menunjukkan bahwa keberadaan Yogyakarta menjadi bagian dari pemerintahan negara baru bernama Indonesia. Pada saat yang sama, Yogyakarta menjadi
swapraja pertama yang menyatakan diri bergabung dengan Indonesia yang masih belum jelas peluang hidupnya karena lahir ditengah status quo.
Tindakan pertama Sultan HB IX setelah menggabungkan wilayahnya ke Republik Indonesia yaitu menawarkan wilayahnya untuk ibukota negara setelah
Jakarta tidak lagi memungkinkan sebagai pusat pemerintahan, mengingat sudah dikuasai pasukan Belanda. Konsekuensinya, Sultan HB IX menyediakan semua
fasilitas agar pemerintahan tetap berjalan. Menurut penuturan Raja Yogyakarta ini, gaji pejabat pemerintahan Indonesia juga ditanggung oleh kerajaan.
Perannya yang sangat penting dalam pemerintahan Republik Indonesia di masa kritis ini juga dihubungkan dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret.
Selama masa Orde baru, peristiwa penyerangan kekuaatan militer Belanda di Yogyakarta ini dipolitisir oleh Presiden Soeharto. Paska lengsernya Presiden
Soeharto tahun 1998, sejarah kembali diluruskan dengan menempatkan pribadi Sultan HB IX sebagai pencetus gagasan peristiwa ini.
C. MEMPERTANYAKAN DAERAH ISTIMEWA
Di era Orde Baru, dari 27 propinsi di seluruh Indonesia, terdapat tiga propinsi yang berstatus istimewa atau khusus yaitu Daerah Istimewa Aceh DIA, Daerah
Khusus Ibukota Jakarta DKI Jakarta, dan Daerah Istimewa Yogyakarta DIY. Pada masa reformasi, dengan perubahan Undang-undang, DIA berubah menjadi
Nangroe Aceh Darusalam NAD. Otonomi khusus juga diberikan kepada
Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat. Jadi, sudah ada lima propinsi pada masa reformasi yang mempunyai status khusus atau istimewa.
Struktur asli pemerintahan di Yogyakarta sudah mengalami banyak perubahan. Penyesuaian gaya pemerintahan ke dalam negara republik membuat
Yogyakarta memiliki struktur pemerintahan yang sama dengan propinsi-propinsi lain. Hal ini membuat struktur birokrasi di Yogyakarta juga ‘disesuaikan’. Selo
Soemardjan merekam proses perubahan tersebut melalui karyanya yang terkenal, Perubahan Sosial di Yogyakarta.
Maka, birokrasi Kraton tidak lagi berlaku dan jabatan-jabatan tertentu harus bertransformasi. Pemerintah desa menjadi salah satu contoh, kepala desa
yang tadinya bertanggung jawab dan mempunyai loyalitas pada Sultan. Sejak perubahan-perubahan ini, tidak ada struktur asli dalam pemerintahan kerajaan
yang masih dipakai dalam pemerintahan daerah. Akhirnya, perubahan dari masyarakat monarki ke masyarakat republik,
kesan lama yang masih tertinggal yaitu dua pribadi raja, HB IX dan PA VIII yang menjabat gubernur dan wakil gubernur. Maka, ditengah ketidakjelasan konsep
daerah istimewa, Yogyakarta menjadi terkesan istimewa dengan kedua rajanya yang menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur.
Soewarno 2011 menuliskan, pada masa Orba, pernah ada upaya untuk menghapuskan keistimewaan Yogyakarta. Gagasan yang bermula dari Presiden
Soeharto ini kemudian dilaksanakan Fraksi Golkar dan Fraksi ABRI melalui salah satu pasal RUU No 51974 yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Rumusan
dalam RUU tersebut akhirnya tidak jadi disepakati karena ditolak oleh Fraksi PDI
dan Fraksi PPP. Masih ada beberapa upaya lagi untuk menghapuskan keistimewaan Yogyakarta setelahnya, saat Sultan HB IX tidak lagi bersedia
menjadi Wakil Presiden dan saat meninggalnya Sultan HB IX. Muncul beberapa isu lagi untuk menghapuskan keistimewaan. Yogyakarta
tidak lagi istimewa setelah PA VIII meninggal dan penggabungan DIY dengan Provinsi Jawa tengah, adalah dua rumor yang beredar. Kedua isu ini tidak
menjadi kenyataan karena rejim Orba terlanjur jatuh tahun 1998 saat PA VIII masih menjabat sebagai gubernur DIY.
D. LAHIRNYA GERAKAN