Bom Waktu Kolonial: Dualisme

berdaulat. Yogyakarta adalah sebuah bekas negara bagian di Pemerintahan Hindia Belanda. Kerajaan Yogyakarta, tidak pernah berkuasa penuh, ia adalah bagian dari pemerintahan yang lebih besar. Jika di masa lalu, Kasultanan Yogyakarta hidup pada subordinasi pemerintah kolonial, saat ini ia hidup dengan subordinasi negara paska kolonial dalam sebuah suaka bernama daerah istimewa.

2. Bom Waktu Kolonial: Dualisme

Penelusuran eksistensi daerah istimewa ini selanjutnya tertuju pada masa kolonial, saat pemerintah kolonial menjamin berlangsungnya sistem pemerintahan tradisional. 70 Dengan skema tata hukum, masyarakat pribumi yang hidup di wilayah tertentu, tetap hidup dengan aturan-aturan hukum adat. Terciptalah dikotomi, ada penerapan hukum positif barat yang dianggap modern, tapi aturan- aturan adat tetap dipertahankan. Masyarakat kolonial juga terbagi dalam dua bagian besar yang hidup dengan dikotomi aturan. Adat menjadi aset yang “dipelihara” sebagai kolaborator efektif untuk mengelola rakyat. Maka. tugas pemerintah kolonial untuk mengatur rakyat menjadi lebih ringan. Pemerintahan kolonial mempunyai prinsip dualistik dalam menjalankan pemerintahannya. Dualisme ini diaplikasikan dalam sendi-sendi pemerintahan. Kita telah melihat dualisme yang tercipta dibalik dipeliharanya hukum-hukum adat dengan pemahaman Adatrech, tapi corak ini juga diaplikasikan di hal-hal 70Problematika tentang hukum adat ini dibahas secara komprehensif oleh seorang ahli hukum tata negara berkebangsaan Belanda, van Vollenhoven. Kajian tentang tata kelola hukum adat ini kemudian disebut mazhab Leiden. Dengan mazhab Leiden yang menelurkan Adatrech kajian tentang hukum-hukum adat, yang dianut oleh para indolog, dia menganggap bahwa adat itu juga sebuah gugusan aturan-aturan hukum seperti halnya hukum-hukum positif Eropa. lain, seperti memberikan otonomi pada masyarakat kampung untuk menyusun sistem keamanan yang mandiri.71 Maka, tidak ada perbedaan yang signifikan antara masa pra kolonial dan kolonial, bahwa tetap ada distribusi otoritas. Otoritas kecil, yaitu ‘raja-raja kecil’ yang memerintah rakyat berhubungan dengan otoritas besar yaitu pemerintahan kolonial. 72 Dualisme ini menjamin adanya daerah-daerah Voorstenlanden di Jawa. Lebih dari separuh wilayah Hindia Belanda mengalami dijajah secara tidak langsung ini berbentuk pemerintahan adat dan pemerintahan kerajaan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah kolonial tidak sepenuhnya mengendalikan secara langsung sejumlah daerah dalam lingkup kekuasaannya Kelompok kolonial yang segelintir menggunakan penguasa-penguasa lokal untuk memerintah rakyat. Raja-raja di wilayah eks kerajaan Mataram tetap memerintah rakyatnya. Birokrasi kerajaan juga tetap beroperasi. Tapi, tetap ada kerjasama antara birokrasi kolonial dengan birokrasi kerajaan lokal. Maka, di Yogyakarta ada dua pemerintah yang berkuasa. Sebagaimana diungkapkan oleh Onghokham 1983 bahwa salah satu hal signifikan dalam kolonialisme pada kerajaan-kerajaan tradisional di Jawa yaitu terintegrasinya penguasa-penguasa pribumi, baik raja-raja kecil atau para bupati di daerah pinggiran maupun raja dan 71Lihat pemaparan Abidin Kusno dalam Penjaga Memori: Gardu di Perkotaan Jawa, Yogyakarta: Ombak, 2007, hlm. 65 – 66. Walaupun tetap mengawasi wilayahnya secara panaptikon, pemerintah kolonial memberikan keleluasaan pada penguasa-penguasa lokalpribumi untuk mengambil peran dalam pengendalian atau pengawasan masyarakat. Gardu menjadi contoh, bagaimana pemerintah kolonial mendorong terciptanya sistem keamanan lokal berbasis kampung. 72Ong Hok Ham menuliskan bahwa pemerintah kolonial menjamin tetap hidupnya ‘raja- raja kecil’ yaitu bupati agar mengendalikan keamanan dan bisnis perkebunan tebu. Onghokham. 1983. ”Merosotnya Peranan Pribumi dalam Perdagangan Komoditi,” dlm. PRISMA no 8, Agustus 1983, Tahun XII institusi kraton di pusat kekuasaan Jawa dengan birokrasi pemerintahan kolonial Belanda. Dengan pemaparan diatas saya mencoba menunjukkan bahwa hubungan rakyat dengan pemerintah pusat selalu berjarak. Pemerintah lokal menjadi perantara antara rakyat sebagai obyek kekuasaan dengan pemerintah pusat, Walaupun dinamika politik lokal sudah memasuki masa kolonial, pemerintah lokal tetap mendapatkan otoritas untuk mengelola rakyat atas nama pemerintah atasan. Hal penting dalam prinsip dualistik pemerintahan kolonial adalah soal gaya kolaborasi memerintah. Kolaborasi pemerintahan kemudian memunculkan pembagian kekuasaan. Demikian juga pemerintahan di vorstenlanden di Jawa Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pemerintah kerajaan mengelola wilayahnya bersama dengan pemerintah kolonial. Seperti halnya papan catur, satu ranah yang sama terdapat sisi putih dan hitam yang tersebar. Kembali ke bersatunya birokrasi kolonial dengan para penguasa feodal di Jawa, hal ini menunjukkan bahwa pada perkembangannya kedudukan kultural menjadi sama dengan jabatan politik. Pada prakteknya para bupati di daerah pinggiran yang menjadi raja-raja kecil, berperan sebagai pejabat administratif pemerintah. Walaupun hal ini tidak berlangsung di vorstenlanden, dengan adanya pembagian tugas antara raja dan patih, pada masa Sultan HB IX, jabatan patih dihapuskan. Maka, di Yogyakarta, jabatan pemimpin kultural juga menjadi pemimpin birokrasi. Pada masa Sultan HB IX, birokrasi Kraton tidak lagi mempunyai peranan yang penting. Peranan birokrasi kraton dihapuskan. Pemerintahan sepenuhnya dikendalikan oleh birokrasi pemerintah Republik Indonesia. Satu-satunya posisi yang tidak berubah yaitu kedua raja di Yogyakarta yang tetap memimpin pemerintahan. Hal itu pun tetap dengan penyesuaian yakni dengan menjadi Gubernur dan wakil gubernur. Dengan perubahan dari monarki ke republik, kesan lama yang masih tertinggal yaitu raja-raja yang menjabat gubernur dan wakil gubernur. Maka, ditengah ketidakjelasan konsep keistimewaan, Yogyakarta tetap terkesan istimewa. Struktur asli pemerintahan di Yogyakarta sudah mengalami banyak perubahan. Penyesuaian gaya pemerintahan ini membuat Yogyakarta memiliki birokrasi pemerintahan yang sama dengan propinsi-propinsi lain. Birokrasi Kraton tidak lagi berlaku dan jabatan-jabatan tertentu harus bertransformasi Soemardjan, 2009.73 Indonesia sebagai negara penerus Successor State cenderung tidak menerapkan corak pemerintahan yang dualistik. Pada perkembangannya, negara ini cenderung menciptakan gaya memerintah yang simetris dan monolitik. Seluruh wilayah dibagi menjadi propinsi-propinsi yang mempunyai struktur sama. Akibatnya, entitas-entitas politik seperti pemerintahan adat dan kerajaan vasal yang dulu mendapatkan porsi pemerintahan pada masa kolonial menjadi terhapuskan. Bom Waktu kolonial meledak saat prinsip dualistik ini tidak lagi 73Selo Soemardjan 2009 dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta, menggambarkan bahwa para pejabat Kraton Yogyakarta, yaitu para pamong praja yang terdiri dari para lurah harus menyesuaikan diri dengan perubahan susunan birokrasi pemerintahan. Mereka tidak lagi bertanggung jawab kepada Sultan dan Kraton tapi kepada pemerintah. dipraktekkan oleh pemerintah baru, Republik Indonesia. Hal inilah yang menimbulkan ‘gagap’ pada paska reformasi.74 Bagian terpenting yang menjadi ‘bom’ dan meledak pada paska kolonial yaitu birokrasi kraton, para bangsawan, dan orang-orang dekat raja. Pada masa kolonial mereka mendapatkan porsi dalam pemerintahan. Sebaliknya, pada masa pemerintahan Republik Indonesia, penentuan struktur birokrasi tidak menempatkan mereka menjadi bagian dari aparatur pemerintahan. Hal ini terlihat pada para perangkat desa. Mereka adalah kelompok massa yang menjadi gelombang pertama Gerakan keistimewaan Yogyakarta. Dengan melakukan dukungan terhadap penetapan, maka ada harapan untuk mengembalikan peran mereka yang lebih kuat dalam birokrasi pemerintahan di Yogyakarta seperti pada masa lalu. Jadi, pada daerah-daerah bekas vorstenlanden atau bekas vasal, rakyat sudah terbiasa dengan dualisme aturan yang berlaku. Mengingat hanya ada satu bekas daerah vasal di Indonesia, yaitu Yogyakarta, sangat bisa dimengerti bahwa sebagian masyarakat masih ingin tetap mempertahankan bentuk-bentuk aturan tradisional yang berlaku di daerahnya, walaupun tetap menerima aturan-aturan yang digariskan oleh pemerintah pusat. 74Terinspirasi dari Yogyakarta, raja-raja serta masyarakat adat di Indonesia yang terepresentasikan oleh AMAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mencoba merebut posisi- posisi dalam politik pemerintahan daerah. 3. Pergeseran Kuasa Jawa Jika dilihat dengan sudut pandang kuasa Jawa, vasalisasi meruntuhkan daya kuasa yang terepresentasikan dalam pribadi raja. Gagasan kuasa Jawa menunjukkan bahwa keberadaan seorang raja sangat sentral dalam pemerintahan. Salah satu ciri dalam pemerintahaan kerajaan yaitu mekanisme suksesi turun-temurun. Jadi, kekuasaan itu tunggal, memusat, serta diturunkan ke generasi selanjutnya.75 Pusat kestabilan ini saling berkelindan. Ia tidak boleh berdiri pada satu dimensi saja. Bukan sekedar pemimpin politik. Bukan sekedar pemimpin tradisi atau ritual. Pemimpin dalam gagasan kuasa Jawa adalah pemimpin yang membawa kendali dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Dalam prakteknya, pusat kuasa ini terwujud dalam pribadi seorang Sultan yang menjadi pemimpin yang multi dimensi. Gelar seorang Sultan yaitu Sayidin Panatagama Kalifatullah, merepresentasikan kuasa total atas dimensi-dimensi tersebut. Seperti diketahui bersama dalam rangkaian sejarah kebudayaan Jawa, ihwal raja dan kekuasaannya memiliki peran yang sentral. Perjalanan hidup-mati sebuah kerajaan mempengaruhi konstruksi budaya masyarakat dan bagaimana mereka mengindentifikasi dirinya. Menjadi sebuah kewajaran, karena kerajaan adalah tempat dimana nilai-nilai dibangun dan disebarkan kepada rakyat, sehingga menjadi kepercayaan yang mengakar. 75Tentang gagasan kuasa jawa, lihat penulisan Anderson 2000 dan Moedjanto 1987 yang menjabarkan bagaimana gagasan tentang kuasa beroperasi dalam kepemimpinan seorang raja. Secara sederhana kuasa Jawa dijabarkan sebagai kuasa tunggal yang dimiliki oleh seorang raja. Oleh karena itu, menjadi wajar ketika kepemimpinan seorang raja menjadi sangat sentral terhadap dimensi-dimensi kehidupan rakyat. Pada prakteknya, kuasa raja yang sentralistis ini sebenarnya sudah runtuh. Walaupun di hadapan rakyat pribadi seorang raja maupun institusinya kraton, otoritas raja sebenarnya semu. Hak dan wewenangnya untuk memerintah tidak sah jika tidak direstui oleh pemerintah kolonial sebagai atasannya. Namun, imaji kekuasaan raja masih terus dipertahankan di mata rakyat dengan menghidupkan kisah-kisah tentang hubungan raja dengan hal-hal magis seperti hubungan raja dengan kekuatan imajiner dari gunung Lawu, gunung Merapi atau Laut Jawa. Kisah-kisah mengenai hubungan-hubungan khusus antara raja dengan Tuhan atau dunia transendental seperti Nyi Roro Kidul, menjadi cara pembentukan legitimasi kedaulatan raja di mata rakyat. oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa kuasa yang dimiliki oleh seorang raja adalah kuasa yang diturunkan dari Tuhan. Bentuk kuasa ini tunggal dan tidak terbagi, dalam tradisi Jawa disebut wahyu. Dan kuasa ini bisa berpindah melalui jalur keturunan, yaitu melaui suksesi raja kepada putra mahkota. Saya mencermati legitimasi kekuasaan raja yang tadinya berasal dari Tuhan, dialihkan menjadi berasal dari rakyat. Dalam gelar Sultan, terdapat frasa Sayidin Kallifatulah Panatagama, gelar ini menampilakan arti bahwa pribadi seorang raja menjadi perwakilan Tuhan di dunia. Dengan pemaknaan lain, karena raja adalah perwakilan Tuhan di dunia, maka raja mempunyai wewenang untuk memerintah rakyat. Jika dicermati lebih lanjut, semenjak pemerintahan Sultan HB IX, muncul semboyan baru yaitu Tahta untuk Rakyat. Tidak bisa dipungkiri bahwa Sultan HB IX adalah pribadi yang sudah mengenal gagasan-gagasan soal demokrasi dan pemerintahan modern. Mungkin raja Yogyakarta ini mencoba untuk melunturkan kesan feodal. Semboyan ini kemudian diperkuat oleh raja penerusnya, Sultan HB X dengan semboyan Meneguhkan Tahta untuk Rakyat. Dari semboyan ini saya mencoba mencermati bahwa kekuasaan raja yang tadinya diyakini turun dari Tuhan bergeser menjadi diberikan oleh rakyat. Keberadaan rakyat sangat signifikan untuk posisi raja. Tanpa ada dukungan rakyat, seseorang tidak bisa menjadi raja. Dengan kata lain, tidak ada raja tanpa pengikut. Oleh karena itu menjadi sewajarnya jika beberapa orang yang bergabung di kelompok pro penetapan menyitir pepatah lama vox populi-vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Dalam perbincangan argumentatif mengenai Keistimewaan, ada satu semboyan filosofis yang diungkap kembali yaitu manunggaling kawula gusti. Semboyan yang diyakini bersama sebagai jargon perlawanan Pangeran Mangkubumi ini, diungkap kembali dengan pemaknaan bahwa kekuasaan raja di Yogyakarta berasal dari rakyat. Ungkapan simbolik ini ditegaskan kembali dengan Tahta untuk Rakyat. Mari kita mencermati kembali apa yang diungkapkan oleh para aktivis pro penetapan; “arti demokrasi adalah kehendak rakyat. Jika rakyat menghendaki demikian dipimpin oleh raja, maka inilah demokrasi.” Bukan tidak mungkin bahwa para pendukung raja ini memperluas kekuatan mereka dengan menarik perhatian masyarakat, sehingga legitimasi wewenang raja tercipta karena besarnya dukungan rakyat. Hal ini berhasil, sebagaimana diungkapkan oleh para aktivis pro penetapan, Manunggaling Kawula Gusti dan Tahta untuk Rakyat diyakini sebagai bentuk demokrasi di Yogyakarta. Saya akan kembali mencermati peristiwa pada tahun 2007. Sultan HB X mengungkapkan ketidaksediaannya untuk dicalonkan kembali sebagai gubernur DIY. Pernyataan tersebut ternyata membuat dukungan masyarakat untuk penetapan semakin menguat. Sejumlah pengamat pemerintahan menganggap pernyataan tersebut sebagai upaya untuk menjajagi dukungan publik di Yogyakarta. Dari peristiwa ini terlihat bahwa peran rakyat sangat diperhitungkan untuk memperkuat kekuasaan seorang penguasa. Sekaligus hal ini menjelaskan adanya pergeseran tentang legitimasi kuasa seorang raja yang tadinya mendasarkan kuasa dari Tuhan bergerak ke kuasa dari Rakyat. Maka, ungkapan Sultan HB X pada tahun 2011 di sebuah stasiun televisi menjadi sulit terbantahkan; “Tanya saja pada rakyat Jogja.” Rakyat ditimpatkan dalam posisi yang penting untuk meneguhkan kedudukan raja. Pergeseran yang terjadi tentang legitimasi kekuasaan raja yang tadinya berasal dari Tuhan menjadi berasal dari rakyat, pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu: penguasaan atas rakyat. Dalam hal ini rakyat sebagai kumpulan orang-orang yang mendiami wilayah tertentu selalu menjadi obyek kekuasaan untuk diarahkan pada kepentingan tertentu, khususnya kepentingan penguasa.

4. Kontrak Politik Pernikahan