negara menjadi terlihat lentur. Artinya, ideologi negara tidak hanya diaplikasikan untuk pembentukan identitas bangsa atau negara, tapi bisa menjadi alat untuk
mengkritik negara. Jika, ideologi negara sebelumnya terkesan menjadi urusan elit politik di pusat, saat ini penafsiran ideologi negara menjadi fenomena bagi
gerakan lokal.
5. Mitos Penjajah untuk Mobilisasi massa
Di Yogyakarta, lebih dari satu abad sebelumnya, sebuah gerakan besar pernah terjadi. Di bawah kendali Diponegoro, seorang pangeran pemberontak dari
Kasultanan Yogyakarta melawan keluarganya sendiri dan Belanda. Barisan militer Pangeran Diponegoro menguat menjadi gerakan rakyat yang melawan kekuatan
pasukan Belanda. Dari peristiwa ini, terlihat adanya kemunculan suatu gerakan besar rakyat untuk melawan kekuatan asing.
Fenomena perlawanan Pangeran Diponegoro ini memperlihatkan ada tiga aspek yang signifikan. Pertama, meluasnya dukungan rakyat karena adanya figur
‘pembebas’ yang terwujud dalam pribadi Pangeran Diponegoro yang mengangkat dirinya sebagai Sultan Herucakra, tapi ironisnya raja baru ini tidak pernah bertahta
ataupun mendapatkan pengakuan kedaulatan. Ada paham mesianistik yang menjadi dasar gerakan masyarakat di Jawa. Membesarnya gerakan masyarakat
lokal Jawa yang mendukung Diponegoro dalam Perang Jawa, karena harapan besar masyarakat pada waktu itu tentang seorang pemimpin besar yang akan
membebaskan rakyat dari penindasan.
Dasar legalitas raja tidak pernah kuat tanpa pengakuan pihak asing yang menjadi ‘kuasa atasan’. Sebagai contoh, Pangeran Mangkubumi benar-benar
diakui sebagai raja setelah ada perundingan yang berujung pada kesepakatan politik antara pihak Pangeran Mangkubumi, Sunan PB II sebagai raja Mataram
Surakarta, dan VOC Belanda. Demikian juga Pangeran Diponegoro tidak pernah diakui sebagai raja walaupun sudah mengangkat dirinya menjadi Sultan
Herucakra. Lebih ironis lagi, negosiasi dengan pihak VOC menyebabkan Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan, bukannya Seperti Pangeran
Mangkubumi dan Pangeran Said Pangeran Sambernyawa yang mengakhiri perundingan dengan memperoleh kedaulatan negara.
Terlihat ada pola bahwa, selalu ada musuh asing yang harus dilawan. Musuh tersebut yaitu pihak kolonial yang berwujud pasukan bersenjata VOC atau
pemerintah kolonial Belanda di Jawa. Oleh karena itu, para pangeran tersebut pada perkembangannya ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena aksi mereka
melakukan perlawanan bersenjata terhadap VOC. Disisi lain, mereka adalah pemberontak bagi keluarga dan kerajaan. Setelah lewat 100 tahun, Pangeran
Diponegoro baru terbebas dari cap pemberontak Kerajaan Yogyakarta setelah Sultan HB IX mencabutnya statusnya sebagai pemberontak.
Dalam polemik Keistimewaan Yogyakarta, imaji tentang rakyat yang bersatu bersama dengan bangsawan untuk melawan penjajah asing tercipta dan
diciptakan kembali. Narasi historis tentang heroisme Pangeran Diponegoro menjadi tema menarik yang diungkapkan kembali untuk membangkitkan
semangat perjuangan rakyat.
81
Dengan kata lain, narasi historik tersebut telah menjadi propaganda perjuangan. Terlihat, jargon Manunggaling Kawula Gusti
menjadi semakin populer. Menguatnya dukungan rakyat pada kepemimpinan lokal yang berakar pada tradisi terkesan menjadi antitesis dari kebijakan-kebijakan
pemerintah pusat yang sudah bercitra negatif karena korupsi. Bila perlawanan Pangeran Diponegoro dan bangsawan lain di masa lalu
menjadi sumber inspirasi perjuangan melawan pihak asing, dilema bagi para pejuang lokal saat berhadapan dengan pihak-pihak satu daerah yang bersebrangan
pendapat juga menjadi bagian dari dinamika politik. Para bangsawan pemberontak pada masa lalu berhadapan dengan keluarganya yang berkolaborasi dengan
pemerintah penjajah. Demikian juga, kelompok-kelompok Pro Penetapan juga harus berhadapan dengan orang-orang dan lembaga yang tidak sependapat tentang
mekanisme penentuan jabatan gubernur dan wakil gubernur. Secara kritis, gerakan besar para pangeran di masa lalu tersebut tidak akan
pernah sama dengan mobilisasi massa dalam Gerakan Keistimewaan Yogyakarta saat ini tapi kemiripan tertentu yang menjadi aspek-aspek yang khas. Pertama,
walau terlalu prematur untuk menyatakan pribadi Sultan HB X sebagai ratu adil atau satria piningit, atau sebutan lain bagi mesias Jawa, tapi ada faktor penting
yang harus ada dalam perjuangan rakyat yaitu keberadaan raja. Kedua, pengungkapan kembali kisah-kisah pangeran-pangeran yang heroik ini bertujuan
untuk mengkonsolidasikan sebuah integralisme politik untuk melawan kekuatan
81Dalam salah satu pernyataan yang dibacakan oleh Widihasto mewakili Gerakan Rakyat Mataram Bersatu GRMB, ada narasi tentang perjuangan Pangeran Diponegoro melawan
Penjajah Belanda. Pengungkapan narasi ini secara tidak langsung menyamakan perjuangan kelompok pro penetapan melawan pemerintah pusat yang seperti penjajah.
asing. Saat ini, kekuatan asing tersebut diidentifikasikan sebagai pemerintah pusat.
C. MERIBUTKAN WACANA KEBENARAN