PENINGKATAN SIKAP DISIPLIN SISWA MELALUI PENGGUNAAN PERMAINAN TRADISIONAL SISWA KELAS V SD NAHDLATUL ULAMA’ SLEMAN YOGYAKARTA.

(1)

PENINGKATAN SIKAP DISIPLIN SISWA MELALUI PENGGUNAAN PERMAINAN TRADISIONAL SISWA KELAS V SD NAHDLATUL

ULAMA’ SLEMAN YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Khusnia Ekawati NIM 09108241073

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran, dan nasihat – menasihati supaya menetapi kesabaran”.

(Terjemanan Surat Al-‘Ashr : Ayat 1 - 3)

“Dari Ibnu Abbas RA. Beliau berkata: “Rasulullah SAW. Bersabda:”Dua kenikmatan yang sering dilalaikan oleh sebagian besar manusia yaitu nikmat sehat

dan nikmat waktu luang”. (HR. Bukhari dan Ibnu Majah)

“Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang. Karena itu, keunggulan bukanlah suatu perbuatan melainkan sebuah kebiasaan”.


(6)

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan:

Untuk Ibu dan Bapak tersayang,

Siti Kalimah dan Suwarno atas segala dukungan doa dan kasih sayang yang tak pernah berhenti untuk anak-anaknya.

Untuk Sesepuh-sesepuh Keluarga tersayang

Mbah Sumitro, Mbah Kamilatun, Paman Seswoyo, Bibi lilies dan Bibi Ning yang selalu memberikan kasih sayang dan do’a untukku.

Dan untuk almamater kebanggaanku Universitas Negeri Yogyakarta.


(7)

PENINGKATAN SIKAP DISIPLIN SISWA MELALUI PENGGUNAAN PERMAINAN TRADISIONAL SISWA KELAS V SD NAHDLATUL

ULAMA’ SLEMAN YOGYAKARTA

Oleh Khusnia Ekawati NIM 09108241073

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan sikap disiplin siswa kelas V SD Nahdlatul Ulama’ Sleman Yogyakarta menggunakan permainan tradisional.

Metode penelitian ini menggunakan Action Research versi Metler dan Charles yang terdiri dari planning stage, acting stage, developing stage, dan

reflecting stage. Penelitian ini terdiri dari tiga siklus dengan subjek penelitian adalah seluruh siswa kelas V, sedangkan objek penelitiannya adalah sikap disiplin siswa. Pengumpulan data menggunakan angket, observasi, dan wawancara. Selanjutnya, data tersebut dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap disiplin siswa dapat meningkat melalui penggunaan permainan tradisional. Hal itu dibuktikan dengan adanya peningkatan pada hasil penelitian. Pada tahap pratindakan, hasilnya menunjukkan 60% siswa memiliki kedisiplinan kategori tinggi dan mayoritas siswa masuk pada kategori sikap disiplin mulai terlihat. Setelah mendapatkan tindakan yang menekankan pada penjelasan peraturan, kesepakatan antar pemain, pendampingan, dan diskusi diakhir permainan, pada Siklus III hasilnya meningkat menjadi 92% siswa masuk dalam kedisiplinan kategori tinggi dan mayoritas sikap disiplin siswa masuk pada kategori mulai berkembang.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya persembahkan ke hadirat Allah SWT. yang telah memberi karunia yang luar biasa sehingga karya penelitian dengan judul “Peningkatan Sikap Disiplin Siswa Melalui Penggunaan Permainan Tradisional Siswa Kelas V SD Nahdlatul Ulama’ Sleman, Yogyakarta” dapat terselesaikan.

Peneliti menyadari bahwa atas bantuan sejumlah pihak karya ini dapat terselesaikan, maka pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan studi pada Program Studi PGSD.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian dalam penyusunan skripsi ini.

3. Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan Universitaas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ketua Jurusan Pendidikan Pra Sekolah Dan Sekolah Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian dalam penyususnan skripsi ini.

5. Ibu Woro Sri Hastuti, M.Pd, Dosen Pembimbing I dan Bapak Banu Setyo Adi, M.Pd, Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

6. Bapak Fauzan, M.Pd, Kepala sekolah SD Nahdlatul Ulama’ Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian dalam penyusunan skripsi ini.

7. Ibu Atsari Wulandari, S,Si., Guru Kelas V SD Nahdlatul Ulama’ Yogyakarta sekaligus kolaborator penelitian yang telah membantu proses penelitian penyusunan skripsi ini.

8. Seluruh staf dan karyawan SD Nahdlatul Ulama’ Yogyakarta yang turut membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

9. Seluruh siswa kelas V SD Nahdalatul Ulama’ Yogyakarta yang telah berpartisipasi dalam penelitian untuk penyususnan skripsi ini.


(9)

(10)

DAFTAR ISI

hal

JUDUL ………..….……... i

PERSETUJUAN ………..……. ii

SURAT PERNYATAAN ……….….……... iii

PENGESAHAN ………..….. iv

MOTTO………..……….……... v

PERSEMBAHAN ………..……..………. vi

ABSTRAK ………...….…… vii

KATA PENGANTAR ………..………..…..…… viii

DAFTAR ISI ………...………...…….. ix

DAFTAR TABEL ……….……....… xii

DAFTAR GAMBAR ……….… xiii

DAFTAR LAMPIRAN….……….... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….…... 1

B. .Identifikasi Masalah ……….…...… 5

C. Batasan Masalah ………. 6

D. Rumusan Masalah ………. 6

E. Tujuan Penelitian ……… 6

F. Manfaat Penelitian ……….. 7

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Sikap Disiplin ………. 8

1. Pengertian Sikap ………..………. 8

2. Pengertian Disiplin ……..………. 11

3. Jenis-Jenis Disiplin Untuk Anak ……… 14

4. Tujuan serta Pentingnya (Manfaat) Disiplin Bagi Anak …………..… 17

5. Unsur-Unsur dalam Disiplin dan Penerapannya ………..…… 18

B. Kajian Permainan Tradisional ... 26


(11)

2. Tinjauan Permainan Tradisional ... 29

3. Jenis Permainan Tradisional ... 30

4. Unsur Nilai Budaya dalam Permainan Tradisional ... 36

5. Unsur-Unsur Disiplin dalam Permainan Tradisional dan Penerapannya ... 40

C. Karakteristik Anak Sekolah Dasar ... 47

D. Disiplin Siswa Di Sekolah ... 49

E. Definisi Operasional ... 52

F. Kerangka Berpikir ... 52

G. Hasil Penelitian yang Relevan ... 55

H. Hipotesis Tindakan ... 55

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 56

B. Desain Penelitian ... 57

C. Rencana Tindakan ... 59

D. Subjek danSettingPenelitian ... 62

E. Teknik Pengumpulan Data ... 62

F. Instrumen Penelitian ... 64

G. Teknik Analisis Data ... 67

H. Teknik Keabsahan Data ... 69

I. Kriteria Keberhasilan ... 70

BAB VI HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Situasi ... 71

1. Kondisi Fisik ... 71

2. Kondisi Non Fisik ... 71

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 73

1. Pratindakan ... 74

2. Siklus I ... 75

3. Siklus II ... 89

4. Siklus III ... 97


(12)

D. Keterbatasan Penelitian ... 109

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 110

B. Saran ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 112


(13)

DAFTAR TABEL

hal Tabel 1. Jenis Permainan Kategori Bermain dan Bernyanyi dan (atau)

Dialog ... 34

Tabel 2. Jenis Permainan Kategori Bermain dan Olah Pikir ... 34

Tabel 3. Jenis Permainan Kategori Bermain dan Adu Ketangkasan ... 35

Tabel 4. Kisi- Kisi Lembar Angket Kedisiplinan Siswa ... 64

Tabel 5. Kisi- kisi Lembar observasi sikap disiplin siswa Di lingkungan sekolah ... 65

Tabel 6. Kisi- kisi lembar observasi sikap disiplin di lingkungan Pergaulan ... 65

Tabel 7. Kategori Penilaian Sikap Disiplin ………... 66

Tabel 8. Kategori Kedisiplinan Siswa Kelas Kelas V SD Nahdlatul Ulama’ Sleman, Yogyakarta ………. 68

Table 9. Inisial Subjek Penelitian ……… 73

Table 10. Jadwal Pengumpulan Data ………... 74

Tabel 11. Hasil Angket Kedisiplinan Siswa Tahap Pratindakan……… 75

Table 12. Hasil Observasi Sikap Disiplin Siswa Tahap Pratindakan ……… 75

Table 13. Hasil Observasi Siklus I ……… 83

Table 14. Hasil Angket Kedisiplinan Siswa Pada Siklus I……… 83

Table 15. Refleksi Siklus I ……… 88

Table 16. Hasil Observasi Siklus II ……….. 93

Table 17. Hasil Angket Pemahaman Budaya Siklus II ………. 93

Table 18. Refleksi Siklus II ……….. 96

Table 19. Hasil Observasi Siklus III ………. 101

Tabel 20. Hasil angket Pemahaman budaya Siklus III ………. 101

Tabel 21. Refleksi Siklus III ………. 102

Table 24. Peningkatan Persentase Jumlah Siswa Dalam Sikap Disiplin Siswa Pada Tiap Siklus ………..……….. 103


(14)

DAFTAR GAMBAR

hal Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir Penelitian Tindakan yang akan

Dilaksanakan ... 54 Gambar 2. Model ProsesAction ResearchMertler dan Charle... 57 Gambar 3. Tahapan Penelitian Tindakan versi Mertler dan Charles secara

lebih detail ... 58 Gambar 4. Arena PermainanGobag Sodor... 79 Gambar 5. Siswa Menyiapkan Arena PermainanGobag Sodordengan

Media Tepung ………... 79 Gambar 6. Arena Permainan Jeg-Jegan ... 80 Gambar 7. Siswa Menyiapkan MediaNgejegan/ Benteng/ Pangkalan

Permainan ………..…………... 80 Gambar 8. Siswa BermainJeg-JeganDi Halaman Sekolah……….… 91 Gambar 9. Siswa Kelas V Sedang Mengisi Lembar Angket ……… 92 Gambar 10. Siswa Berkumpul Setelah Bermain Untuk Selanjutnya

Berdiskusi Mengenai Permainan Yang Telah Dilaksanakan .… 100 Gambar 11. Histogram Peningkatan Kedisiplinan Siswa ... 103 Gambar 12. Histogram Peningkatan Sikap Disiplin Siswa... 103


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

hal

Lampiran 1. Contoh Angket Kedisiplinan Siswa Siklus I………. 116

Lampiran 2. Contoh Angket Kedisiplinan Siswa Siklus II……… 118

Lampiran 3. Contoh Angket Kedisiplinan Siswa Siklus III……….. 120

Lampiran 4. Contoh Lembar Observasi Sikap Disiplin Siswa Siklus I … 122 Lampiran 5. Contoh Lembar Observasi Sikap Disiplin Siswa Siklus II .. 130

Lampiran 6. Contoh Lembar Observasi Sikap Disiplin Siswa Siklus III . 138 Lampiran 7. Hasil Data Angket Tahap Pratindakan ………. 146

Lampiran 8. Hasil Data Angket Siklus I ……….…………. 147

Lampiran 9. Hasil Data Angket Siklus II ……….…………. 148

Lampiran 10. Hasil Data Angket Siklus III………. ………… 149

Lampiran 11. Contoh Pengumpulan Hasil Observasi Sikap Disiplin Siswa 150 Lampiran 12. Hasil Observasi Sikap Disiplin Siswa ……… 151

Lampiran 13. Perbandingan Hasil Angket dan Observasi Sikap Disiplin Siswa Pada Tiap Siklus ………... 152

Lampiran 14. Hasil Rangkuman Wawancara Siswa Siklus I ………. 153

Lampiran 15. Hasil Rangkuman Wawancara Siswa Siklus II ……… 155

Lampiran 16. Hasil Rangkuman Wawancara Siswa Siklus III ... 156

Lampiran 17. Foto Dokumentasi Penelitian ……….. 158


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring bertambahnya waktu kehidupan manusia mengalami perkembangan yang lebih maju. Perkembangan tersebut tidak bisa lepas dari keberadaan pendidikan yang selalu mengiringi kehidupan manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Dwikarya (Dwi Siswoyo, 2011: 1) bahwa pendidikan merupakan suatu gejala semesta (fenomena universal) dan akan berlangsung sepanjang hayat manusia, di manapun manusia berada.

Thomas Lickona (2012: 7), mengungkapkan bahwa tujuan pendidikan adalah membimbing para generasi muda menjadi pribadi yang cerdas serta berperilaku baik. Hal ini sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional di Negara Indonesia. Pada UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab”

Oleh karena itu tugas pendidikan bukan hanya membentuk pribadi yang cerdas namun juga membentuk pribadi yang bertakwa, berbudaya serta berkarakter. Hal ini sebagai salah satu langkah dalam mewujudkan visi pembangunan nasional, seperti yang termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005 – 2025 yaitu “mewujudkan masyarakat


(17)

berakhlak mulia, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila” (Theresiana,dkk, 2014: 1).

Muchlas Samani, dkk. (2005: 43) mengungkapkan bahwa karakter atau budi pekerti tidaklah diwariskan, tetapi sesuatu yang dibangun secara berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakan. Pendidikan budaya dan karate bangsa meruapakan salah satu langkah tenaga pendidik dalam mengembangkan budaya dan karakter bangsa dan salah satu karakternya adala disiplin.

Maria J. Wantah (2005: 143), mengemukakan bahwa melihat dari sisi pendagogik anak, disiplin sangatlah penting bahkan merupakan keharusan bagi pertumbuhan anak serta perkembangan anak yang akan mewujudkan pengendalian diri. Disiplin merupakan salah satu kebutuhan perkembangan bagi anak serta sekaligus upaya mengembangkan anak-anak untuk berperilaku sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Ketika kedisiplinan seseorang tinggi, maka keamanan dan ketertiban akan mudah untuk diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Peraturan itu ada untuk memberikan pedoman dalam menjalani kehidupan agar menjadi lebih terarah dan lebih baik lagi.

Kehidupan anak-anak sangat akrab dengan kegiatan bermain. Peraturan-peraturan yang terdapat dalam permainan harus diikuti oleh para pemainnya sehingga dapat membantu mengajarkan anak dalam menaati peraturan serta bertindak disiplin. Hurlock (1993: 320), mengungkapkan bahwa sebenarnya bermain bukanlah kegiatan pemborosan waktu justru terdapat pengalaman belajar yang berharga terdapat didalamnya.


(18)

Permainan tradisional merupakan salah satu warisan budaya yang menyimpan transformasi nilai di dalam permainan-permainannya (Sukirman, 1992/1993: 45). Hal ini sesuai dengan pendapat dari Christriyati A, dkk. (1997/1998: 56) bahwa permainan anak tradisional sebagai salah satu warisan dari leluhur bangsa Indonesia diyakini mengandung nilai-nilai positif yang sangat berguna bagi perkembangan jiwa anak. Hal itu dikarenakan dalam permainan tradisional menyimpan simbol-simbol yang dapat digunakan sebagai pembelajaran nilai-nilai, sehingga keberadaannya memberikan sumbangan bagi pembelajaran nilai-nilai kehidupan dalam diri anak.

Permainan tradisional yang dahulu sangat digemari anak-anak dan merupakan sarana sosialisasi kini mulai terkikis keberadaannya (Sukirman D,dkk, 2004: 18). Chirstriyati A (dalam Sujarno, 2013: 2) mengatakan bahwa seiring perkembangan zaman, permainan tradisional mulai tergantikan oleh permainan yangrelative baru dan modern. Disamping itu, banyak orang dewasa memandang bahwa permainan tidak memberikan sumbangan yang berarti untuk meningkatkan prestasi anak khususnya dalam bidang akademik anak. Mayoritas beranggapan bahwa prestasi belajar siswa sangatlah penting dan perlu mendapatkan porsi belajar tambahan dengan mengikuti les-les belajar setelah jam sekolah (Marsono, 1999: 1). Hal ini sudah tentu mengurangi porsi bermain anak dalam kehidupan sehari-harinya. Permainan elektronikpun menjadi pilihan yang dipandang tepat untuk memenuhi porsi bermain anak. Padahal hal tersebut tidak seratus persen tepat. Karena manfaat aktivitas bermain anak yang dimaksudkan untuk memenuhi perkembangan anak bukan sekedar untuk memperoleh kesenangan dalam diri


(19)

anak. Tapi juga terdapat manfaat lain yang bisa diambil dalam aktivitas bermain, seperti kebutuhan sosial atau ketangkasan fisik yang tidak sepenuhnya mampu diberikan oleh pemainan elektronik.

Sekolah Dasar Nahdlatul Ulama’ merupakan sekolah berbasis pesantren. Selain pelajaran umum, siswa juga mendapatkan pelajaran keagamaan. Jadi, siswa mengikuti jam sekolah lebih lama dibanding dengan siswa sekolah dasar pada umunya. Karena terdapat tambahan waktu untuk pembelajaran keagamaan, khususnya siswa yang mengikuti program asrama yaitu kelas V dan VI. Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa siswa memiliki jadwal belajar yang padat. Diantara jadwal pembelajaran tersebut, siswa sebenarnya sudah diberikan waktu istirahat dan bermain. Namun sayangnya, siswa kurang dapat memanfaatkan waktu tersebut dengan baik untuk bermain. Seringkali siswa menghabiskan waktu istirahat tersebut dengan mengobrol di depan kelas, berlari-larian di halaman sekolah atau di komplek perumahan yang berada di sekitar sekolah atau melihat kartun animasi dengan meminjam komputer sekolah yang tersambung dengan internet. Selain itu, suatu kali pernah siswa bermain air dengan wastafel yang ada di sekolah hingga menimbulkan banyak genangan air disekitarnya dan wastafel tersebut mengalami kerusakan karena tersumbat.

Berdasarkan hasil observasi pada siswa kelas V Sekolah Dasar Nahdalatul Ulama Yogyakarta, muncul tanda-tanda kurang adanya kedisiplinan dalam diri siswa. Hal ini dapat dilihat pada keseharian siswa ketika di lingkungan sekolah, seperti saat siswa bermain di sekitar sekolah, saat siswa sedang dalam kegiatan belajar mengajar di kelas atau hal- hal yang berkaitan dengan ketaatan siswa


(20)

terhadap peraturan-peraturan sekolah. Pada saat bel masuk kelas telah berbunyi, siswa tidak langsung memasuki kelas tetapi masih meneruskan aktivitas bermainnya hingga dipanggil oleh guru untuk segera masuk ke dalam kelas. Ketika sudah di dalam kelas, tak jarang siswa tidak memperhatikan pelajaran karena sedang bermain atau menunjukkan sikap hiperaktif seperti bermain

glotekan (memukul-mukul bangku) yang membuat kelas menjadi gaduh. Disamping itu, pada saat pembelajaran sedang berlangsung tak jarang siswa berjalan keluar kelas tanpa meminta ijin kepada guru yang mengajar terlebih dahulu. Berkenaan dengan peraturan sekolah, masih terdapat beberapa siswa yang tidak tertib dalam pemakaian seragam seperti memakai seragam tidak sesuai dengan jadwal atau pemakaian atribut sekolah yang kurang lengkap.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Peningkatan Sikap Disiplin Siswa Melalui Penggunaan Permainan Tradisional Siswa Kelas V Sekolah Dasar Nahdlatul Ulama’ Sleman, Yogyakarta.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, identifikasi masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Keberadaan permainan tradisional sebagai pengantar dalam mengajarkan nilai-nilai kehidupan kini mulai ditinggalkan.

2. Permainan tradisional mulai dilupakan karena dipandang tidak memberikan manfaat yang baik untuk peningkatan prestasi anak.


(21)

3. Kurangnya sikap disiplin yang ditunjukkan oleh siswa kelas V Sekolah Dasar Nahdlatul Ulama Yogyakarta.

4. Siswa kurang menunjukkan kesopanan terhadap guru pada saat pembelajaran di dalam kelas.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dengan melihat kondisi serta permasalahan yang kompleks, maka penelitian ini akan dibatasi pada:

1. Keberadaan permainan tradisional sebagai pengantar dalam mengajarkan nilai-nilai kehidupan kini mulai ditinggalkan.

2. Kurangnya sikap disiplin yang ditunjukkan oleh siswa kelas V Sekolah Dasar Nahdlatul Ulama Yogyakarta.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi, dan batasan masalah yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu, maka rumusan masalah yang dapat peneliti ajukan adalah sebagai berikut:

Bagaimana meningkatkan sikap disiplin siswa kelas V SD Nahdlatul Ulama Yogyakarta melalui permainan tradisional?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk meningkatkan sikap disiplin siswa kelas V SD Nahdlatul Ulama’ Yogyakarta menggunakan permainan tradisional.


(22)

F. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peserta Didik

Menambah pengetahuan tentang permainan tradisional sebagai pengisi waktu luang yang dapat memberikan banyak manfaat.

2. Bagi Tenaga Pendidik

Sebagai tambahan referensi dalam usaha meningkatkan kedisiplinan siswa menggunakan permainan tradisional yang memiliki nilai-nilai luhur di dalamnya.

3. Bagi Peneliti

Sebagai pengetahuan dan pengalaman yang berharga dalam pembentukan sebagai tenaga pendidik yang professional dan menyenangkan serta sebagai langkah melestarikan kebudayaan bangsa dalam mewujudkan kecintaan pada kebudayaan peninggalan leluhur.


(23)

BAB II KAJIAN TEORI A. Kajian Sikap Disiplin

1. Pengertian Sikap

G.W. Allport (David O. Sears, 1985: 137) mengemukakan bahwa sikap adalah keadaan mental dan saraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. Sedangkan menurut Lapiere (Azwar, 2009: 5) sikap adalah suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Jadi sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu. Selain itu, sikap tidak sama dengan perilaku karena sikap merupakan bagian dari perilaku manusia.

Sikap menentukan jenis atau tindakan yang dilakukan dalam hubungannya dengan suatu objek, seperti perangsang yang relevan, orang-orang atau kejadian-kejadian. Abu Ahmadi (2002: 171) mengungkapkan beberapa karakteristik atau ciri-ciri sikap, antara lain:

a. Sikap itu dipelajari (learnability)

Sikap merupakan hasil belajar. Hal ini perlu dibedakan dari motif-motif psikologi lainnya. Beberapa sikap dipelajari tidak sengaja dan tanpa kesadaran kepada sebagian individu.


(24)

b. Memiliki kestabilan (Stability)

Sikap bermula dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap dan stabil melalui pengalaman.

c. Personal-societal sognificance

Sikap melibatkan antara seseorang dengan orang lain serta antara orang dengan situasi atau barang.

d. Berisi kognisi dan afeksi

Komponen kognisi daripada sikap adalah berisi informasi yang faktual, misalnya: objek itu dirasakan menyenangkan atau tidak menyenangkan.

e. Approach – avoidance directionality

Bila seseorang memiliki sikap yang favorable terhadap suatu objek, maka mereka akan mendekati atau membantunya. Sebaliknya, bila seseorang memiliki sikap yangunfavorable, mereka akan menghindarinya.

Berdasarkan ciri-ciri sikap diatas dapat diketahui bahwa aspek kognitif seseorang mempunyai peranan dalam penentuan sikap yang dilakukan. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Allport (Soekidjo Notoatmodjo, 2003: 125) bahwa sikap mempunyai tiga komponen, yaitu:

a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Keberadaan ketiga komponen tersebut secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude).


(25)

Pembentukan sikap menurut Abu Ahmadi (2002: 164) dapat dibagi dalam dua faktor yang berpengaruh di dalamnya. Pertama, faktor intern yaitu faktor yang terdapat dalam pribadi manusia itu sendiri. Faktor ini merupakan daya pilih seseorang dalam menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Kedua, faktor ekstern yaitu faktor yang terdapat diluar pribadi manusia. Faktor ini berupa interaksi sosial diluar kelompok. Adapun cara-cara yang digunakan dalam pembentukan dan perubahan sikap menurut Sarlito Wirawan.S. (1976: 104) adalah:

a. Adaptasi, kejadian atau peristiwa yang berulang-ulang, lama-kelamaan, secara bertahap diserap ke dalam diri individu dan mempengaruhi terbentuknya sikap.

b. Diferensiasi, dengan berkembangnya intelegensi dan bertambahnya pengalaman maka hal-hal yang terjadi dianggap sejenis, sekarang dipandang tersendiri lepas dari jenisnya.

c. Intelegensi, pembentukan sikap disini terjadi secara bertahap dimulai dengan suatu hal tertentu.

d. Trauma, merupakan pengalaman yang tiba-tiba atau mengejutkan yang meninggalkan kesan dan pengalaman, traumatis ini dapat pula menyebabkan terbentuknya teori.

Tingkatan sikap menurut Soekidjo Notoatmodjo (2003: 126) adalah sebagai berikut:


(26)

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa subjek (seseorang) memperhatikan dan mau menerima stimulus yang diberikan (objek)

b. Menanggapi (responding)

Menanggapi diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Karena dengan adanya usaha dalam menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari benar atau salah pekerjaan tersebut menandakan bahwa orang (subjek) menerima ide tersebut.

c. Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan subjek (seseorang) memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus. Maksudnya ialah seperti membahasnya dengan orang lain bahkan mengajak atau mempengaruhi orang lain. Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

d. Bertanggung jawab(responsible)

Tingkatan yang paling tinggi ialah bertanggung jawab, yaitu bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan menerima segala resiko.

2. Pengertian Disiplin

Disiplin merupakan salah satu nilai karakter budaya yang dikembangkan untuk pendidikan karakter berbasis budaya di Indonesia. The Liang Gie (Ali Imron, 2011: 172) mengungkapkan bahwa disiplin merupakan suatu keadaan


(27)

tertib dimana orang-orang yang tergabung dalan suatu organisasi akan tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa senang hati. Hal serupa juga diungkapkan oleh Hoffman (Maria J.Wantah, 2005: 139-140) bahwa disiplin merupakan cara masyarakat (termasuk guru dan orang tua) mengajar anak berperilaku moral yang disetujui dan diterima oleh kelompok. Berdasarkan pemaparan diatas dapat diketahui bahwa disiplin sangat erat hubungannya dengan peraturan dan tata tertib dalam suatu kelompok atau organisasi.

Hurlock (2000: 82) menambahkan tujuan adanya disiplin adalah agar anak dapat menampilkan perilaku sesuai dengan standar kehidupan dalam suatu kelompok masyarakat. Hal ini selaras dengan pendapat dari Maman Rachman (1999: 168) bahwa pada hakikatnya disiplin adalah pernyataan sikap mental dari individu maupun masyarakat yang mencerminkan rasa ketaatan, kepatuhan yang didukung oleh kesadaran untuk menunaikan tugas, dan kewajiban dalam rangka pencapaian tujuan. Jadi bisa disimpulkan bahwa disiplin merupakan sikap patuh dan taat terhadap peraturan, yang dipakai sebagai pedoman hidup agar dapat bersesuaian dengan nilai dan norma yang ada di masyarakat.

Namun, dalam prakteknya disiplin sering kali dihubungkan bahkan ditafsirkan sama dengan hukuman dan upaya pengendalian perilaku seseorang (Hurlock, 2000: 98-99). Pada tafsiran pengertian seperi ini, disiplin identik dengan sikap tegas dan keras yang dihubungkan dengan hukuman (punishment) yang diberikan sebagai alat yang efektif dalam menegakkan disiplin anak. Seiring perkembangan waktu, masyarakat dalam menanggapi disiplin anak pun mulai mengalani perubahan.


(28)

Pada zaman dahulu disiplin yang digunakan lebih bersifat keras dan otoriter yang berlandaskan pada kebiasaan sosial dan prinsip keagamaan. Sedangkan, pada zaman sekarang ini disiplin digunakan secara lebih toleran, permisif, dan bahkan bersikap laissez-faire (tidak ikut campur). Spock (Maria J.Wantah, 2005: 142) mengungkapkan bahwa perkembangan sikap masyarakat dalam disiplin dipengaruhi oleh dua pendekatan yang berbeda dalam pendidikan dan bimbingan anak. Pertama, cara yang dilakukan adalah dengan terlalu memberikan kebebasan, terlalu mengijinkan atau membiarkan anak (over permissiveness). Cara yang kedua adalah otoriter atau terlalu keras dalam memberikan sanksi-sanksi yang tegas. Kedua pendekatan tersebut sebenarnya sama-sama memberikan kerugian terhadap perkembangan anak.

Berdasarkan kedua pendekatan tersebut, memunculkan pemahaman positif dan negatif terhadap konsep disiplin. Paham positif memandang disiplin sama dengan pendidikan atau bimbingan karena lebih menekankan pada pertumbuhan dari dalam diri, disiplin diri, dan pengendalian diri. Hal yang diutamakan adalah penyesuaian tumbuh secara bertahap dalam diri anak terhadap aturan-aturan, sambil anak memperoleh pengertian tentang makna disiplin bagi dirinya sendiri sehingga mereka bisa lebih mawas diri serta dapat mengatur pemikiran, penuturan dan tingkah sesuai dengan kaidah-kaidah yang dianut.

Sedangkan, paham negatif melihat disiplin sebagai pengawasan, pengekangan, dan pengendalian oleh satu kekuasaan diluar diri. Sering kali pengawasan dan pengekangan disini lebih mengarah ke cara-cara yang keras dan bahkan menyakitkan bagi anak. Umumnya sanksi yang diberikan tersebut berupa


(29)

siksa yang menghasilkan efek jera bagi anak agar tidak mengulangi perbuatan yang melanggar peraturan. Walaupun, pemberian siksa tersebut sebenarnya tidak memberikan kepastian bahwa anak tidak akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Memandang dari perspektif bimbingan dan pendidikan anak maka paham positiflah yang perlu untuk dikembangkan dalam konsep disiplin. Fungsi pokok disiplin disini ialah mengajarkan anak untuk menerima pengawasan dan pengekangan yang diperlukan dalam membantu mengarahkan energi anak ke dalam jalur yang berguna dan diterima secara sosial.

3. Jenis – Jenis Disiplin Untuk Anak.

Disiplin merupakan salah satu nilai karakter yang perlu untuk dikembangkan dan ditanamkan dalam diri anak-anak bangsa. Hurlock (2000: 125-130) menyebutkan bahwa terdapat tiga jenis disiplin yang biasa digunakan untuk menanamkan disiplin pada anak, yaitu:

a. Disiplin Otoriter

Hurlock (2000: 93) menjelaskan bahwa pada disiplin ini ditandai adanya peraturan dan pengaturan yang keras untuk memaksakan perilaku agar sesuai dengan yang diinginkan. Penerapan peraturan-peraturan pada disiplin ini tanpa disertai penjelasan mengenai alasan wajibnya anak mematuhi peraturan tersebut. Jadi anak hanya diberitahu bahwa mereka hanya harus patuh terhadap peraturan-peraturan tersebut. Tekniknya mencakup hukuman berat jika terjadi kegagalan dalam memenuhi standar (keinginan). Disamping itu, tidak ada ataupun sedikit pujian, persetujuan atau tanda-tanda penghargaan lainnya ketika anak mampu memenuhi standar yang diharapkan (diinginkan).


(30)

Hukuman seringkali berupa hukuman (fisik) yang keras dan diberikan kepada pelanggar peraturan tak terkecuali anak-anak. Hal ini dianggap sebagai cara yang tepat dalam mencegah pelanggaran peraturan dimasa mendatang. Pemberlakuan disiplin ini dapat terjadi antara pengendalian perilaku anak yang wajar hingga yang kaku yaitu tidak adanya pemberian kebebasan bertindak kecuali sesuai dengan standar yang ditentukan. Pada pelaksanaan disiplin otoriter yang wajar, tindakan anak tetap dibatasi serta keputusan-keputusan diambil oleh orang yang berkuasa (orang tua). Namun, keinginan anak tidak seluruhnya diabaikan dan berkurangnya pembatasan tindakan yang kurang beralasan dalam penerapannya.

b. Disiplin yang lemah atau permisif

Menurut Hurlock (2000: 93) disiplin permisif muncul dan berkembang sebagai bentuk protes terhadap disiplin otoriter yang dialami oleh banyak orang dewasa pada usia kanak-kanaknya. Disiplin ini sebenarnya berarti sedikit disiplin atau tidak berdisiplin. Beberapa orang dewasa menganggap kebebasan (permissiveness) sama dengan laissez-faire, yakni membiarkan anak belajar (meraba-raba) dalam situasi sulit untuk ditanggulanginya sendiri tanpa adanya bimbingan ataupun pengendalian. Pada penerapannya anak tidak diajarkan peraturan-peraturan serta tidak pula ada hukuman ataupun penghargaan. Disamping itu, anak-anak diijinkan untuk mengambil keputusan sendiri dan berbuat sesuai kehendak mereka.


(31)

c. Disiplin demokratis

Disiplin demokratis menurut Hurlock (2000: 93) merupakan metode yang lebih menekankan aspek edukatif daripada aspek hukuman. Pada prinsipnya disiplin demokratis menggunakan penjelasan, diskusi, atau penalaran dalam membantu anak memahami perilaku tertentu yang diharapkan. Maksudnya terdapat penekanan hak anak untuk mengetahui alasan peraturan-peraturan tersebut dibuat serta anak diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya sendiri mengenai keadilan dalam peraturan tersebut. Sekalipun anak masih sangat muda tetapi dalam diri anak tidak diharapkan berperilaku patuh buta-butaan. Selain itu, melalui disiplin demokratis diharapkan dapat memberikan pengertian bagi anak untuk dapat memahami arti peraturan-peraturan serta mengapa suatu kelompok sosial mengharapkan anak mematuhi peraturan-peraturan.

Hukuman disesuaikan dengan kesalahan yang dilakukan oleh pelanggar atau masih berhubungan dengan kesalahan tersebut, bukan lagi hukuman fisik. Penghargaan terhadap usaha-usaha untuk menyesuaikan dengan harapan sosial yang tercakup dalam peraturan dan diperlihatkan melalui pemberian hadiah terutama dalam bentuk pujian dan pengakuan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, jenis disiplin yang kini dipandang tepat untuk pendidikan adalah disiplin demokratis. Hal ini dikarenakan, hak-hak anak cenderung tidak diabaikan dan diikut sertakan dalam pemahaman adanya peraturan tersebut. Anak diharapkan dapat mengerti dengan baik akan tujuan adanya peraturan tersebut, agar anak dapat menentukan sikap seperti apa yang


(32)

baik dalam menanggapi peraturan tersebut. Disamping itu, anak diharapkan dapat memahami bahwa disiplin itu sebenarnya akan menguntungkan dirinya sendiri serta orang lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Maria J.Wantah (2005: 178) bahwa suatu disiplin akan efektif apabila mampu membantu anak untuk mengendalikan sikap dan perilakunya agar anak bertindak sesuai dengan pandangan orang tua dan masyarakat mengenai perilaku mana yang baik dan perilaku mana yang tidak baik, bukan karena takut terhadap hukuman.

4. Tujuan serta Pentingnya (Manfaat) Disiplin Bagi Anak

Hurlock (2000: 81) mengungkapkan bahwa tujuan disiplin adalah membentuk perilaku sedemikian rupa agar perilaku tersebut sesuai dengan peran-peran yang telah ditetapkan oleh kelompok budaya tempat individu tersebut tinggal. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Gooman and Gurian (dalam Maria J.Wantah, 2005: 176) bahwa tujuan khusus dalam disiplin anak adalah pembentukan dasar tingkah laku sosial sesuai yang diharapkan masyarakat, dan membantu mengembangkan pengendalian diri anak sejak usia dini. Hal ini dalam perwujudannya perlu adanya dukungan dari orang dewasa dengan pengajaran, bimbingan, dan dorongan untuk anak supaya dapat mencapai perkembangan secara optimal.

Pada dasarnya, tujuan dari disiplin adalah membentuk perilaku anak agar sesuai dengan keinginan masyarakat serta dapat menghindari perilaku yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Secara esensial, disiplin merupakan upaya membentuk perilaku saling menghargai, adil, dan konsisten melalui cara-cara yang tegas. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan adanya disiplin pada anak


(33)

untuk membentuk perilaku anak agar lebih bisa mengendalikan dirinya dan selalu berperilaku baik sesuai dengan norma dan nilai yang ada di kelompok atau masyarakat. Hal ini pastinya dilaksanakan secara bertahap dan berjangka yang mana akhirnya dapat membantu anak dalam mengembangkan nilai-nilai moral di dalam dirinya khususnya nilai disiplin.

Disiplin pada anak sebenarnya dapat pula diajarkan melalui cara membuat peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh anak. Peraturan tersebut dilaksanakan oleh anak secara terus menerus sehingga pada nantinya muncul pembiasaan pada diri anak untuk selalu menaati peraturan. Selain itu, Bandura (William Crain, 2007: 302) mengemukakan bahwa pada situasi-situasi sosial, manusia sering kali belajar jauh lebih cepat hanya dengan mengamati tingkah laku orang lain. Melalui pengamatan, dapat diperoleh suatu pelajaran mengenai konsekuensi yang memungkinkan dari sebuah tingkah laku dengan memperhatikan apa yang kan terjadi ketika orang lain mencoba melakukan tingkah laku tersebut. Proses ini disebutvicarious reinforcement(penguatan lewat pengamatan empatik, merasa seolah-olah kita yang melakukan).

5. Unsur-Unsur dalam Disiplin dan Penerapannya

Kurtinez dan Greif (dalam Hurlock, 2000: 84) terdapat empat unsur pokok disiplin yang penting untuk selalu disertakan, yaitu: 1) peraturan sebagai pedoman perilaku, 2) hukuman untuk pelanggaran peraturan, 3) penghargaan untuk perilaku baik yang sejalan dengan peraturan yang berlaku, dan 4) konsistensi terhadap peraturan.


(34)

Keempat unsur pokok tersebut dalam prakteknya sangat penting untuk selalu dilengkapi. Rincian keempat unsure tersebut adalah sebagai berikut (Hurlock, 2000: 85- 92):

a. Peraturan

Istilah peraturan menurut Kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti tatanan (petunjuk, kaidah, ketentuan) yang dibuat untuk mengatur. Sedangkan menurut Hurlock (1999: 85) peraturan merupakan pola yang ditetapkan untuk tingkah laku. Pola tersebut kemungkinan ditetapkan oleh orang tua, guru, atau teman bermain. Tujuannya adalah untuk membekali anak dengan pedoman perilaku yang disetujui dalam situasi tertentu. Misalnya peraturan yang ada di lingkungan sekolah. Peraturan-peraturan tersebut memberikan pengertian atau batasan pada anak mengenai apa saja yang harus dilakukan serta apa saja yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan ketika berada di kelas, di koridor sekolah, ruang makan, di kamar kecil, dan sebagainya.

Maria J.Wantah (2005: 151) menambahkan bahwa peraturan juga dapat dibuat untuk kegiatan-kegiatan anak dalam situasi dan kondisi tertentu, misalnya dalam bermain. Ketika anak bermainjeg- jegan di rumah, maka kelompok yang ingin menangkap lawan tidak boleh memukul atau menjatuhkan anak lain yang berperan sebagi lawan cukup memegang atau menyentuh saja. Demikian pula, ketika kegiatan bermain di sekolah. Jika seorang anak bermain curang, maka dia mendapatkan hukuman, misalnya tidak mendapatkan kesempatan bermain dalam satu putaran kegiatan bermain.


(35)

Anonimous (dalam Maria J.Wantah, 2005: 152) menerangkan bahwa penggunaan aturan adalah untuk meningkatkan disiplin pada anak agar dapat belajar hidup bersama dengan orang lain. Hal ini seakan menjelaskan bahwa lambat laun peraturan dalam disiplin akan mampu menggiring anak mempunyai moral yang baik dalam sebuah kelompok sosial.

b. Hukuman

Hukuman berasal dari kata kerja punier, yang memiliki arti menjatuhkan hukuman pada seseorang karena berbuat suatu kesalahan, perlawanan atau pelanggaran sebagai suatu bentuk pembalasan atau ganjaran. Hal ini menyiratkan bahwa kesalahan, perlawanan atau pelanggaran tersebut dilakukan secara sengaja. Jadi, dapat diketahui bahwa sebenarnya orang tersebut sudah mengetahui bahwa perbuatan tersebut salah akan tetapi tetap dilakukannya.

Schaefer (Maria J.Wantah, 2005: 160) menyebutkan bahwa terdapat dua tujuan dalam memberikan hukuman. Pertama, tujuan dalam jangka pendek yaitu menjatuhkan hukuman untuk menghentikan tingkah laku yang salah.

Kedua, tujuan dalam jangka panjang, yaitu mengejar atau mendorong anak-anak agar menghentikan tingkah laku mereka yang salah supaya dapat mengarahkan dirinya sendiri. Selain itu, Hurlock (1999: 87) juga menjelaskan bahwa hukuman mempunyai fungsi penting untuk perkembangan moral anak.

1) Hukuman dapat menghalangi pengulangan tindakan yang tidak diinginkan oleh masyarakat.

2) Hukuman berfungsi untuk mendidik. Sebelum anak mengerti peraturan, mereka dapat belajar bahwa sebuah tindakan yang baik itu adalah yang


(36)

benar dan tidak akan mendapatkan hukuman. Sedangkan untuk tindakan yang buruk itu salah dan akan mendapatkan hukuman sebagai balasannya. 3) Hukuman sebagai langkah memberikan motivasi untuk menghindari

perilaku yang tidak diterima oleh masyarakat.

Cara pemberian hukuman pun mempunyai beberapa jenis. Pertama,

Hukuman fisik atau biasa juga disebut dengan hukuman badan, yaitu sebuah tindakan yang diberikan dengan menimbulkan rasa sakit, bisa dengan menempeleng, memukul, mencubit atau memecut. Kedua, hukuman dengan kata, misal dengan mempermalukan, meremehkan, dan menggunakan kata-kata yang kasar.Ketiga, hukuman dengan bentuk sebuah larangan, misal dengan melarang anak menontom TV sebelum mereka selesai mengerjakan tugas.

Keempat, hukuman dengan penalti misalnya mengurangi uang saku anak apabila anak merusak sesuatu (Hurlock 1999: 87, Maria J,Wantah 2005:157). Berdasarkan keempat jenis hukuman tersebut, menurut Maria J.Wantah (2005: 157-158) jenis hukuman yang tepat untuk dipakai sebagai metode disiplin yang efektif adalah jenis hukuman dalam bentuk larangan serta hukuman dengan penalti daripada hukuman fisik dan hukuman dengan kata-kata. Karena lebih menjaga perasaan dan badan mereka terhadap rasa sakit yang bisa saja menimbulkan trauma.

Berdasarkan hal yang telah dijelaskan, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukuman sebenarnya dapat memberikan hal-hal yang dapat membantu dalam perkembangan moral anak. Akan tetapi, ketika akan memberi hukuman kepada anak perlu memperhatikan kondisi dan psikologis anak agar dapat memberikan


(37)

efek jera tetapi bukan efek samping yang dapat memberikan rasa trauma kepada anak.

c. Penghargaan

Maslow (Maria J.Wantah, 2005: 164) mengungkapkan bahwa penghargaan adalah salah satu dari kebutuhan pokok yang mendorong seseorang untuk mengaktualisasikan dirinya. Hurlock (1999: 90) menambahkan bahwa istilah penghargaan merupakan setiap bentuk penghormatan untuk suatu hal yang baik. Maria J.Wantah (2005: 164) juga memberikan pendapatnya bahwa penguatan positif adalah teknik terbaik untuk mendorong tingkah laku yang diinginkan. Jadi penghargaan merupakan salah satu bentuk tindakan yang dapat memotivasi seseorang atau anak untuk berperilaku sesuai dengan yang diinginkan oleh kelompok sosial.

Bentuk dari penghargaan bukan hanya berupa materi, tetapi bisa dengan kata-kata pujian, senyuman, atau tepukan pada punggung. Penghargaan merupakan suatu hal yang berbeda dengan suapan atau imbalan. Penghargaan dilakukan setelah seseorang melakukan sebuah tindakan yang baik, sedangkan suapan atau imbalan merupakan janji atau sesuatu (benda) yang diberikan (dilakukan) sebelum seseorang melakukan tindakan baik.

Penghargaan mempunyai tiga fungsi yang berperan penting dalam mengembangkan perilaku anak agar sesuai dengan hal-hal yang disepakati oleh masyarakat. Pertama, penghargaan mempunyai nilai mendidik. Penghargaan memberikan pengertian bahwa perbuatan tersebut merupakan hal yang baik dan disetujui oleh masyarakat. Kedua, penghargaan berperan sebagai motivasi bagi


(38)

anak untuk malanjutkan perilaku yang disetujui secar sosial. Ketiga, penghargaan berperan untuk menguatkan anak agar mengulangi perbuatan baik tersebut, dan tidak adanya penghargaan sebenarnya dapat melemahkan keinginan anak untuk mengulangi perbuatan baik yang disetujui secara sosial tersebut.

Pemberian penghargaan kepada anak haruslah mempertimbangkan perkembangan dalam diri anak. Cara memberikan penghargaan kepada anak pun memiliki beberapa jenis.

1) Penerimaan sosial

Hal yang dimaksudkan disini adalah penghargaan secara verbal (misalnya, tepuk tangan, pelukan atau senyuman) atau sebuah pujian. Bagi anak yang sudah lebih besar dengan memberikan pujian saja itu sudah cukup, karena mereka sudah mampu berpikir untuk memahami atau mengetahui maksud dari pendidik. Berbeda dengan anak yang lebih kecil, harus dengan disertai tindakan konkret seperti penghargaanverbal.

2) Hadiah

Hadiah dapat sebagai sebuah tanda kasih sayang, penghargaan atas prestasi atau kemampuan seorang anak, atau sebagai bentuk dorongan atau tanda kepercayaan untuk anak. Schaefer (dalam Maria J.Wantah, 2005: 166) mengungkapkan bahwa penghargaan dalam bentuk hadiah selain dapat memberikan motivasi juga akan meningkatkan percaya diri anak. Jadi, dapat dikatakan bahwa hadiah yang diterima dapat memberikan rasa aman,


(39)

keyakinan dan kepercayaan diri pada anak terhadap semua perbuatan yang dilakukannya.

3) Perlakuan istimewa

Hal ini bisa diwujudkan berupa sebuah tindakan yang diberikan yang sebelum-sebelumnya tidak pernah dilakukan kepada anak. Misalnya, memberikan ijin kepada anak untuk bermain lebih lama atau memberikan waktu spesial untuk menonton film yang biasanya waktu tersebut digunakan untuk beristirahat.

Namun, menurut Maria J.Wantah (2005: 166-167) hadiah merupakan jenis penghargaan yang tepat untuk anak kecil daripada memakai perlakuan istimewa. Sedangkan untuk anak yang lebih besar, perlakuan istimewa merupakan cara yang tepat.

d. Konsistensi

Konsistensi adalah stabilitas atau tingkat keseragaman. Konsistensi disini berbeda dengan ketetapan, karena makna konsistensi disini lebih cenderung menunjukkan kesamaan daripada makna yang menunjukkan tidak adanya perubahan.

Konsistensi haruslah ada dalam ciri-ciri semua aspek disiplin. Karena, konsistensi memegang peranan penting dalam peraturan yang digunakan sebagai pedoman perilaku. Pada prakteknya konsisten dalam peraturan itu diajarkan serta dipaksakan, yaitu dengan adanya hukuman diberikan untuk mereka yang menyalahi standar, dan penghargaan diberikan untuk mereka yang


(40)

mampu menyesuaikan dengan standar perilaku yang telah ditetapkan kelompok sosial.

Hurlock (1999: 91) menjelaskan bahwa konsistensi dalam disiplin memiliki tiga peran penting.Pertama, konsistensi memiliki nilai mendidik yang besar. Jika peraturan yang digunakan dapat konsisten, maka itu dapat memacu atau mendorong anak untuk proses belajarnya. Kedua, konsistensi mempunyai nilai motivasi yang kuat. Ketika anak menyadari bahwa adanya hukuman itu selalu menyertai tindakan yang salah dan adanya penghargaan selalu menyertai tindakan yang benar, maka anak akan memiliki keinginan yang kuat untuk menghindari perilaku yang salah (tidak disetujui oleh kelompok sosial) dan melakukan tindakan yang benar.Ketiga, adanya konsistensi dalam menjalankan peraturan, memberikan hukuman serta penghargaan dapat mempertinggi penghargaan anak terhadap peraturan serta orang yang memberikan (menjalankan) peraturan tersebut.

Berdasarkan keterangan dari keempat unsur disiplin tersebut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya keempat unsur tersebut saling berhubungan dan mendukung antara unsur yang satu dengan yang lainnya. Keempat unsur tersebut juga sama-sama memiliki dua peran penting dalam disiplin yaitu memberikan pendidikan kepada perkembangan anak serta mampu memotivasi dengan kuat bagi anak untuk selalu berperilaku baik.

Pada penelitian ini, unsur disiplin yang digunakan adalah unsur disiplin berdasarkan pendapat dari Hurlock, yaitu peraturan, hukuman, penghargaan dan konsistensi.


(41)

B. Kajian Permainan Tradisional 1. Hakekat Bermain Dan Permainan

Istilah Bermain (play) biasa dipakai secara bebas sehingga makna asli kata dimungkinkan telah menghilang. Hurlock (1999: 320) mengungkapkan bahwa arti utama dari istilah bermain (play) ialah setiap kegiatan yang dilakukan untuk menimbulkan rasa senang tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Sedangkan menurut Battelheim (dalam Hurlock, 1999: 320) kegiatan bermain merupakan kegiatan yang tidak mempunyai peraturan kecuali yang ditetapkan pemain sendiri dan tidak ada hasil akhir yang dimaksudkan dalam realitas luar. Jadi dapat disimpulkan bahwa istilah bermain memiliki makna tindakan yang menghasilkan perasaan senang tanpa menitikberatkan pada hasil akhirnya.

Istilah bermain, tidak jarang dikaitkan dengan istilah permainan dan mainan yang memiliki kata dasar yang sama yaitu “main”. Namun, ketiga istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Secara sederhana, Iva Rifa (2012: 8) menjelaskan perbedaan pengertian dari ketiga istilah tersebut yaitu makna dari istilah bermain ialah kegiatan main. Sedangkan mainan ialah sesuatu yang digunakan untuk main, dan permainan ialah kegiatan yang berisi bermain dan mainan. Jadi, ketiga istilah tersebut walaupun memiliki makna yang berbeda tetapi masih saling berhubungan. Misalnya dalam permainan egrang, ketika

egrang dimainkan maka itu disebut dengan kegiatan bermain, dan egrang

merupakan mainannya.

Lev Vigotsky (Tedjasaputra, 2001: 9) meyakini bahwa kegiatan bermain memiliki peran langsung terhadap perkembangan kognisi seorang anak.


(42)

Misalnya dalam perkembangan berpikir abstrak anak, menurut Vigotsky hal ini dapat dibantu dengan mengajak anak bermain khayal atau pura-pura serta melibatkan permainan simbolik. Hal ini dikarenakan anak belum mampu untuk berpikir secara abstrak sebab bagi merekameaning (makna) dan objek tercampur menjadi satu. Keberadaan pengantar (objek pengganti) diperlukan yaitu dengan menggunakan permainan tersebut untuk membantu anak berpikir mengenai

meaningsecara terpisah dari objek yang mewakilinya.

Pada buku Play and Early Childhood Development karya Johnson et al (1999), berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Smith et al; Garvey; rubin, Fein dan Vandenberg (Tedjasaputra 2001:16-17) diungkapkan tentang beberapa ciri kegiatan bermain, yaitu:

a. Dilakukan berdasarkan motivasi intrinsik, maksudnya muncul atas keinginan pribadi serta untuk kepentingan sendiri.

b. Perasaan dari orang yang terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai oleh emosi-emosi yang positif. Kalaupun emosi positif tidak tampil setidaknya kegiatan bermain memilki nilai (value) bagi anak.

c. Fleksibilitas yang ditandai mudahnya kegiatan beralih dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain.

d. Lebih menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan hasil akhir. e. Bebas memilih, dan ciri ini merupakan elemen yang sangat penting bagi

konsep bermain pada anak-anak kecil. Kebebasan memilih menjadi tidak begitu penting bila anak beranjak besar. Menurut hasil penelitian King (1979) pada anak kelas V Sekolah Dasar, kesenangan yang didapat


(43)

(pleasure) lebih penting dibandingkan kebebasan untuk memilih sehingga usia di atas pra sekolah pleasure menjadi parameter untuk membedakan bermain dengan bekerja.

f. Mempunyai kualitas pura-pura. Kegiatan bermain mempunyai kerangka tertentu yang memisahkannya dari kehidupan nyata sehari-hari. Kerangka ini berlaku terhadap semua bentuk kegiatan bermain. Realitas internal lebih diutamakan daripada realitas eksternal. Karena anak memberikan makna baru terhadap objek yang dimainkan dan mengabaikan keadaan objek yang sesungguhnya. Keadaan ini bisa kita simak saat anak bermain. Tindakan-tindakan anak akan berbeda dengan perilakunya saat sedang tidak bermain. Misalnya anak yang pura-pura minum dari ‘cangkir’ yang sebenarnya berwujud balok, atau menganggap kepingan gambar sebagai kue keju. Kualitas ‘pura-pura’ memungkinkan anak bereksperimen dengan kemungkinan-kemungkinan baru.

Disini dijelaskan bahwa parameter penting untuk antara anak pra

sekolah dengan anak sekolah berbeda. Dikatakan bahwa parameter untuk anakpra

sekolah adalah kebebasan anak memilih permainan sedangkan untuk anak sekolah lebih pada rasa senang yang didapat anak (pleasure).

Heddy SAP (dalam Sukirman, 2008: 21-25) mengungkapkan mengenai kesimpulan yang didapat dari berbagi literatur asing yang memunculkan beberapa perspektif dalam memahami dan menjelaskan fenomena bermain anak, yaitu :

a. perspektif fungsional : bermain sebagai “persiapan menjadi dewasa”. b. perspektif permainan : bermain (play) sebagai permainan (games).


(44)

c. perspektif psikologis : bermain sebagai wujud kecemasan dan kemarahan.

d. perspektif adaptasi : bermain sebagai peningkatan kemampuan beradaptasi.

2. Tinjauan Permainan Tradisional

Permainan tradisional merupakan salah satu bentuk kebudayaan bangsa. Bentuk dan wujud permainan tradisional yang tumbuh dan berkembang di suatu daerah dan pada umumnya mencerminkan kebudayaan setempat (Sukirman,dkk, 1993: 1). Lahirnya kebudayaan merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia. Permainan tradisional biasa juga disebut dengan permainan rakyat atau

dolanananak yang diwariskan oleh para leluhur secara turun temurun. Permainan ini biasanya dimainkan oleh para rakyat khusunya anak-anak ketika cuaca cerah baik ketika pagi atau malam hari. Pada zaman dahulu permainan tradisional biasa dipakai sebagai sarana bersosialisasi masyarakat khusunya anak-anak.

Permainan tradisional merupakan salah satu bagian dalam folklor. Pada Undang-Undang Republik Indonesia No 19 mengenai hak cipta telah diatur tentang kepemilikan dari folklor, yaitu pada pasal 10 ayat 2 yang berbunyi:

“ Negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya”.

Folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai - nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk:


(45)

c. Tari - tarian rakyat, permainan tradisional.

d. Hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran - ukiran, pahatan, mozaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional.

Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa permainan tradisional memiliki dasar hukum yang kuat sebagi salah satu bagian kebudayaan negara yang patut untuk dikembangkan serta dilestarikan keberadaannya.

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu provinsi di Negara Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai luhur budaya, serta menjadikannya sebagai bagian dari jati diri masyarakat Yogyakarta. Pada Perda DIY No.5 Tahun 2011 Pasal 3 mengenai pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan berbasis budaya disebutkan bahwa salah satu tujuannya adalah mewujudkan daerah sebagai pusat pendidikan terkemuka di Asia Tenggara tahun 2025. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa pendidikan yang berlangsung di Daerah Yogyakarta diharapkan tetap menyertakan atau tidak meninggalkan nilai-nilai budaya di dalamnya.

3. Jenis Permainan Tradisional

Danandjaya (Christyanti Ariyani,dkk, 1997/ 1998: 2) menyebutkan bahwa permainan tradisional ketika ditinjau dari sifat permainannya dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu permainan yang bersifat bermain (play) dan permainan yang bersifat bertanding (games). Perbedaan keduanya dapat dilihat pada karakter permainannya yang mana pada jenis permainan yang bersifat bermain lebih sebagai pengisi waktu luang atau rekreasi saja. Sedangkan jenis


(46)

permainan pertandingan mempunyai sifat khusus seperti lebih terorganisasi, kompetitif, dimainkan paling sedikit dua orang, mempunyai kriteria yang menentukan menang dan kalah, serta mempunyai peraturan permainan yang telah diterima oleh pesertanya.

Sukirman,dkk (1992/ 1993: 45) berpendapat bahwa jenis-jenis permainan tradisional itu sangat besar pengaruhnya terhadap mutu kegiatan pembinaan anak-anak dalam masyarakat. Karena dalam permainan tidak sekedar mengandung makna sebagai hiburan melainkan dapat dipergunakan untuk menanamkan pengertian dan membina sikap serta ketrampilan tertentu pada anggota masyarakat yang bersangkutan.

Berdasarkan maksud atau makna yang terkandung dalam permainan tradisional, Sukirman (1992/ 1993: 46) membaginya menjadi lima bagian, yaitu:

a. Permainan yang bersifat menirukan suatu perbuatan.

Misalnya : pasaran (berjual beli), mantenan (permainan mempelai), dhayoh-dhayohan, membuat wayang dari janur (daun kelapa) atau tangkai rumput, dan lain sebagainya.

b. Permainan yang mencoba kekuatan dan kecakapan.

Misalnya : tarik menarik, bergantung, berkejar-kejaran, gobag sodor,

gobag bunder, bangkat, benthik, uncal, jelungan, genukandengan gendhongan, obrog, tembung (ecu), bandhulandan banyak lainnya.

c. Permainan yang semata-mata bertujuan untuk melatih panca indera

Misalnya : gatheng, dakon, macanan, sumbar suru, sumbar manuk, sumbar dulit, kubuk, adu keci, adu kemiri, main kelerang, jirak, bengkat, pathon,


(47)

dhakepan, menggambar di tanah, main bayang-bayangan seperti kidang talun

dan sebagainya.

d. Permainan dengan latihan bahasa

Misalnya Permainan Teka teki, seperti puk-puk bul, teng-teng cer, pitik walik sobo kebon, dan sebagainya.

e. Permainan dengan gerak lagu danwirama

Permainan yang beserta lagu dan wirama sangatlah luas dan banyak sekali perinciannya. Berikut golongan permainan beserta contohnya:

1) Golongan permainan yang semata-mata lagu yang menjadi pokok

Misalnya: lagu Padang bulan, Widadari tumurana, Uler-uler jedhung,

dan sebagainya.

2) Golongan lagu yang disertai gerak permainan a) Lagu yang menjadi pengantar suatu permainan

Misalnya, Jamuran, Tumbaran. Ancak-ancak alis, cublak-cublak suweng, dan sebagainya.

b) Lagu sebagai pengiring tari atau gerakwirama.

Misalnya, menggelangkan badan, mengangkat kaki, mencondongkan lambung dan lain sebagainya.

c) Lagu yang bersifat undian

Misalnya, lagu bangbang thut, cacah bencah, bethet thing thong, sobyung,dan sebagainya.


(48)

d) Lagu yang bersifat semacam teka-teki.

Misalnya, Lur kilir, kulir kombang, mbang, bangku dhuwur, wur, wora-wiri, ri, rina wengi, ngi, ngidul ngetan, tan, ...dan seterusnya.

e) Lagu yang dipakai pada suatu permainan yang membawa ke suasana

intrancebagi si pelaku.

Misalnya lagu:oncit, wedhus prucul, cit nong, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 1879 dan 1982 yang dilakukan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta di Daerah Istimewa Yogyakarta, teridentifikasi kurang lebih terdapat empat puluh jenis permainan tradisional yang tersebar di beberapa kecamatan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Keempat puluh jenis permainan tradisonal tersebut sangat beraneka ragam pola permainannya. Untuk mempermudah mengidentifikasinya Sukirman Dhamarmulya (2008 : 35) telah membaginya menjadi 3 kategori sesuai dengan pola permainannya, yakni :

a. Bermain dan bernyanyi dan (atau) dialog

Permainan anak pada pola bermain disertai dengan bernyanyi dan (atau) berdialog maksudnya ialah pada waktu permainan itu dimainkan yang diawali atau diselingi oleh nyanyian, dialog, atau nyanyian dan dialog. Inti dari permainan ini yaitu nyanyian dan dialog. Permainan anak yang dilakukan dengan bernyanyi, dengan irama tertentu sambil bertepuk tangan atau dengan gerakan-gerakan fisik tertentu. Pada umumnya permainannya bersifat rekreatif, interaktif, yang mengekspresikan pengenalan tentang lingkungan, hubungan


(49)

sosial, tebak-tebakan, dan sebagainya. Berikut ini jenis-jenis permainan yang termasuk dalam kategori pola bermain dengan bernyanyi serta berdialog.

Tabel 1. Jenis Permainan Kategori Bermain dan Bernyanyi dan (atau) Dialog

No Jenis permainan Pelaku permainan Permainan Akhir permainan

1 Ancak-ancak alis Perempuan/laki-laki Bernyanyi, dialog Kalah – menang 2 Bethet Thing-thong Perempuan/laki-laki Bernyanyi Dadi – mentas 3 Bibi tumbas timun Perempuan Bernyanyi, dialog Tidak ada

4 Cacah Bencah Perempuan Bernyanyi Dadi – mentas

5 Cublak-cublaksuweng Perempuan Bernyanyi Dadi – mentas 6 Genukan Perempuan/ laki-laki Bernyanyi, menari Kalah – menang 7 Gowokan Laki-laki / perempuan Bernyanyi, menari Dadi – mentas 8 Jamuran Perempuan / laki-laki Bernyanyi , dialog Dadi – mentas 9 Koko – koko Laki-laki / perempuan Dialog Dadi – mentas 10 Lepetan Laki-laki saja, atauperempuan saja Bernyanyi, dialog Tidak ada

11 Nini thowong Perempuan Bernyanyi Tidak ada

12 Dhingklik oglak-aglik Laki-laki / perempuan Bernyanyi Tidak ada 13 Dhoktri Laki-laki saja, atauperempuan saja Bernyanyi Kalah – menang 14 Epek –epek Laki-laki / perempuan Bernyanyi Kalah – menang

15 Gajah telena Laki-laki Bernyanyi Dadi – mentas

16 Gatheng Perempuan / laki-laki Bernyanyi Kalah – menang

17 Kubuk Perempuan Bernyanyi Kalah – menang

18 Kubuk manuk Laki-laki / Perempuan Bernyanyi Kalah – menang 19 Kucing- kucingan Laki-laki saja, atauperempuan saja Bernyanyi Dadi – mentas

20 Layangan Laki-laki Bernyanyi Kalah – menang

21 Sliring gending Laki–laki / perempuan Bernyanyi Dadi – mentas

22 Soyang Perempuan Bernyanyi, dialog Kalah – menang

b. Bermain dan olah pikir

Jenis permainan ini lebih banyak membutuhkan konsentrasi berpikir, ketenangan, kecerdikan, dan strategi. Pada umumnya permainan-permainan ini bersifat kompetitif perorangan, oleh karena itu tidak memerlukan tempat atau area permainan yang luas. Keempat jenis permainan tersebut dapat dilihat tabel berikut.

Tabel 2. Jenis Permainan Kategori Bermain dan Olah Pikir

No Jenis permainan Pemain Pola permainan Akhir permainan 1 Bas-basan sepur Laki-laki Berpikir Kalah – menang

2 Dakon Perempuan Berpikir Kalah – menang

3 Macanan Laki-laki Berpikir Kalah – menang


(50)

c. Bermain danaduketangkasan

Permainan jenis ini lebih banyak mengandalkan ketahanan dan kekuatan fisik. Selain itu, permainan ini juga membutuhkan alat permainan dan tempat bermain yang relatif luas. Permainannnya bersifat kompetitif, dan biasanya lebih banyak dimainkan oleh anak laki-laki. Pada umumnya, pola permainan jenis ini berakhir dengan posisi pemain menang – kalah atau mentas – dadi, dan ada sanksi hukuman bagi yang kalah misalnya menggendong yang menang, yang kalah menyanyi, dan sebagainya. Hukuman tersebut merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak. Jenis-jenis permainan tersebut dapat dilihat dalam tabel 3.

Tabel 3. Jenis Permainan Kategori Bermain danAduKetangkasan

No Jenis Permainan Pemain Pola Permainan Akhir Permainan

1 Anjir Laki-Laki Ketangkasanmelempar air Taruhan rumput 2 Angklek Perempuan / laki-laki Ketangkasan kaki dantangan Tidak ada 3 Bengkat Laki-laki Ketangkasan tangan Kalah – menang 4 Benthik Laki-lakiperempuan / Ketangkasan kaki dantangan Kalah – menang 5 Dekepan Perempuan / laki-laki Ketangkasandan penglihatantangan Kalah – menang 6 Dhing-dhingan Laki-laki Ketangkasan berenang Kalah – menang 7 Dhukter Perempuan / laki-laki Ketangkasan tangan Kalah – menang 8 Dhul-dhulan Laki-lakiPerempuan / Ketangkasan berlari Mentas – dadi 9 Embek-embekan Laki-laki Kekuatanketahanan fisik dan Kalah – menang 10 Gobag sodor Laki-lakiPerempuan / Ketangkasan kaki dantangan Kalah – menang 11 Jeg-jegan Laki-lakiPerempuan / Ketangkasan berlari Kalah – menang 12 Jirak Laki-laki Ketrampilan tangan Kalah – menang 13 Layung Laki-laki Ketangkasan tangan Kalah – menang 14 Pathon Laki-laki Ketangkasan tangan Kalah – menang 15 Patil lele Laki-lakiPerempuan / Ketangkasan kaki dantangan Mentas – dadi


(51)

Pada penelitian ini berdasarkan ketiga jenis permainan tradisional di atas permainan tradisional yang digunakan adalah dari jenis permainan kategori bermain dan adu ketangkasan.

4. Unsur Nilai Budaya dalam Permainan Tradisional

Sukirman (1992/ 1993: 1) mengungkapkan bahwa permainan merupakan sarana sekaligus wadah kegiatan pembinaan budaya. Hal ini diperkuat dengan pendapat Heddy Shri A.P. (dalam Sukirman, 2008 : 27) yang mengungkapkan bahwa permainan tradisional anak-anak mengandung nilai-nilai budaya tertentu serta mempunyai fungsi melatih pemainnya melakukan hal-hal yang penting nantinya bagi kehidupan mereka di tengah masyarakat.

Christriyati Ariani,dkk (1997/ 1998 : 163- 169) mengungkapkan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam permainan anak tradisional, yaitu:

a. Nilai demokrasi

Nilai demokrasi tampak sebelum anak memulai bermain. Anak-anak secara musyawarah (berunding) menentukan jenis permainan yang akan dimainkan, lalu membuat kesepakatan terkait aturan-aturan pada permainan yang disepakati yang harus diikuti bersama, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan permainan yang akan dilakukan. Semua hal tersebut dilakukan secara sukarela tanpa paksaan atau tekanan dari luar. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya anak-anak sejak jaman dahulu telah memiliki jiwa yang demokrasi.


(52)

b. Nilai Pendidikan

Permainan anak tradisional diyakini dapat dimanfaatkan sebagai wahana atau media pendidikan pada anak baik untuk aspek jasmani serta aspek rohani dalam berbagai segi seperti sifat sosial, sifat disiplin, etika, kejujuran, kemandirian dan percaya diri. Hadi sukatno (dalam Christriyati,dkk, 1997/ 1998: 164) mengakui bahwa permainan anak-anak dapat dijadikan sebagai alat pendidikan untuk mendekatkan seorang anak kepada kebudayaan sendiri.

Ki Hajar Dewantara (Sukirman dkk, 1992/ 1993: 53) menganjurkan persyaratan yang harus dipenuhi permainan untuk tujuan pendidikan, yaitu:

1) Permainannya haruslah menyenangkan untuk anak-anak.

2) Memberikan kesempatan pada anak untuk berfantasi atau berkreasi sesuai dengan ekspresi jiwa mereka selama aktivitas bermain.

3) Permainannya haruslah menantang untuk diselesaikan dan bukanlah permainan yang mudah agar permainannya tidak dapat disepelekan oleh anak.

4) Permainan yang mengandung kesenian.

5) Aktivitas dalam permainan tersebut haruslah mengandung isi yang dapat mendidik anak-anak ke arah ketertiban.

c. Nilai kepribadian

Pada setiap tahap perkembangan anak selalu diikuti oleh aktivitas bermain yang berlainan. Aktivitas bermain dipandang sebagai media yang tepat bagi anak dalam mengembangkan dan mengungkapkan jati dirinya. Pembentukan karakter tidak hanya terjadi di bangku sekolah saja, tetapi juga terjadi di


(53)

lingkungan masyarakat melalui kegiatan bermain. Melalui aktivitas bermain, anak dapat mengembangkan pribadinya seperti mengatasi masalah sehari-hari. Selain itu, anak dapat juga berlatih mengolah cipta, rasa dan karsa sehingga sikap seperti itu dapat menumbuhkan sikap arif dan bijaksana ketika sudah dewasa.

Jika ditelusuri lebih lanjut, maka terdapat aspek-aspek tertentu dalam permainan tradisional yang dapat dikembangkan dalam membentuk kepribadian anak, yaitu:

1) Aspek jasmani, meliputi permainan yang mengandung unsur kekuatan dan daya tahan tubuh serta kelenturan. Hal ini dapat melatih ketrampilan dasar motorik anak, kemampuan komunikasi sosial serta mengembangkan aspek emosional anak yang dapat mengarahakan pada sikap kepemimpinan pada anak.

2) Aspek psikis, meliputi unsur kemampuan berpikir, kemampuan berhitung, kemampuan bersiasat, kemampuan mengatasi hambatan, daya ingat, kreatifitas, fantasi serta perasaan irama. Unsur ini dapat dibentuk dan dikembangkan melalui permainan jamuran, cublek-cublek suweng, gatheng,dan sebagainya.

3) Aspek sosial, meliputi unsur kerjasama, suka akan keteraturan, hormat menghormati, berbalas budi, sifat malu dan sebagainya. Hal ini dapat dikembangkan terutama melalui permainan suatu peran seperti man dhoblang, wedhus prucul, dan sebagainya.


(54)

d. Nilai keberanian

Permainan tradisional ada yang dilakukan pada siang hari dan ada pula yang dilakukan pada malam hari, terutama pada saat bulan purnama. Ketika bermain pada malam hari, keberanian anak diuji untuk bisa mengikuti serta menyelesaikan permainan dengan baik. Selain itu, terdapat beberapa permainan tradisional yang mengandung unsur magis yang biasanya dilakukan ditempat angker. Pelaksanaan permainan ini sangatlah menuntut keberanian anak dalam memainkannya terutama untuk pemimpin permainan yang telah ditunjuk. Namun, sebenarnya sifat berani yang dimaksudkan disini ialah berani mengambil keputusan dengan memperhitungkan strategi-strategi tertentu, sehingga ia dapat memenangkan permainan tersebut.

e. Nilai kesehatan

Aktivitas bermain anak banyak menggunakan unsur berlari, melompat, berkejar-kejaran sehingga otot-otot tubuh dapat bergerak dan berfungsi sebagaimana mestinya. Secara tidak disadari hal terseut sangat membantu dalam menjaga kesehatan anak. Karena anak yang sehat dapat bergerak dengan lincah. Selain itu, emosi anak seperti rasa kesal atau yang lainnya dapat tersalurkan pula dalam kegiatan bermain.

f. Nilai persatuan

Mayoritas permainan tradisional dimainkan secara berkelompok. Permainan kelompok dapat dikatakan sebagai permainan yang positif karena masing-masing anggota kelompok harus mempunyai jiwa persatuan dan kesatuan kelompok untuk mencapai suatu tujuan yaitu kemenangan. Jadi,


(55)

masing-masing anggota harus mempunyai solidaritas kelompok yang tinggi. Hal ini sesuai dengan prinsiptepa sliramasyarakat jawa, yang lebih mengutamakan kepada kepentingan umum atau bersama daripada kepentingan pribadi. Masyarakat jawa berpandangan bahwa manusia ada bukan demi dirinya sendiri, melainkan ada solidaritas terhadap sesamanya.

g. Nilai moral

Nilai moral pada permainan tradisional sangat erat hubungannya dengan nilai filosofis permainan itu sendiri, yaitu pada dasarnya dapat membentuk kepribadian anak. Melalui permainan tradisional, anak dapat memahami dan mengenal kultur atau budaya bangsanya serta pesan-pesan moral yang terdapat di dalamnya.

5. Unsur-Unsur Disiplin dalam Permainan Tradisional dan Penerapannya

Sukirman (1993: 1) mengemukakan bahwa permainan anak tradisional selain sebagai sarana dan sekaligus pembinaan budaya juga mempunyai fungsi kultural edukatif didalamnya. Namun, bukan berarti semua permainan tradisional mengandung nilai pendidikan. Terdapat beberapa syarat yang harus dimiliki oleh permainan anak tradisional untuk tujuan pendidikan. Salah satunya ialah pada aktivitas bermain tersebut haruslah mengandung isi yang dapat mendidik anak-anak ke arah ketertiban. Hal ini menjadikan keberadaan peraturan permainan pada permainan anak tradisional sangat penting. Selain itu, peraturan merupakan salah satu bagian dari unsur – unsur disiplin.

Penerapan sikap disiplin tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsurnya, yaitu peraturan, hukuman, penghargaan, dan konsistensi. Keempat unsur tersebut


(56)

saling melengkapi dan saling mendukung. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Hurlock (1999: 84) bahwa kelengkapan dari keempat unsur tersebut sangatlah penting. Karena jika salah satu hal dari keempat unsur pokok tersebut menghilang atau tertinggal maka akan berpengaruh pada sikap anak yang dapat tidak menguntungkan bagi anak. Selain itu anak dapat berperilaku yang tidak sesuai dengan standar dan harapan sosial. Hal ini juga berlaku dalam permainan-permainan tradisional.

Permainan tradisional sangatlah beragam, berikut ini dua permainan tradisional yang menerapkan unsur-unsur disiplin didalamnya.

a. Gobag Sodor

Gobag sodor (Marsono,dkk, 1999: 13) merupakan jenis permainan anak yang bertempat di sebidang tanah lapang yang telah diberi garis-garis segi empat berpetak-petak, dimainkan dengan bergerak bebas dan berputar terdiri dari dua regu. Satu regu sebagai pemain atau istilah Jawa mentas dan sebuah regu sebagai penjaga atau istilah Jawa dadi. Gobag sodor berasal dari kata gobag dan sodor, yaitu gobag artinya bergerak dengan bebas dan sodor artinya tombak (Sigit Dwi Wintono,dkk, 2012: 10). Menurut Warsono, dkk (1999: 15) permainan ini dinamakan gobag sodor sesuai dengan bentuk permainan itu sendiri yaitu permainannya dapat bergerak bebas dan untuk memenangkannya para pemain harus kembali dengan selamat ke tempat asalnya ketika melintasi jalan yang lebih jauh dan penuh rintangan. Pada pelaksanaannya, para pemain seolah-olah dikejar dan dihadang oleh lawannya sebagai penjaga garis petak


(57)

atau garis sodor atau tombak lawan-lawannya yang selalu mengincar keselamatannya

Manfaat yang dapat diambil dari permainan ini antara lain sebagai hiburan, melatih kerja sama dalam tim, melatih kepemimpinan, mengasah kemampuan otak, mengasah kemampuan mencari strategi yang tepat, meningkatkan kekuatan dan ketangkasan, melatih tanggung jawab baik untuk diri sendiri ataupun kelompoknya, membangun sportivitas serta melatih kedisiplinan yaitu patuh pada aturan yang berlaku (Sukirman D,dkk, 1992/1993: 86-87; Sujarno,dkk, 2013: 133). Berikut ini penerapan unsur-unsur disiplin dalam permainan ini.

1) Peraturan

Gobag sodor merupakan jenis permainan kompetitif atau game, dalam pelaksanaannya terdapat peraturan permainan. Berikut ini peraturan permainan dalam gobag sodor (Christriyati Ariyani, 1997/1998: 106; Ahmad Yunus, 1980/1981: 64; Sigit Dwi Wintono,dkk, 2012: 12-13; Marsono,dkk, 1999: 21-22).

a) Pemain dalam grup jaga (penjaga), bergeraknya harus melewati garis melintang atau garis jaga masing-masing.

b) Cara penjaga dalam menyentuh pemain dalam grup lawan (pemain) tidak boleh dengan mengepalkan tangannya (meninju) jadi tangan harus dalam keadaan terbuka dan kaki penjaga tidak boleh keluar dari garis jaganya.


(58)

c) Garis sumbu (garis sodor) hanya berhak dilalui oleh penjaga garis melintang pertama (garis start).

d) Ketika akan mulai masuk garis harus melewati garis jaga atau masih dalam arena permainan.

e) Para pemain harus melewati semua garis jaga (garis melintang).

f)Para pemain tidak boleh tersentuh oleh para penjaga.

g) Sebuah kotak tidak boleh berisi dua pemain.

h) Para pemain diperbolehkan untuk Alih lintang (berganti kotak), tapi harus memberitahu terlebih dahulu atau tidak secara tiba-tiba pindah tanpa pemberitahuan.

i)Pemain yang sudah berhasil melewati garis belakang dan ketika akan kembali masuk untuk ke depan pemain harus menanti semua pemain masuk ke arena permainan dan pemain tidak boleh satu kotak dengan pemain lain yang belum melewati garis belakang.

j) Pemain tidak boleh menjegal kaki penjaga. 2) Hukuman

Pemberian hukuman pada pemain disesuaikan pada kesalahannya serta kesepakatan seluruh pemain diawal permainan. Ketika salah satu pemain melanggar peraturan point d), e), f), g), h) dan i), maka kelompok pemain dikenai hukuman pergantian pemain yaitu kelompok pemain berganti posisi menjadi penjaga begitu pula sebaliknya (Christriyati Ariyani, 1997/1998: 106; Ahmad Yunus, 1980/1981: 64; Sigit Dwi Wintono,dkk, 2012: 12-13; Marsono,dkk, 1999: 21-22).


(59)

Sedangkan untuk pelanggaran peraturan yang lain, hukuman yang diterima oleh pelanggar cenderung berupa hukuman sosial seperti adanya protes atau pertentangan dari pemain ataupun teman kelompoknya karena pelanggar telah curang (melanggar peraturan) (Marsono,dkk, 1999: 28). Jika pemain sering melakukan kecurangan maka pemain akan mendapatkan sanksi oleh pemain lainnya, yang mana biasanya pemain akan dijauhi atau tidak diajak bermain bersama lagi. Hukuman terkait menang-kalah dalam permainan tergantung dengan kesepakatan kedua belah pihak sebelum permainan dimulai, misalnya pihak yang kalah gendong kelompok yang menang (Marsono,dkk, 1999: 28; ).

3) Penghargaan

Pada permainan ini, bentuk penghargaan yang diberikan bagi kelompok yang menang sesuai dengan kesepakatan diawal permainan, misalnya pihak yang menangdigendongoleh kelompok yang kalah (Marsono,dkk, 1999: 28). 4) Konsistensi

Salah satu ciri khas permainan tradisional adalah persamaan kedudukan (hak dan kewajiban) dalam menjalankan peraturan, hukuman, serta penghargaan yang berlaku dalam permainan ini. Namun, ada pengecualian bagi pupuk bawang atau bawang kothong, Bawang kothong adalah peserta atau pemain yang masih kecil atau umurnya masih kurang dan sangat berhasrat atau berkeinginan kuat untuk ikut bermain.


(60)

b. Jeg- jegan

Permainan ini dikenal juga dengan nama betengan, raton, tembung, atau

gembung (Sujarno,dkk, 1999: 44). Jeg dalam kata jeg-jegan merupakan kependekan dari ngejegi yang berarti menduduki, jadi jeg-jegan memiliki arti saling menduduki (Depdikbud, 1998: 227).

Manfaat dalam permainan ini antara lain sebagai hiburan, mengasah kemampuan dalam memutuskan masalah, melatih kerja sama dalam tim, melatih kecepatan berlari, melatih tolong-menolong melalui usahanya dalam membebaskan anggotanya dari tawanan lawan, membangun sportivitas serta melatih kedisiplinan yaitu patuh pada aturan yang berlaku (Sujarno,dkk, 2013: 146).

1) Peraturan

Jeg-jegan merupakan jenis permainan kompetitif atau game, dalam pelaksanaannya terdapat peraturan permainan. Berikut ini peraturan permainan jeg-jegan (Depdikbud. 1998:227; Marsono, 1999: 51; Sukirman,dkk, 2004: 180-181).

a) Seorang pemain dari masing-masing kelompok hanya dapat mengejar seorang anggota kelompok lawan.

b) Jika seorang dikejar oleh lawan dan belum tertangkap, maka dia dapat kembali ke ngejegan dan dari sana kemudian dia boleh mengejar seorang lawan lain.


(61)

c) Begitu pula bila seseorang belum dapat menangkap lawan, dia harus kembali terlebih dahulu ke ngejegannya dan kemudian baru dapat mengejar seorang lawannya yang lain.

d) Peserta yang berada dingejeganmenjadi kebal tidak dapat dimatikan. e) Prinsip dasar dalam permainan ini adalah seorang pemain hanya dapat

mengejar atau dikejar oleh seorang pemain lawan.

f) Bila seseorang ditangkap oleh lawan maka pemain tersebut menjadi mati, dan harus masuk ke dalam penjara sebagai tawanan lawan.

g) Seseorang yang dalam status mati di dalam penjara dapat hidup kembali apabila tangannya telah disentuh (diselamatkan) oleh teman kelompoknya.

h) Sesudah seorang pemain dibebaskan dan hidup kembali maka dia harus kembali terlebih dahulu ke ngejegannya baru kemudian berhak untuk mengejar lawan.

i) Bila ngejegan sampai kosong (tidak ada seorang pemain pun yang menjaganya), maka ngejegan tadi dapat diduduki oleh lawan dan kelompok tersebut kalah.

2) Hukuman

Terdapat beberapa hukuman dalam permainan ini sesuai dengan kesalahan yang diperbuat. Bagi pemain yang dapat dikejar atau tersentuh oleh lawan yang lebih kuat maka dia akan menjadi tawanan bagi kelompok lawan, dan dia tidak boleh kemana-kemana atau dianggap mati. Pemain dianggap hidup kembali ketika ada anggota kelompoknya yang membebaskannya


(62)

dengan cara menyentuhnya. Selain itu, kelompok pemain dianggap kalah ketika jeg- jegannya dapat dikuasai oleh musuh yang ditandai dengan disentuhnya ngejegannya oleh lawan (musuh). Sedangkan untuk hukuman bagi kelompok yang kalah dalam pertandingan tergantung dengan kesepakatan kedua belah pihak sebelum permainan dimulai.

3) Penghargaan

Penghargaan dalam permainan ini berupa kemenangan permainan bagi kelompok pemain yang dapat menguasaijeg- jeganlawan.

4) Konsistensi

Salah satu ciri khas permainan tradisional adalah persamaan kedudukan (hak dan kewajiban) bagi semua pemain dalam menjalankan peraturan, hukuman, serta penghargaan yang berlaku dalam permainan ini. Namun, ada pengecualian bagi pupuk bawang atau bawang kothong. Bawang kothong

adalah peserta atau pemain yang masih kecil atau umurnya masih kurang dan sangat berhasrat atau berkeinginan kuat untuk ikut bermain.

Pada penelitian ini, permainan tradisional yang akan digunakan sebagai tindakan dalam meningkatkan sikap disiplin siswa adalah gobag sodor dan jeg-jegan.

D. Karakteristik Anak Sekolah Dasar

Usia perkembangan anak-anak sekolah dasar termasuk dalam masa kanak-kanak akhir. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Rita Eka Izzaty, dkk (2013: 114) bahwa masa kanak-kanak akhir dibagi menjadi dua fase.Pertama,


(63)

biasanya berlangsung antara usia 6 atau 7 tahun sampai 9 atau 10 tahun. Kedua, fase kelas-kelas tinggi Sekolah Dasar yaitu pada saat kelas 4, 5, dan 6 yang biasanya berlangsung antara usia 9 atau 10 tahun sampai 12 atau 13 tahun.

Tugas perkembangan pada masa kanak-kanak akhir meliputi; 1) Belajar keterampilan fisik yang diperlukan untuk bermain, 2) mengembangkan sikap yang sehat mengenai diri sendiri, 3) belajar bergaul dengan teman sebaya, 4) mengembangkan peran sosial pria atau wanita, 5) mengembangkan keterampilan– keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung, 6) mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, 7) mengembangkan kata batin, moral dan skala nilai, 8) mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga, 9) mencapai kebebasan pribadi. Penyelesaian tugas-tugas perkembangan ini bukan menjadi tugas pribadi anak saja tetapi lingkungan keluarga, sekolah serta lingkungan teman sebayanya juga turut serta dalam mewarnai penyelesaian tugas perkembangan anak tersebut.

Ciri-ciri khas anak masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar antara lain; 1) perhatiannya tertuju kepada kehidupan praktis sehari-hari, 2) ingin tahu, ingin belajar dan realistis, 3) timbul minat kepada pelajaran-pelajaran khusus, 4) anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi belajaranya di sekolah, 5) anak-anak suka membentuk kelompok sebaya atau peergroup untuk bermain bersama, mereka membuat peraturan sendiri dalam kelompoknya.

Rita Eka Izzaty, dkk (2013: 112) mengungkapakan bahwa anak pada masa kanak-kanak akhir sudah masuk dalam aktivitas sekolah, sehingga mau tidak mau akan mengurangi waktu bermainnya dibandingkan pada masa


(64)

kanak-kanak awal. Namun, aktivitas bermain jangan sampai menghilang dari aktivitas sehari-hari anak. Karena bermain sebenarnya banyak memberikan manfaat positif dalam diri anak. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Rita Eka Izzaty (2013: 113) bahwa bermain sangat penting bagi perkembangan fisik, psikis dan sosial anak. Selain itu, bermain yang dilakukan secara kelompok juga dapat memberikan peluang dan pelajaran bagi anak untuk berinteraksi, bertenggang rasa dengan sesama teman.

E. Disiplin Siswa Di Sekolah

Konsep disiplin berkaitan dengan tata tertib, aturan, atau norma dalam kehidupan bersama (yang melibatkan orang banyak). Kedisiplinan di lingkungan sekolah memegang peran penting dalam tercapainya tujuan pendidikan. Maman Rachman (1997: 170) mengungkapkan bahwa kedisiplinan di sekolah menyangkut perilaku seluruh warga sekolah, termasuk para siswa.

Ali Imron (2011: 172) mengungkapkan bahwa kedisiplinan siswa merupakan suatu keadaan tertib dan teratur yang dimiliki oleh siswa di sekolah, tanpa ada pelanggaran-pelanggaran yang merugikan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap siswa sendiri dan terhadap sekolah keseluruhan. Pada pelaksanaannya, keberadaan kedisiplinan siswa juga bersangkutan dengan kedisiplinan belajar. Menurut Buchari Alma,dkk (2010: 11) salah satu bentuk kedisiplinan belajar di sekolah adalah kedisiplinan waktu yaitu berkaitan dengan perilaku siswa dalam menghargai waktu.


(65)

1. Aspek disiplin siswa di lingkungan keluarga

Disiplin keluarga mempunyai peran penting agar anak segera belajar dalam hal perilaku. Sering kali lingkungan keluarga disebut sebagai lingkungan pertama anak didalam pendidikan dan memiliki peran penting dalam membentuk pola kepribadian anak. Hal ini berkaitan dengan pengenalan mengenai norma dan nilai pertama kali dirasakan oleh anak di lingkungan keluarga. Aspek disiplin di lingkungan keluarga antara lain yaitu mengerjakan tugas sekolah di rumah, mempersiapkan keperluan sekolah dirumah.

2. Aspek disiplin siswa di lingkungan sekolah

Pada lingkungan sekolah, hal yang dimaksud dengan disiplin sekolah adalah peraturan sekolah. Melalui peraturan, anak akan mengerti hal-hal yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dilakukan oleh anak di lingkungan sekolah. Disiplin sekolah merupakan hal yang sangat penting dalam tata tertib yang ditujukan untuk siswa. Apabila disiplin sekolah telah menjadi kebiasaan belajar, maka nantinya siswa benar-benar menganggap kalau belajar disekolah merupakan suatu kebutuhan bukan sebgai kewajiban atau tekanan. Aspek disiplin siswa di lingkungan sekolah antara lain: sikap siswa dikelas, kehadiran siswa, melaksanakan tata tertib sekolah.

3. Aspek disiplin siswa di lingkungan pergaulan

Pada lingkungan pergaulan, peraturan lapangan bermain merupakan inti dari disiplin pergaulan. Peraturan disini mengatur tingkah laku kelompok serta mempunyai nilai pendidikan. Karena melalui peraturan anak akan mengenal mengenai perilaku yang disetujui oleh anggota kelompoknya. Hal-hal yang


(66)

berhubungan dengan disiplin waktu serta pelaksanaan peraturan permainan merupakan beberapa hal dalam aspek disiplin siswa dalam pergaulan.

Soekidjo Notoatmodjo (2003: 125) menjelaskan bahwa pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting dalam penentuan sikap yang utuh (total attitude). Jadi dapat diketahui bahwa kognisi siswa tentang kedisiplinan mempunyai peranan terhadap sikap disiplin siswa. Kemendiknas (2010: 34) telah menyebutkan beberapa indikator untuk dikembangkan yang diharapkan dapat dimiliki oleh para siswa kelas 4 sampai 6 Sekolah Dasar, yaitu:

1) Menyelesaikan tugas pada waktunya

2) Saling menjaga dengan teman agar semua tugas-tugas kelas terlaksana dengan baik.

3) Selalu mengajak teman menjaga ketertiban kelas.

4) Mengingatkan teman yang melanggar peraturan dengan kata-kata sopan dan tidak menyinggung.

5) Mematuhi peraturan sekolah

Berdasarkan hal tersebut, indikator sikap disiplin yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Mengetahui makna disiplin

2) Menyelesaikan tugas pada waktunya.

3) Bersama-sama (teman) menjaga semua tugas terlaksana. 4) Menjaga ketertiban kelas.


(67)

F. Definisi Operasional

1. Sikap disiplin adalah suatu pola perilaku manusia yang berkaitan dengan ketaatan dan ketertiban. Pada penerapannya tidak lepas dari keberadaan unsur-unsur disiplin yaitu peraturan, hukuman, penghargaan, dan konsistensi.

2. Permainan tradisional adalah salah satu bentuk kebudayaan bangsa berupa permainan rakyat atau dolanan rakyat yang diwariskan secara turun temurun oleh para leluhur tanpa diketahui asal muasal atau penciptanya. Jenis-jenis permainan tradisional sangat beraneka ragam. Pada permainan tradisional terkandung nilai-nilai budaya serta beberapa diantaranya dapat menerapkan unsur-unsur disiplin didalamnya. Beberapa diantaranya yaitu, gobag sodor

dan jeg-jegan.

G. Kerangka Berpikir

Berdasarkan kajian teori yang telah dipaparkan dapat diketahui bahwa sikap disiplin merupakan suatu pola perilaku yang berkaitan dengan ketaatan atau rasa patuh terhadap peraturan dan tata tertib. Kedisiplinan sangat penting dalam membentuk sikap serta perilaku anak agar pada dewasa nantinya dapat bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku dalam sebuah kelompok atau masyarakat. Pengetahuan, ide dan keyakinan tentang disiplin memiliki peranan penting terhadap penentuan sikap atau sikap yang dihasilkan.

Pada penerapan kedisiplinan, keberadaan empat unsur disiplin yaitu peraturan, hukuman, penghargaan, serta konsistensi saling berkaitan satu sama lain. Keempatnya membantu mewujudkan peran penting disiplin dalam


(1)

158

Lampiran 17. Foto Dokumentasi Penelitian DOKUMENTASI PENGUMPULAN DATA PENELITIAN

Siswa membuat garis untuk permainan gobag sodormenggunakan media tepung

Kelompok pemain berdiri didepan garis dan segera memulai permainan

gobag sodor

Siswa bermainjeg-jeganpada waktu sore hari sepulang sekolah.

Siswa bermaingobag sodorketika sedang istirahat menjelan

g shalat ashar

Pemain berusaha mengecoh lawan agar dapat menembus penjagaannnya

Siswa berlari setelah membebaskan anggotanya dari tahanan lawan dalam


(2)

159 Siswa merayakan kemenangan

kelompoknya pada permainan jeg-jegandan bersiap berkumpul untuk

berdiskusi.

Pendamping beristirahat setelah mendampingi siswa bermain sambil

menunggu siswa berkumpul untuk berdiskusi

Siswa bekumpul setelah selesai bermain untuk selanjutnya berdiskusi

bersama-sama.

Siswa sedang mengisi lembar angket yang telah dibagikan pada seluruh siswa kelas V


(3)

160


(4)

(5)

(6)