Renegosiasi Kontrak: Politik Balas Budi

dilakukan oleh pihak pro penetapan, yaitu melakukan gugatan atas pernikahan politik antar Indonesia dan Yogyakarta pada tahun 1945.

5. Renegosiasi Kontrak: Politik Balas Budi

Ada usaha untuk menegosiasikan kontrak politik. Dalam pengakuannya, HB IX menceritakan bahwa dirinya menandatangani kontrak politik dengan setengah hati. Kesediaannya untuk menandatangani kontrak itu karena bisikan gaib yang mengatakan bahwa Belanda akan meninggalkan Jawa, maka tidak masalah untuk menandatanganinya.77 Di sisi lain, pengungkapan bisikan gaib ini menyatakan bahwa HB IX menegasikan kesepakatannya dalam kontrak politik. Pernyataannya sekaligus merevisi bahwa kedaulatan negaranya tidak berasal dari pemerintah kolonial dan dirinya bukanlah kolaborator kolonial yang dilegalkan dengan kontrak. Sebenarnya, jauh sebelumnya pernah ada negosiasi untuk mempertahankan kedaulatan Kasultanan Yogyakarta. Awalnya, Yogyakarta adalah sebuah negosiasi dari terpecahnya kerajaan mataram yang melibatkan pihak kolonial. Negosiasi ini menyebabkan adanya eksistensi kerajaan yang sifatnya subordinatif. Kasultanan Yogyakarta dari masa ke masa hidup dalam ‘suaka’ kuasa yang mensubordinasinya. Penjajah berganti, Kasultanan tetap hidup dengan pembatasan kekuasaan yang disepakati. Persoalan baru muncul ketika masa paska kolonial, Kasultanan Yogyakarta tetap hidup melalui negosiasi 77Lihat penuturan Sultan Hamengku Buwono IX, dlm. Atmakusumah ed.. Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. edisi revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. ‘tingkat atas’ antara pemimpin Kasultanan, Sultan HB IX dengan founding father Republik Indonesia, Soekarno. Ada metamorfosa bentuk kontrak politik. Moedjanto 1994 mengungkapkan, selepas masa kolonial, Kontrak Politik tidak lagi berlaku. Pengganti dari Kontrak Politik yaitu pernyataan kesetiaan terhadap Republik Indonesia oleh Sultan HB IX dan Adipati PA VIII. Tetapi, harus dicermati bahwa kontrak tidak bisa disepakati secara sepihak. Sebuah kontrak bisa dikatakan sah bila bersifat tertulis dan disepakati oleh kedua belah pihak. Maka, yang lebih tepat disebut kontrak politik pada saat ini yaitu undang-undang. Jadi bisa ditafsirkan bahwa, jika dulu Kerajaan Yogyakarta tunduk pada pemerintah Belanda melalui kontrak politik, saat ini tunduk pada pemerintah Indonesia melalui landasan hukum tentang status keistimewaan. Maka kontrak politik telah menjadi undang- undang atau peraturan yang menjadi legitimasi pemerintahan daerah. Titik perhatian saya tentang perubahan-perubahan ini tertuju pada pihak yang menegosiasikan kontrak serta mekanime negosiasinya. Pihak yang pertama melakukan penundukan, dialah yang merumuskan penjabaran-penjabaran dalam kontrak. Pemerintah kolonial menjadi perumus kontrak tersebut. Situasi ini berbalik pada saat pernyataan penggabungan Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Perpindahan pemegang kedaulatan pemerintah kolonial ke negara penerus membuat negara vasal membuat negara vasal memainkan peran untuk mengamankan posisi politiknya. Sebagai vasal, Yogyakarta merumuskan sendiri bentuk pemerintahannya. Perumusan ini terlihat pada HB IX yang menyatakan bahwa Yogyakarta adalah sebuah daerah istimewa di dalam Republik Indonesia. Sebelum sebuah perjanjian disepakati, ada negosiasi antar pihak. Negosiasi ini menghasilkan butir-butir kesepahaman yang dituliskan dalam perjanjian. Sebelum ada kesepahaman, masing-masing pihak saling melakukan penawaran agar kepentingannya bisa terakomodasikan. Tapi mekanisme tawar menawar pada masa kolonial ini bukan antar dua pihak yang setara. Pihak kolonial mempunyai daya tawar yang lebih tinggi sebagai penguasa. Kontrak dan negosiasi ini masih terjadi sampai saat ini. Kelompok pro- penetapan memasang spanduk jalanan bertuliskan “konsisten ijab Qobul”. Peristiwa bergabungnya Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia dimaknai sebagai sebuah perjanjian atau kontrak dalam pernikahan. Sultan HB X mengungkapkan analogi ijab qabul ini merupakan kesepakatan politik antara Sultan HB IX dan Adipati PA VIII yang mewakili Yogyakarta dengan Soekarno yang mewakili Republik Indonesia. Sebagai sebuah pernikahan ada yang pihak yang menyerahkan dan menerima. Republik Indonesia sebagai pihak yang menerima kemudian menyerahkan mas kawin berupa status khusus yaitu ‘daerah istimewa’ yang setingkat propinsi.78 Yang terjadi kemudian adalah negosiasi atas hubungan politik ini. Negosiasi hubungan politik sebenarnya telah dilakukan oleh Sultan HB IX dengan menunjukan nilai tawarnya yang kuat. Dengan mempersilahkan Yogyakarta sebagai ibukota Indonesia pada saat genting, Sultan HB IX berani menyatakan bahwa Yogyakarta berstatus sebagai daerah istimewa. Hal ini tidak mungkin 78Lihat: Hamengku Buwono X. Kenapa Keistimewaan DIY harus dipertahankan?, naskah dengar pendapat dengan DPR RI dinegasi oleh pemerintah Indonesia mengingat peran HB IX dalam aksi ‘menyelamatkan’ Indonesia di masa genting tersebut. Kontrak politik pada masa kolonial terjadi dengan inisiatif pihak yang mendominasi dalam hal ini pemerintah kolonial Belanda. Kemudian, negosiasi terjadi dengan inisiatif pihak bawahan yaitu kerajaan Yogyakarta dengan pemerintah pusat sebagai pihak yang mendominasi. Entah dari pihak mana yang mendominasi, proses ini tetap menjadi negosiasi kekuasaan untuk mempertahankan bentuk-bentuk kedaulatan monarki di Yogyakarta. Konflik muncul ketika pihak yang ada di bawah menegosiasikan levelnya. Dan permasalahan baru muncul ketika kontrak politik baru didefinisikan bersama oleh kedua belah pihak yaitu antara negara atasan Republik Indonesia dengan negara-negara bawahan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang bertransformasi menjadi DIY. Perbedaanya pada masa paska kolonial ini, pihak bawahan mengambil inisiatif dalam mendefinisikan kontrak politik ini. Salah satu argumen dalam mekanisme negosiasi ini adalah penolakan penyebutan propinsi pada DIY. Saya ingin mencermati bagaimana penolakan sebutan ini mengandung sebuah wacana kuasa. Pada masyarakat Jawa di masa lalu, sebuah nama menunjukkan adanya jenjang kekuasaan. Hal ini terlihat dalam penyematan gelar kebangsawanan yang berbentuk pada gelar magis sakral seperti Kusumayudha, Sasranegara, dsb. Gelar tersebut menyesuaikan dengan kedudukan, tinggi atau rendahnya, besar dan kecilnya kekuasaan. Dengan gelar tertentu, maka subyek posisi tertentu yang terkait dengan hubungannya dengan raja 79 . Maka, dalam konteks wacana keistimewaan, persoalan nama menjadi sangat penting karena nama menentukan hirarki kekuasaan. Istilah ‘daerah istimewa’ memang pertama kali disebutkan oleh kedua raja ini, setelah menggabungkan dua pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. “Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia”, pernyataan ini terdapat dalam amanat Sultan HB IX dan Adipati PA VIII dalam maklumat yang dikenal sebagai maklumat 5 September 1945. Artinya, kedua raja ini menyadari penuh bahwa Yogyakarta tidak akan menjadi negara merdeka. Dengan belum adanya kejelasan masa depan, kedua raja ini memastikan posisi atau status daerah yang tetap otonom di dalam Republik Indonesia. Oleh karena itu penyebutan propinsi memang tidak dirinci sejak awal karena Indonesia juga belum membuat aturan-aturan rinci tentang pemerintahan daerah. Dengan kata lain, pada tahun tersebut 1945 memang belum ada propinsi di Indonesia.80 Saat mulai dibicarakan pengelolaan pemerintahan Daerah, Yogyakarta disebut sebagai sebuah daerah istimewa, tanpa sebutan propinsi. Pada prakteknya, implikasi dari pernyataan kedua tokoh ini yaitu penafsiran konsep keistimewaan dengan tidak menyebutkan propinsi. Dua istilah Provinsi dan Daerah Istimewa digunakan sekaligus, untuk menyebut Yogyakarta sebagai satuan pemerintahan. 79Ong Hok Ham 1983. Rakyat dan Negara, hlm. 80. 80Pengesahan atas Yogyakarta sebagai daerah istimewa terjadi lima tahun sesudahnya pada tahun 1950 melalui UU No 19 1950. Di tahun yang sama Republik Indonesia sudah mulai leluasa untuk mengelola pemerintahan dalam negrinya karena pasukan Belanda sudah meninggalkan Indonesia, ibukota kembali berlokasi di Jakarta, dan kedaulatan Republik Indonesia sudah diakui dunia. Sultan HB IX tidak mempermasalahkan penyebutan tersebut. Sedangkan pada masa Sultan HB X, sebutan provinsi mulai dipermasalahkan.

B. PEMERINTAH DAN RAKYAT