Evaluasi peresapan kasus pediatri di bangsal anak rumah sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007 : kajian kasus gangguan sistem saluran nafas.

(1)

ix

INTISARI

Pasien pediatri merupakan salah satu kelompok populasi yang sangat rentan. Banyak obat dibutuhkan tetapi tidak tersedia dalam bentuk sediaan yang sesuai sehingga memerlukan modifikasi bentuk sediaan. Hal ini membutuhkan jaminan keamanan penggunaan obat tersebut. Salah satu penyebab utama kematian bayi di Indonesia adalah gangguan sistem saluran nafas. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan evaluasi peresepan kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007, kajian kasus gangguan sistem saluran nafas.

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental, rancangan penelitian deskriptif evaluatif yang bersifat prospektif. Secara umum bertujuan mengevaluasi peresepan kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007. Secara khusus bertujuan mengetahui alasan atau latar belakang pemilihan dan atau penggunaan obat racikan, mengetahui profil kasus, dan pola peresepan kasus pediatri yang menerima resep racikan, serta mengetahui kerasionalan dan dampak terapi kasus pediatri dengan gangguan sistem saluran nafas, dilihat berdasarkan studi literatur. Langkah penelitian dibagi dalam 3 tahap, yaitu tahap orientasi, pengambilan data, dan penyelesaian data.

Hasil penelitian menunjukkan 99 kasus pediatri menerima resep racikan. Persentase kasus paling banyak kelompok umur >1–6 tahun 62,6%; berjenis kelamin laki-laki 59,6%; satu diagnosis terbanyak gangguan sistem saluran cerna 30,3%; diagnosis kedua terbanyak gangguan sistem saluran nafas 15,2%. Penggunaan satu jenis obat racikan 54,5%, paling sering digunakan parasetamol dan fenobarbital 39,4%. Penggunaan obat non racikan terdiri 8 kelas terapi, paling banyak obat sistem saluran cerna 91,9%. Obat yang mempengaruhi nutrisi dan darah 85,9%; antiinfeksi 80,8%; kortikosteroid 64,6%; obat sistem saluran nafas 58,6%; analgesik 29,3%; antihistamin 25,3%; obat sistem saraf pusat 21,2%. Evaluasi Drug Related Problems pada 25 kasus pediatri dengan gangguan sistem saluran nafas menunjukkan 23 kasus obat tanpa indikasi, 21 kasus dosis terlalu rendah, 17 kasus dosis terlalu tinggi, dan 1 kasus butuh terapi obat tambahan (bersifat aktual). Sebanyak 23 kasus efek obat merugikan dan interaksi obat bersifat potensial. Rata-rata lama tinggal pasien di rumah sakit 5 hari, dan keluar dalam kondisi sembuh 92%.


(2)

x

ABSTRACT

Pediatric patients are one of the population group which is very susceptible. Many medicines are needed, but not all of them are available in the appropriate form, so modification dosage form is needed. Thus, we need a safety using those medicines. One of the major infant mortality in Indonesia is respiratory tract disorder. Based on that reason, we have already evaluated pediatric case prescription in pediatric ward of Bethesda Hospital that receives compounding prescription during July 2007.

This is a non experimental, prospectively evaluational-descriptive case study. In general, the objective of this study is to evaluate pediatric case prescription in pediatric ward of Bethesda Hospital that receives compounding prescription during July 2007. Specially, the objective of this study is to know the reason or the background of choosing and using compounding medicines, to know cases profile, and prescription pattern of pediatric cases, and to know the rasionalization and therapy impact of pediatric cases with respiratory tract disorder, based on literature study. This study is divided into 3 stages, which are orientation, data collecting, and data finalizing stage.

The outcome indicates that 99 pediatric cases receive compounding prescription. Most of them are >1-6 years old (62%); male (59,6%); most of the diagnose is gastrointestinal tract disorder (30,3%), and the second of the most is respiratory tract disorder (15,2%). Single type compound comprising 59,6% prescription, most of them contain paracetamol and phenobarbital (39,4%). The using of non compounding medicines consist of 8 therapy classes, mostly are gastrointestinal tract medicines (91,9%). The amount of medicines that influence blood and nutrition are 85,9%; anti infections are 80,8%; corticosteroids are 64,6%; respiratory tract medicines are 58,6%; analgesics are 29,3%; anti histamines are 25,3%; and central nervous system medicines are 21,2%. Evaluation of Drug Related Problems to 25 pediatric cases with respiratory tract disorder shows 23 cases unnecessary drug therapy, 21 cases dose too low, 17 cases dose too high, and 1 case needs for additional drug therapy (actual characteristic). There are 23 cases adverse drug reaction and drug interaction with potential characteristic. The average length of stay (LOS) patient in hospital is about 5 days, and out patient in a cured condition is about 92%.

Keywords: pediatric patient, compounding prescription, Drug Related Problems (DRPs).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

EVALUASI PERESEPAN KASUS PEDIATRI DI BANGSAL ANAK RUMAH SAKIT BETHESDA YANG MENERIMA RESEP RACIKAN DALAM

PERIODE JULI 2007

(Kajian Kasus Gangguan Sistem Saluran Nafas)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Novi Listyani Wibowo NIM: 048114020

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

ii

EVALUASI PERESEPAN KASUS PEDIATRI DI BANGSAL ANAK RUMAH SAKIT BETHESDA YANG MENERIMA RESEP RACIKAN DALAM

PERIODE JULI 2007

(Kajian Kasus Gangguan Sistem Saluran Nafas)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Novi Listyani Wibowo NIM: 048114020

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2008

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

(6)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(7)

v

“ Karena TUHAN lah yang memberikan hikmat, dari mulut -N ya datang pengetahuan dan kepandaian. Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya, sambil menjaga jalan keadilan, dan memelihara jalan orang-orang-N ya yang setia”

Amsal 2 : 6-8

“ Pada hari aku berseru, Engkau pun menjaw ab aku, Engkau menambahkan kekuatan dalam jiw aku”

M azmur 138 : 3

Kupersembahkan karya ini untuk yang terkasih :

Tuhan Yesus Krist us yang selalu membimbing, menyert ai dan memampukanku melalui hari-hariku.

Papa Harry dan mama Tit ien sebagai t anda cint a dan w ujud bakt iku. Ko Eko, Ko Andre, Ci Vivi, Ko Hansen, dan Agung at as doa, dukungan, bant uan sert a semangat yang selalu diberikan.


(8)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(9)

vi

PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala Berkat dan kasih-Nya yang senantiasa menyertai sehingga penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Evaluasi Peresepan Kasus Pediatri di Bangsal Anak Rumah Sakit Bethesda yang Menerima Resep Racikan dalam Periode Juli 2007 (Kajian Kasus Gangguan Sistem Saluran Nafas)” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) di Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Sejak penelitian mulai dilakukan hingga penyusunan skripsi diselesaikan, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan selaku dosen pembimbing atas bimbingan, saran, dan pengarahan, serta semangat yang diberikan selama penelitian maupun dalam penyusunan skripsi ini.

2. Aris Widayati, M.Si., Apt. dan Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., serta Dra. L. Endang Budiarti, M. Pharm. Apt., selaku penguji skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berarti bagi penulis dalam penyusunan skripsi ini.

3. Kepala dan Staf Instalasi Farmasi Rumah Sakit Bethesda yang banyak membantu dalam proses pengambilan data.

4. Bu Wiwin selaku kepala perawat bangsal anak Rumah Sakit Bethesda dan semua perawat serta pramurukti yang bertugas di bangsal anak Rumah Sakit


(10)

vii

Bethesda atas bantuan dan kerjasama yang baik sehingga proses pengambilan data dapat berjalan dengan lancar.

5. Adik-adik pasien pediatri yang secara tidak langsung telah membantu dan mendukung penelitian ini.

6. Teman seperjuangan: Amanda, untuk semangat, kerja sama, dan bantuan yang telah diberikan.

7. Teman sepenanggungan: Tata dan Erline untuk kerja sama, kebersamaan, dan kekompakan selama penelitian ini dilakukan.

8. Teman-teman angkatan 2004 FKK: Made, Rina, Reni, Atin, Sisca, Wida, Anna, Nur, Rissa, Henny, Bosco, Liza, Pipin, Rosa, Limdra atas kebersamaan dalam suka-duka selama kuliah maupun praktikum.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu terwujudnya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dalam penyusunannya masih banyak memiliki kekurangan. Untuk itu, semua saran dan kritik yang dapat membangun sangatlah diharapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu kefarmasian dan bagi semua pembaca.

Yogyakarta, Januari 2008 Penulis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(11)

(12)

ix

INTISARI

Pasien pediatri merupakan salah satu kelompok populasi yang sangat rentan. Banyak obat dibutuhkan tetapi tidak tersedia dalam bentuk sediaan yang sesuai sehingga memerlukan modifikasi bentuk sediaan. Hal ini membutuhkan jaminan keamanan penggunaan obat tersebut. Salah satu penyebab utama kematian bayi di Indonesia adalah gangguan sistem saluran nafas. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan evaluasi peresepan kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007, kajian kasus gangguan sistem saluran nafas.

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental, rancangan penelitian deskriptif evaluatif yang bersifat prospektif. Secara umum bertujuan mengevaluasi peresepan kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007. Secara khusus bertujuan mengetahui alasan atau latar belakang pemilihan dan atau penggunaan obat racikan, mengetahui profil kasus, dan pola peresepan kasus pediatri yang menerima resep racikan, serta mengetahui kerasionalan dan dampak terapi kasus pediatri dengan gangguan sistem saluran nafas, dilihat berdasarkan studi literatur. Langkah penelitian dibagi dalam 3 tahap, yaitu tahap orientasi, pengambilan data, dan penyelesaian data.

Hasil penelitian menunjukkan 99 kasus pediatri menerima resep racikan. Persentase kasus paling banyak kelompok umur >1–6 tahun 62,6%; berjenis kelamin laki-laki 59,6%; satu diagnosis terbanyak gangguan sistem saluran cerna 30,3%; diagnosis kedua terbanyak gangguan sistem saluran nafas 15,2%. Penggunaan satu jenis obat racikan 54,5%, paling sering digunakan parasetamol dan fenobarbital 39,4%. Penggunaan obat non racikan terdiri 8 kelas terapi, paling banyak obat sistem saluran cerna 91,9%. Obat yang mempengaruhi nutrisi dan darah 85,9%; antiinfeksi 80,8%; kortikosteroid 64,6%; obat sistem saluran nafas 58,6%; analgesik 29,3%; antihistamin 25,3%; obat sistem saraf pusat 21,2%. Evaluasi Drug Related Problems pada 25 kasus pediatri dengan gangguan sistem saluran nafas menunjukkan 23 kasus obat tanpa indikasi, 21 kasus dosis terlalu rendah, 17 kasus dosis terlalu tinggi, dan 1 kasus butuh terapi obat tambahan (bersifat aktual). Sebanyak 23 kasus efek obat merugikan dan interaksi obat bersifat potensial. Rata-rata lama tinggal pasien di rumah sakit 5 hari, dan keluar dalam kondisi sembuh 92%.

Kata kunci: pasien pediatri, resep racikan, Drug Related Problems (DRPs).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(13)

x

ABSTRACT

Pediatric patients are one of the population group which is very susceptible. Many medicines are needed, but not all of them are available in the appropriate form, so modification dosage form is needed. Thus, we need a safety using those medicines. One of the major infant mortality in Indonesia is respiratory tract disorder. Based on that reason, we have already evaluated pediatric case prescription in pediatric ward of Bethesda Hospital that receives compounding prescription during July 2007.

This is a non experimental, prospectively evaluational-descriptive case study. In general, the objective of this study is to evaluate pediatric case prescription in pediatric ward of Bethesda Hospital that receives compounding prescription during July 2007. Specially, the objective of this study is to know the reason or the background of choosing and using compounding medicines, to know cases profile, and prescription pattern of pediatric cases, and to know the rasionalization and therapy impact of pediatric cases with respiratory tract disorder, based on literature study. This study is divided into 3 stages, which are orientation, data collecting, and data finalizing stage.

The outcome indicates that 99 pediatric cases receive compounding prescription. Most of them are >1-6 years old (62%); male (59,6%); most of the diagnose is gastrointestinal tract disorder (30,3%), and the second of the most is respiratory tract disorder (15,2%). Single type compound comprising 59,6% prescription, most of them contain paracetamol and phenobarbital (39,4%). The using of non compounding medicines consist of 8 therapy classes, mostly are gastrointestinal tract medicines (91,9%). The amount of medicines that influence blood and nutrition are 85,9%; anti infections are 80,8%; corticosteroids are 64,6%; respiratory tract medicines are 58,6%; analgesics are 29,3%; anti histamines are 25,3%; and central nervous system medicines are 21,2%. Evaluation of Drug Related Problems to 25 pediatric cases with respiratory tract disorder shows 23 cases unnecessary drug therapy, 21 cases dose too low, 17 cases dose too high, and 1 case needs for additional drug therapy (actual characteristic). There are 23 cases adverse drug reaction and drug interaction with potential characteristic. The average length of stay (LOS) patient in hospital is about 5 days, and out patient in a cured condition is about 92%.

Keywords: pediatric patient, compounding prescription, Drug Related Problems (DRPs).


(14)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………. ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………... iii

HALAMAN PENGESAHAN………... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……… v

PRAKATA……….... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……… viii

INTISARI………..… ix

ABSTRACT……….… x

DAFTAR ISI………... xi

DAFTAR TABEL………. xv

DAFTAR GAMBAR……… xvii

DAFTAR LAMPIRAN……… xviii

BAB I. PENGANTAR………... 1

A. Latar Belakang………... 1

1. Permasalahan………... 4

2. Keaslian penelitian……….... 4

3. Manfaat penelitian………. 5

B. Tujuan Penelitian………... 6

1. Tujuan umum……… 6

2. Tujuan khusus……….……….. 6

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(15)

xii

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA………..………. 7

A. Pediatri……….……….. 7

1. Pengertian………... 7

2. Farmakokinetika obat pada pasien pediatri………... 8

3. Peresepan kelompok anak………. 10

B. Sistem Saluran Nafas………... 11

1. Sistem saluran nafas atas………..………. 13

2. Sistem saluran nafas bawah………... 13

C. Gangguan Sistem Saluran Nafas………... 14

1. Asma………... 14

2. Faringitis……… 16

3. Bronkitis akut……… 20

4. Bronkiolitis………... 22

5. Pneumonia………... 24

D. Drug Related Problems (DRPs)………. 27

E. Keterangan Empiris……… 30

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN………. 31

A. Jenis dan Rancangan Penelitian………. 31

B. Definisi Operasional………... 31

C. Subyek Penelitian………... 33

D. Bahan Penelitian………. 34


(16)

xiii

F. Tata Cara Penelitian………... 34

1. Tahap orientasi………... 35

2. Tahap pengambilan data……… 35

3. Tahap penyelesaian data……… 35

G. Tata Cara Analisis Hasil………. 36

H. Kesulitan Penelitian………... 37

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………... 39

A. Alasan / Latar Belakang Pemilihan dan / atau Penggunaan Obat Racikan pada Pasien Pediatri yang Dirawat di Bangsal Anak Rumah Sakit Bethesda………. 39

1. Dokter anak………... 39

2. Apoteker………... 40

3. Perawat dan orang tua pasien……….... 41

B. Profil Kasus Pediatri di Bangsal Anak Rumah Sakit Bethesda yang Menerima Resep Racikan dalam Periode Juli 2007………... 42

1. Persentase kasus berdasarkan umur……….. 42

2. Persentase kasus berdasarkan jenis kelamin………. 43

3. Persentase kasus berdasarkan diagnosis………... 44

C. Pola Peresepan Kasus Pediatri di Bangsal Anak Rumah Sakit Bethesda yang Menerima Resep Racikan dalam Periode Julli 2007, meliputi Obat Racikan dan Non Racikan………... 45

1. Pola peresepan obat racikan……….. 45

2. Pola peresepan obat non racikan………... 49

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(17)

xiv

D. Evaluasi Kerasionalan Terapi dan Dampak Terapi Kasus Gangguan Sistem Saluran Nafas di Bangsal Anak Rumah Sakit Bethesda yang

Menerima Resep Racikan dalam Periode Juli 2007………... 58

1. Evaluasi kerasionalan terapi……….. 58

2. Dampak terapi………... 65

E. Rangkuman Pembahasan……… 67

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………. 69

A. Kesimpulan……….... 69

B. Saran………..…. 70

DAFTAR PUSTAKA………... 71

LAMPIRAN………..…… 74


(18)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Rumus yang digunakan dalam perhitungan dosis untuk pediatri…. 11 Tabel II. Penyebab-penyebab drug related problems (DRPs)……… 28 Tabel III. Keterangan kelas signifikansi interaksi……… 29 Tabel IV. Persentase kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda

yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007 berdasarkan diagnosis……….……….. 45 Tabel V. Jenis racikan yang digunakan pada kasus pediatri di bangsal anak

Rumah Sakit Bethesda yang menerima satu jenis racikan dalam

periode Juli 2007……….. 46

Tabel VI. Jenis racikan yang digunakan pada kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima dua jenis racikan dalam

periode Juli 2007……….. 47

Tabel VII. Jenis racikan yang digunakan pada kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima tiga jenis racikan dalam

periode Juli 2007……….. 48

Tabel VIII. Jenis racikan yang digunakan pada kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima empat jenis racikan dalam

periode Juli 2007……….. 48

Tabel IX. Golongan dan jenis obat sistem saluran cerna yang digunakan pada kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007……… 50 Tabel X. Golongan dan jenis obat yang mempengaruhi nutrisi dan darah

yang digunakan pada kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007… 51 Tabel XI. Golongan dan jenis obat antiinfeksi yang digunakan pada kasus

pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007………. 53 Tabel XII. Golongan dan jenis obat kortikosteroid yang digunakan pada

kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007……… 53

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(19)

xvi

Tabel XIII. Golongan dan jenis obat sistem saluran nafas yang digunakan pada kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007……… 54 Tabel XIV. Golongan dan jenis obat analgesik yang digunakan pada kasus

pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007………. 56 Tabel XV. Golongan dan jenis obat antihistamin yang digunakan pada kasus

pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007………. 56 Tabel XVI. Golongan dan jenis obat sistem saraf pusat yang digunakan pada

kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007……… 57 Tabel XVII. DRPs kasus 1 gangguan sistem saluran nafas di Rumah Sakit

Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007… 59 Tabel XVIII. DRPs kasus 2 gangguan sistem saluran nafas di Rumah Sakit

Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007… 60 Tabel XIX. DRPs kasus 5 gangguan sistem saluran nafas di Rumah Sakit

Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007… 61 Tabel XX. DRPs kasus 17 gangguan sistem saluran nafas di Rumah Sakit

Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007… 62 Tabel XXI. DRPs kasus 24 gangguan sistem saluran nafas di Rumah Sakit

Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007… 63 Tabel XXII. DRPs kasus 25 gangguan sistem saluran nafas di Rumah Sakit

Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007… 64 Tabel XXIII. Jenis DRPs yang ditemukan pada kasus pediatri dengan gangguan

sistem saluran nafas di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007……… 65 Tabel XXIV. Kondisi kasus pediatri dengan gangguan sistem saluran nafas saat


(20)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Sistem saluran nafas………. 12 Gambar 2. Persentase kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda

yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007

berdasarkan umur………. 43

Gambar 3. Persentase kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007 berdasarkan jenis kelamin……….... 44 Gambar 4. Persentase kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda

yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007 berdasarkan banyaknya jenis racikan yang diperoleh……….. 46 Gambar 5. Kelas terapi obat yang digunakan pada kasus pediatri di bangsal

anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam

periode Juli 2007……….. 49

Gambar 6. Lama tinggal kasus pediatri dengan gangguan sistem saluran nafas di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda dalam periode Juli

2007……….. 66

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(21)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1 Hasil Wawancara Terhadap Dokter Anak, Apoteker Rawat Inap,

Perawat, dan Orang Tua Pasien………... 74 Lampiran 2 Golongan dan Jenis Obat yang Digunakan pada Kasus Pediatri di

Bangsal Anak Rumah Sakit Bethesda yang Menerima Resep Racikan dalam Periode Juli 2007………. 82 Lampiran 3 Data Kasus Pediatri dengan Gangguan Sistem Saluran Nafas di

Bangsal Anak Rumah Sakit Bethesda yang Menerima Resep Racikan dalam Periode Juli 2007………. 87 Lampiran 4 Ringkasan DRPs yang Ditemukan pada Kasus Pediatri dengan

Gangguan Sistem Saluran Nafas di Bangsal Anak Rumah Sakit Bethesda yang Menerima Resep Racikan dalam Periode Juli 2007 112


(22)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Pasien pediatri merupakan salah satu kelompok populasi yang rentan terhadap Adverse Drug Reaction (ADR). Penelitian di beberapa Rumah Sakit di USA menunjukkan sejumlah pasien pediatri harus dirawatinapkan karena ADR penggunaan obat meskipun persentasenya tidak sebesar kejadian pada orang tua (Mitchell, Lacouture, Sheehan, Kauffman, and Shapiro, 1988). Penelitian lain menyebutkan adverse effect akibat penggunaan obat pada anak di bawah 2 tahun menimbulkan kematian yang signifikan (Moore, Weiss, Kaplan, and Blaidel, 2002).

Adanya variasi dalam absorpsi pada pengobatan dari saluran gastrointestinal, lokasi injeksi intramuskular, dan kulit sangat penting pada pasien pediatri, terutama bagi bayi yang baru lahir dan bayi prematur. Perkembangan fungsi organ, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat berbeda tidak hanya antara pasien pediatri dengan pasien dewasa, tetapi juga antar kelompok umur pada pasein pediatri (Nahata and Taketomo, 2005).

Penggunaan obat yang paling banyak adalah untuk pasien pediatri, namun hanya seperempat obat yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) yang memiliki indikasi spesifik untuk digunakan pada pasien pediatri. Data farmakokinetik, farmakodinamik, efikasi, dan keamanan obat pada bayi dan anak-anak sangatlah jarang dilaporkan (Nahata and Taketomo, 2005).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(23)

Hasil pertemuan World Health Organization (WHO) yang ke-60 pada bulan April 2007 mengatakan bahwa terdapat kekurangan dalam pengobatan untuk anak-anak yaitu karena tidak adanya bentuk sediaan yang cocok untuk anak-anak-anak-anak. Anak di bawah umur 3 tahun lebih cocok menggunakan bentuk sediaan sirup atau tablet kunyah karena lebih mudah untuk ditelan. Dilaporkan juga bahwa anak kecil kadang kala mengalami penyumbatan pada saluran nafas sehingga menimbulkan sesak nafas pada saat menelan tablet yang besar. Awal tahun ini ditemukan 4 anak yang berumur di bawah 36 bulan meninggal akibat tersumbat tablet albendazol (Anonim, 2007b).

Banyak obat dibutuhkan oleh pasien pediatri tetapi tidak tersedia dalam bentuk sediaan yang sesuai. Oleh karena itu, bentuk sediaan yang ditujukan untuk pasien dewasa dimodifikasi untuk pasien bayi dan anak-anak, sehingga membutuhkan jaminan potensi dan keamanan dari penggunaan obat tersebut (Nahata and Taketomo, 2005). Proses peracikan dan interaksi obat dalam racikan dapat mengakibatkan perubahan sifat obat. Sebagai akibat pencampuran obat dalam peracikan, beberapa hal yang dapat berubah adalah khasiat dan keamanan obat, misalnya timbulnya sifat toksik obat, berkurangnya dosis zat aktif, dan sebagainya.

Hasil penelitian terhadap semua kasus kematian yang ditemukan dalam Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992, diperoleh gambaran proporsi penyebab utama kematian bayi yaitu Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) sebanyak 36%, dalam SKRT tahun 1995 sebab utama kematian bayi adalah karena penyakit sistem pernafasan sebanyak 29,5%. Sedangkan dalam Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) tahun 2001, penyakit sistem pernafasan menjadi penyebab kedua kematian bayi di Indonesia yaitu sebanyak 27,6%.


(24)

3

Tahap orientasi dan analisis situasi dilakukan di Rumah Sakit Bethesda selama 1 minggu. Dari tahap orientasi ini dapat diketahui kapasitas tempat tidur yang tersedia di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda berjumlah 42 buah. Rata-rata jumlah pasien yang dirawat di bangsal anak tersebut tiap harinya sebanyak 28 pasien. Pasien paling banyak mengalami gangguan sistem saluran cerna dan urutan kedua terbanyak mengalami gangguan sistem saluran nafas. Rata-rata jumlah pasien yang mendapat resep racikan dalam tiap harinya sebanyak 18 pasien, dengan resep racikan yang paling banyak digunakan adalah parasetamol dan fenobarbital.

Jumlah pasien pediatri yang menerima resep racikan di bangsal anak cukup tinggi, maka diperlukan suatu evaluasi terhadap peresepan pasien pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan. Karena sebagian besar pasien mengalami gangguan sistem saluran nafas, maka perlu juga dilihat dan dievaluasi apakah terapi yang diberikan pada pasien pediatri dengan gangguan sistem saluran nafas telah sesuai dengan standar terapi yang telah ditetapkan oleh rumah sakit tersebut maupun oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Bethesda, dimana rumah sakit ini termasuk dalam rumah sakit swasta tipe utama dengan akreditasi ISO 9000 dan merupakan salah satu rumah sakit swasta terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta. Rumah sakit ini mempunyai 8 apoteker yang telah menjalankan beberapa kegiatan pelayanan farmasis klinis dan yang menonjol dari rumah sakit ini adalah apoteker rumah sakit telah menjalin hubungan yang baik dengan dokter khususnya dokter di bangsal anak. Penelitian ini juga terlaksana karena adanya kerjasama antara Rumah Sakit Bethesda dengan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(25)

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disusun permasalahan seperti dinyatakan di bawah ini.

a. Apakah alasan atau latar belakang pemilihan dan/atau penggunaan obat racikan di Rumah Sakit Bethesda oleh dokter, apoteker, perawat, dan orang tua pasien? b. Seperti apakah profil kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang

menerima resep racikan dalam periode Juli 2007, meliputi umur, jenis kelamin, dan diagnosis?

c. Seperti apakah pola peresepan kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007, meliputi obat racikan dan non racikan?

d. Seperti apakah kerasionalan terapi dan dampak terapi kasus pediatri dengan gangguan sistem saluran nafas di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007, dilihat berdasarkan studi literatur?

2. Keaslian penelitian

Penelitian yang terkait dengan pasien pediatri telah banyak dilakukan oleh peneliti lain, antara lain:

a. Evaluasi Peresepan Obat Infeksi Saluran Pernafasan Akut Bagian Atas Non Komplikasi pada Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2000 (Sutriatmoko, 2001)

b. Pola Pengobatan Penyakit Asma Bronkial pada Pasien Anak Rawat Inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode 1999-2001 (Yusriana, 2002)


(26)

5

c. Kajian Pola Peresepan Obat Asma yang Diberikan pada Pasien Asma Anak di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2002 (Kusuma, 2004)

d. Pola Peresepan Obat Penyakit Asma Bronkial Pada Pasien Pediatri di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2006 (Nugraha, 2006)

Penelitian yang dilakukan pada saat ini berbeda dalam hal objek penelitian, tempat penelitian dan waktu penelitian. Penelitian ini ingin mengevaluasi peresepan kasus pediatri yang menerima resep racikan di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda dalam bulan Juli 2007, dengan kajian kasus gangguan sistem saluran nafas.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai peresepan dan penggunaan sediaan racikan pada pasien pediatri.

b. Manfaat praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar evaluasi bagi rumah sakit dalam melaksanakan terapi pada pasien pediatri sehingga bermanfaat dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan efektivitas penatalaksanaan terapi pada pasien pediatri, khususnya dalam hal pemberian obat racikan di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(27)

A. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peresepan kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007.

2. Tujuan khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui alasan atau latar belakang pemilihan dan/atau penggunaan obat racikan di Rumah Sakit Bethesda oleh dokter, apoteker, perawat, dan orang tua pasien.

b. Mengetahui profil kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007, meliputi umur, jenis kelamin, dan diagnosis.

c. Mengetahui pola peresepan kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007, meliputi obat racikan dan non racikan.

d. Mengetahui kerasionalan terapi dan dampak terapi kasus pediatri dengan gangguan sistem saluran nafas di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007, dilihat berdasarkan studi literatur.


(28)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pediatri 1. Pengertian

Istilah pediatri berasal dari dua kata Yunani kuno, paidi yang berarti "anak" dan iatros yang berarti "dokter". Secara umum, pediatri diartikan sebagai spesialisasi kedokteran yang berkaitan dengan bayi dan anak.

Menurut The British Paediatric Association (BPA), kelompok anak dibagi dalam beberapa kategori menurut perubahan biologis yang terjadi sebagai berikut: neonatus adalah awal kelahiran sampai usia 1 bulan (dengan subseksi tersendiri untuk bayi yang lahir saat usia kurang dari 37 minggu dalam kandungan), bayi adalah usia 1 bulan sampai 2 tahun, anak-anak adalah usia 2 tahun sampai 12 tahun, dengan subseksi bahwa anak usia di bawah 6 tahun memerlukan bentuk sediaan yang sesuai, remaja 12 sampai 18 tahun. Perubahan yang diwakili tiap rentang waktu tersebut adalah bahwa pada neonatus terjadi perubahan klimakterik yang sangat penting, bayi merupakan masa awal pertumbuhan yang sangat pesat, anak-anak adalah masa pertumbuhan secara bertahap, dan remaja merupakan akhir tahap perkembangan secara pesat hingga menjadi orang dewasa (Prest, 2003).

Soetjiningsih (1995) membagi tahap tumbuh kembang anak di Indonesia dibagi menjadi:

a. Masa pranatal

1) Masa embrio: konsepsi–8 minggu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(29)

2) Masa janin/fetus: 9 minggu-lahir a. Masa bayi: usia 0-1 tahun

1) Masa neonatal: usia 0-28 hari

2) Masa paska neonatal: 29 hari-1 tahun b. Masa prasekolah: usia 1-6 tahun

c. Masa sekolah: usia 6-18/20 tahun 1) Masa pra-remaja: usia 6-10 tahun 2) Masa remaja:

a) Masa remaja dini

(1) Wanita, usia 8-13 tahun (2) Pria, usia 10-15 tahun b) Masa remaja lanjut

(1) Wanita, usia 13-18 tahun (2) Pria, usia 15-20 tahun

1. Farmakokinetika obat pada pasien pediatri

Terdapat perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik antara pasien pediatri dengan pasien dewasa. Keadaan fisiologis anak akan mendekati dewasa setelah anak berumur 2-3 tahun, maka keadaan ini akan berpengaruh pada daya absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat.

a. Absorbsi

Sejak neonatus sampai remaja dijumpai berbagai faktor yang mempengaruhi daya absorbsi obat. Faktor-faktor yang berpengaruh pada daya absorbsi obat adalah pH lambung, daya pengosongan lambung, perfusi gastrointestinal dan luas


(30)

9

permukaan saluran gastrointestinal. Setelah umur 3 tahun, ekskresi asam lambung per kilogram berat badan sama dengan ekskresi pada dewasa. Sedangkan daya pengosongan lambung pada neonatus lebih rendah dari dewasa (Hadinegoro, 2002). b. Distribusi

Segera setelah obat diabsorbsi akan disebarkan ke beberapa bagian tubuh, obat tersebut akan diikat oleh protein plasma atau akan tetap berada dalam sirkulasi sampai diekskresi oleh ginjal. Faktor-faktor yang berpengaruh pada distribusi obat dalam tubuh adalah maturitas daya ikat protein plasma, jumlah cairan tubuh, jumlah lemak tubuh dan daya ikat jaringan.

Jumlah dan komposisi protein plasma berubah sesuai dengan perubahan umur. Kadar albumin baik pada neonatus maupun dewasa sama tinggi, walaupun demikian pada neonatus terdapat perbedaan afinitas berbagai obat terhadap albumin. Jumlah cairan tubuh terhadap berat badan bayi kecil lebih tinggi dibandingkan dengan orang dewasa, berturut-turut 80-90% dan 55-60%, sedangkan jumlah lemak terhadap berat badan pada anak rendah sekitar 10-15% (Hadinegoro, 2002). Hal ini menurunkan distribusi obat yang larut dalam lemak menuju jaringan dan organ tubuh, sehingga menyebabkan tingginya kadar obat dalam darah. Untuk obat yang larut air, distribusi meningkat sehingga kadar obat dalam darah lebih rendah (Levine and McLaughlin, 2001).

c. Metabolisme dan Ekskresi

Kapasitas metabolisme obat dan ekskresi obat selama tahun pertama kehidupan terlalu rendah. Sebagai akibatnya, eliminasi obat terjadi secara lambat dan durasi aksi obat menjadi lebih lama. Penurunan metabolisme dan ekskresi obat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(31)

sangat jelas terlihat pada neonatus dan bayi. Setelah tahun pertama, metabolisme dan ekskresi obat secara perlahan menjadi sama seperti orang dewasa (Levine and McLaughlin, 2001).

Kemampuan metabolisme dan ekskresi obat pada anak besar lebih sempurna, tercermin dari fungsi ginjal dan klirens ginjal pada anak besar dan dewasa hampir sama. Ginjal dan hati merupakan dua organ pembersih dalam tubuh, yang akan mengekskresi hasil metabolit obat setelah obat menjadi non-polar dan mengalami konjugasi (Hadinegoro, 2002).

2. Peresepan kelompok anak

Kelompok anak mempunyai risiko yang cukup tinggi terhadap kejadian medication error. Beberapa faktor berkontribusi terhadap hal tersebut termasuk penentuan regimen dosis obat yang terkait dengan berat badan pasien anak, ketersediaan obat-obatan dalam bentuk sirup atau yang sesuai untuk anak, hambatan komunikasi dengan pasien anak, kegagalan pemberian obat sesuai dengan aturan pakainya, fungsi fisiologi yang belum optimal terkait dengan ADR yang kemungkinan muncul dalam proses farmakokinetikanya seperti fungsi ginjal dan fungsi hepar (Kausal, Jaggi, Walsh, Fortescue, and Bates, 2004).

Selain faktor farmakokinetika, beberapa masalah penggunaan obat pada anak adalah dosis, pemilihan preparat atau bentuk sediaan, rute pemberian dan kepatuhan anak minum obat (Hughes, 1998). Dosis pada anak tidak dapat diekstrapolasikan dari dosis dewasa karena anak bukan orang dewasa yang berukuran kecil. Dosis anak harus ditetapkan dengan seksama merujuk pada panduan dosis anak atau dihitung menggunakan rumus.


(32)

11

Perhitungan dosis pada pediatri dapat didasarkan pada umur, luas permukaan tubuh (LPT), dan berat badan. Beberapa rumus yang digunakan dalam perhitungan dosis untuk pediatri dapat dilihat pada tabel I.

Tabel I. Rumus yang digunakan dalam perhitungan dosis untuk pediatri (Levine and McLaughlin, 2001)

Variabel Pembanding Rumus Keterangan

Umur Young:

dewasa anak D n n D    12

n = umur (tahun)

Umur Fried:

dewasa

anak D

m

D  

150

m = umur (bulan)

Berat Badan Clark:

dewasa

anak D

W

D  

70

W = berat badan (kg)

Luas Permukaan Tubuh

dewasa

anak D

LPT

D  

7 , 1

LPT =Luas Permukaan Tubuh (m2)

Pemilihan bentuk sediaan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu rute pemberian yang diinginkan, usia anak, ketersediaan bentuk sediaan, pengobatan lain yang sedang dijalani dan kondisi penyakit. Rute pemberian secara oral cukup mudah dilakukan dengan bentuk sediaan cair untuk anak yang kurang dari 6 tahun. Untuk anak yang lebih besar dapat diberikan tablet. Pemberian tablet dengan menggerus harus dipertimbangkan apakah akan merusak tujuan formulasi bentuk sediaannya, misalnya, sustained release atau tablet salut tidak tepat apabila digerus untuk dibuat puyer atau racikan (Prest, 2003).

B. Sistem Saluran Nafas

Fungsi utama sistem saluran nafas adalah menyediakan oksigen bagi tubuh untuk metabolisme energi dan untuk mengeluarkan karbon dioksida. Pertukaran gas

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(33)

(34)

13

1. Sistem saluran nafas atas

Sistem saluran nafas atas terdiri dari hidung, faring, laring, dan trakea. Udara masuk melalui hidung, dimana hidung berfungsi sebagai penyaring kotoran, melembabkan, serta menghangatkan udara yang dihirup ke dalam paru-paru. Faring atau batang tenggorok merupakan struktur seperti tuba yang menghubungkan hidung dan rongga mulut ke laring. Fungsi faring adalah untuk menyediakan saluran pada traktus respiratorius dan digestif. Laring atau organ suara merupakan struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan trakea, dan berfungsi untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi dan melindungi jalan nafas bawah dari obstruksi benda asing. Sedangkan trakea disebut juga batang tenggorok, ujung trakea bercabang menjadi dua bronkus (Iwan, 2007).

2. Sistem saluran nafas bawah

Sistem saluran nafas bawah terdiri dari bronkus, bronkiolus, bronkiolus terminalis, bronkiolus respiratori, duktus alveolar dan sakus alveolar, alveoli, paru, dan pleura. Bronkus terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri yang disebut bronkus lobaris kanan (3 lobus) dan bronkus lobaris kiri (2 lobus). Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus. Bronkiolus mengandung kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus untuk melapisi bagian dalam jalan nafas. Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis (yang tidak mempunyai kelenjar lender dan silia). Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkus respiratori yang dianggap sebagai saluran transisional antara jalan nafas konduksi dan jalan udara pertukaran gas. Bronkiolus respiratori

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(35)

kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus alveolar dan kemudian menjadi alveoli yang merupakan tempat pertukaran O2 dan CO2 (Iwan, 2007)

A.Gangguan Sistem Saluran Nafas

Gangguan pada saluran nafas merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat. Gangguan tersebut dapat berupa proses inflamasi atau alergi maupun infeksi. Infeksi saluran nafas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi infeksi saluran nafas atas dan infeksi saluran nafas bawah. Infeksi saluran nafas atas meliputi rhinitis, sinusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis, tonsillitis, otitis. Sedangkan infeksi saluran nafas bawah meliputi infeksi pada bronkus, alveoli seperti bronkitis, bronkiolitis, pneumonia (Anonim, 2005).

1. Asma

Asma secara klinis praktis adalah adanya gejala batuk dan/atau mengi berulang, terutama pada malam hari (nocturnal), reversible (dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan) dan biasanya terdapat atopi pada pasien dan atau keluarganya. Yang dimaksud serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-gejala batuk, sesak nafas, mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-gejala tersebut (Setiawati, 2006).

Penggolongan asma tergantung pada derajat penyakitnya (aspek kronik) dan derajat serangannya (aspek akut). Berdasar derajat penyakitnya, asma dibagi menjadi asma episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Berdasarkan derajat serangannya, asma dikelompokkan menjadi serangan asma ringan, sedang dan berat (Setiawati, 2006).


(36)

15

a. Patofisiologi

Proses patologi pada serangan asma termasuk adanya konstriksi bronkus, udema mukosa dan infiltrasi dengan sel-sel inflamasi (eosinofil, netrofil, basofil, makrofag) dan deskuamasi sel-sel epitel. Dilepaskannya berbagai mediator inflamasi seperti histamin, lekotrien C4, D4 dan E4, Platelet Activating Factor (PAF) yang

mengakibatkan adanya konstriksi bronkus, edema mukosa dan penumpukan mukus yang kental dalam lumen saluran nafas. Sumbatan yang terjadi tidak seragam/merata di seluruh paru. Hiperinflasi paru menyebabkan penurunan compliance paru, sehingga terjadi peningkatan kerja nafas. Peningkatan tekanan intrapulmonal yang diperlukan untuk ekspirasi melalui saluran nafas yang menyempit, dapat makin mempersempit atau menyebabkan penutupan dini saluran nafas, sehingga meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks (Setiawati, 2006).

b. Terapi 1) Tujuan terapi

a) Mencegah dan mengurangi gejala-gejala asma yang muncul b) Mencegah dan mengurangi terjadinya bronkospasme

c) Menghambat atau mengurangi peradangan (inflamasi) saluran pernafasan d) Memulihkan obstruksi saluran nafas

e) Mengurangi frekuensi terjadinya asma dan mencegah keparahan asma 2) Sasaran terapi

a) Gejala-gejala asma

b) Bronkospasme atau kejang bronki

c) Peradangan (inflamasi) saluran pernafasan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(37)

d) Obstruksi saluran nafas

e) Frekuensi dan keparahan asma 3) Strategi terapi

a) Non-farmakologis

(1) Menghindari alergen dan polutan yang merupakan penyebab asma, seperti debu, asap rokok, udara dingin, serta perlu menghindari stress (Scruggs, 2004).

(2) Mengontrol lingkungan sekitar, seperti membersihkan karpet dan sprei setiap minggunya dan menggunakan penyaring khusus (Scruggs, 2004). b) Farmakologis

Serangan asma ringan diberikan obat pereda (reliever) berupa β agonis secara inhalasi/oral, atau adrenalin 1/1000 subkutan 0,01 ml/kgBB/kali dengan dosis maksimal 0,3 ml/kali. Serangan sedang diberikan obat seperti di atas ditambah dengan pemberian oksigen, cairan intravena, kortikosteroid oral, dan dirawat di ODC (one day care = ruang rawat sehari). Pada serangan berat, selain obat di atas, diberikan aminofilin secara inisial dan rumatan. Kortikosteroid dapat diberikan secara intravena. Steroid oral dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi 3 diberikan selama 3-5 hari. Steroid yang dianjurkan adalah prednison dan prednisolon (Supriyatno dkk, 2004).

2. Faringitis

Faringitis adalah peradangan pada mukosa faring dan sering meluas ke jaringan sekitarnya. Faringitis biasanya timbul bersama-sama dengan tonsilitis,


(38)

17

rhinitis, dan laringitis. Faringitis banyak diderita anak-anak usia 5-15 tahun di daerah dengan iklim panas (Anonim, 2005).

a. Etiologi

Agen terpenting yang menyebabkan faringitis adalah virus dan group A β -hemolytic Streptococcus (GABHS). Organisme lain yang terkadang menyertai faringitis meliputi group C Streptococcus, Arcanobacterium haemolyticum, Francisella tularensis, Mycoplasma pneumoniae, Neisseria gonorrhoeae, dan Corynebacterium diphtheriae. Bakteri lain seperti Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumoniae dapat diisolasi dari tenggorokan anak yang mengalami faringitis, tetapi peranan bakteri tersebut belum dapat dibuktikan (Hayden, 2004). b. Patogenesis

Kolonisasi faring oleh GABHS dapat menghasilkan infeksi akut atau asiptomatik. Protein M merupakan faktor utama yang sangat berbahaya dari GABHS dan memudahkan perlawanan untuk fagositosis oleh neutrofil polimorfonuklear. Imunitas spesifik berkembang selama infeksi dan menyediakan imunitas yang bersifat protektif terhadap infeksi selanjutnya dengan serotip M (Hayden, 2004). b. Terapi

1) Tujuan terapi

a) Memperbaiki atau meniadakan simptom b) Membatasi penyebaran infeksi

c) Mencegah komplikasi 2) Sasaran terapi

a) Simptom yang muncul

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(39)

b) Kemungkinan penyebaran infeksi c) Komplikasi

3) Strategi terapi

a) Non-farmakologis

(1) Istirahat yang cukup.

(2) Banyak minum air putih, setidaknya 8 gelas per hari. Lebih banyak minum apabila demam tinggi.

(3) Berkumur menggunakan larutan salin hangat secara simptomatis mengurangi nyeri tenggorokan pada anak. Untuk anak yang lebih kecil, inhalasi uap dapat menghasilkan pengaruh yang serupa.

(Griffith, 1989) b) Farmakologis

Faringitis biasanya disebabkan virus, oleh karena itu tidak ada terapi spesifiknya. Terapi simptomatik seperti penggunaan antipiretik atau analgesik oral (asetaminofen atau ibuprofen) dapat mengurangi demam dan nyeri tenggorokan. Semprotan anestesi dan tablet hisap (mengandung benzokain, fenol, atau mentol) dapat mengurangi rasa sakit lokal (Hayden, 2004).

Penggunaan antibiotik harus berpedoman pada hasil uji deteksi antigen atau biakan, kecuali jika ada dasar klinis dan epidemiologi yang kuat untuk mencurigai infeksi streptokokus (Arnold, 1996). Penisilin merupakan drug of choice untuk faringitis streptokokus. Antibiotik ini memiliki efikasi dan keamanan, aktivitas spektrum sempit dan harga lebih murah. Kesembuhan


(40)

19

biasanya terjadi pada pemberian 250 mg penisilin V, 2-4 kali sehari. Sekitar 10% pasien alergi terhadap penisilin (Scruggs, 2004). Antibiotika pilihan lain: (1) Amoksisilin

(a) Pada anak-anak, amoksisilin diberikan 1 kali sehari selama 10 hari, sama dengan penisilin V. Absorpsi amoksisilin tidak berpengaruh dengan adanya proses pecernaan makanan.

(b) Amoksisilin lebih murah dan memiliki aktivitas antimikroba yang lebih sempit. Meskipun demikian, efek samping pada saluran pencernaan dan skin rash lebih biasa terjadi pada penggunaan amoksisilin.

(2) Makrolid

(a) Eritromisin direkomendasikan untuk pasien yang alergi terhadap penisilin. Eritromisin diabsorpsi lebih baik jika diberikan bersama dengan makanan. Sekitar 15-20% pasien tidak dapat menahan efek samping eritromisin pada saluran pencernaan.

(b) Azitromisin merupakan antibiotik pemberian satu kali sehari dan pengobatan pendek selama 5 hari. Azitromisin berhubungan dengan timbulnya efek samping yang kecil pada saluran pencernaan.

(3) Sefalosporin

(a) Pemberian sefalosporin selama 10 hari lebih baik daripada penisilin. Keseluruhan kesembuhan bakteriologik oleh sefalosporin sebanyak 92%, dibandingkan dengan penisilin sebanyak 84%.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(41)

(b) Sefalosporin memiliki aktivitas yang lebih luas dibandingkan dengan penisilin V. Berbeda dengan penisilin, sefalosporin tahan terhadap degradasi dari beta laktamase.

(c) Sefalosporin disediakan untuk pasien dengan faringitis streptokokus yang mengalami kekambuhan atau pengulangan.

(4) Amoksisilin klavulanat

Amoksisilin klavulanat tahan terhadap degradasi beta laktamase. Amoksisilin klavulanat sering digunakan untuk mengobati faringitis streptokokus yang mengalami pengulangan. Efek samping utama obat ini adalah diare (Scruggs, 2004).

3. Bronkitis akut

Bronkitis merupakan kondisi inflamasi pada bagian dari trakeobronkial. Proses inflamasi ini tidak meluas hingga alveoli. Bronkitis diklasifikasikan menjadi akut dan kronik. Bronkitis akut terjadi pada semua usia dan ditandai dengan batuk, demam, dan seringkali mengi. Keadaan ini merupakan tampilan umum dari influenza dan batuk rejan. Bronkitis kronik tidak terjadi pada anak-anak (Meadow, 2005). a. Patogenesis

Bronkitis akut terutama merupakan penyakit self-limiting dan jarang menyebabkan kematian. Infeksi trakea dan bronki menyebabkan hiperemi dan edema membran mukosa dengan peningkatan sekresi bronkial. Perusakan epitel respiratori dapat terjadi dari ringan sampai berat dan mempengaruhi fungsi mukosiliar bronkial. Peningkatan sekresi bronkial dapat menjadi kental dan lengket, kemudian dapat


(42)

21

merusak aktivitas mukosiliar. Bronkitis akut kemungkinan dapat meyebabkan kerusakan permanen pada saluran nafas (Glover, 2005).

b. Terapi 1) Tujuan terapi

a) Mencegah dan mengurangi gejala-gejala yang muncul b) Mengurangi dehidrasi dan gangguan saluran pernafasan 2) Sasaran terapi

a) Gejala-gejala bronkitis

b) Dehidrasi dan gangguan saluran pernafasan 3) Strategi terapi

a) Non-farmakologis

(1) Istirahat yang cukup.

(2) Pasien sebaiknya banyak minum untuk mencegah dehidrasi dan untuk menurunkan viskositas sekret pada saluran pernafasan (Glover, 2005). (3) Pemberian uap atau meningkatkan kelembaban udara dalam kamar anak

(Griffith, 1989). b) Farmakologis

Tidak ada terapi spesifik, sebagian besar penderita sembuh tanpa banyak masalah, tanpa pengobatan apapun. Pada bayi-bayi yang kecil, drainase paru dipermudah dengan cara sering melakukan pergeseran posisi. Batuk iritatif dan paroksismal dapat menyebabkan distres berat dan mengganggu tidur. Walaupun penekanan batuk dapat menambah kemungkinan supurasi, penggunaan penekan batuk yang bijaksana (termasuk kodein) mungkin memadai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(43)

untuk pengurangan gejala. Antihistamin, yang mengeringkan sekresi tidak boleh digunakan, dan ekspektoran tidak menolong. Antibiotik tidak memperpendek lamanya penyakit virus atau menurunkan insidens komplikasi bakteri; walaupun pada kenyataannya penderita dengan episode berulang kadang-kadang dapat membaik dengan pengobatan demikian, hal ini memberi kesan bahwa ada beberapa infeksi bakteri sekunder (Stern, 1996).

4. Bronkiolitis

Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran nafas kecil (bronkiolus) yang terjadi pada anak kurang dari 2 tahun dengan insidensi tertinggi pada usia sekitar 2-6 bulan dengan penyebab tersering Respiratory Sincytial Virus (RSV), diikuti dengan parainfluenza dan adenovirus. Penyakit ditandai oleh sindrom klinik yaitu, napas cepat, retraksi dada dan wheezing (Setiawati, 2006). a. Patofisiologi

Mikroorganisme masuk melalui droplet akan mengadakan kolonisasi dan replikasi di mukosa bronkioli terutama pada terminal bronkiolus sehingga akan terjadi nekrosis sel-sel bersilia pada bronkioli. Respon imun tubuh yang terjadi ditandai dengan proliferasi limfosit, sel plasma dan makrofag. Akibat dari proses tersebut akan terjadi edema sub mukosa, kongesti serta penumpukan debris dan mukus sehingga terjadi penyempitan lumen bronkioli. Penyempitan ini mempunyai distribusi tersebar dengan derajat yang bervariasi (total/sebagian). Gambaran yang terjadi adalah atelektasis yang tersebar dan distensi yang berlebihan (hyperaerated) sehingga dapat terjadi gangguan pertukaran gas serius, gangguan ventilasi/perfusi


(44)

23

dengan akibat akan terjadi hipoksemia (Pa O2 turun) dan hiperkapnea (Pa CO2

meningkat). Kondisi yang berat dapat terjadi gagal nafas (Setiawati, 2006). b. Terapi

1) Tujuan terapi

a) Membunuh mikroorganisme penyebab bronkiolitis b) Mengurangi gejala bronkiolitis yang muncul c) Meningkatkan sistem imun tubuh

2) Sasaran terapi

a) Mikroorganisme penyebab bronkiolitis b) Gejala bronkiolitis

c) Sistem imun tubuh 3) Strategi terapi

a) Non-farmakologis (1) Istirahat yang cukup.

(2) Menjaga ketahanan tubuh terutama pada musim dingin.

(3) Menghindari sumber iritasi seperti debu, polusi udara, dan asap rokok. (4) Menjaga kelembaban udara pada kamar anak.

(5) Banyak minum air putih. Hindari minum susu karena dapat meningkatkan kekentalan sekresi mukus (Griffith, 1989).

b) Farmakologis

Anak dengan bronkiolitis ringan bisa dirawat di rumah, untuk bayi perlu dilakukan observasi yang baik dan pemberian cairan yang cukup.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(45)

Pengobatan terdiri:

(1) Antibiotik tidak perlu diberikan. Namun bila diperkirakan perlu misalnya pada keadaan berat dan ada kemungkinan infeksi sekunder bakteri, antibiotik yang sesuai dapat diberikan.

(2) Peran bronkodilator masih kontroversial, maksud pemberian untuk memperbaiki pertukaran gas. Bila perlu ipratropium bromida, obat simpatomimetik, atau teofilin; yang terbukti memberikan manfaat pada beberapa penderita dapat dicoba untuk diberikan.

(3) Pemberian kortikosteroid juga belum dapat dibuktikan bermanfaat.

(4) Pemberian antivirus seperti ribavirin dapat dipertanggungjawabkan, terutama untuk bayi risiko tinggi yaitu dengan sistik fibrosis, bronchopulmonari diplasia, imunodefisiensi, dan penyakit jantung bawaan. Obat ini terbukti efektif untuk pasien dengan ventilator.

(5) Imunoterapi masih dalam penelitian, terutama immunoglobulin untuk infeksi SRV (Supriyatno dkk, 2004).

5. Pneumonia

Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, mikoplasma, jamur atau bahan kimia/benda asing yang teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi (ventilation perfusion mismatch).

a. Patofisiologi

Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme: filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing melalui


(46)

25

refleks batuk, pembersihan ke arah kranial oleh mukosilier, fagositosis kuman oleh makrofag alveolar, netralisasi kuman oleh substansi imun lokal dan drainase melalui sistem limfatik. Faktor predisposisi pneumonia: aspirasi, gangguan imun, septisemia, malnutrisi, campak, pertusis, penyakit jantung bawaan, gangguan neuromuskular, kontaminasi perinatal dan gangguan klirens mukus/sekresi seperti pada fibrosis kistik, benda asing atau disfungsi silier.

Mikroorganisme mencapai paru melalui jalan nafas, aliran darah, aspirasi benda asing, transplasental atau selama persalinan pada neonatus. Umumnya pneumonia terjadi akibat inhalasi atau aspirasi mikroorganisme, sebagian kecil terjadi melalui aliran darah (hematogen). Secara klinis sulit membedakan pneumonia bakteri dan virus. Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia tersering pada bayi dan anak kecil. Pneumonia lobaris lebih sering ditemukan dengan meningkatnya umur. Pada pneumonia yang berat bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis respiratorik, asidosis metabolik dan gagal nafas (Setiawati, 2006).

b. Terapi 1) Tujuan terapi

a) Membunuh mikroorganisme penyebab pneumonia b) Mengurangi gejala pneumonia yang muncul c) Meningkatkan sistem imun tubuh

2) Sasaran terapi

a) Mikroorganisme penyebab pneumonia b) Gejala pneumonia

c) Sistem imun tubuh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(47)

3) Strategi terapi

a) Non-farmakologis (1) Istirahat yang cukup.

(2) Banyak minum air putih, minimal 1 gelas air setiap jam. Cairan yang cukup akan membantu mengencerkan sekret sehingga lebih mudah untuk dikeluarkan.

(3) Meningkatkan kelembaban udara di sekitar anak.

(Griffith, 1989) b) Farmakologis

Diagnosis etiologik pneumonia sangat sulit untuk dilakukan, sehingga pemberian antibiotik dilakukan secara empirik sesuai dengan pola kuman tersering, yaitu Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenza.

Pemberian antibiotik sesuai dengan kelompok umur. Bayi di bawah 3 bulan diberikan golongan penisilin dan aminoglikosida. Usia lebih dari 3 bulan, ampisilin dipadu dengan kloramfenikol merupakan obat pilihan pertama. Bila keadaan pasien berat atau terdapat empiema, antibiotik pilihan adalah golongan sefalosporin (Supriyatno dkk, 2004).

Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun, dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7-10 hari. Bila diduga penyebab pneumonia adalah Staphylococcus aureus, kloksasilin dapat diberikan. Bila alergi terhadap penisilin, diberikan sefazolin, klindamisin, atau vankomisin. Lama pengobatan untuk stafilokok adalah 3-4 minggu (Supriyatno dkk, 2004).


(48)

27

B. Drug Related Problems (DRPs)

Drug Related Problems (DRPs) atau Drug Therapy Problems adalah suatu kejadian yang tidak diinginkan yang dialami pasien berkaitan dengan terapi obat yang diperolehnya, dan bertentangan dengan tujuan terapi yang ingin dicapai.

Ada tujuh kategori dan penyebab terjadinya DRPs, yaitu butuh terapi obat tambahan (need for additional drug therapy), obat tanpa indikasi (unnecessary drug therapy), salah obat (wrong drug), dosis terlalu rendah (dose too low), efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan interaksi obat, dosis terlalu tinggi (dose too high), ketaatan pasien (compliance)/gagal menerima obat (Cipolle, 2004). Sebagai pengemban tugas pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care), farmasis memiliki tanggung jawab dalam mengidentifikasi, menyelesaikan, dan mencegah terjadinya DRPs. Untuk lebih memahami DRPs, pada tabel II disajikan DRP dan penyebabnya.

Interaksi antar obat dapat terjadi pada pemberian obat kombinasi dan menghasilkan respon farmakologis atau klinik yang berbeda dari respon farmakologis masing-masing obat tersebut apabila diberikan secara tunggal. Hasil klinis dari interaksi antar obat dapat berefek antagonisme, sinergisme, atau idiosinkrasi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(49)

Tabel II. Penyebab-penyebab drug related problems (DRPs) (Strand, Morley, and Cipolle, 1998) No Jenis DRP Contoh Penyebab DRP

1

Butuh terapi obat tambahan (need for additional drug therapy)

Timbulnya kondisi medis baru memerlukan tambahan obat baru Kondisi kronis memerlukan terapi lanjutan terus-menerus Kondisi yang memerlukan terapi kombinasi

Pasien potensial timbul kondisi medis baru yang perlu dicegah atau terapi profilaksis

2

Obat tanpa indikasi (unnecessary drug therapy)

Terapi yang diperoleh sudah tidak valid saat itu Terapi dengan dosis toksik

Penyalah-gunaan obat, merokok, dan alkohol Terapi sebaiknya non-farmakologi

Polifarmasi yang sebaiknya terapi tunggal

Terapi efek samping akibat suatu obat yang sebenarnya dapat digantikan dengan yang lebih aman

3 Salah obat (wrong drug)

Obat yang digunakan bukan yang efektif atau bukan yang paling efektif

Pasien alergi atau kontraindikasi

Obat efektif tetapi relatif mahal atau bukan yang paling aman Obat sudah resisten terhadap infeksi

Kondisi sukar sembuh dengan obat yang sudah pernah diperoleh perlu mengganti obat

Kombinasi obat yang salah

4 Dosis terlalu rendah (dose too low)

Dosis terlalu rendah

Waktu pemberian yang tidak tepat, misalnya profilaksis antibiotika untuk operasi

Obat, dosis, rute, atau formulasi yang kurang sesuai untuk pasien

5

Efek obat

merugikan (adverse drug reaction) dan interaksi obat

Obat diberikan terlalu cepat

Risiko yang sudah teridentifikasi karena obat tertentu Pasien alergi atau reaksi indiosinkrasi

Bioavalibilitas atau efek obat diubah oleh obat lain atau makanan

Interaksi obat karena induksi atau inhibisi enzim, penggeseran dari tempat ikatan, atau dengan hasil laboratorium

6 Dosis terlalu tinggi (dose too high)

Dosis terlalu besar, kadar obat dalam plasma melebihi rentang terapi yang diharapkan

Dosis dinaikkan terlalu cepat

Obat akumulasi karena terapi jangka panjang

Obat, dosis, rute, atau formulasi yang kurang sesuai untuk pasien

Dosis dan interval pemberian misalnya analgesik bila perlu diberikan terus

7

Ketaatan pasien (compliance)/gagal menerima obat

Pasien gagal menerima obat yang sesuai karena medication error

Pasien tidak menuruti aturan yang ditetapkan secara sengaja maupun karena tidak mengerti maksudnya


(50)

29

Dalam mengevaluasi interaksi obat, perlu diperhatikan adalah signifikansi interaksi. Signifikansi berhubungan dengan jenis dan besarnya efek yang menentukan kebutuhan monitoring pasien dan perlu tidaknya pengubahan terapi untuk mencegah efek yang merugikan. Menurut Tatro (2001), signifikansi klinik meliputi kelas signifikansi, onset dari efek interaksi, dan tingkat keparahan interaksi.

1. Kelas Signifikansi

2 : Interaksi yang berbahaya dan telah terbukti

5 : Kemungkinan terjadi interaksi namun belum ada bukti yang jelas Tabel III. Keterangan kelas signifikansi interaksi

Kelas Signifikansi Tingkat Keparahan Bukti

1 Berat Sudah ada bukti

2 Sedang Sudah ada bukti

3 Ringan Sudah ada bukti

4 Berat/sedang Mungkin terjadi

5 Ringan Mungkin terjadi

Tidak terjadi Belum ada bukti

2. Onset

Cepat : Efek terjadi dalam 24 jam setelah pemberian obat yang saling berinteraksi. Tertunda : Efek obat tidak terjadi hingga obat yang saling berinteraksi tersebut

diberikan selama beberapa hari atau minggu.

3. Tingkat keparahan

Berat : Efek yang terjadi dapat mengancam jiwa atau dapat menyebabkan kerusakan permanen.

Sedang : Efek yang terjadi dapat menyebabkan kondisi klinis pasien menurun.

Ringan : Efek yang terjadi biasanya ringan dan dapat mengganggu, tetapi tidak signifikan mempengaruhi outcome terapi. Biasanya tidak memerlukan terapi tambahan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(51)

C. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang peresepan kasus pediatri di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007 serta memberikan informasi tentang kerasionalan terapi pada kasus pediatri yang menerima resep racikan dengan gangguan sistem saluran nafas.


(52)

31

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental, dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif yang bersifat prospektif. Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental karena tidak ada perlakuan pada subyek uji. Rancangan penelitian deskriptif evaluatif karena penelitian ini bertujuan melakukan eksplorasi deskriptif terhadap fenomena kesehatan yang terjadi kemudian mengevaluasi data dari rekam medis yang diperoleh berdasarkan studi literatur (Pratiknya, 1986). Penelitian ini bersifat prospektif karena data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan mengikuti perkembangan kasus berdasarkan data lembar catatan rekam medik kasus.

B. Definisi Operasional

1. Kasus adalah kasus pada pasien pediatri yang dirawat di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda dan menerima resep racikan dalam periode Juli 2007.

2. Pediatri adalah pasien anak yang dirawat di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda dan menerima resep racikan dalam periode Juli 2007.

3. Juli 2007 adalah periode pengambilan data di bangsal anak Rumah Sakit Bethesda, yaitu tanggal 4 Juli 2007-4 Agustus 2007.

4. Alasan/latar belakang pemilihan dan/atau penggunaan obat racikan adalah hasil wawancara terhadap 4 dokter anak, 1 apoteker rawat inap, 5 perawat di bangsal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(1)

DRPs: Efek obat merugikan (adverse drug reaction) dan interaksi obat

Kasus Obat Problem Penilaian Rekomendasi

3, 9, 16, 17, 21

Fenobarbital Parasetamol

Fenobarbital dapat mengurangi efek terapi parasetamol.

Fenobarbital tidak perlu diberikan.

11, 12, 13 Fenobarbital Parasetamol Aminofilin

Fenobarbital dapat mengurangi efek terapi parasetamol dan aminofilin.

Fenobarbital tidak perlu diberikan.

2, 14, 18 Fenobarbital Parasetamol Aminofilin Deksametason

Fenobarbital dapat mengurangi efek terapi parasetamol, aminofilin, dan

deksametason.

Fenobarbital tidak perlu diberikan.

6, 7, 23 Fenobarbital Parasetamol Aminofilin Deksametason Salbutamol

Fenobarbital dapat mengurangi efek terapi parasetamol, aminofilin, dan

deksametason. Selain itu, salbutamol juga dapat mengurangi efek terapi aminofilin.

Fenobarbital tidak perlu diberikan. Selain itu, salbutamol sebaiknya diberikan dengan nebulizer untuk menghindari terjadinya interaksi dengan aminofilin secara i.v. 19, 22 Fenobarbital

Parasetamol Deksametason Fenitoin

Fenobarbital dan fenitoin dapat mengurangi efek terapi parasetamol. Deksametason akan mengurangi kadar fenitoin, dan fenitoin akan meningkatkan serum fenobarbital.

Fenobarbital tidak perlu diberikan. Fenitoin diganti dengan karbamazepin. Interaksi antara karbamazepin dengan parasetamol tetap terjadi, namun kemungkinannya lebih kecil dibanding interaksi fenitoin dengan parasetamol. 4 Fenobarbital

Parasetamol Isoniazid Rifampisin

Fenobarbital dapat mengurangi efek terapi parasetamol. Rifampisin akan menurunkan efek terapi parasetamol dan fenobarbital.

Fenobarbital tidak perlu diberikan.

Interaksi isoniazid dengan rifampisin dan parasetamol mengakibatkan hepatotoksik.

Perlu dilakukan monitoring fungsi hati.

5 Salbutamol Aminofilin

Pemberian salbutamol secara p.o. bersamaan dengan aminofilin secara i.v. dapat menurunkan konsentrasi aminofilin.

Salbutamol sebaiknya diberikan dengan nebulizer, untuk menghindari interaksi dengan aminofilin secara i.v.

8 Fenobarbital Parasetamol Fenitoin Klorfeniramin maleat

Fenobarbital dan fenitoin mengurangi efek terapi parasetamol. Fenitoin meningkatkan konsentrasi fenobarbital. Klorfeniramin maleat dapat meningkatkan kadar fenitoin dalam serum serta meningkatkan efek farmakologi sekaligus efek toksik fenitoin.

Fenobarbital tidak diberikan. Fenitoin diganti karbamazepin 18,7-37,3 mg 3x/hari. Interaksi karbamazepin dengan parasetamol tetap terjadi, namun kemungkinannya lebih kecil dibanding interaksi fenitoin dengan parasetamol. Deksametason Deksametason memiliki efek samping

meningkatkan enzim transaminase. Peningkatan SGPT dan SGOT pasien dapat disebabkan penggunaan deksametason.

Perlu monitoring kadar enzim transaminase dalam darah.

10 Ketokonazol Teofilin

Ketokonazol dapat mengurangi efek farmakologi teofilin.

Ketokonazol tidak perlu diberikan.

15 Fenobarbital Parasetamol Aminofilin Terbutalin sulfat Karbamazepin

Fenobarbital dan karbamazepin

mengurangi efek parasetamol. Fenobarbital mengurangi konsentrasi serum

karbamazepin dan aminofilin. Terbutalin sulfat mengurangi konsentrasi aminofilin.

Fenobarbital tidak perlu diberikan.

20 Aminofilin Terbutalin sulfat

Terbutalin sulfat dapat mengurangi konsentrasi aminofilin.

Aminofilin p.o.sebaiknya diganti dengan secara i.v.

24 Fenitoin Parasetamol Deksametason Aminofilin

Fenitoin dapat mengurangi efek terapi parasetamol. Deksametason dapat

mengurangi efek terapi fenitoin. Pemberian fenitoin dan aminofilin secara bersamaan dapat menurunkan efek farmakologi keduanya.

Fenitoin diganti dengan karbamazepin dosis 13,3 -26,67 mg 3x/hari. Interaksi terjadi antara karbamazepin dengan parasetamol dan aminofilin, namun kemungkinannya lebih kecil

dibandingkan interaksi antara fenitoin dengan parasetamol dan aminofilin. Interaksi antara karbamazepin dan deksametason tidak terjadi.


(2)

DRPs: Dosis terlalu rendah (dose too low)

Kasus Obat Problem Penilaian Rekomendasi

5

Prokaterol HCl Dosis prokaterol yang diberikan 2x12,5 mcg. Dosis seharusnya 25 mcg, 2 kali sehari.

Dosis prokaterol yang diberikan 2x25 mcg. Aminofilin Dosis aminofilin yang diberikan 201,6 mg/hari secara i.v.

Dosis seharusnya 15 mg/kgBB/hari.

Dosis aminofilin yang diberikan 450 mg per hari.

Sefotaksim

Dosis sefotaksim yang diberikan 2x500 mg secara i.v. Interval yang kurang tepat akan menyebabkan kadar obat dalam jaringan rendah, sehingga potensial menyebabkan resistensi mikroba terhadap obat tersebut. Sefalosporin

merupakan antibiotika β–laktam yang termasuk kelompok

time dependent, sehingga interval pemberiannya harus

tepat. Dosis tersebut kurang dari dosis terapi.

Sefotaksim diberikan 4 kali sehari (4x500 mg) secara i.v.

6

Sefotaksim

Dosis sefotaksim yang diberikan 2x150 mg secara i.v. Golongan sefalosporin termasuk antibiotik time dependent, dimana sefotaksim seharusnya diberikan 4 kali sehari. Dosis tersebut kurang dari dosis terapi.

Sefotaksim diberikan 4 kali sehari (4x150 mg) secara i.v.

Aminofilin Dosis aminofilin yang diberikan 72 mg per hari. Dosis seharusnya 15 mg/kgBB/hari.

Dosis aminofilin dinaikkan menjadi 90 mg per hari.

7

Sefotaksim Dosis sefotaksim yang diberikan 2x200 mg secara i.v. Sefotaksim seharusnya diberikan 4 kali sehari.

Sefotaksim diberikan 4 kali sehari (4x200 mg) i.v. Pseudoefedrin Dosis pseudoefedrin yang diberikan 3x3 mg. Dosis

seharusnya 4 mg/kgBB/hari, dalam dosis terbagi tiap 6 jam.

Dosis pseudoefedrin dinaikkan menjadi 9 mg, 4 kali sehari.

8

Seftazidim Dosis seftazidim yang diberikan 2x150 mg secara i.v. Dosis seharusnya 30-50 mg/kgBB/dosis tiap 8 jam.

Seftazidim yang diberikan 168– 280 mg, 3 kali sehari.

Fenitoin Dosis fenitoin yang diberikan 3x7,5 mg. Dosis seharusnya 15-20 mg/kgBB, 3 kali sehari.

Dosis fenitoin menjadi 28–37,3 mg, 3 kali sehari.

9

Parasetamol Dosis parasetamol yang diberikan 3x125 mg. Dosis seharusnya 10-15 mg/kgBB/dosis, tiap 4-6 jam.

Dosis parasetamol yang diberikan 160–240, mg 4xsehari. Ketotifen Dosis ketotifen yang diberikan 1x0,5 mg. Dosis seharusnya

2x1 mg.

Dosis ketotifen yang diberikan 2x1 mg.

Siproheptadin Dosis siproheptadin yang diberikan 1x1 mg. Dosis seharusnya 0,25 mg/kgBB/hari, dalam 2-3 dosis terbagi.

Dosis siproheptadin yang diberikan 3x1,3 mg

10

Kotrimoksazol

Dosis kotrimoksazol yang diberikan 3x150 mg. Dosis seharusnya 4 mg trimetoprim/kgBB dan 20 mg sulfametoksazol/kgBB.

Dosis kotrimoksazol yang diberikan 2x720 mg.

Prokaterol HCl Dosis prokaterol yang diberikan 3x10 mcg. Dosis seharusnya 1-1,25mcg/kgBB, 2x/hari.

Dosis prokaterol menjadi 12-15 mcg, 2 kali sehari.

Aminofilin Dosis aminofilin yang diberikan 3x30 mg. Dosis seharusnya 6mg/kgBB, 3 kali sehari.

Dosis aminofilin yang diberikan 3x72 mg.

11

Sefotaksim Dosis sefotaksim yang diberikan 2x250 mg secara i.v. Sefotaksim seharusnya diberikan 4 kali sehari.

Sefotaksim diberikan 4 kali sehari (4x250 mg) iv. Ketotifen Dosis ketotifen yang diberikan 1x0,25 mg. Dosis

seharusnya 0,5 mg 2 kali sehari.

Dosis ketotifen yang diberikan 2x0,5 mg.

Siproheptadin Dosis siproheptadin yang diberikan 1x0,5 mg. Dosis seharusnya 0,25 mg/kgBB/hari, dalam 2-3 dosis terbagi.

Dosis siproheptadin yang diberikan 3x0,8 mg

12

Aminofilin Dosis aminofilin yang diberikan 144 mg per hari. Dosis seharusnya 15 mg/kgBB/hari.

Dosis aminofilin yang diberikan 225 mg per hari. Ketotifen Dosis ketotifen yang diberikan 1x0,5 mg. Dosis seharusnya

1 mg 2 kali sehari.

Dosis ketotifen yang diberikan 2x1 mg.

Siproheptadin Dosis siproheptadin yang diberikan 1x1 mg. Dosis seharusnya 0,25 mg/kgBB/hari, dalam 2-3 dosis terbagi.

Dosis siproheptadin yang diberikan 3x1,25 mg

13

Sefotaksim Dosis sefotaksim yang diberikan 3x150 mg secara i.v. Sefotaksim seharusnya diberikan 4 kali sehari.

Sefotaksim diberikan 4 kali sehari (4x150 mg) i.v. Noscapin Noscapin yang diberikan 2x1 tetes. Noscapin yang

seharusnya diberikan sebanyak 2 tetes, 3-4 kali sehari.

Dosis noscapin yang diberikan 2 tetes, 3-4 kali sehari


(3)

Kasus Obat Problem Penilaian Rekomendasi

14

Sefotaksim Dosis sefotaksim yang diberikan 3x250 mg secara i.v. Sefotaksim seharusnya diberikan 4 kali sehari.

Sefotaksim diberikan 4 kali sehari (4x250 mg) i.v. Aminofilin Dosis aminofilin yang diberikan 148,8 mg per hari. Dosis

seharusnya 15 mg/kgBB/hari.

Dosis aminofilin yang diberikan 210 mg sehari. Ketotifen Dosis ketotifen yang diberikan 1x0,5 mg. Dosis seharusnya

1 mg 2 kali sehari.

Dosis ketotifen yang diberikan 2x1 mg.

15

Sefotaksim Dosis sefotaksim yang diberikan 2x200 mg secara i.v. Sefotaksim seharusnya diberikan 4 kali sehari.

Sefotaksim diberikan 4 kali sehari (4x200 mg) i.v. Fenobarbital Dosis fenobarbital yang diberikan 3x15 mg. Dosis

seharusnya 2 mg/kgBB, 3 kali sehari.

Dosis fenobarbital yang diberikan 3x18,6 mg. Interhistin Dosis interhistin yang diberikan 3x8,3 mg per hari. Dosis

seharusnya 50-100 mg sehari.

Interhistin yang diberikan sebanyak 1-2 tablet sehari.

16

Ketotifen Dosis ketotifen yang diberikan 2x0,2 mg per hari. Dosis seharusnya 0,5 mg 2 kali sehari.

Dosis ketotifen yang diberikan 2x0,5 mg.

Prokaterol HCl Dosis prokaterol yang diberikan 2x4 mcg. Dosis seharusnya 1-1,25mcg/kgBB, 2x/hari.

Dosis prokaterol menjadi 4,7-5,9 mcg, 2 kali sehari.

17

Ketotifen Dosis ketotifen yang diberikan 1x0,25 mg. Dosis seharusnya 0,5 mg 2 kali sehari.

Dosis ketotifen yang diberikan 2x0,5 mg.

Siproheptadin Dosis siproheptadin yang diberikan 1x0,5 mg. Dosis seharusnya 0,25 mg/kgBB/hari, dalam 2-3 dosis terbagi.

Dosis siproheptadin yang diberikan 3x1 mg

18

Sefotaksim Dosis sefotaksim yang diberikan 3x150 mg secara i.v. Sefotaksim seharusnya diberikan 4 kali sehari.

Sefotaksim diberikan 4 kali sehari (4x150 mg) i.v. Aminofilin Dosis aminofilin yang diberikan 134,4 mg per hari. Dosis

seharusnya 15 mg/kgBB/hari.

Dosis aminofilin yang diberikan 144 mg sehari. 19 Fenitoin Dosis fenitoin yang diberikan 3x15 mg. Dosis seharusnya

15-20 mg/kgBB, 3 kali sehari.

Dosis fenitoin menjadi 55-73,3 mg, 3 kali sehari.

20 Sefotaksim Dosis sefotaksim yang diberikan 2x250 mg secara i.v. Sefotaksim seharusnya diberikan 4 kali sehari.

Sefotaksim diberikan 4 kali sehari (4x250 mg) i.v.

21

Parasetamol Dosis parasetamol yang diberikan 3x83,3 mg. Dosis seharusnya 10-15 mg/kgBB/dosis, tiap 4-6 jam.

Dosis parasetamol yang diberikan 85-127,5 mg 4xsehari. Ketotifen Dosis ketotifen yang diberikan 1x0,25 mg per hari. Dosis

seharusnya 0,5 mg 2 kali sehari.

Dosis ketotifen yang diberikan 2x0,5 mg.

Noscapin Noscapin yang diberikan 2x1 tetes. Noscapin yang seharusnya diberikan sebanyak 2 tetes, 3-4 kali sehari.

Dosis noscapin yang diberikan 2 tetes, 3-4 kali sehari. Aminofilin Dosis aminofilin yang diberikan 115,2 mg per hari. Dosis

seharusnya 15 mg/kgBB/hari.

Dosis aminofilin yang diberikan 127,5 mg sehari.

22

Seftazidim Dosis seftazidim yang diberikan 2x250 mg secara i.v. Sefotaksim seharusnya diberikan 4 kali sehari.

Seftazidim diberikan 4 kali sehari (4x250 mg) i.v.

Fenitoin

Dosis fenitoin i.v. yang diberikan 2x20 mg, dan fenitoin p.o. yang diberikan 3x20 mg. Dosis fenitoin i.v. yang seharusnya diberikan 15-20 mg/kgBB dalam 3 dosis terbagi, sedangkan dosis fenitoin p.o. 5 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi.

Dosis fenitoin i.v. yang diberikan 52-69,3 mg 3x/hari, dan fenitoin p.o. yang diberikan 26 mg, 2x/hari.

23

Sefotaksim Dosis sefotaksim yang diberikan 2x200 mg secara i.v. Sefotaksim seharusnya diberikan 4 kali sehari.

Sefotaksim diberikan 4 kali sehari (4x200 mg) i.v. Ketotifen Dosis ketotifen yang diberikan 1x0,25 mg. Dosis

seharusnya 0,5 mg 2 kali sehari.

Dosis ketotifen yang diberikan 2x0,5 mg.

Siproheptadin Dosis siproheptadin yang diberikan 1x0,5 mg. Dosis seharusnya 0,25 mg/kgBB/hari, dalam 2-3 dosis terbagi.

Dosis siproheptadin yang diberikan 3x0,75 mg. 24 Sefotaksim Dosis sefotaksim yang diberikan 3x150 mg secara i.v.

Sefotaksim seharusnya diberikan 4 kali sehari.

Sefotaksim diberikan 4 kali sehari (4x150 mg) i.v.


(4)

DRPs: Dosis terlalu tinggi (dose too high)

Kasus Obat Problem Penilaian Rekomendasi

1 Aminofilin Dosis aminofilin yang diberikan 208,8 mg per hari melebihi dosis terapi. Dosis seharusnya 15 mg/kgBB/hari.

Dosis aminofilin menjadi 165 mg/hari. 2 Aminofilin Dosis aminofilin yang diberikan 216 mg per hari melebihi

dosis terapi. Dosis seharusnya 15 mg/kgBB/hari.

Dosis aminofilin menjadi 210 mg/hari.

3 Adona

Adona yang diberikan 75 mg dalam 1 flabot larutan infus, melebihi dosis terapi. Dosis seharusnya 5,4-21,4 mg dalam 1 flabot larutan infus.

Adona menjadi 5,4-21,4 mg dalam 1 flabot larutan infus.

4

Clavamox® Clavamox® yang diberikan sebanyak 1 sendok teh, 3 kali sehari (3x5 ml), melebihi dosis terapi.

Clavamox® menjadi 0,5 sdt 3x/hari (3x2,5 ml). Isoniazid Dosis isonoazid yang diberikan 1x100 mg melebihi dosis

terapi. Dosis seharusnya 5-10 mg/kgBB/hari.

Dosis isoniazid menjadi 40-80 mg/hari.

5 Metilprednisolon

Metilprednisolon diberikan secara i.v. dan p.o. bersamaan. Pemberian obat yang sama dengan jalur pemberian berbeda dapat menyebabkan kadar yang terlalu tinggi di dalam darah.

Metilprednisolon secara p.o. tidak perlu diberikan. 6 Ambroxol Dosis ambroxol yang diberikan 3x5 mg melebihi dosis terapi.

Dosis seharusnya 2,6 mg 3 kali sehari.

Dosis ambroxol menjadi 3x2,6 mg.

7

Ambroxol Dosis ambroxol yang diberikan 3x6 mg melebihi dosis terapi. Dosis seharusnya 3,9 mg 3 kali sehari.

Dosis ambroxol menjadi 3,9 mg 3 kali sehari. Aminofilin Dosis aminofilin yang diberikan 144 mg per hari melebihi

dosis terapi. Dosis seharusnya 15 mg/kgBB/hari.

Dosis aminofilin menjadi 135 mg/hari. 8 Deksametason Dosis deksametason yang diberikan 3x2,5 mg melebihi dosis

terapi. Dosis seharusnya 0,5-1 mg/kgBB/hari, tiap 6-8 jam.

Dosis deksametason 0,9-1,9 mg 3x/hari. 9 Neurobion Neurobion yang diberikan sebanyak 2 ampul, melebihi dosis

terapi. Neurobion yang seharusnya diberikan 1 ampul/hari.

Neurobion yang diberikan 1 ampul/hari.

10

Metronidazol Dosis metronidazol yang diberikan 3x150 mg melebihi dosis terapi. Dosis seharusnya 15-35 mg/kgBB/hari, 3 kali sehari.

Dosis metronidazol 60-140 mg, 3x/hari.

Deksametason

Deksametason diberikan secara i.v. dan p.o. bersamaan. Pemberian obat yang sama dengan jalur pemberian berbeda dapat menyebabkan kadar yang terlalu tinggi di dalam darah.

Deksametason secara p.o. tidak perlu diberikan.

11

Neurobion Neurobion yang diberikan sebanyak 2 ampul, melebihi dosis terapi. Neurobion yang seharusnya diberikan 1 ampul/hari.

Neurobion yang diberikan 1 ampul/hari. Aminofilin Dosis aminofilin yang diberikan 72 mg per hari melebihi

dosis terapi. Dosis seharusnya 15 mg/kgBB/hari.

Dosis aminofilin menjadi 150 mg sehari. 12 Prokaterol HCl Dosis prokaterol yang diberikan 2x25 mcg melebihi dosis

terapi. Dosis seharusnya 1-1,25mcg/kgBB, 2 kali sehari.

Dosis prokaterol 15-18,75 mcg 2x/hari.

13

Deksametason Dosis deksametason yang diberikan 3x2,5 mg, melebihi dosis terapi. Dosis seharusnya 0,5-1 mg/kgBB/hari, tiap 6-8 jam.

Dosis deksametason 1,1-2,1 mg 3x/hari. Aminofilin Dosis aminofilin yang diberikan 105,6 mg per hari melebihi

dosis terapi. Dosis seharusnya 15 mg/kgBB/hari.

Dosis aminofilin menjadi 94,5 mg sehari.

14

Amoksisilin trihidrat

Dosis amoksisilin trihidrat yang diberikan 3x250 mg, melebihi dosis terapi. Dosis seharusnya 20-50 mg/kgBB/hari, dalam dosis terbagi tiap 8-12 jam.

Dosis amoksisilin trihidrat menjadi 93,3-233,3 mg, 3 kali sehari. Prokaterol HCl Dosis prokaterol yang diberikan 2x25 mcg melebihi dosis

terapi. Dosis seharusnya 1-1,25 mcg/kgBB, 2 kali sehari.

Dosis prokaterol 14-17,5 mcg 2x/hari.

15 Kodein

Dosis kodein yang diberikan 3x25 mg melebihi dosis terapi. Dosis seharusnya 1-1,5 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 4-6 jam.

Dosis kodein diturunkan menjadi 3,1-4,7 mg, 3 kali sehari.

16 Parasetamol Dosis parasetamol yang diberikan 3x75 mg melebihi dosis terapi. Dosis seharusnya 10-15 mg/kgBB/dosis, tiap 4-6 jam.

Dosis parasetamol 47-70,5 mg 3x/hari.

24

Fenitoin Dosis fenitoin yang diberikan 3x7,5 mg melebihi dosis terapi. Dosis seharusnya 5 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi.

Dosis fenitoin menjadi 2x10 mg.

Diazepam Diazepam yang diberikan sebanyak 0,5 tube (2,5 mg) melebihi dosis terapi. Dosis seharusnya 0,3-0,5 mg/kgBB.

Dosis diazepam menjadi 1,2-2 mg sehari.

Aminofilin

Pasien mendapatkan aminofilin yang diberikan secara i.v. dan p.o. secara bersamaan. Pemberian obat yang sama dengan jalur pemberian yang berbeda ini dapat menyebabkan kadar yang terlalu tinggi di dalam darah.

Aminofilin secara p.o. tidak perlu diberikan.


(5)

DRPs: Butuh terapi obat tambahan (need for additional drug therapy)

Kasus Obat Problem Penilaian Rekomendasi

1 Obat golongan antiinfeksi

Pasien mengalami kenaikan angka leukosit yang cukup tinggi, terutama segmen. Hal ini menandakan terjadinya infeksi bakteri. Pasien tidak mendapatkan obat untuk mengatasi infeksi bakteri tersebut.

Pasien diberi antibiotik yang sesuai.


(6)

Dokumen yang terkait

Evaluasi penghitungan pajak pertambahan nilai Instalasi Farmasi studi kasus di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.

3 84 126

Evaluasi penggunaan antibiotika pada penyakit infeksi saluran pernafasan akut kelompok pediatri di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Juli-September 2013.

2 8 90

Efektivitas pengendalian internal sistem penggajian (studi kasus di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta)

7 98 151

Evaluasi medication error resep racikan pasien pediatrik di farmasi rawat jalan rumah sakit Bethesda pada bulan Juli tahun 2007 : tinjauan fase dispensing.

0 1 128

Evaluasi peresapan kasus pediatri di bangsal anak rumah sakit Bethesda Yogyakarta yang menerima resep racikan periode Juli 2007 : kajian kasus gangguan sistem saluran cerna.

0 3 98

Evaluasi penentuan tarif kamar anak : studi kasus pada Rumah Sakit Bethesda - USD Repository

0 0 67

Evaluasi peresapan kasus pediatri di bangsal anak rumah sakit Bethesda yang menerima resep racikan dalam periode Juli 2007 : kajian kasus gangguan sistem saluran nafas - USD Repository

0 0 137

Evaluasi peresapan kasus pediatri di bangsal anak rumah sakit Bethesda Yogyakarta yang menerima resep racikan periode Juli 2007 : kajian kasus gangguan sistem saluran cerna - USD Repository

0 0 96

Evaluasi medication error resep racikan pasien pediatrik di farmasi rawat jalan rumah sakit Bethesda pada bulan Juli tahun 2007 : tinjauan fase dispensing - USD Repository

0 0 126

Evaluasi komposisi, indikasi, dosis, dan interaksi obat resep racikan untuk pasien pediatri Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode Juli 2007 - USD Repository

0 0 148