92465024 Bahan Ajar 3 MPKT

BAB I PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Era Globalisasi ditandai dengan kemajuan teknologi seperti: (1) transportasi (sekarang pesawat terbang digunakan sebagai angkutan masal), (2) telekomunikasi (kini telah berkembang teknologi informatika), dan ditandai juga dengan semangat perdagangan bebas. Pada era ini pula, orang terdorong atau cenderung berkeinginan menjadi warga negara dunia. Negara maju dan kaya, mencita-citakan dunia ini menjadi dunia tanpa batas. Dunia tanpa batas dapat merugikan bangsa yang sedang berkembang, apabila bangsa itu tidak memiliki karakter nasional yang kuat dan disertai dengan intelektual yang tinggi. Tidaklah mengherankan jika, dalam beberapa hal, globalisasi telah memicu konflik, baik konflik antar negara maupun konflik internal di dalam negara. Hal itu, dipicu, salah satunya, oleh berbedaan persepsi nilai-nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Konflik fisik masih terjadi, baik dalam rangka memperebutkan wilayah secara fisik maupun wilayah maya—pengaruh budaya, ekonomi dan sebagainya—yang berawal dari perebutan sumber daya alam. Oleh karena itu tidaklah salah apabila, Quincy Wright (Wright, 1941: 4-6) berpendapat bahwa perang dipicu oleh: 1. dunia yang “menciut” sebagai akibat kemajuan teknologi transportasi; 2. “percepatan” jalannya sejarah sebagai akibat kemajuan teknologi telekomunikasi; 3. penemuan persenjataan baru, serta 4. kebangkitan demokrasi. Dari keempat penyebab perang tersebut, tiga di antaranya menyebabkan penggunaan sumber daya alam— terutama yang tidak dapat diperbarui—secara berlebihan. Oleh karena itu issue Era globalisasi diidentikkan dengan perebutan wilayah (sumber daya alam) dan pemanasan global.

Manusia dan tempat tidak dapat dipisahkan, demikian pidato Ir. Soekarno pada sidang BPU PKI tanggal 1 Juni 1945 (Setneg, tt: 66). Oleh karena itu, tidaklah dapat disalahkan apabila dalam tata kehidupannya—cara berpikir, bergaul, dan bertindak— orang, dipengaruhi oleh konstalasi wilayah yang dihuninya. Di suatu wilayah itulah setiap manusia akan mengelola sumber daya alam, sehingga dapat menghasilkan sesuatu untuk tata kehidupannya.

Setelah manusia membangsa, mereka menamakan wilayah yang dihuninya dan diklaim sebagai miliknya dan dinamai negara (country). Dalam perjalanan sejarah, negara tidak saja Setelah manusia membangsa, mereka menamakan wilayah yang dihuninya dan diklaim sebagai miliknya dan dinamai negara (country). Dalam perjalanan sejarah, negara tidak saja

Dalam upaya membina dan mengelola rakyat tidak jarang Negara—aparatur negara— melakukan pemaksaan yang berlebihan. Hal itu mengakibat pelanggaran hak asasi manusia yang tidak dapat dihindarkan. Eksplorasi dan eksploitasi wilayah yang berlebihan akan berdampak pada kerusakan lingkungan. Salah satu upaya untuk mengatasi kerusakan lingkungan, diperlukan pengenalan lebih lanjut tentang rahasia alam semesta dan isinya. Oleh karena itu, pada bahan ajar ini pembahasan akan meliputi masalah: penduduk, wilayah, serta kedaulatan—konstitusi, sistem perintahan dan politik—yang merupakan inti dari bahan ajar mengenai Negara, pengelolaan lingkungan hidup yang harus diperhatikan oleh bangsa. Ilmu pengetahuan alam yang menguak fenomena alam semesta diharapkan menjadi bahan pengetahuan bagi bangsa.

1. 2. Bangsa Indonesia

1. 2. 1. Pengertian Bangsa

Ada beberapa pengertian tentang bangsa (nasion/nation) dan kebangsaan yang berkembang. Ernest Renan menyatakan bahwa bangsa adalah: bukan suatu ras, bukan orang- orang yang mempunyai kepentingan yang sama, bukan pula dibatasi oleh batas-batas geografis atau batas alamiah. Nasion (bangsa) adalah suatu solidaritas, suatu jiwa, suatu asas spiritual, suatu solidaritas yang dapat tercipta oleh perasaan pengorbanan yang telah lampau dan bersedia dibuat di masa yang akan datang. Nasion memiliki masa lampau tetapi berlanjut masa kini dalam suatu realita yang jelas melalui kesepakatan dan keinginan untuk hidup bersama (le desire d’etre ensemble). Nasion tidak terkait oleh negara, karena negara berdasarkan hukum. Menurutnya, wilayah dan ras bukan penyebab timbulnya bangsa. Bagi rakyat negara yang dikuasai ras lain (negara jajahan), para pemimpin pergerakan/kemerdekaan mengobarkan semangat nasionalisme berdasarkan teori Renan. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa pada negara nasional baru (dikenal pula sebagai negara dunia ketiga) jiwa nasionalisme tumbuh seperti teori dari Ernest Renan.

Sementara itu, menurut Hans Kohn (Kaelan, 2002: 213): bangsa itu terbentuk karena persamaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah, negara dan kewarganegaraan. Teori Kohn ini nampaknya berdasarkan perkembangan pengertian bangsa (nasion) di Eropa daratan (kontinental). Bangsa (nasion) di Eropa kontinental bangkit karena revolusi leksikografi, bahwa bahasa milik pribadi-pribadi kelompok khas (Anderson, 2001: 126). Eropa—kontinental—dikuasai oleh dinasti Habsburg di sebagian Eropa Tengah dan Timur, dinasti Romanov di Eropa Timur, Rusia dan Asia Barat hingga Siberia dan dinasti Usmaniah (Ottoman) di Balkan, Jazirah Arab dan Afrika Utara, sedangkan Eropa Barat dikuasai ex dinasti Bourbon. Bangsawan—penguasa—lokal diharuskan mampu berbahasa Latin sebagai bahasa resmi di dalam wilayah dinasti maupun sebagai lingua franca antara para bangsawan—dinasti dan lokal—serta kaum intelektual. Persoalan timbul, bahwa yang mampu menguasai bahasa resmi hanya sedikit. Hal itu menyebabkan percetakan tidak dapat menerbitkan secara luas karya tulis para intelektual dan menimbulkan kerugian. Sebagai tindak lanjutnya, penerbitan lebih banyak menggunakan bahasa lokal agar masyarakat yang mampu membaca tulisan lebih banyak. Faham egaliterisme di kalangan masyarakat menumbuhkan nasionalisme berdasarkan budaya lokal. Rupanya faktor inilah yang menjadikan Hans Kohn membuat definisi seperti itu.

Definisi bangsa menurut paham bangsa Indonesia tertuang berdasarkan isi Sumpah Pemuda. Menurut Kaelan (2002: 213) adanya unsur masyarakat yang membentuk bangsa yaitu: berbagai suku, adat istiadat, kebudayaan, agama serta berdiam di suatu wilayah yang terdiri atas beribu-ribu pulau. Selanjutnya bangsa juga mempunyai kepentingan yang sama dengan individu, keluarga maupun masyarakat yaitu tetap eksis dan sejahtera. Salah satu persoalan yang timbul dari bangsa adalah ancaman disintegrasi, dan yang menjadi penyebab utama biasanya perbedaan persepsi pada upaya masyarakat yang ingin “merekatkan diri lebih ke dalam”, yaitu ingin mempertahankan pola. Oleh karena itu pada bangsa yang baru merdeka atau berdiri diupayakan memiliki alat perekat yang berasal dari budaya masyarakat. Pada perkembangannya alat perekat ini, dikenal sebagai ideologi yang hendaknya dipahami oleh bangsa itu sendiri.

1. 2. 2. Sejarah Berdirinya Bangsa Indonesia. Sejarah lahirnya bangsa (nasion) Indonesia cukup panjang dan itu tidak lepas dari upaya Vereenigde Oost Indische Companie (VOC) yang dilanjutkan Pemerintah Belanda memecah belah rakyat nusantara, melalui kebijaksanaan pemilahan penduduk. Namun, reaksi rakyat nusantara 1. 2. 2. Sejarah Berdirinya Bangsa Indonesia. Sejarah lahirnya bangsa (nasion) Indonesia cukup panjang dan itu tidak lepas dari upaya Vereenigde Oost Indische Companie (VOC) yang dilanjutkan Pemerintah Belanda memecah belah rakyat nusantara, melalui kebijaksanaan pemilahan penduduk. Namun, reaksi rakyat nusantara

Gerakan Etika Politik di Eropa dilaksanakan juga di nusantara dengan maksud ingin membalas jasa rakyat. Dengan demikian rakyat akan mudah diatur oleh Belanda. Ternyata gerakan ini disambut baik oleh kaum pergerakan dan dibantu oleh para penguasa lokal. Para pemimpin pergerakan melakukan upaya pendidikan dan mendirikan sekolah-sekolah untuk kaum pribumi. Boedi Oetomo merupakan organisasi masyarakat pribumi pertama melakukan pendidikan untuk kaum pribumi. Kaum pribumi menjadi haus bacaan dan ilmu pengetahuan. Sastra Barat mulai diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Melayu dan Jawa yang akhirnya membangkitkan semangat egaliter. Dari semangat egaliter membangkitkan kesadaran berbangsa dan berpolitik, yang selanjutnya mejadi gerakan politik sehingga lahirnya bangsa Indonesia. Oleh karena itu Ben Anderson (2001) berpendapat bahwa nation state merupakan komunitas terbayang (imagined communities) yang menyatu.

1. 3. Nasionalisme Indonesia.

Nasionalisme mengandung arti faham untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Nasionalisme merupakan gerakan sentimen mencintai bangsa namun hendaknya dalam koridor universal. Dengan semangat nasionalisme yang tinggi akan terbangun kekuatan dan kontinuitas sentimen mencintai bangsa dalam bentuk identitas nasional.

Faham nasionalisme terbangun melalui beberapa konsep antara lain: (1) konsep theologi yang identik dengan fitrah manusia untuk bersatu membentuk masyarakat dan membangsa; (2) konsep politik yang terbangun melalui hakikat budaya politik bangsa; (3) konsep budaya yang tetap menghormati tumbuh dan berkembangnya semangat multikultur. Namun, kini faham nasionalisme lebih menekankan pada aspek politik.

Nasionalisme Indonesia bertitik tolak dari semangat sumpah pemuda yang pada dasarnya perubahan semangat kesukuan ke semangat kebangsaan (dikenal sebagai “dari ke-kami-an menjadi ke-kita-an”). Adapun beberapa ciri khas nasionalisme Indonesia adalah: (1) Bhineka Tunggal Ika; (2) Etis (paham etika Pancasila); (3) Universalitik; (4) Terbuka secara kultural; dan (5) Percaya diri.

Pertumbuhan Nasionalisme Indonesia telah mengalami perubahan seiring dengan perubahan rezim. Masa Orde Lama semangat persatuan mulai menguap dan identitas nasional

(sebagai salah satu bentuk nasionalisme) terdistorsi menjadi identitasnya Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi (PBR). Di zaman Orde Baru, spirit kebangsaan ditumbuh-kembangkan untuk mengatasi keterpurukan ekonomi warisan orde lama. Namun, ujung-ujungnya Pancasila secara manipulatif “diritualisasikan” untuk mengamankan proses kolusi, korupsi dan nepotisme dan “kroniisme”. Identitas nasional—yang merupakan salah satu ciri khas nasionalisme— terdistorsi menjadi identitas nasionalnya presiden sebagai penguasa tunggal.

1. 4. Negara dan Bangsa

Negara menurut Logemann adalah suatu organisasi kemasyarakatan yang bertujuan, dengan kekuasaannya, mengatur serta menyelenggarakan suatu masyarakat. Lebih jauh menurut Max Weber negara merupakan struktur politik yang diatur oleh hukum, yang mencakup suatu komunitas manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu dan menganggap wilayah yang bersangkutan sebagai milik mereka untuk tempat tinggal dan penghidupan mereka (Naning, 1983:

3 – 4). Ada pengadaan dan pemeliharan tata keteraturan (hukum) bagi kehidupan mereka. Ada monopoli kepemilikan dan penggunaan kekuatan fisik secara sah (legitimasi). Dengan demikian Negara merupakan alat masyarakat untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan Negara. Adanya legitimasi pada Negara, organisasi ini dapat memaksa kekuasaannya secara sah terhadap semua kolektiva dalam masyarakat. Ada tiga sifat yang merupakan kedaulatan. Pertama sifat memaksa, yaitu negara memiliki kekuasaan untuk menggunakan kekerasan fisik secara sah (legal) agar dapat tertib dan aman. Kedua sifat monopoli, yaitu negara berhak dan kuasa tunggal dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat atau bangsa. Ketiga sifat mencakup semua, yaitu semua peraturan perundang-undangan mengenai semua orang, baik warga negara maupun bukan warganegara.

Menurut Konvensi Montevideo, diperlukan 3(tiga) syarat yang bersifat konstitutif. Pertama harus ada wilayah, yaitu suatu daerah yang telah dinyatakan sebagai milik bangsa tersebut, dan batas-batas wilayah ditentukan oleh perjanjian internasional. Kedua harus ada rakyat, yaitu orang yang mendiami di wilayah tersebut dan dapat terdiri dari atas berbagai golongan atau kolektiva sosial; yang harus patuh pada hukum dan Pemerintah yang sah. Ketiga harus ada Pemerintah, yaitu suatu organisasi yang berhak mengatur dan berwewenang merumuskan serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang mengikat warganya. Lebih lanjut menurut Prof DR Sri Soemantri, SH (Diknas, 2001: 50) dapat pula ditambahkan ada pengakuan kedaulatan Menurut Konvensi Montevideo, diperlukan 3(tiga) syarat yang bersifat konstitutif. Pertama harus ada wilayah, yaitu suatu daerah yang telah dinyatakan sebagai milik bangsa tersebut, dan batas-batas wilayah ditentukan oleh perjanjian internasional. Kedua harus ada rakyat, yaitu orang yang mendiami di wilayah tersebut dan dapat terdiri dari atas berbagai golongan atau kolektiva sosial; yang harus patuh pada hukum dan Pemerintah yang sah. Ketiga harus ada Pemerintah, yaitu suatu organisasi yang berhak mengatur dan berwewenang merumuskan serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang mengikat warganya. Lebih lanjut menurut Prof DR Sri Soemantri, SH (Diknas, 2001: 50) dapat pula ditambahkan ada pengakuan kedaulatan

1. 5. Lingkungan Negara

Masalah negara—dalam arti institusi atau state—tidak dapat terlepas dari pengaruh negara lainnya yang berdekatan. Oleh karena itu harus diketahui dan dipahami dengan benar apa yang dilakukan oleh negara tetangga, baik secara regional maupun global. Sebagai tindak lanjutnya kita harus dapat memprediksi secara strategis masalah lingkungan dan kemitraan.

Masalah lingkungan hidup menjadi penting dan ini harus dapat dipahami dan diresapi oleh masyarakat kita terutama di perbatasan dengan negara tetangga. Banyak garis batas antar negara berubah karena ketidak tahuan dan kesadaran masyarakat kita sendiri. Pergeseran batas wilayah sering diawali dengan kerusakan lingkungan karena eksploitasi wilayah yang berlebihan tanpa memikirkan dampak lingkungan. Kerusakan lingkungan tidak saja berakibat mundurnya batas wilayah tetapi juga menyebabkan banyaknya kecelakaan yang merugikan masyarakat, yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

1. 6. Sistimatika Pembahasan

Berkenaan Buku Ajar – III yang bermuatan Pokok Bahasan Bangsa, Negara dan Lingkungan Hidup di Indonesia, sistimatika pembahasan disusun sebagai berikut:

1. Pendahuluan. Dengan didahului membahas latar belakang yang berlanjut dengan membahas Bangsa dan Negara (termasuk nasionalisme Indonesia), serta Lingkungan Hidup, dan diakhiri dengan Sistematika Pembahasan.

2. Kewarganegaraan Indonesia. Membahas masalah Rakyat Indonesia (WNI), Penduduk (WNI, WNA, Stateless), hak dan kewajiban penduduk (WNI, WNA, Stateless), serta pembatasan

gerak penduduk pada suatu Negara (Imigrasi merupakan bentuk kedaulatan suatu negara).

3. Negara Hukum dan Konstitusi. Penjelasan tentang Negara Hukum, makna konstitusi, hak asasi manusia dan Rule of Law di Indonesia

4. Negara dan Sistem Politik. Membahas bagaimana Pancasila sebagai dasar negara dituangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

demokratis (good governance, accountable, transparant)

5. Wilayah sebagai Ruang Hidup. Membahas teori geopolitik Indonesia dan geostrategi Indonesia (ketahanan nasional) dan ketahanan regional (ASEAN, APEC, OPEC) serta

implementasinya dalam hukum kewilayahan (hukum darat, laut, udara termasuk masalah otonomi daerah dan diakhiri dengan tata ruang. Membahas pula pasang surut hubungan antar negara.

6. Lingkungan Hidup. Membahas masalah Lingkungan Hidup, Sumberdaya alam, serta implementasi pada rencana tata ruang wilayah untuk pengelolaan lingkungan—melalui

Undang-Undang terkait—dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan. Membahas pula ketidaktahuan dan ketidaktaatan masyarakat, bangsa (sumber daya manusia) terhadap hal-hal tersebut, hingga menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan.

7. Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi. Masalah upaya pengungkapan rahasia dan gejala alam semesta untuk memenuhi kebutuhan manusia.

8. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi. Perkembangan teknologi yang pesat menyebabkan perubahan pola pikir dan pola tindak manusia. Hal ini akan berlanjut dengan pemanfaatan

teknologi yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan bersifat global. Dampak negatif eksploitasi yang berlebihan mengancam kehidupan manusia. Usaha-usaha untuk mengatasi kerusakan lingkungan global telah dilaksanakan (Undang-Undang, Konvensi, Deklarasi, dan Ratifikasi). Pembahasan akan diakhiri dengan kesimpulan dan harapan para penulis pada mahasiswa baru Universitas Indonesia.

BAB II KEWARGANEGARAAN INDONESIA

2. 1. Latar Belakang

Salah satu syarat yang bersifat konstitutif suatu Negara harus ada rakyat, yaitu orang yang mendiami suatu wilayah atau negara. Namun pada kenyataannya, yang mendiami wilayah tersebut terdiri dari atas berbagai golongan. Keanekaan golongan ini harus patuh pada hukum dan Pemerintah yang sah. Pemerintah juga dituntut untuk melindungi rakyat dari tindak kesewenangan baik berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun sebaliknya rakyat dituntut pula untuk membela kepentingan Negara. Sebaliknya Negara (dalam hal ini Pemerintah) tidak dapat memaksa semua rakyatnya yang tinggal di wilayahnya untuk membela Negara, karena ada perbedaan status. Perbedaan status antara lain status kewarganegaraannya.

2. 2. Warga Negara

Rakyat didefinisikan sebagai segenap penduduk suatu negara (KBBI, 1988: 722). Sementara itu, yang dimaksud dengan bukan penduduk ialah orang yang tinggal sementara di wilayah tersebut. Selanjutnya penduduk dibedakan antara warga negara dan bukan warga negara atau warga negara asing.

Warga Negara (citizens, citoyen, staatsburger) adalah peserta dari otoritas Negara. Istilah ini bermula dari keinginan manusia mempersatukan diri dalam kebersamaan, semua daya kekuatan ditempatkan di bawah kehendak umum sebagai satu kekuatan kelompok. Jadi bermula dari pribadi umum (public person) membentuk persatuan semua orang yang disebut “kota” (city), dan sekarang disebut “republik” atau “negara hukum” (body politic), yakni kumpulan manusia dalam suatu negara. Unit ini oleh warganya disebut negara (state), apabila bersifat pasif, sedangkan bila bersifat aktif disebut penguasa (souvereign).

Kaula Negara (subject, sujet, onderdaan) adalah mereka yang ditundukkan oleh Negara (dalam hal ini adalah raja/dinasti). Pada masa lampau Negara diidentikkan dengan penguasa/ hukum negara. Istilah itu sekarang dipakai untuk warga negara kerajaan. Namun, tidak berarti bahwa kebesannya tidak lebih jelek dari suatu Negara bukan kerajaan.

Untuk menentukan kewarganegaraan dikenal ada 2 (dua) pendekatan, ditinjau dari segi kelahiran dan segi perkawinan.

1. Dari kelahiran ada dua pendekatan asas kewarganegaraan (Soetoprawiro, 1966: 10):

a. Ius Sanguinis (law of blood) Dalam asas ini kriteria kewarganegaraan ditentukan berdasarkan garis orang tua si anak.

b. Ius Soli (law of soil). Dalam asas ini seseorang diakui kewarganegaraannya berdasarkan tempat dilahirkan, meski orang tuanya adalah warga negara asing.

Kedua asas itu dapat digunakan bersama dengan mengutamakan salah satu, namun dengan tidak menanggalkan kewarganegaraan yang lainnya. Sebagai akibatnya terjadi dwi kewarganegaraan (bipatride) dan sebaliknya dapat saja seseorang tidak memiliki kewarganegaraan (apatride). Hal itu biasanya diselesaikan dengan menggunakan hak opsi yaitu hak memilih kewarganegaraan dan dan hak repudansi (hak menolak kewarganegaraan). Cara lain untuk memperoleh kewarganegaraan melalui cara naturalisasi yaitu melalui proses hukum dengan syarat-syarat tertentu.

2. Dari segi perkawinan dengan dasar:

a. Kesatuan hukum, dalam kaitan ini isteri mengikuti kewarganegaraan suami, apabila terjadi perkawinan antar bangsa (campuran).

b. Persamaan derajat, dalam kaitan ini kewarganegaraan isteri tidak hilang setelah perkawinan campuran.

2. 3. Warga Negara Indonesia

Pascaperang Dunia II, banyak berdiri negara nasional baru. Negara-negara tersebut umumnya adalah negara merdeka, setelah sekian tahun dijajah oleh dinasti-dinasti Eropa. Masa pemerintahan kolonial, penduduk asli kawasan itu pada umumnya diposisikan pada strata terendah kaula negara oleh para penguasa asing. Setelah merdeka penduduk asli/pribumi menjadi penguasa baru. Demikian pula yang terjadi di negara kita, di mana kaum pribumi pada posisi strata ketiga setelah keturunan Eropa dan Timur Asing. Hal itu perlu penentuan yang tepat agar negara yang baru dibentuk tidak timbul persoalan.

Persoalan yang timbul pada tiap negara yang baru merdeka adalah kemungkinan disintegrasi rakyat/bangsa. Hal itu disebabkan penduduk negeri yang baru merdeka terdiri dari beberapa strata sosial yang diciptakan berbeda oleh Pemerintah Jajahan. Mereka kini diberikan status yang sederajat di Negara Republik Indonesia. Dengan demikian mereka akan merasa memiliki dan sekaligus mencintai negaranya. Apabila mereka dalam status yang sama kemungkinan disintegrasi akan menjadi kenyataan. Pada kenyataannya ketiga strata kaula negara bersatu untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Republik Indonesia.

Untuk menentukan status kewarganegaraan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia menjabarkan pasal 26 UUD-1945 dengan UU no. 3/1946 tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia. Melalui UU tersebut, Pemerintah Republik Indonesia menggunakan pendekatan ius soli untuk menentukan kewarganegaraan bagi rakyatnya. Hal itu untuk menampung kaula negara (onderdaan) yang ada di Indonesia sebelum kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945

Selanjutnya setelah tahun 1950 (setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda) timbul masalah baru yaitu: Keputusan Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Republik Rakyat Cina yang tetap mengakui warganya yang tinggal di Indonesia tetap menjadi warganegaranya. Akibatnya terdapat keadaan dwi kewarganegaraan (bipatride) bagi orang keturunan Belanda dan Cina perantauan. Ini dapat menimbulkan loyalitas ganda bagi warganegara keturunan Belanda dan Cina.

Untuk mengatasi hal ini Pemerntah Indonesia menerbitkan UU no. 62/1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang berasaskan ius sanguinis. Sebagai akibatnya mereka menjadi warganegara asing yang tidak mengenal tanah leluhurnya, bahkan banyak di antara mereka yang tidak mampu berbahasa ibu. Mereka bersatus sebagai warga negara asing dan harus mengajukan permohonan izin tinggal di Indonesia.

Seiring dengan kemajuan zaman, perkawinan campuran makin sering terjadi di Indonesia. Pria warganegara asing sering menikahi putri-putri Indonesia, yang tidak jarang perkawinan itu hanya bersifat politis, agar dia dapat izin tinggal. Kasus yang sama sering terjadi juga di negara lain. Sebagai akibatnya banyak anak-anak hasil pernikahan perempuan Indonesia dengan orang asing dan lahir di Indonesia berstatus warganegara asing. Problema ini tidak begitu menjadi masalah selama orangtuanya masih akur (tidak bercerai). Namun, apabila terjadi perceraian, status anak-anak tersebut tetap orang asing dan yang paling menderita ialah ibunya (setelah perceraian biasanya si anak menjadi beban ibunya), yaitu ia memelihara serta membesarkan warga negara asing dengan segala macam konsekuensinya.

Sejak Juli 2006 telah diundangkan UU no 12/2006 dengan pendekatan asas ius sanguinis dan ius soli terbatas. Mereka memiliki kewarganegaraan ganda hingga usia dewasa. Namun UU Kewarganegaraan yang baru agak menyulitkan buruh migran karena dapat kehilangan kewarganegaraanya apabila mereka tidak aktif berhubungan dengan perwakilan Pemerintah Indonesia di luar negeri. Padahal, hak untuk memiliki, memperoleh, mengganti atau mempertahankan kewarganegaraannya telah dijamin melalui pasal 26 UU no 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

2. 4. Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia

Pelaksanaan hak warga negara dalam UUD 1945 dikaitkan langsung dengan kewajiban karena memang mempunyai keterkaitan. Karenanya perumusan hak dan kewajiban itu dicantumkan dalam satu pasal seperti pasal 27 ayat (1) “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Dalam kaitan ini dapat diketengahkan masalah hak-hak warga negara misalnya masalah pendidikan, kesejahteraan sosial dan pertahanan.

Sebelum amandemen, tidak ada Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945. Hal itu disebabkan Hak Asasi Manusia tidak sesuai dengan paham negara integralistik yang dianut UUD 1945. Paham negara integralistik yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller dan Hegel bukanlah untuk menjamin perseorangan atau golongan, namun untuk menjamin masyarakat secara persatuan (Kaelan, H., MS. 2002: 39). Menurut Dr. A. S. S. Tambunan, SH kini kita menganut paham individualisme dan liberalisme seperti waktu UUDS 1950, terbukti dengan rumusan pasal-pasal dalam Bab XA (Tambunan, 2002: 11). Hal ini berarti bahwa Bab XA (Hak Asasi Manusia) beserta pasal-pasalnya itu bertentangan dengan Pembukaan UUD NKRI 1945.

UUD-1945 secara tegas menyatakan tentang:

1. Hak, antara lain melalui pasal 27ayat (2) hak untuk mendapatkan pekerjaan, pasal 30 ayat (1) hak ikut serta dalam usaha pembelaan negara, dan pasal 31ayat (1) hak mendapatkan

pengajaran.

2. Kewajiban, antara lain melalui: pasal 27ayat (1) kewajiban untuk menjujung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecuali, pasal 30 ayat (1) kewajiban ikut serta dalam usaha

pembelaan negara dan pasal 31 ayat (2) mengikuti pendidikan dasar.

3. Kemerdekaan warga negara, antara lain melalui: pasal 27 ayat (1) yaitu persamaan di dalam hukum dan pemerintahan, pasal 29 ayat (2) kemerdekaan untuk memeluk agama dan beribadat

menurut agama dan kepercayaannya, serta pasal 28 kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran.

2. 5. Hak dan Kewajiban Warga Negara Asing di Indonesia

Bagi warga negara asing yang medapat izin tinggal juga menerima hak dan memiliki kewajiban selama berada di Indonesia:

1. Kewajiban untuk tunduk dan patuh pada peraturan perundang-undangan.

2. Hak untuk menerima perlindungan atas diri dan hartanya.

3. Tidak memiliki hak untuk dipilih dan memilih.

4. Tidak mempunyai hak dan kewajiban untuk bela negara.

2. 6. Pembatasan Gerak

Sifat manusia selalu ingin berkelana, lebih-lebih pada era globalisasi, karena itu gerak keluar masuk penduduk pada suatu negara perlu diawasi terutama orang-orang asing. Instansi- instansi: Pencatatan Sipil, Imigrasi, dan Kependudukan merupakan salah satu perwujudan kedaulatan negara. Aspek yang diatur:

1. Perubahan status warganegara/penduduk.

2. Paspor yaitu surat jati diri perjalanan,

3. Visa: bukti persetujuan masuk dan tinggal dalam suatu negara,

4. Migrasi/mutasi penduduk antar wilayah,

5. Pencegahan dan penangkalan, yaitu upaya Pemerintah mengawasi baik warganegara sendiri maupun warganegara asing,

6. Deportasi—orang asing—yaitu upaya Pemerintah menangkal bahaya kejahatan dan penyakit menular,

Namun, upaya pengendalian penduduk sering kurang dihayati oleh masyarakat, dan aparat Pemerintah sehingga sering diabaikan. Akibatnya banyak terdapat tanda pengenal—kartu identitas—ganda, maupun sebaliknya. Akibat lanjutannya upaya pemerintah untuk menyiapkan “single number identity” terkendala. Dan pada gilirannya akan menyebabkan perselisihan pada saat pemilihan umum, yaitu banyaknya orang yang tidak masuk dalam daftar pemilih. Pada saat inilah banyak orang kehilangan hak konstitusionalnya.

2. 7. Hak dan Kewajiban Bela Negara

Upaya pembelaan negara merupakan tekad, sikap dan tindakan warga negara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan pada tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara Indonesia serta keyakinan pada Pancasila dan UUD-1945 (Basrie, 1992:14). Untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban membela Negara diperlukan pengetahuan tentang bela negara dalam arti luas. Bela Negara dalam arti luas tidak hanya menyangkut menghadapi bencana perang tetapi juga bencana lain. Untuk itu setiap warganegara harus disiapkan dengan baik dan sekaligus perlu diberi penjelasan secara meluas tentang hak dan kewajiban dalam upaya bela negara dan upaya pertahanan keamanan (pasal 27 dan pasal 30).

Untuk melaksanakan amanat UUD NKRI 1945 diperlukan:

1. Pengetahuan tentang bela negara dan pertahanan keamanan agar setiap WNI dapat: (a) menunaikan hak dan kewajibannya dengan tepat; (b) ikut serta menyumbangkan pemikiran terhadap perumusan dan penyelenggaraan konsepsi pertahanan keamanan negara; kewaspadaan dan kesiapan menghadapi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan.

2. Motivasi perlu ditumbuhkan melalui pemahaman: (a) sejarah pembelaan negara secara universal maupun nasional; (b) kondisi geografi, sumber daya manusia dan sumber daya alam kita; (c) kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; (d) strategi pembangunan nasional dan (e) yuridis formal.

Memahami, menghayati arti bela Negara dan pertahanan keamanan negara merupakan salah satu upaya memupuk semangat nasionalisme dan jati diri bangsa Indonesia.

BAB III NEGARA HUKUM DAN KONSTITUSI

3. 1. Pengantar

Manusia setelah membangsa membentuk organisasi yang akan melindungi diri dan tempat tinggalnya. Organisasi tersebut dinamakan negara (state). Istilah negara semula diartikan hanya sebagai tempat tinggal (country) yang diklaim sebagai miliknya. Membahas masalah negara (state) kita harus membahas pula sistem politik yang berlaku dalam suatu negara.

Negara menurut Logemann adalah suatu organisasi masyarakat yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta menyelenggarakan sesuatu masyarakat (Naning, 1983: 3) Lebih jauh menurut Max Weber negara adalah suatu struktur masyarakat yang menpunyai monopoli dalam menggunakan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah (Budiardjo, 2008: 49). Dengan demikian negara merupakan alat masyarakat untuk mengatur hubungan manusia dengan masyarakat. Ada legitimasi, yaitu Negara dapat memaksa kekuasaannya secara sah terhadap semua kolektiva dalam masyarakat.

Ada tiga sifat yang merupakan kedaulatan: (1) Sifat memaksa, di mana negara memiliki kekuasaan untuk menggunakan kekerasan fisik secara sah (legal) agar dapat tertib dan aman; (2) Sifat monopoli, yaitu negara berhak dan kuasa tunggal menetapkan tujuan bersama dari masyarakat (tujuan nasional); (3) Sifat mencakup semua, yaitu semua peraturan perundang-undangan mengenai semua orang baik warganegara maupun penduduk. Dari ketiga sifat inilah timbul konsepsi negara hukum. Timbullah dalil: “Tiada masyarakat tanpa hukum” dalam teori ilmu hukum.

3. 2. Persyaratan Negara

Berdasarkan Konvensi Montevideo, untuk suatu negara diperlukan 3 (tiga) syarat yang bersifat konstitutif. Persyaratan tersebut adalah: (1) Harus ada wilayah yang telah dinyatakan sebagai milik bangsa dan batas-batasnya ditentukan melalui perjanjian internasional; (2) Harus ada rakyat yang mendiami wilayah tersebut dan dapat terdiri dari atas berbagai golongan sosial. Rakyat negara harus patuh pada hukum dan Pemerintah yang sah; (3) Harus ada Pemerintah yang berhak mengatur dan berwewenang merumuskan serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang mengikat warganya. Lebih lanjut Prof. DR. Sri Soemantri, SH (Dikti, 2001: 36) dapat pula ditambahkan adanya pengakuan kedaulatan dari negara lain. Kedaulatan merupakan unsur yang mutlak harus ada dan merupakan ciri yang membedakan antara organisasi pemerintah dengan organisasi sosial. Agar mampu menghadapi lawan, negara berhak menuntut kesetiaan para Berdasarkan Konvensi Montevideo, untuk suatu negara diperlukan 3 (tiga) syarat yang bersifat konstitutif. Persyaratan tersebut adalah: (1) Harus ada wilayah yang telah dinyatakan sebagai milik bangsa dan batas-batasnya ditentukan melalui perjanjian internasional; (2) Harus ada rakyat yang mendiami wilayah tersebut dan dapat terdiri dari atas berbagai golongan sosial. Rakyat negara harus patuh pada hukum dan Pemerintah yang sah; (3) Harus ada Pemerintah yang berhak mengatur dan berwewenang merumuskan serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang mengikat warganya. Lebih lanjut Prof. DR. Sri Soemantri, SH (Dikti, 2001: 36) dapat pula ditambahkan adanya pengakuan kedaulatan dari negara lain. Kedaulatan merupakan unsur yang mutlak harus ada dan merupakan ciri yang membedakan antara organisasi pemerintah dengan organisasi sosial. Agar mampu menghadapi lawan, negara berhak menuntut kesetiaan para

3. 2. 1. Wilayah Negara

Wilayah merupakan tempat tinggal suatu bangsa dan berbatasan dengan wilayah negara lain. Kekuasaan Negara mencakup tidak hanya tanah tetapi juga laut dan udara hingga ketinggian tertentu. Regim hukum laut modern (UNCLOS 1982) menjadikan negara kepulauan suatu entity besar. Hal ini harus dapat dipertahankan eksistensinya, dan untuk itu diperlukan kemampuan intelektual penduduk di samping masalah sumber-sumber daya lainnya, yang akan dibahas lebih lanjut dalam Bab V Buku Bahan Ajar III ini.

3. 2. 2. Warga Negara

Rakyat merupakan unsur yang penting bagi suatu negara. Negara tanpa rakyat tidak ada artinya. Yang termasuk rakyat ialah semua orang yang mendiami suatu wilayah kekuasaan negara. Dalam wilayah kekuasaan negara subjek ?? dapat dibedakan antara penduduk dan bukan penduduk. Secara rinci telah kita bahas melalui Bab II Buku Bahan Ajar III.

3. 2. 3. Pemerintah

Pemerintah adalah organisasi yang berwewenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk dalam suatu wilayah. Dalam hal ini bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan negara. Negara mencakup semua penduduk, sedangkan pemerintah mencakup hanya sebagian dari penduduk. Pemerintah sering berubah sedangkan negara relatif tetap bertahan, kecuali bila diserbu dan dikuasai oleh negara lain. Ada pembagian kekuasaan hingga menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif, meskipun sering semu. Lebih lanjut membahas Pemerintah dan Sistem Pemerintahan akan tertuang lebih perinci pada Bab IV Buku Bahan Ajar III ini.

3. 2. 4. Konstitusi

Syarat—tambahan—suatu negara menurut Prof. DR. Sri Soemantri, SH (Dikti, 2001: 36) adanya konstitusi, kedaulatan (pengakuan kedaulatan) dan tujuan negara yang tersurat maupun tersirat melalui konstitusi. Konstitusi berfungsi sebagai pengatur dan pembatasan kekuasaan negara, agar 3(tiga) sifat negara (Max Weber) tidak disalahgunakan oleh penyelenggara negara. Konstitusi merupakan: (1) Pembatasan kekuasaan organ Negara; (2) Mengatur hubungan antar organ negara; (3) Mengatur hubungan kekuasaan organ negara dengan warganegara; (4) Pembatasan kekuasaan Pemerintah; (5) Memberi legitimasi kekuasaan pada Pemerintah; (6) Instrumen pengalihan kewenangan. Dengan demikian konstitusi merupakan alat: (1) Pengendalian sosial dan politik; (2) Reformasi sosial dan politik; (3) Rekayasa sosial dan politik.

3. 2. 5. Kedaulatan Negara

Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi bagi negara untuk membuat undang-undang dan melaksanakan dengan semua cara (termasuk paksaan) yang tersedia dan berlaku di seluruh wilayah dan rakyat. Ada kedaulatan ke dalam (internal souvereignty) dan kedaulatan untuk mempertahankan diri dari gangguan dan serangan negara lain (external souvereignty). Kedaulatan merupakan konsep yuridis dan kedaulatan adalah mutlak harus ada pada suatu negara. Ciri khas kedaulatan adalah tidak terikatnya suatu negara dengan negara lain. Menurut Grotius (Loebis, 1997: 27) “Negara merupakan ikatan-ikatan manusia yang insyaf akan arti dan panggilan hukum kodrat”. Negara berasal dari perjanjian yang disebut “pactum”. Kedaulatan itu timbul dari hak untuk memerintah atas suatu komuniti (community) manusia. Kedaulatan itu sekaligus memberikan status apakah suatu negara benar-benar merdeka atau masih di bawah perwalian negara lain atau Perserikatan Bangsa Bangsa.

3. 2. 6. Tujuan Negara

Seperti halnya dengan individu, keluarga, masyarakat dan bangsa, negara harus merumuskan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan utama mendirikan negara adalah agar tetap ada (eksis) dan memberi kesejahteraan bagi warganegaranya. Tujuan mendirikan negara biasanya tertuang dalam pembukaan konstitusi. Pembukaan konstitusi suatu negara menggambarkan cerminan kebutuhan bersama rakyat atau bangsa tersebut. Demikian juga tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea IV dan dirumuskan dalam satu kalimat.

3. 3. Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945

Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945—sebutan untuk UUD 1945 yang telah diamandemen—adalah salah satu hasil gerakan konstitusionalisme. Yaitu paham yang selalu mengawasi dan meninjau kembali agar pemerintahan tetap pada jalan yang tetap dan benar. Dalam sejarah negara kita UUD 1945 telah diamandemen sebanyak 4 (empat) kali agar sesuai dengan eranya.

Pada amandemen UUD-1945 tidak ada lagi Penjelasan tentang Undang-undang Dasar Negara Indonesia. Padahal, dengan membaca teksnya saja masih sulit untuk mengerti maksud dan makna pada saat UUD tersebut dibuat. Pembukaan UUD dengan Batang Tubuh hendaknya relevan. Dalam Batang Tubuh UUD sebenarnya merupakan penjabaran dari pembukaan dengan melalui pasal-pasal. Pasal-pasal akan sulit dicerna oleh masyarakat oleh karena itu sebaiknya diikuti Penjelasan pada pasal-pasalnya melalui bagian atau bab tersendiri. Karena tidak ada penjelasan maka akan terlihat adanya ketidak samaan dalam isi UUD NKRI 1945.

Dalam UUD NKRI 1945 tersurat prinsip penyelenggaraan Negara: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Prinsip persatuan dan keragaman dalam Negara Kesatuan; (3) Cita Negara Integralistik; (4) Negara Republik; (5) Sistem Pemerintahan Presidensiil; (6) Paham Kedaulatan Rakyat (demokrasi); (7) Demokrasi langsung/demokrasi perwakilan; (8) Cita Negara Hukum (nomokrasi); (9) Pemisahan kekuasaan dan prinsip check and balance; (10) Demokrasi Ekonomi; (11) Cita Masyarakat Madani, yaitu masyarakat yang rukun, adil dan beradab. Prinsip penyelenggaraan negara tersirat pada Pembukaan UUD dan penjabarannya melalui pasal-pasal asli UUD maupun pasal-pasal hasil amandemen.

3. 4. Konsepsi Negara Hukum Indonesia

Pemikiran mengenai Negara Hukum diawali oleh Plato (429-347 S.M.), dalam dua buah bukunya yang terkenal, yaitu politeia (negara) dan nomoi (hukum). Semula ia berpendapat bahwa negara yang ideal adalah yang diselenggarakan oleh para ahli filsafat. Dari hasil pengamatannya, ia berkesimpulan bahwa penyelenggaraan negara yang baik adalah yang berdasarkan pengaturan (hukum) yang baik, yang disebutnya dengan istilah Nomoi. Sesuai dengan perkembangannya ide negara hukum tidak relevan lagi karena negara menjadi sangat berkuasa sehingga tumbuh konsep etatisme, yaitu suatu paham yang lebih mementingkan negara dari pada rakyatnya (KBBI, 2002: 309).

Ide negara hukum muncul kembali pada permulaan berkembangnya aliran liberal, yaitu menjelang dan saat revolusi kaum borjuis di Perancis. Dari Revolusi Perancis (1789) inilah berkobar semangat kebebasan (liberte), persamaan derajat (egalite) dan persaudaraan (fraternite). Faham individualistik atau perseorangan berkembang.

Aliran liberal mendambakan suatu negara hukum yang menjamin ketertiban dan keamanan masyarakat, agar setiap orang dapat dengan aman dan bebas mencari penghidupan serta mengurus kehidupannya masing-masing. Negara hukum seperti tersebut pada dasarnya tidak memerhatikan kesejahteraan umum rakyatnya. Dalam perkembangan pemikiran liberal kemudian terbukti bahwa peran negara tidak dapat dihindarkan dari kewenangannya untuk ikut campur tangan dalam penentuan pola kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya, yang asumsinya untuk mencerminkan adanya perlindungan terhadap hak asasinya. Negara Hukum Liberal kemudian berkembang menjadi Negara Hukum Formal (peran raja harus berdasarkan undang-undang atau hukum). Negara Hukum Materiil (undang-undang tersebut telah berkembang menjadi yang melindungi hak- hak asasi manusia). Perkembangan Negara Hukum Materiil menjadi Negara Kemakmuran (Welfare State), namun ciri khasnya masih menekankan pada kepentingan-kepentingan individualistik. Dengan demikian jelas bahwa Negara Hukum model Eropa tersebut bukanlah yang dikehendaki oleh para pendiri Republik Indonesia, dan bukan pula yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Negara Hukum Indonesia adalah suatu konsepsi tentang Negara Hukum yang mempunyai lima macam unsur utama, yang semuanya tercantum dalam UUD 1945. Penjelasan Umum No. III UUD 1945: (1) Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam “Pembukaan”, yang ingin mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar Negara; (2) Rumusan yang terungkap:Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka, yang rumusannya tertuang dalam batang tubuh UUD NKRI 1945; (3) Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat absulotisme (Penjelasan UUD 1945), yang berarti bahwa pemerintahan Republik Indonesia dalam menjalankan tugasnya harus berdasarkan atas kewenangan-kewenangan yang dirumuskan dalam UUD; (4) Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya {pasal 27 ayat (1)}; (5). Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah {Pasal 24 ayat (1) UUD NKRI

1945}. Dari gambaran tersebut secara ringkas kelima unsur utama Negara Hukum Indonesia terbukti dengan adanya:

1. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

2. Negara Indonesia yang berdasar atas hukum.

3. Pemerintahan yang berdasar atas sistem konstitusi.

4. Kesamaan kedudukan para warga negara dalam hukum dan pemerintahan, dan kewajiban mentaatinya tanpa kecuali (pola hak dan kewajiban asasi/manusia Indonesia).

5. Kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh pemerintah. Kesemuanya menunjukkan bahwa nilai-nilai dasar Pancasila telah menjelma dalam konsepsi Negara Hukum Indonesia. Namun demikian masih ada lagi nilai-nilai lain yang lebih mengenai masalah pengaturan organisasi negara dan perihal pembentukan hukumnya.

Indonesia sebagai negara hukum telah menentukan hirarki hukum di Indonesia yang dikukuhkan melalui Ketetapan MPR RI, dengan urutan:

1. Peraturan Dasar: Undang-undang Dasar dan Perubahannya, Piagam Dasar

2. Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Jurisprudensi.

3. Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden.

4. Peraturan Menteri/Peraturan Pejabat setingkat Menteri.

5. Peraturan Daerah Provinsi

6. Peraturan Gubernur.

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

8. Peraturan Bupati/Walikota

9. Peraturan Desa

3. 5. Hak Asasi Manusia

3. 5. 1. Perkembangan Sejarah Hak Asasi Manusia

Berdasarkan tiga sifat yang mendasari kedaulatan suatu negara, sering terjadi penyalahgunaan wewenang oleh para penguasa negara. Menghadapi kesewenang-wenangan ini tumbuh gagasan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu perkembangan perjuangan menegakkan HAM sama tuanya dengan perkembangan peradaban manusia. Gagasan HAM muncul ketika manusia yang satu merasa diperlakukan tidak manusiawi oleh pihak yang lain. Penguasa menindas rakyat, sehingga muncul diskriminasi berdasarkan ras, suku, agama, dan Berdasarkan tiga sifat yang mendasari kedaulatan suatu negara, sering terjadi penyalahgunaan wewenang oleh para penguasa negara. Menghadapi kesewenang-wenangan ini tumbuh gagasan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu perkembangan perjuangan menegakkan HAM sama tuanya dengan perkembangan peradaban manusia. Gagasan HAM muncul ketika manusia yang satu merasa diperlakukan tidak manusiawi oleh pihak yang lain. Penguasa menindas rakyat, sehingga muncul diskriminasi berdasarkan ras, suku, agama, dan

Pelangaran hak asasi masih terus dilakukan oleh para penguasa. Oleh karenanya upaya penegakan HAM terus-menerus dilakukan oleh elit politik dan para intelektual. Pada abad Pertengahan antara lain melalui: (1) Undang-undang Hak (Bill of Rights) 1689, disyahkan oleh Raja JAMES II dari Inggris dan merupakan perlawanan badan legislatif dalam revolusi tak berdarah 1688; (2) Undang-undang Hak (Bill of Rights) 1789, disusun oleh Rakyat Amerika Serikat dan dimasukkan ke dalam konstitusi mereka. Bill of Rights ini sangat individualistik sifatnya dan mementingkan masalah hak daripada kewajiban manusia; (3) Deklarasi hak-hak manusia dan warganegara di Perancis (Declaration des droits de l’homme et du citoyen), merupakan hasil dari revolusi Perancis 1789. Naskah ini merupakan perlawanan rakyat terhadap monarkhi absolut. Pada masa ini perjuangan hak asasi manusia sangat dipengaruhi oleh pendapat John Lock dan Jean Jacques Rousseau yang bersifat politis tentang pengertian hak-hak tentang kebebasan.

Akhir abad XIX sampai dengan medio abad XX perjuangan penegakkan HAM berfokus pada upaya menghukum para penjahat perang dan mereka yang terlibat dalam perencanaan perang dan penyiapan serta pembunuhan masal atas suatu masyarakat. Namun upaya ini diwujudkan dengan penggunaan asas retroaktif yang sebenarnya bertentangan dengan asas hukum pidana, yakni orang hanya dapat dihukum jika telah dibuat peraturan perundangannya.

Proses Peradilan Militer di kota Nurenburg dan Tokyo serta deklarasi-deklarasi tentang kebebasan, baik semasa abad pertengahan hingga Perang II merupakan pilar bagi Deklarasi Universal HAM. Proses peradilan-peradilan militer kini berdampak positif bagi hukum internasional yaitu bahwa individu dapat dikenai hukum yang setimpal atas kejahatannya. Individu kini dapat dijadikan subjek dan objek hukum internasinal. Dampak lainnya adalah Resolusi PBB tanggal 11 Desember 1945 yang menyetujui asas hukum yang dipakai dalam kedua pengadilan militer tersebut sebagai konsep HAM. Komisi Hukum Internasional PBB kemudian menuangkan dalam rumusan resmi sehingga memberikan kontribusi tercapainya “Universal Declaration of Human Rights” pada tanggal 10 Desember 1948.

3. 5. 2. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

Dari gambaran di atas jelaslah bahwa seusai Perang Dunia II kedudukan pribadi manusia memperoleh pengakuan yang luas dan kokoh dalam hukum Internasional. Namun untuk membuat deklarasi universal tentang hak asasi manusia membutuhkan perdebatan yang cukup panjang antara blok Barat dan blok Sosialis. Deklarasi HAM unversal didirikan atas empat tonggak utama, yaitu: (1) Hak-hak pribadi antara lain hak-hak: persamaan, hidup, kebebasan, kemanan dan lain sebagainya; (2) Hak-hak milik individu dalam kelompok sosial di mana ia ikut di dalamnya; (3) Kebebasan-kebebasan sipil dan hak-hak politik untuk dapat ikut serta dalam pemerintahan; (4) Hak-hak berkenaan dengan masalah ekonomi dan sosial.