Reproduksi Sejarah SIASAT PERLAWANAN GERAKAN

Kadang, dalam aksi-aksinya, Sekber menampakkan nama-nama forum yang berbeda. Nama-nama forum semacam Forum Masyarakat Yogyakarta FMY, Gerakan Rakyat Mataram Geram,dsb. Walaupun punya banyak nama, tapi orang-orangnya sama. Menarik perhatian media dengan pertunjukan-pertunjukan atraktif yang sarat simbol ini menjadi semacam promosi yang efektif dalam kegiatan marketing. Para aktivis gerakan ini ingin membuat wacana yang dimainkan ini menjadi semakin luas dikonsumsi oleh publik. Dengan aksi-aksi atraktif ini, secara tidak langsung media berperan menjadi promosi untuk tema keistimewaan Yogyakarta. Maka, terciptalah sebuah pasar pengetahuan yang membuat banyak orang mengakses informasi dan mengonsumsi pengetahuan tentang tema keistimewaan Yogyakarta sedikit demi sedikit.

3. Reproduksi Sejarah

“Kalau saya, selalu menggunakan sejarah sebagai basis berpikir. Makanya, dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh Sekber, ada kaitannya dengan sejarah”, ungkap Hasto. Pak Bei, salah satu aktivis di Sekber yang pernah menjadi komandan banser dengan lantang mengatakan, “Adik-adik belajar sejarah dulu. Boleh saja berkegiatan tapi jangan lupa sejarah”. Anjuran tersebut diungkapkannya kepada perwakilan sebuah kelompok mahasiswa. Di lain kesempatan, saya pernah berbincang dengan beberapa orang yang terlibat dalam Sekber. “Sejarahnya kan …”, “Lho, menurut Sejarah …”, “Faktanya, dalam sejarah…”, kata ‘sejarah’ selalu diungkapkan ketika berbicara tentang keistimewaan Yogyakarta. ‘Sejarah’ menjadi kredo yang selalu diucapkan oleh mereka yang berpendapat bahwa keistimewaan harus dipertahankan. Ada apa dengan sejarah? Bambang Purwanto 2003 yang cenderung posisi bersebrangan, mengritik bahwa basis pemikiran para pendukung keistimewaan pro-penetapan terletak pada legitimasi historis. Padahal, legitimasi historisnya tidak cukup kuat untuk dijadikan argumen. Alasan historis untuk menyatakan keistimewaan yang dimiliki Yogyakarta mempunyai banyak kelemahan dalam konteks sejarah sebagai ilmu. Argumen historis ditafsirkan sewenang-wenang untuk legitimasi ambisi politik. “Sejarah menjadi kata keramat yang kedua setelah istimewa”.67 Kelompok Pro-Penetapan mempunyai pandangannya sendiri. Mereka menganggap pemerintah pusat dianggap mengalami amnesia sejarah. Kehilangan memori sejarah ini yang kemudian menjadikan gerakan keistimewaan mencoa mereproduksi ulang narasi sejarah atas keberadaan Yogyakarta dalam lingkup kekuasaan Republik Indonesia. Caranya, dengan menceritakan kembali narasi historis pada tahun 1940’an terutama pada periode 1946 – 1949, saat ibukota Republik Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. 67Sebagaimana dituliskan oleh Bambang Purwanto dalam Keistimewaan yang sarat beban sejarah. Sejarawan Bambang Purwanto menilai polemik keistimewaan Yogyakarta ini penuh dengan beban sejarah. Argumen-argumen dari semua kelompok yang berpendapat tentang Keistimewaan Yogyakarta mengandalkan legitimasi historis dan sebagian penafsiran atas sejarah menjadi anakronis. Penilaian Bambang Purwanto bersebrangan dengan sejarawan-sejarawan lain yang mendukung posisi sentral Sultan dan Adipati di Yogyakarta, sekaligus menunjukan posisinya dalam dikotomi masyarakat soal keistimewaan. Tapi, yang digarisbawahi adalah bagaimana nama ‘daerah istimewa’ ini pertama kali terungkap. “Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia,” pernyataan ini terdapat dalam amanat Sultan HB IX dan Adipati PA VIII dalam maklumat yang dikenal sebagai maklumat 5 September 1945. Dengan dihapuskannya jabatan turun-temurun maka menjadi tindakan yang tidak tahu balas budi. Keistimewaan Yogyakarta yang ditafsirkan sebagai penetapan jabatan gubernur dan wakil gubernur secara turun temurun, sudah menjadi hak istimewa yang seharusnya diterima oleh masyarakat Yogyakarta. Tapi bisa dipahami karena tidak banyak orang yang mengetahui sejarah. Terlebih lagi, sejarah telah diyakini banyak dimanipulasi oleh pemerintah untuk tujuan-tujuan praktis kekuasaan pada masa Orba. Selepas Orba, sebagian masyarakat Yogyakarta sebenarnya sedang ‘bergembira’ karena sudah diakuinya Sultan HB IX sebagai orang yang berperan besar dibalik Serangan Oemoem 1 Maret, yang selama puluhan tahun menempatkan Letkol Soeharto yang menjadi penguasa rezim Orba. Narasi Keistimewaan Yogyakarta akhirnya menjadi rekonstruksi dari sejarah tentang kedaulatan Yogyakarta pada masa kolonial serta perannya pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selama masa polemik ini para intektual telah menjadi pewacana interpretasi sejarah di media, diskusi ilmiah, seminar, serta publikasi tertulis melalui artikel di buku dan media cetak. Reproduksi peristiwa bersejarah ini semakin marak dengan munculnya buku-buku bergenre sejarah yang membahas tentang keistimewaan Yogyakarta. Tercatat lebih dari belasan buku yang mereproduksi ulang peristiwa bersejarah Ibukota Republik Indonsia saat berada Yogyakarta. Sekber mengambil posisi yang berbeda. Forum yang menghimpun beragam pihak dari beragam latar belakang, ini mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat awam. Maka, upaya pengenalan sejarah menggunakan cara yang mudah dimengerti masyarakat umum. Pendidikan sejarah ala Sekber adalah ‘promosi sejarah’ dalam banyak bentuk-bentuk alternatif. Proses reproduksi ini dilakukan dengan menyisipkan tema-tema sejarah yang terkait dalam acara-acara tertentu yang sudah menjadi peristiwa lazim. Pendidikan sejarah ini ditujukan pada masyarakat umum. Reproduksi bukan dengan penerbitan buku melainkan dalam bentuk acara- acara. Reproduksi ini diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan yang bisa memancing banyak perhatian masyarakat luas. Peristiwa-peristiwa historis tertentu direproduksi bersamaan dengan penyelenggaraan acara-acara. Peristiwa historis yang paling penting yaitu perpindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada bulan Januari 1946. Legitimasi historis untuk keistimewaan Yogyakarta ada dalam dua pemahaman pokok, yaitu hubungan kerajaan dengan pemerintah kolonial dan Negara Indonesia.Kedua hal ini ditafsirkan sebagai dasar pengakuan tentang keberadaan kerajaan yang berdaulat. Pertama, pemerintah Hindia Belanda mengakui kedaulatan Yogyakarta. Kedua, peran besar kedua raja dalam revolusi fisik Indonesia tahun 1945 – 1949. Peran besar kedua pemimpin Yogyakarta ini ditafsirkan bahwa Yogyakarta pantas mendapatkan status istimewa. Komunitas-komunitas di dalam lingkup gerakan sosial adalah ‘kelas pembelajaran sejarah bersama’. Di dalam interaksi sosialnya, para pengikut gerakan pro penetapan melakukan knowledge sharing tentang sejarah yogyakarta, terutama yang terkait dengan narasi perjuangan kemerdekaan dan bergabungnya Yogyakarta dengan Republik Indonesia. Knowledge sharing ini berlangsung dalam diskusi-diskusi baik diskusi formal maupun diskusi informal. Dalam diskusi ini masing-masing membicarakan dan mengetahui kisah-kisah historis seputar Yogyakarta pada masa tahun 1940’an. Para aktivis gerakan pro penetapan yang tergabung di dalam Sekber tidak terikat dalam keanggotaan yang mengikat sehingga mereka juga banyak ‘tersebar’ dalam diskusi-diskusi tentang keistimewaan Yogyakarta. Dalam aktivitas-aktivitas diskusi ini pula reproduksi narasi historis tentang yogyakarta dilakukan. Tiba-tiba masyarakat menjadikan tema sejarah masuk sebagai tema yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Tiba-tiba banyak orang belajar sejarah tanpa adanya guru sejarah yang mengajarkan sejarah di ruang kelas. Pembelajaran sejarah ini berlangsung dari mulut ke mulut. Materi-materi yang disampaikan ternyata tidak mereka temui dalam ranah-ranah formal. Interaksi antar personal saat membicarakan tentang Yogyakarta menjadi kelas bersama yang cukup interaktif.

4. Penciptaan Musuh Bersama