Sultan HB IX tidak mempermasalahkan penyebutan tersebut. Sedangkan pada masa Sultan HB X, sebutan provinsi mulai dipermasalahkan.
B. PEMERINTAH DAN RAKYAT
Mendalami dukungan kelompok pro penetapan kepada Sultan HB IX dan Adipati PA VIII untuk menempati jabatan gubernur dan wakil gubernur, membuat saya
mencermati bagaimana wacana keistimewaan ini bukan menjadi sekedar dorongan untuk menetapkan jabatan politik. Pada bagian ini saya mencoba
mengungkap bagaimana hubungan antar subyek yang saling berinteraksi di jalinan wacana yang tak nampak. Secara khusus, uraian ini akan merinci pihak-pihak
yang hidup di dalam dinamika ini yaitu; Raja, institusi Kraton, rakyat, dan pemerintah pusat. Pihak-pihak ini menjadi subyek-subyek yang berkelindan dalam
tema keistimewaan sebagai sebuah wacana kuasa.
1. Hubungan Rakyat dan Raja
Slogan Manunggaling Kawula Gusti menjadi pernyataan yang sering terungkap saat orang sedang menjelaskan bahwa keistimewaan terkait dengan filosofi yang
sudah sejak lama hidup dalam kebudayaan Jawa, khususnya Yogyakarta. secara tidak langsung Manunggaling Kawula Gusti tidak hanya menjadi slogan tapi
menjadi konsep dasar untuk menjelaskan hubungan antara penguasa dan
pengikutnya. Hubungan vertikal ini yang menjadi jalan untuk menafsir hubungan- hubungan yang terjadi saat membesarnya gerakan keistimewaan.
Secara lugas, Manunggaling Kawula Gusti bisa diartikan sebagai bersatunya rakyat dan raja. Sebagaimana diyakini bersama oleh sebagian besar
masyarakat, slogan ini diciptakan sendiri oleh pendiri Yogyakarta, yaitu Pangeran Mangkubumi. Oleh karena itu, slogan ini dianggap sebagai filosofi dasar untuk
memahami konstruksi keistimewaan Yogyakarta. Maka dengan mencermati Manunggaling Kawula Gusti akan menjelaskan bagaimana hubungan rakyat
dengan raja yang terlembagakan secara politik. Saat Sultan HB IX dan Adipati PA VIII terancam posisinya dalam
memegang jabatan politik, dukungan terhadap mereka meningkat. Dukungan tidak hanya berasal dari para aktivis kelompok pro penetapan yang telah menjadi
golongan priyayi baru, tetapi oleh masyarakat Yogyakarta secara luas. Mengapa peristiwa ini bisa terjadi? Sebenarnya, menjadi aneh pada masa ini ketika ribuan
orang mendukung raja untuk terus menjadi gubernur, yang sejatinya posisi gubernur adalah jabatan publik. Sangat bisa dimaklumi jika peristiwa ini terjadi
ratusan tahun yang lalu saat ide-ide bernegara dari dunia barat belum masuk ke tanah air ini. Tapi, penelusuran dalam bagian ini menjadi investigasi tentang
bagaimana budaya politik pada masa lalu juga terkait dengan tindakan sosial pada masa kini
Kita akan melihat kembali tentang bagaimana pola hubungan antara raja dan rakyat pada masa lampau di Jawa, khususnya di Yogyakarta. Titik pijak
penelusuran ini tertuju pada sistem cacah di kerajaan-kerajaan Jawa. Para
penguasa di Jawa raja dan para pangeranbangsawan, mempunyai kendali penuh terhadap rakyat karena ukuran kekuasaan mereka bisa dilihat dari jumlah
pengikut. Maka bisa terlihat rakyat mempunyai kesetiaan yang tinggi terhadap raja walaupun raja sudah tidak mempunyai kedaulatan penuh atas teritori tertentu.
Tanah bisa saja lepas dari kendali raja, tapi kesetiaan dari rakyat tetap menjadi milik raja.
2. Fundamentalisme Baru