Kedaulatan Semu NEGARA DAN KEDAULATAN

harinya tidak bekerja di ranah-ranah akademis ataupun politik. Namun, tiba-tiba mereka mempunyai keyakinan bahwa Yogyakarta dulu pernah menjadi negara berdaulat sebelum terlahirnya Republik Indonesia. Maka, masyarakat umum meyakini bahwa Yogyakarta memang sudah sewajarnya menjadi sebuah daerah istimewa. Maka menjadi penting untuk menelusuri bagaimana pemahaman soal kedaulatan ini sebagai pintu masuk pembahasan. Jika Yogyakarta pernah menjadi negara yang berdaulat, mengapa saat ini hanya puas sebagai daerah istimewa? Bahkan, massa kelompok pro penetapan selalu membawa bendera merah putih dalam setiap aksi-aksinya. Seakan-akan hal ini ambivalen. Di satu sisi menentang kebijakan pemerintah, tapi di sisi lain mereka membawa simbol-simbol negara. Akan tetapi, hal ini tidak bisa dimengerti tanpa memahami lebih dalam tentang pemaknaan soal kedaulatan dan hubungan-hubungan kuasa yang melingkupinya.

1. Kedaulatan Semu

Dalam dinamika politik di Jawa, kolaborasi pemerintahan ini sudah menjadi hal yang lazim, bahkan sebelum masa kolonial. Dinamika pemerintahan di Jawa memungkinkan adanya penguasa yang ‘saling menumpuk’. Dalam satu kerajaan, bisa terjadi ada beberapa penguasa. Mereka menjadi raja atas wilayah dan pengikutnya masing-masing. Tetapi, salah satu penguasa yang terkuat dan menaklukkan penguasa yang lain berlaku sebagai raja atasan. Para penguasa lain yang takluk tetap memerintah sebagai raja-raja bawahan sebagai Adipati. Daerah- daerah yang diperintah oleh para raja bawahan ini disebut vasal. Sebuah vasal pada prakteknya menjadi daerah otonom walaupun secara de jure merupakan bagian dari negara atasan. Setelah masuknya pengaruh asing, keberadaan vasal juga tidak dihilangkan. Kerajaan-kerajaan lokal di nusantara yang ditaklukan oleh Belanda tetap ditempatkan dalam ‘suaka’. Maka, kerajaan-kerajaan ini seakan-akan tetap berkuasa dihadapan rakyat. Penaklukan negara lokal dengan vasalisasi terjadi seperti permainan catur. Pihak putih mengalahkan pihak hitam dan mengganti bidak-bidak hitam dengan bidak-bidak putih yang bekerja di pihak hitam. Awalnya, keduanya saling melawan. Pihak kolonial sedikit demi sedikit memasuki pemerintahan kerajaan- kerajaan Jawa. Dengan memutilasi kedaulatan dan wewenang kerajaan, hanya tersisa raja dan struktur pemerintahan yang tidak berdaya. Akhirnya, posisi raja seperti halnya dengan raja dalam permainan catur yang geraknya sangat terbatas. Kerajaan Yogyakarta adalah salah satu vasal di dalam pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan-kerajaan vasal di Jawa hanya ditempatkan untuk kepentingan simbolik pada ritual-ritual adat. Di dalam pemerintahan, pengaruh raja Sunan, Sultan, atau Adipati tidak bisa sepenuhnya kuat. Wewenang mereka harus ditopang oleh birokrasi pemerintahan kolonial. Hanya saja, kesan keagungan para raja ini masih kuat tertanam masyarakat. Saya mencermati bahwa ada dua pemahaman penaklukkan yang berbeda antara pemahaman Jawa dengan Eropa. Penguasaan sebuah wilayah bagi para pendatang Eropa adalah penguasaan tanah. Hal berbeda yang berlaku bagi para penguasa Jawa yaitu, penguasaan mereka atas wilayah tertentu yaitu penguasaan atas orang-orang yang mendiami wilayah tersebut. Dengan perbedaan pandangan ini, maka menjadi sewajarnya jika yang terjadi demikian: tanah telah dikuasai pemerintah kolonial tapi rakyat tetap patuh pada raja-raja Jawa. Jika sejarah tersebut saya gunakan untuk merefleksikan apa yang terjadi saat ini, maka bisa dipahami bahwa kenapa ada rombongan besar pendukung raja dalam dinamika politik di Yogyakarta. Ada beberapa hal yang digarisbawahi yaitu: pertama, semenjak ratusan tahun, dari masa pra kolonial sampai paska kolonial, rakyat selalu berhubungan secara langsung dengan raja. Keberadaan pemerintah atas yang berganti selalu berganti tidak memutus hubungan antara rakyat dan raja. Kedua, rakyat adalah obyek kekuasaan raja. Semenjak Yogyakarta menjadi vasal dalam pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan menjadi sebuah daerah istimewa, rakyat tetap memberikan kesetiaannya pada figur seorang raja. Pada masa lalu, terlihat dalam sistem cacah keluarga petani. Besarnya kekuasaan seorang penguasa Jawa yang bisa dilihat dari sebanyak apa pengikutnya. Maka, yang perlu digarisbawahi dalam pembahasan kedaulatan bertingkat ini yakni kekuasaan sebuah negara-kerajaan di Jawa pada prakteknya semu. Sebuah negara penakluk tidak benar-benar mengendalikan seluruh wilayah dan rakyatnya. Sebagian wewenangnya tetap diberikan kepada negara bawahan untuk memerintah. Kondisi ini yang menimbulkan penafsiran bahwa Yogyakarta pernah menjadi negara yang berdaulat. Kenyataannya, Yogyakarta tidak pernah berdaulat. Yogyakarta adalah sebuah bekas negara bagian di Pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan Yogyakarta, tidak pernah berkuasa penuh, ia adalah bagian dari pemerintahan yang lebih besar. Jika di masa lalu, Kasultanan Yogyakarta hidup pada subordinasi pemerintah kolonial, saat ini ia hidup dengan subordinasi negara paska kolonial dalam sebuah suaka bernama daerah istimewa.

2. Bom Waktu Kolonial: Dualisme