Terbentuknya Dikotomi Sosial LAHIRNYA GERAKAN

2. Terbentuknya Dikotomi Sosial

Istilah ‘Gerakan Keistimewaan Yogyakarta’, tidak bisa merepresentasikan semua pihak yang berpendapat, berwacana dan bersikap soal tema keistimewaan. Munculah istilah ‘pro’ dan ‘kontra’. Tapi, sebutan ‘kontra’, digunakan oleh pihak yang menamakan diri ‘pro’ untuk menyebut pihak yang bersebrangan. Di satu sisi, pihak yang mendapatkan gelar ‘kontra’ tidak menganggap sebutan tersebut relevan. Yang terjadi adalah perbedaan penafsiran dalam memaknai arti Keistimewaan Yogyakarta yang tidak semata berfokus pada mekanisme penentuan jabatan gubernur sebagai istimewanya kondisi sosio-kultural-politik, tanpa ada kaitan secara langsung dengan peran raja dalam kehidupan politik praktis49. Maka, ketika perdebatan mulai memanas, terciptalah dua istilah yang bisa menampakkan dikotomi dalam pemetaan gerakan keistimewaan. Dikotomi tersebut terbentuk melalui dua ungkapan ‘pro-penetapan’ dan ‘pro-pemilihan’. ‘Pro-Penetapan’ adalah sebutan bagi pihak-pihak yang menafsirkan keistimewaan sebagai penetapan Sultan HB dan Adipati PA yang bertahta sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY dengan tidak terhambat oleh pembatasan masa jabatan. Kemudian, ‘Pro-Pemilihan’ adalah sebutan untuk pihak-pihak yang beraspirasi dalam pemerintahan. Para perangkat desa mempunyai keterikatan yang kuat dengan tradisi kerajaan dan raja-rajanya. Sosiolog ternama Selo Soemardjan menjabarkan bagaimana loyalitas para pamong praja ini kepada Sultan. Pamong praja mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap Sultan walau beberapa kali Sultan ikut mendukung perubahan sistem pemerintahan yang mengurangi hak-hak memerintah para pamong praja. 49Lihat: Eko, Sutoro. 2003. “Membuat Keistimewaan Lebih Istimewa”, dalam Rozaki, Abdur Hariyanto, Titok. ed.. Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta. Yogyakarta: IRE, hlm xv – xl. bahwa keistimewaan Yogyakarta tidak dimaknai secara tunggal dan utama sebagai penetapan jabatan gubernur dan wakil gubernur. 50 Presiden SBY, kabinet Indonesia Bersatu, dan Partai Demokrat menjadi pihak-pihak yang dianggap sebagai ‘golongan’ Pro Penetapan. Sebutan Pro Penetapan tidak cukup menjadi sebutan untuk mereka. Orang-orang atau lembaga yang mendapatkan gelar Pro-Penetapan juga disebut sebagai golongan liberalis. Kedua istilah ini pro penetapan dan pro pemilihan juga menunjukkan pada sikap personal dalam menentukan pendapat tentang makna Keistimewaan Yogyakarta. Jika ada seorang pribadi atau lembaga yang menyatakan bahwa dirinya ‘Pro-Penetapan’, maka ungkapan tersebut menunjukkan posisinya dalam perdebatan wacana ini. Paska pernyataan Presiden SBY tahun 2010, istilah ‘Pro- Penetapan’ lebih banyak digunakan untuk menyebut orang, kelompok, dan lembaga yang mengaspirasikan penetapan gubernur dan wakil gubernur. Sedangkan istilah ‘Pro-Pemilihan’ tidak digunakan oleh pihak-pihak yang tidak menyetujui penetapan. 51 Istilah ‘Pro-Pemilihan’ menjadi populer karena publikasi media massa dan perbincangan dalam pergaulan masyarakat. Dikotomi ‘Pro-Penetapan’ dan ‘Pro-Pemilihan’ ini berkembang menjadi bangunan identitas yang tidak cukup sederhana. Istilah ini tidak hanya untuk 50Saat draf RUU sudah dibahas di tingkat DPRD, muncul polemik berkepanjangan diantara dua kubu. Mayoritas warga setuju dengan penetapan, sedangkan pihak lain yang kebanyakan pendatang, menghendaki pemilihan. Lihat Soewarno.2011. “Keistimewaan Yogyakarta”, dlm. de Rosari, Aloysius Soni BL ed.. Monarki Yogya Inskonstitusional?. Jakarta: Penerbit Kompas, hlm. 17-29. 51Lihat buku Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta yang diterbitkan oleh IRE, lembaga penelitian yang menganjurkan diadakannya pemilihan gubernur dan wakil gubernur di DIY, tidak secara eksplisit menyebut ‘pro-pemilihan’. Demikian juga dengan terbitan lembaga- lembaga lain yang lebih suka menyebut sikap ini sebagai ‘pro-demokrasi’. menyebut ungkapan sikap atau pendapat pribadi. Dikotomi ini menjadi cerminan dua golongan masyarakat yang saling meliyankan. Dan, di ranah pergaulan masyarakat Yogyakarta, menjadi sulit jika seorang pribadi tidak terseret dalam arus dikotomi ini. Sebagai contoh, saya sendiri sering mendapatkan pertanyaan tentang sikap pribadi terhadap Keistimewaan Yogyakarta. “Sebenarnya, anda itu pro penetapan atau pro pemilihan?”

BAB III MENGUATNYA KELOMPOK PRO PENETAPAN

Pernyataan Presiden SBY tentang ‘demokrasi’ dan ‘monarki’ menyebabkan gelombang protes di Yogyakarta. Berkembanglah unjuk rasa, kecaman, protes, tentangan, kritik dari beragam pihak, terutama orang-orang tertentu yang terlibat dalam kelompok-kelompok massa pendukung Sultan Kraton atau Pakualaman. Berkembang pula pendapat-pendapat yang menentang pernyataan Presiden tersebut sebagai ketidakpahaman pemerintah pusat tentang sejarah. Gejolak ini dipicu juga dengan pemberitaan media massa baik cetak maupun elektronik tentang silang pendapat soal pernyataan Presiden. Ungkapan protes juga semakin semarak pada atribut-atribut jalanan. Mendadak, bendera Haba berkibar di jalan-jalan. Bendera Haba yaitu bendera dengan logo Kraton Yogyakarta. Logo ini berbentuk sebuah mahkota dengan sayap di kedua sisinya. Dibawah mahkota terdapat dua abjad dalam alfabet Jawa; ‘Ha’ dan ‘Ba’. Haba adalah akronim dari Hamengku Buwana. Simbol ini melambangkan KratonKasultanan Yogyakarta sekaligus menjadi simbol dinasti Hamengku Buwono. Saat ini simbol ini cenderung menjadi identifikasi atas identitas Yogyakarta.