Perebutan Pusat Kekuasaan OTORITAS BERTINGKAT

yakni raja dan para pejabat tidak memerintah secara langsung vasal sebagai daerah taklukan. Daerah-daerah pinggiran tersebut tidak pernah ‘menikmati’ pemerintahan oleh raja di pusat pemerintahan melainkan secara nyata, rakyat mengalami pemerintahan raja-raja kecil yaitu para bupati. 18

1. Perebutan Pusat Kekuasaan

Perebutan kekuasaan menjadi hal yang lazim dalam dinamika politik kerajaan- kerajaan di Jawa sebelum masa kolonial. Perebutan kekuasaan berbentuk penaklukaan dan suksesi. Jadi, pada dasarnya, di dalam peta kekuasaan di Jawa, benih-benih perebutan kekuasaan sudah berkembang. Setelah melemahnya kerajaan besar Majapahit, Demak yang awalnya hanya sebuah kabupaten atau kadipaten19 yang statusnya hanya vasal, mempunyai kesempatan untuk berkembang. Demak menjadi kerajaan dan Majapahit runtuh. Kerajaan Islam pertama di Jawa ini menandai babak baru dalam sejarah kekuasaan di Jawa.20 18Ong Hok Ham 1983. Rakyat dan Negara, hlm. 90. 19Kabupaten adalah sebuah daerah yang dipimpin oleh seorang Bupati, sedangkan Kadipaten dipimpin seorang Adipati. Di dalam literatur tentang kerajaan-kerajaan Jawa, sebagaimana dituliskan oleh Sartono Kartodirdjo dkk dalam Perkembangan Peradaban Priyayi daerah-daerah yang dipimpin oleh raja-raja bawahan ini disebut Kabupaten, kadang juga disebut kadipaten. Setelah memasuki masa terpecahnya kerajaan Mataram menjadi empat kerajaan, kabupaten adalah daerah pemerintahan yang dibawah Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman. 20Semenjak pemerintahan Raden Patah dengan Kerajaan Demak di Jawa, ada empat kejadian penting yaitu; 1 Mulainya jaman kerajaan Islam. 2 Berdirinya masjid Demak. 3 Penyerangan pasukan Jawa atas orang Portugis di Malaka. 4 Mulainya tradisi restu para wali bagi seseorang untuk menjadi raja di Jawa. Lihat: Moedjanto 2002 Suksesi dalam Sejarah Jawa, Yogyakarta: Penerbit USD. hlm. 43 Suksesi biasanya menjadi benih perpecahan. Menurut catatan sejarah, konflik sering bermula dari perselisihan antar bangsawan dan berujung pada perang perebutan tahta. Selain itu, dengan melemahnya kerajaan induk, kerajaan- kerajaan vasal yang hidup di lingkup kekuasaannya berpeluang untuk mengambil alih pusat kekuasaan.21 Sebuah vasal bisa menguat dan mengalahkan negara induknya. Hal ini menjadi titik pijak untuk problema-problema kekuasaan yang terjadi setelahnya. Kejadian melemahnya Majapahit yang digantikan oleh Demak terulang kembali. Demak mulai melemah, membuat Pajang, salah satu vasalnya, untuk mengambil alih pusat kekuasaan. Pusat kekuasaan Jawa yang berpindah ke Pajang ternyata tidak abadi. Berkembanglah Mataram, dengan rajanya Panembahan Senapati yang membalikkan keadaan. Mataram bertumbuh menjadi kerajaan yang kuat dan berhasil menaklukkan Pajang. Perpindahan pusat kekuasaan Kerajaan Mataram menjadikan Pajang dan Demak sebagai vasal. Mataram semakin menguat, pada masa Sultan Agung, pasukan Mataram melakukan penyerbuan terhadap koloni Belanda di Jayakarta Batavia. Secara perlahan, kolonialisme menanamkan kekuasaannya dalam kerajaan-kerajaan di Jawa. 22 Koloni Belanda ini awalnya adalah vasal di dalam 21Moedjanto 2002, ibid, yang secara khusus meneliti tentang sejarah suksesi pada kerajaan-kerajaan di Jawa memulai bahasannya pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Budha sampai dengan masa kerajaan-kerajaan Islam, dan datangnya kolonialisme. Bukan suatu kebetulan bahwa rentetan suksesi dari masa kerajaan ini sangat berhubungan. Dan terlihat bahwa, faktor suksesi selalu menjadi penyebab utama dari pergeseran kekuasaan kerajaan pusat ke kerajaan bawahan. 22Melalui serangkaian perjanjian-perjanjian yang terjadi pada tahun 1705, 1733, 1743, dan 1746 Mataram mulai termutilasi dengan kehilangan wilayah-wilayahnya. Dan pada akhirnya, perjanjian tahun 1749 yang ditandatangani oleh Paku Buwono II menyatakan bahwa Mataram menyerahkan kedaulatan ke tangan VOC, menandai periode pemerintahan kolonial. Lihat: Kerajaan Mataram. Pada perkembangannya, VOC Kompeni berbalik menjadikan Mataram sebagai vasal Moedjanto, 2002. Kedatangan pihak asing ini menjadi titik pijak perubahan politik di Jawa dalam hal perebutan kekuasaan. Kecenderungan berkonflik menjadi salah satu faktor lemah sehingga strategi Devide et Impera, yang memecah kekuasaan, berlaku secara efektif. Campur tangan Kompeni dalam kehidupan politik menyebabkan Mataram melemah. Kompeni memanfaatkan situasi di tengah konflik para bangsawan saat terjadi perkara suksesi, dengan memberikan dukungannya pada salah satu pihak. Pemberian dukungan ini disertai dengan perjanjian bahwa Kompeni akan mengambil alih sebagian wilayah tertentu. Kejadian inilah yang menyebabkan Mataram kehilangan daerah-daerahnya; mancanegara dan pesisiran, yang kemudian menjadi daerah administratif pemerintahan kolonial. Kerajaan Mataram juga terpecah melalui perjanjian-perjanjian politik. Pada akhirnya, daerah-daerah ini hidup dibawah kendali kompeni baik secara langsung maupun tidak langsung. Intervensi Kompeni dalam kebijakan-kebijakan pemerintahan kerajaan- kerajaan lokal di Jawa tidak terhindarkan lagi karena pihak asing ini menunjukkan daya tawar yang kuat dengan perdagangan dan bantuan persenjataan yang membuat pemerintah kerajaan lokal berasa bergantung pada keberadaan Kompeni. Maka, dengan mudahnya raja meminta bantuan Kompeni saat menghadapi masalah-masalah yang mengancam kedaulatan negara. Walaupun kedaulatan Mataram sudah jatuh ke tangan Kompeni, konflik internal tetap terjadi. Perjanjian politik kembali disepakati pada tahun 1755 yang Moedjanto 1987 Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram, Yogyakarta: Kanisius. disebut sebagai Perjanjian Giyanti. Hasilnya, Kerajaan Mataram dibagi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Setelah perjanjian ini, nama Mataram tidak lagi digunakan. Kompeni melarang dua pecahan kerajaan menggunakan nama Mataram dengan tujuan untuk melemahkannya Moedjanto, 2002. Konflik bermula dari protes Raden Mas Sujono Pangeran Mangkubumi terhadap raja Mataram, Susuhunan Paku Buwono II. Sebelumnya, telah terjadi pemberontakan oleh seorang pangeran yaitu Raden Mas Said yang dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa. Sesuai dengan janji Susuhunan PB II, Mangkubumi seharusnya mendapatkan jatah kepemilikan tanah karena telah memenangkan perang. Atas anjuran Patih Pringgalaya dan Gubernur Van Imhoff, Susuhunan PB II urung menepati janji. Hal inilah yang membuat Mangkumi bergabung dengan Said untuk memulai pemberontakan melawan kerajaan Mataram dan Kompeni. Perang 9 tahun ini berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Giyanti. Konflik masih terjadi dan berujung pada pembagian wilayah. RM Said menuntut hak atas penguasaan wilayah. Kembali lagi, Kompeni dan perwakilan pihak-pihak yang berseteru berkumpul dalam Perjanjian Salatiga tahun 1757. Perjanjian ini menjadi legalisasi dalam pembentukan sebuah Kerajaan baru bernama Kadipaten Mangkunegaran. Pangeran Said naik tahta, bergelar Adipati Mangku Negara I yang berkuasa atas separuh wilayah Kasunanan Surakarta. Disintegrasi terjadi lagi di Kasultanan Yogyakarta. Inggris pada tahun 1813 membentuk sebuah kerajaan baru bernama Kadipaten Pakualaman, atas balas jasa kepada Pangeran Nata Kusuma yang telah membantu Pasukan Inggris menaklukkan Yogyakarta. Pangeran Natakusuma naik tahta bergelar Paku Alam I. Sampai pada terbentuknya Kadipaten Pakualaman, kerajaan besar Mataram telah terpecah menjadi empat kerajaan dibawah subordinasi pemerintah kolonial. 2. Negara Vasal di Jawa Dalam keberadaan vasal terlihat ada jenjang hirarki dalam kedaulatan penguasa dan negara yang telah ditaklukkan. Maka, sistem ini menunjukkan adanya raja atasan dan raja bawahan. Raja atasan bisa disebut kaisar dalam kebudayaan Eropa, China atau Jepang. Sedangkan raja bawahan dalam tradisi Jawa menyebut diri mereka Adipati atau Bupati. 23 Pemecahan kekuasaan melalui pembagian wilayah kerajaan membuat kerajaan-kerajaan kecil ini mempunyai pengelolaan yang rentan konflik. Walaupun Mataram sudah dibagi secara teritorial menjadi Mataram Timur Surakarta dan Mataram Barat Yogyakarta, masing-masing kerajaan mempunyai wilayah enclave. Kasultanan Yogyakarta mempunyai daerah kantong di dalam wilayah Kasunanan Surakarta di sebelah timur, demikian juga sebaliknya. Moedjanto menilai hal ini adalah kebijakan kolonial yang bermaksud memecah belah Mataram agar terus berkonflik. Sedangkan Onghokham menilai bahwa pembagian wilayah yang tersebar ini menyesuaikan logika penguasaan raja-raja Jawa pada masa lalu yang menggunakan konsep cacah keluarga petani. Seorang penguasa feodalraja-raja kecil yaitu para pangeran dan bupati atau para 23Dalam Perkembangan Peradaban Priyayi yang ditulis oleh Sartono Kartodirjo dkk, istilah ‘bupati’ menjelaskan sebuah jabatan politik atas daerah-daerah di wilayah mancanegara dan pasisir yang tidak lagi menjadi wilayah bawahan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta tapi sudah menjadi wilayah administratif kolonial. Sedangkan ‘Adipati’ menjadi sebutan untuk gelar tertinggi yang dimiliki oleh para bangsawan di mancanegara dan pasisir. Seorang Bupati mempunyai gelar Adipati. raja yang bergelar Adipati, Susuhunan, dan Sultan memperlihatkan seberapa besar pengaruhnya dengan banyaknya jumlah pengikut. Maka, bisa dimengerti mengapa pembagian wilayah antara Yogyakarta dan Surakarta banyak enclave. 24 Sebutan ‘Sultan’ sebenarnya tidak lazim untuk seorang Sultan. Baru pada saat VOC menaklukkan Mataram, gelar Sultan menjadi gelar untuk seorang Raja bawahan. Gelar yang diadopsi dari timur tengah ini diyakini sebagai gelar raja yang tinggi, melebihi gelar-gelar lain yang berkembang dalam tradisi Jawa. Gelar ini juga menjadi legitimasi bagi Kerajaan Yogyakarta untuk menyaingi Kerajaan Surakarta. Gelar ‘Sultan’ yang diperoleh dari timur tengah ini dipercaya menjadi gelar yang lebih prestisius dibandingkan dengan gelar ‘Sunan’ yang digunakan oleh raja di Surakarta. 25 Untuk selanjutnya, kerajaan-kerajaan penerus Mataram Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta serta Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman juga menjadi negara-negara vasal dalam lingkup kekuasaan pemerintah kolonial. Ketika pemerintah kolonial berganti, mulai dari VOC kumpeniKerajaan Holland, Hindia Perancis Kerajaan Belanda-Perancis, pada masa Gubernur Daendels, EIC East Indian CompanyHindia Timur Kerajaan 24Ong Hok Ham 1983 dalam “Merosotnya Peranan Pribumi dalam Perdagangan Komoditi” mengungkapkan bahwa konsep cacah ini tetap menjadi dasar dalam pembagian wilayah. Hal ini bertentangan dengan Moedjanto 2002 dalam Suksesi dalam Sejarah Jawa yang lebih menonjolkan peran kolonial dalam pembagian wilayah. Bagi Moedjanto tersebarnya wilayah enclave adalah strategi politik untuk memelihara perseteruan antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. 25Dengan terkesan memberikan penilaian, Moedjanto 2002 dalam Suksesi dalam Sejarah Jawa mengungkapkan bahwa pemilihan gelar ‘Sultan’ oleh Pangeran Mangkubumi menempatkannya lebih unggul daripada raja Surakarta yang menggunakan gelar ‘Sunan’. Sebelumnya, saat masih melakukan pemberontakan, Mangkubumi sudah mengangkat diri menjadi seorang raja dengan gelar ‘Sunan’. Moedjanto juga memberikan penjabaran bahwa gelar Sultan dalam masyarakat Jawa saat itu menjadi sebutan untuk raja yang paling tinggi melebihi gelar lain seperti Sunan atau Panembahan. Inggrispada masa Gubernur Rafles, Hindia Belanda Kerajaan Nederland, Angkatan Darat XVI Kekaisaran Jepang, keberadaan kerajaan-kerajaan ini tetap menjadi vasal. Pemerintah Hindia Belanda, menempatkan kerajaan-kerajaan pecahan Mataram ini pada daerah yang disesuaikan dengan sistem pemerintahan kolonial di Jawa. Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran dimasukan dalam sebuah karesidenan, yaitu Karesidenan Surakarta. Sedangkan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman berada di wilayah Karesidenan Yogyakarta. 26 Kedua karesidenan ini disebut Voorstenlanden yang artinya wilayah raja-raja. Dalam prakteknya, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tetap mempunyai struktur-struktur pemerintahan. Bersama dengan apparatus pemerintahan Hindia Belanda kedua kerajaan ini mengelola daerah karesidenan Yogyakarta.

3. Kontrak Politik