah proses mendapatkan informasi yang akan digunakan untuk menentukan kebijakan bagi


(47)

Dedy Kustawan, (2011: 2), asessmen adalah proses pengumpulan informasi tentang perkembangan peserta didik dengan menggunakan alat dan teknik yang sesuai untuk membuat keputusan pendidian berkenaan dengan penempatan dan program pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Pada dasarnya asesmen dalam pendidikan khusus bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal yang dimiliki siswa sebelum proses pembelajaran dimulai. Asesmen yang dilakukan sangat membantu berjalannya proses pembelajaran.

Dari pendapat ahli di atas maka dapat ditegaskan bahwa asesmen adalah proses pengumpulan informasi dari peserta didik guna untuk merencanakan program pembelajaran yang sesuai. Setiap peserta didik mempunyai kebutuhan dan potensi yang berbeda-beda. Guru harus bisa memperhatikan kemampuan dan kebutuhan peserta didik sehingga dapat memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhannya.

Menurut pendapat Nani Triani (2012: 7) prinsip prinsip pelaksanaan asesmen adalah sebagai berikut.

a. Menyeluruh yaitu asesmen dilakukan secara menyeluruh terhadap seluruh domain atau aspek yang menjadi fokus masalah peserta didik.

b. Berkesinambungan yaitu asesemen dilakukan secara terencana, bertahap dan terus menerus untuk memperoleh informasi secara holistic atau menyeluruh tetang peserta didik.

c. Objektif yaitu asesmen dilakukan secara terencana dan sistematis dengan menggunakan kriteria yang jelas.

d. Mendidik yaitu asesmen dapat dijadikan pedoman atau dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar dan


(48)

meningkatkan mutu pembelajaran sehingga potensi peserta didik dapat berkembang secara optimal.

Dari pendapat ahli tersebut maka dapat ditegaskan bahwa asesmen harus memenuhi prinsip menyeluruh terhadap seluruh aspek yang dilakukan secara berkesinambungan, obyektif, dan harus bersifat mendidik.

Menurut Nani Triani, (2012: 8) ruang lingkup asesmen terdiri dari asesmen berbasis kurikulum dan asesmen berbasis perkembangan.

a. Asesmen berbasis kurikulum adalah asesmen yang dilaksanan dengan berorientasi pada kurikulum tertentu. b. Asesmen berbasis perkembangan adalah asesmen yang

dilakukan berorientasi pada perkembangan kognitif, bahasa, sosial, motorik, dan lain-lain.

Berdasarkan pendapat ahli di atas maka dapat ditegaskan bahwa ruang lingkup asesmen adalah asesmen yang berorientasi pada kurikulum dan asesmen yang berorientasi pada perkembangan kognitif, motorik, dan lain-lain.

Tujuan dilaksanakannya asesmen pada siswa berkebutuhan khusus adalah memperoleh informasi yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan program pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus. Menurut Salvia dalam Lerner (1998: 54) Asesmen dilakukan untuk lima keperluan, yaitu: (1) penyaringan (screening), (2) pengalihtanganan (referral), (3) klasifikasi (classification), (4) perencanaan pembelajaran (instructional planning), dan (5) pemantauan kemajuan belajar anak (monitoring


(49)

pupil progress). Sedangkan menurut Sumardi dan Sunaryo dalam Nani Triani (2012: 9) tujuan asesmen adalah sebagai berikut.

a. Memperoleh data yang relevan, obyektif, akurat dan komprehensif tentang kondisi saat ini.

b. Mengetahui profil anak secara utuh terutama permasalahan dan hambatan belajar yang dihadapi, potensi yang dimiliki, kebutuhan-kebutuhan khususnya serta daya dukung lingkungan yang dibutuhkan anak.

c. Menentukan layanan yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya dan monitor kemampuannya.

Dari pendapat ahli di atas dapat ditegaskan bahwa tujuan asesmen adalah mengumpulkan informasi yang akurat, kemudian mengetahui profil anak secara utuh yang akan dijadikan pedoman dalam menentukan layanan yang sesuai. Hasil informasi yang telah diperoleh kemudian diolah dan dianalisis guna menentukan tujuan dan strategi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak.

b. Program Pengajaran Individual

Marlina (2007: 154) mengatakan bahawa program pengajaran individual atau PPI merupakan suatu program yang dibangun melalui proses konsultasi , kolaborasi antara guru kelas, guru pendidik khusus, orang tua dan para ahli yang relevan, seperti psikolog, ahli patologi, bicara, fisioterapis, dan sebagainya.

Mercer dan Mercer (1989: 22) mengemukakan bahwa program pengajaran individual menunjuk pada suatu program pembelajaran di mana siswa bekerja dengan tugas-tugas yang sesuai dengan kondisi dan motivasinya. Berdasarkan pendapat ahli di atas maka dapat


(50)

distegaskan bahwa program pengajaran individual adalah program layanan yang diberikan kepada siswa untuk pembelajaran, yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masing-masing siswa.

Program pembelajaran individual diperuntukan bagi anak berkebutuhan khusus agar mereka mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhannya. Dengan adanya proram pendidikan individual guru dapat mengatasi program pendidikan untuk anak normal ke dalam program khusus yang sesuai dengan kebutuhan anak (Parwoto, 2007: 49). Guru dituntut untuk dapat melakukan asesmen sehingga hasil dari asesmen dapat digunakan untuk pembuatan dasar penyusunan Program Pendidikan Individual.

Program Pendidikan Individual harus dievaluasi kelayakannya oleh Tim Penilai Program Pendidikan Individual (PPI) sebelum digunakan. Tim ini tersusun atas orang yang memiliki informasi yang disumbangkan dalam menyususun rancangan pendidikan yang komprehensif, seperti guru khusus, guru regular, kepala sekolah, orang tua, dan spesialis lain serta mungkin anak yang bersangkutan (Mulyono Abdurahman, 2010:57)

c. Pembelajaran bagi Siswa Tunanetra Low vision

Pembelajaran inklusi akan berhasil apabila bergantung pada komponen yang mendasarinya. Dalam system pembelajaran terdapat komponen yang saling berinteraksi. Komponen tersebut adalah tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode atau strategi


(51)

1) Tujuan pembelajaran

Tujuan umum pendidikan inklusif adalah memberikan pelayanan yang seluas- luasnya kepada semua anak khususnya anak-anak penyandang kebutuhan khusus (Budiyanto, 2005: 159). Tujuan siswa mengikuti kegiatan belajar di setting inklusif (Tarmansyah, 2007: 111-112), yaitu:

a) Berkembangnya kepercayaan pada diri anak, merasa banggapada diri sendii atas prestasi yang diperolehnya. b) Anak dapat belajar secara mandiri, dengan mencoba

memahami dan menerapkan pelajaran yang diperoleh sekolah ke dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya. c) Anak mampu berinteraksi secara aktif bersama teman-temannya, bersama guru yang berada di lingkungan sekolah maupun masyarakat.

d) Anak dapat belajar menerima adanya perbedaan, dan mampu beradaptasi dalam mengatasi perbedaan tersebut sehingga secara keseluruhan anak menjadi kreatif dalam pembelajaran.

Dari pendapat tersebut dapat ditegaskan bahwa tujuan pendidikan inklusi bagi siswa adalah untuk meningkatkan rasa percaya diri, meningkatkan kemandirian, dan interaksi sosial anak.

Tujuan untuk guru dalam pelaksanaan pendidikan inklusif (Tarmansyah, 2007: 112), yaitu:

a) Guru akan memperoleh kesempatan belajar dari cara mengajar dalam setting inklusi.

b) Terampil dalam melakukan pembelajaran kepada peserta didik yang memiliki latar belakang beragam.

c) Mampu mengatasi berbagai macam tantangan dalam memberikan layanan kepada semua anak.

d) Bersikap positif terhadap orang tua, masyarakat, dan anak dalam situasi yang beragam.

e) Mempunyai peluang unntuk menggali dan mengembangkan serta mengaplikasikan berbagai gagasan baru melalui komunikasi dengan anak di lingkungan


(52)

sekolah maupun di lingkungan masyarakat secara pro aktif, kreatif, dan kritis.

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa tujuan pendidikan inklusif bagi guru adalah meningkatkan keterampilan dalam pembelajaran dan meningkatkan kepedulian terhadap siswa, dan mengaplikasikan gagasan tau temuan baru.

2) Materi pembelajaran

Materi pembelajaran adalah segala sesuatu yang menjadi isi kurikulum yang harus dikuasai oleh siswa sesuai dengan kompetensi dasar dalam rangka pencapaian standar kompetensi setiap mata pelajaran dalam satuan pendidikan tertentu (Wina Sanjaya, 2010:141). Dengan demikian materi pembelajaran adalah isi dari suatu kurikulum yang mencakup standar kompetensi dan kompetensi dasar dan harus dikuasai siswa. Materi pelajaran pada kelas inklusi sama dengan materi pembelajaran pada kelas lainnya yaitu menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jadi materi yang diajarkan pada kelas inklusi tidak ada bedanya dengan materi pembelajaran pada kelas lainnya.

Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS pasal 36 ayat 2 menjelaskan bahwa “Kurikulum pada semua

jenjang pendidikan dan semua bentuk atau jenis penyelenggaraan pendidikan diverifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan potensi peserta didik. Materi dikembangkan sesuai


(53)

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa materi pembelajaran yang diberikan kepada siswa tunanetra low vision sama dengan materi siswa lainnya.

3) Metode atau strategi pembelajaran

Metode adalah pendekatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran adalah strategi yang digunakan oleh guru agar siswa dapat lebih mudah dalam menyerap materi pembelajaran (Arif Rohman, 2009: 180). Jadi metode pembelajaran adalah cara yang digunakan oleh guru supaya siswa dapat lebih mudah mengerti materi pelajaran yang disampaikan.

Metode pembelajaran adalah cara yang praktis yang dipakai pendidik untuk menyampaikan materi pendidikan secara efektif dan efisien agar diterima oleh peserta didik (Arif Rohman, 2009: 180). Jadi metode pembelajaran adalah cara yang digunakan oleh guru untuk menyampaikan materi terhadap siswa. Dengan demikian metode pembelajaran hendaknya sesuai dengan kebutuhan siswa. Metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran siswa tunanetra low vision adalah ceramah, diskusi, tanya jawab, investigasi, dsb. Dalam kegiatan pembelajaran guru dapat menggunakan satu metode atau lebih.

4) Media pembelajaran

Media pembelajaran merupakan alat dan bahan yang membantu pembelajaran. Media bukan hanya alat perantara seperti


(54)

TV, radio,slide, bahan cetakan tetapi meliputi orang sebagai sumber belajar atau juga kegiatan semacam diskusi, seminar, simulasi, dan lain sebagainya yang dikondisikan untuk menambah pengetahuan dan wawasan, mengubah sikap siswa atau untuk menambah keterampilan (Wina Sanjaya, 2010:2005).

Media di sekolah inklusi hendaknya mudah dioperasikan sesuai kebutuhan siswa. Untuk siswa tunanetra low vision, media hendaknya dibuat sedikit lebih besar dan menggunakan benda yang kongkrit. Guru harus bisa memahami kebutuhan siswanya. Siswa tunanetra low vision sangatlah terbantu pembelajarannya apabila guru sering menggunakan media yang sesuai.

5) Evaluasi pembelajaran

Tujuan dengan adanya evaluasi adalah menentukan tingkat ketercapaian tujuan pendidikan dan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Dalam pendidikan inklusif, evaluasi merupakan kegiatan tindak lanjut dari perencanaan dan pelaksanaan pendidikan inklusi (Tarmansyah, 2007: 2000).

Evaluasi dalam pembelajaran inklusi pada dasarnya sama dengan sekolah pada umumnya. Evaluasi dapat digunakan untuk menentukan efektivitas kinerja dan memberikan informasi untuk perbaikan kurikulum. Fungsi evaluasi menurut Tarmansyah, 2007: 200) yaitu:


(55)

b) Mengetahui bagaimana ketercapaian siswa dalam menguasai tujuan yang telah ditentukan.

c) Memberikan informasi untuk mengembangkan kurikulum.

d) informasi dari evaluasi dapat digunakan oleh siswa secara individual dalam mengambil keputusan.

e) Penegmbanagan kurikulum terutama dalam menentukan kejelasan kejelasan tujuan khusus yang akan dicapai f) Sebagai umpan balik untuk semua pihak yang

berkepentingan dengan pendidikan di sekolah.

Dari pendapat ahli tersebut dapat ditegaskan bahwa evaluasi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh data tentang proses dan hasil belajar siswa. Jika hasil evaluasi menunjukkan siswa dapat mencapai kriteria ketuntasan minimal, maka siswa dapat belajar materi selanjutnya. Namun apabila siswa belum mencapai criteria ketuntasan minimal, siswa harus mengulang materi pelajaran.

d. Prinsip- Prinsip Layanan Siswa Tunanetra Low Vision

Layanan pendidikan yang baik adalah layanan pendidikan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan siswa tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Asep Hidayat,dkk (2013: 22) yang mengatakan “Layanan pendidikan yang sesuai bagi ABK adalah layanan yang memperhatikan kemampuan karakteristik, dan kebutuhan dari ketunaan/ gangguan dari tiap anak yang bertujuan untuk mengembangkan potensi kemanuasiaan mereka secara sempurna dan berkembang secara optimal”.

Anak tunanetra low vision mempunyai keterbatasan pada penglihatannya. Mereka memerlukan layanan khusus terutama hal-hal


(56)

yang bersifat visual. Begitu juga dalam pembelajaran. Anak tunanetra

low vision memerlukan layanan khusus. Strategi yang digunakan dalam pembelajaran anak tunanetra low vision menurut Asep Hidayat, dkk (2013: 28) adalah :

1) Memperbesar huruf, yang dimaksudkan adalah ukuran huruf yang diperlihatkan kepada anak low vision semestinya lebih besar dibanding dengan siswa normal.

2) Untuk konsep abstrak terapkan metode asosiatif dengan pengalaman, pengetahuan umum dan hal kongkrit yang dikaitkan dengan kehidupan siswa.

3) Untuk gambar grafik dan bagan terapkan metode ilustratif dalam bentuk suara.

4) Gunakan obyek riil dan kongkrit 3 dimensi dan bercahaya. 5) posisi tempat duduk penting untuk mempertimbangkan aspek

sumber cahaya serta luas dan jarak pandang.

6) Ketika guru sedang menulis maka bacakan apa yang dituliskan supaya siswa juga mampu mendengarkan.

7) Untuk kedisiplinan jangan dibedakan tapi beri kemudahan untuk siswa dapat ikut terlibat dalam peraturan kelas.

Dari pendapat ahli di atas menjelaskan tentang strategi pembelajaran anak tunanetra low vision yang bisa diterapkan di dalam pembelajaran sehari-hari. Dengan adanya strategi di atas diharapkan anak tunanetra low vision dapat mengikuti pembelajaran dan dapat menyerap pelajaran secara optimal.

Sedangkan menurut Anastasia, dkk (1996: 201-205) menjelaskan prinsip-prinsip pengajaran bagi anak low vision sebagai berikut.

1) Cahaya atau penerangan, ruang belajar yang dibutuhkan oleh anak low vision harus memperhatikan pencahayaannnya. 2) Warna, kondisi penglihatan yang rendah bagi anak low vision

membutuhkan kontras warna yang tajam

3) Ukuran, ukuran tulisan yang digunakan bagi anak low vision

hendaknya lebih besar dibandingkan dengan anak normal. 4) Waktu, yang dibutuhkan oleh anak low vision dalam

memahami pembelajaran akan cenderung lebih lama dibanding dengan anak normal.


(57)

5) Metode pengajaran bagi low vision hampir mirip dengan anak normal apada umumnya. Perbedaannya adalah pada penekanan kegiatannya yang bisa memberikan motivasi bagi anak low vision.

6) Penyesuaian ruang kelas hendaknya tidak berubah, agar memudahkan anak low vision untuk bergerak.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka dapat ditegaskan bahwa pelaksanaan layanan pendidikan bagi anak low vision hendaknya memperhatikan kelemahan dan keterbatasan mereka, kemudian menggunakan strategi sesuai dengan kebutuhan dan kelemahan siswa low vision untuk melayani. Pendapat di atas menunjukkan bahwa anak tunanetra low vision memiliki keterbatasan penglihatan, sehingga dalam pembelajaran harus memperhatikan prinsip ukuran huruf, prinsip obyek real, prinsip cahaya/penenrangan, prinsip warna, prinsip penyesuaian tempat, prinsip suara, dan prinsip metode pemgajaran.

Berdasarkan pendapat ahli dan penjabaran di atas tentang layanan pendidikan anak low vision, maka penulis menggunakan prinsip yang ada pada layanan pendidikan sebagai indikator untuk mengembangkan instrumen penelitian.

C. Kerangka Pikir

Tunanetra low vision adalah suatu kondisi kecacatan pada mata yang menyebabkan penderita tidak dapat menggunakan penglihatannya secara maksimal. Siswa yang mengalami tunanetra low vision berbeda dengan siwa normal pada umumnya. Siswa tunanetra low vision memerlukan perlakuan khusus saat mengikuti pembelajaran. Layanan belajar yang diberikan kepada


(58)

siswa tunanetra low vision harus disesuaikan kondisi dan kebutuhan siswa tersebut.

Layanan yang diberikan untuk siswa tunanetra low vision adalah asesmen, program pendidikan individual, proses pembelajarannya, dan prinsip layanan dalam pembelajarannya. Pembelajaran yang diterapkan bagi anak tunanetra low vision hendaknya menerapkan prinsip-prisip khusus supaya siswa tuanetra low vision dapat terlayani dengan baik.

Berikut gambar kerangka pikir dalam penelitian ini;

Gambar 1. Skema Kerangka berpikir

D. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian yang akan dicari jawabannya melalui penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana asesmen bagi siswa tunanetra low visison kelas V di SD Muhammadiyah Bogor?

2. Bagaimana program pendidikan individual bagi siswa tunanetra low vision kelas V di SD Muhammadiyah Bogor?

siswa tunanetra low vision mempunyai karakteristik berbeda siswa

tunanetra low vision mempunyai keterbatasan dalam mengikuti pembelajaran

siswa low vision

membutuhkan layanan individual yang sesuai kondisi, kebutuhan, dan keterbatasannya dengan menerapkan prinsip pembelajaran terhadap siswa tunanetra low vision

siswa dapat terlayani sesuai kondisinya dan dapat meningkatkan prestasi belajarnya.

Pelaksanaan pembelajaran bagi siswa tunanetra

low vision yang

terdiri dari komponen pembelajaran.


(59)

3. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran bagi siswa tunanetra low vision

kelas V di SD Muhammadiyah Bogor, yang terdiri atas:

a. Bagaimana ketercapaian tujuan pembelajaran bagi siswa tunanetra

low vision kelas V di SD Muhammadiyah Bogor?

b. Bagaimana ketuntasan materi pembelajaran bagi siswa tunanetra low vision kelas V di SD Muhammadiyah Bogor?

c. Bagaimana efektivitas metode pembelajaran bagi siswa tunanetra

low vision kelas V di SD Muhammadiyah Bogor?

d. Bagaimana efektivitas media pembelajaran bagi siswa tunanetra low vision kelas V di SD Muhammadiyah Bogor?

e. Bagaimana proses dan hasil evaluasi pembelajaran bagi siswa tunanetra low vision kelas V di SD Muhammadiyah Bogor?

4. Bagaimana keterlaksanaan prinsip pembelajaran dalam layanan pendidikan siswa tunanetra low vision kelas V di SD Muhammadiyah Bogor?


(60)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Peneleitian

Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (Sugiyono, 2015: 15). Metode pendekatan kualitatif ini digunakan dengan maksud mendapatkan data yang mendalam dan mengandung makna dari sesuatu yang diteliti.

Jika digolongkan berdasarkan tujuannya penelitian ini sebagai penelitian deskriptisf. Suharsimi Arikunto (2007: 234) berpendapat bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variabel, gejala, ataupun keadaan.

Penggunaan metode kualitatif ini diharapkan mampu menghasilkan data yang bersifat deskriptif untuk mengetahui layanan pendidikan bagi siswa tunanetra low vision kelas V SD Muhammadiyah Bogor. Dalam penelitian ini siswa tidak mendapatkan perlakuan dari peneliti. Peneliti hanya mengamati dan mengumpulkan informasi tentang prinsip yang digunakan oleh guru dalam melayani siswa tunanetra low vision melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di SD Muhammadiyah Bogor II yang beralamat di Bogor II, Playen, Playen, Gunungkidul. Untuk lebih khususnya penelitian


(61)

ini dilakukan di kelas V yang terdapat siswa low vision. Waktu penelitian ini adalah bulan Mei-Juni 2016.

C. Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini adalah orang yang terlibat dalam proses layanan pendidikan bagi siswa tunanetra low vision SD Muhammadiyah Bogor Gunugkidul. Subjek dalam penelitian ini meliputi seorang guru kelas yang menangani anak low vision dan seorang anak low vision di SD Muhammadiyah Bogor. Dalam penelitian kualitatif peneliti memasuki situasi sosial tertentu, melakukan observasi dan wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tersebut Sugiyono (2015: 299). Empat orang tersebut dianggap peneliti mempunyai informasi tentang situasi yang akan diteliti.

D. Teknik Pengumpulan Data

Sugiyono, (2015: 308) mengatakan bahwa teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama penelitian adalah memperoleh data. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Metode Observasi

Observasi (observation) atau pengamatan merupakan suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung (Nana Syaodih Sukmadinata, 210: 220).

Penelitian ini menggunakan metode observasi partisipatif yang diklasifikasikan sebagai observasi pasif. Dalam penelitian ini peneliti


(62)

mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka ucapkan, berpartisipasi dalam aktivitas mereka (Susan Stainback dalam Sugiyono, 2009: 310). Jadi peneliti ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan layanan pendidikan bagi siswa tunanetra low vision dengan mengamati pembelajaran dan turut mendampingi siswa tanpa melalui tindakan.

2. Metode Wawancara

Wawancara merupakan pertemuan antara dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu (Sugiyono, 2009:317). Metode wawancara bertujuan untuk menggali lebih dalam layanan pendidikan bagi siswa tunanetra low vision, dan memperoleh data mengenai prinsip-prinsip layanan bagi siswa tunanetra low vision dari guru kelas, guru agama, guru olahraga, dan siswa low vision.

Dalam penelitian ini menggunakan wawancara semi terstruktur. Dengan menggunakan wawancara jenis ini data yang diperoleh lebih mendalam. Pada saat berwawancara peneliti menambah daftar pertanyaan dan meminta narasumber untuk memberikan pendapat dan ide untuk memperkuat data. Penentuan sumber data pada orang yang diwawancarai dilakukan secara purposive, yaitu dipilih dengan pertimbangan bahwa narasumber benar-benar memahami permasalahan yang akan ditanyakan. 3. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi juga sangat penting untuk membantu kelengkapan pengumpulan data. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar,


(63)

atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2009:329). Dokumentasi merupakan rekaman peristiwa yang sudah berlalu. Hasil penelitian akan lebih kredibel bila disertai dengan fot dan dokumen pendukung lainnya. Metode dokumentasi bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan layanan pendidikan bagi siswa tunanetra low vision seperti penggunaan prinsip ukuran, prinsip suara,dan lain sebagainya.

E. Instrumen Penelitian

Sugiyono, (2015: 305) menyampaikan bahwa dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrument atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti menggunakan alat bantu berupa pedoman observasi, pedoman wawancara, dan dokumentasi untuk mendapatkan data di lapangan. 1. Pedoman Observasi

Pedoman observasi membantu peneliti dalam memperoleh dan memahami data terkait dengan layanan pendidikan untuk anak tunanetra

low vision. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi terhadap guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Pedoman observasi disusun berdasarkan kajian teori, digunakan untuk mengamati guru dan siswa.

Tabel 1. Kisi-Kisi Instrumen Observasi Penelitian

No. Komponen Indikator Jumlah

Butir

Nomor Butir 1. Tujuan

Pembelajaran

 Kejelasan rumusan tujuan pembelajaran.  Ketercapaian tujuan

pembelajaran

2 1,2

2. Materi pembelajaran

 Kesesuaian materi dengan tujuan pembelajaran


(64)

No. Komponen Indikator Jumlah Butir

Nomor Butir 3. Metode

pembelajaran

 Penggunaan metode pembelajaran

1 5

4. Media pembelajaran

 Penggunaan media pembelajaran

1 6

5. Evaluasi pembelajaran

 Pelaksanaan evaluasi pembelajaran

1 7

6. Prinsip-prinsip layanan

pembelajaran siswa

tunanetra low vision

Memperbesar huruf

 Guru memperbesar huruf saat menerangkan di dalam kelas.

 Guru memperbesar Lembar Kerja Siswa low vision.

2 8,9

Obyek real

 Guru menggunakan media tiruan dalam pembelajaran.

 Guru menggunakan benda nyata sesuai materi yang dipelajari.

2 10,11

Cahaya/ Penerangan

 Guru menggunakan obyek riil dan kongkrit yang bercahaya.

 Guru memperhatikan arah pencahayaan untuk anak low vision.

2 12,13

Warna

 Guru menggunakan warna tulisan yang menarik.

 Guru menggunakan warna tulisan dan warna dasar yang kontras.

2 14,15

Penyesuaian tempat

 Guru menempatkan siswa

low vision di barisan depan.

 Guru memperhatikan ruang gerak siswa low vision


(65)

No. Komponen Indikator Jumlah Butir

Nomor Butir Suara

 Guru mengucapkan kalimat yang ditulis dengan bersuara keras.  Guru memperhatikan

intonasi suara saat menerangkan.

 Guru menggunakan media pembelajaran dengan benda yang bersuara.

3 18,19, 20

Metode

 Guru memberikan motivasi pada proses pembelajaran.

 Guru menebalkan materi cetak.

 Guru mengadakan kerja

kelompok untuk

membantu siswa

berinteraksi.

 Guru menggunakan strategi bervariasi saat pembelajaran.

4 21,22, 23,24

2. Pedoman Wawancara a. Wawancara guru kelas

Pedoman wawancara untuk guru kelas bertujuan untuk mengetahui program asesmen, program pendidikan individual, proses pembelajaran, dan keterlaksanaan prinsip layanan siswa tunanetra low vision dalam pembelajaran.


(66)

Tabel 2. Kisi-Kisi Pedoman Wawancara TerhadapGuru Kelas

No. Komponen Indikator Jumlah

butir

Nomor Butir 1. Pemahaman

Siswa Tunanetra

Low Vision

Pemahaman tentang siswa tunanetra low vision

1 1

2. Asesmen bagi siswa tunanetra

low vision

Pelaksanaan asesmen 1 2

Hasil asesmen 1 3

Tindak lanjut asesmen 1 4 3. Program

Pendidikan Individual

Program pendidikan individual untuk siswa tunanetra low vision

1 5

4. Pembelajaran bagi siswa tunanetra low vision

Kesesuaian dan ketercapaian tujuan pembelajaran

1 6

Penggunaan metode

dan media

pembelajaran

1 7

Proses evaluasi pembelajaran

1 8

5. Prinsip Layanan Siswa Tunanetra

Low Vision

Pelaksanaan prinsip ukuran

2 9

Pelaksanaan prinsip obyek riil

2 10

Pelaksanaan prinsip cahaya

2 11,12

Pelaksanaan prinsip warna

2 13,14

Pelaksanaan prinsip penyesuaian tempat

2 15,16

Pelaksanaan prinsip suara

3 17,18,

19 Pelaksanaan prinsip

metode pembelajaran

4 20,21,

22,23 b. Wawancara guru mata pelajaran kelas V

Pedoman wawancara untuk guru mata pelajaran bertujuan untuk memperoleh data tentang proses pembelajaran terhadap siswa tunanetra

low vision, dan keterlaksanaan prinsip-prinsip layanan bagi siswa tunanetra low vision kelas V di SD Muhammadiyah Bogor.


(1)

DOKUMENTASI

Gambar Siswa Tugas Kelompok

Gambar Gambar Siswa Kasti

Gambar Siswa Menulis

Gambar Siswa Olahraga Permainan

Gambar Siswa Bermain

Gambar Siswa Voli

Gambar Siswa Gobag Sodor

Gambar Pelajaran Agama

Gambar Siswa menunduk saat pelajaran


(2)

Gambar Guru memperbesar tulisan

Gambar Guru menggunakan obyek real

Gambar Menerangkan Kubus

Gambar Guru menggunakan obyek riil

Gambar Siswa duduk di depan

Gambar Siswa mengikuti pelajaran

Gambar Siswa dibantu teman membaca

Gambar Guru member motivasi

Gambar video perjuangan


(3)

Gambar mendengarkan detk proklamasi

Gambar pelajaran SBK

Gambar pelajaran SBK

Gambar Pelajaran IPS

Gambar pelajaran pencerminan

Gambar assessment dari RS.YAP


(4)

(5)

(6)