1. Budaya Adiluhung
Muncul pemahaman bahwa nilai-nilai tradisi budaya jawa yang ada di Yogyakarta telah memberi inspirasi bagi para founding father untuk merumuskan ideologi
negara Indonesia. Hamah Sagrim, seorang koordinator mahasiswa asal Papua yang mendukung keistimewaan Yogyakarta mengungkapkan bahwa nilai-nilai
lokal yang berkembang di tradisi budaya Jawa telah menjadi inspirasi bagi pembentukan simbol dan ideologi negara. Sagrim mengungkapkan,”Bukankah
Garuda itu dari Jawa?”, dengan pertanyaan ini dia menafsirkan bahwa apa
simbol Negara diadopsi dari khasanah tradisi Jawa di Yogyakarta.
Keyakinan ini kemudian diartikulasikan berulang-berulang dalam pembicaraan informal di masyarakat. Seperti doktrin, wacana ini meluas.
Masyarakat umum pun banyak yang menjadikan wacana ini sebagai keyakinan yang mengobarkan semangat untuk mendukung isu penetapan dalam wacana
keistimewaan Yogyakarta. “Bagaimana mungkin, sebuah negara berani melawan negara lain yang
pernah ikut membantu melahirkan dan mengasuhnya saat kecil?”, ini sebuah ungkapan yang beredar di dalam pembicaraan keseharian masyarakat pendukung
penetapan. tidak jelas siapa yang pertama mengungkapkan, tapi sudah meluas. Ungkapan ini menandakan bahwa telah muncul imaji tentang Yogyakarta sebagai
sebuah negara berdaulat yang sudah seharusnya mendapatkan perlakuan khusus. Pemerintahan SBY dan kabinetnya telah dianggap kuwalat. Dengan
membuat sistem pemilihan untuk menentukan jabatan gubernur dan wakil
gubernur, pemerintah pusat dianggap terlalu berani untuk menggoyahkan kekuasaan mistis yang ada dalam keberadaan Sultan dan Kraton.
2. Negara Berdaulat
Berkembanglah pendapat bahwa Yogyakarta pernah menjadi negara berdaulat. Sebelum perbincangan tentang wacana keistimewaan, imaji bahwa Yogyakarta
pernah menjadi negara berdaulat hampir atau tidak pernah muncul dalam perbincangan-perbincangan informal. Setelah isu keistimewaan menjadi populer,
banyak orang membicarakan tentang ‘negara’ Yogyakarta ini di masa lampau. “Kami adalah pejuang”, ungkap salah seorang koordinator aktivis
kelompok pro-penetapan. “Sebenarnya, kami merasa lelah, siang-malam. Tapi ya begini, yang namanya pejuang itu harus berjiwa patriotik”, dia menambahkan.
Keikutsertaannya dalam kelompok pro-penetapan diartikulasikan sebagai perjuangan membela bangsa. Patriotisme, sebagai sebuah sikap membela bangsa,
dia wujudkan dalam aktivitas di kelompok pro-penetapan. Kemudian, pemahaman bahwa Yogyakarta adalah negara berdaulat ini
berkembang ke arah penolakan penyebutan propinsi. Bagi mereka, Yogyakarta memang bukan propinsi. Yogyakarta dipahami sebagai sebuah negara bagian
yang ‘dihaluskan’ dengan nama daerah istimewa.
3. Jasa Besar Sang Raja