Kontrak Politik Pernikahan NEGARA DAN KEDAULATAN

Saya akan kembali mencermati peristiwa pada tahun 2007. Sultan HB X mengungkapkan ketidaksediaannya untuk dicalonkan kembali sebagai gubernur DIY. Pernyataan tersebut ternyata membuat dukungan masyarakat untuk penetapan semakin menguat. Sejumlah pengamat pemerintahan menganggap pernyataan tersebut sebagai upaya untuk menjajagi dukungan publik di Yogyakarta. Dari peristiwa ini terlihat bahwa peran rakyat sangat diperhitungkan untuk memperkuat kekuasaan seorang penguasa. Sekaligus hal ini menjelaskan adanya pergeseran tentang legitimasi kuasa seorang raja yang tadinya mendasarkan kuasa dari Tuhan bergerak ke kuasa dari Rakyat. Maka, ungkapan Sultan HB X pada tahun 2011 di sebuah stasiun televisi menjadi sulit terbantahkan; “Tanya saja pada rakyat Jogja.” Rakyat ditimpatkan dalam posisi yang penting untuk meneguhkan kedudukan raja. Pergeseran yang terjadi tentang legitimasi kekuasaan raja yang tadinya berasal dari Tuhan menjadi berasal dari rakyat, pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu: penguasaan atas rakyat. Dalam hal ini rakyat sebagai kumpulan orang-orang yang mendiami wilayah tertentu selalu menjadi obyek kekuasaan untuk diarahkan pada kepentingan tertentu, khususnya kepentingan penguasa.

4. Kontrak Politik Pernikahan

Kolonialisme mengenalkan budaya politik baru dalam peta politik di Jawa yaitu perumusan legalitas melalui kesepakatan tertulis yang berlaku mengikat. Momentum-momentum perjanjian politik secara tertulis ini yang membawa ke perubahan signifikan dalam pemerintahan. Hal ini saya sebut sebagai logika kontrak dalam budaya politik. Kontrak adalah kesepakatan antar dua pihak. Posisi kedua pihak tidak selalu setara tapi keduanya mempunyai nilai tawar yang dipertaruhkan. Dan faktanya, pihak kerajaan-kerajaan Jawa selalu kalah dalam kesepakatan-kesepakatan tertulis yang diciptakan oleh pemerintah kolonial. Mekanisme penundukan dengan perjanjian dengan VOC terjadi beberapa kali sepanjang tahun 1700’an. VOC sepenuhnya menundukan Mataram dengan perjanjian tahun 1949 yang menyebutkan bahwa raja menyerahkan negara Mataram. VOC masih mengijinkan raja untuk memerintah dengan “kedaulatan yang dipinjamkan.” Penandatangan perjanjian politik oleh raja tersebut menandakan dimulainya periode kolonial.76 Kontrak politik tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk menundukan. Kontrak politik adalah alat kontrol. Pemerintah kolonial menyodorkan kontrak politik kepada seorang putra mahkota yang akan naik tahta. Butir-butir aturan dalam kontrak disusun sedemikian rupa untuk semakin mengurangi wewenang raja. Gubernur Hindia Belanda, Lucien Adams menyodorkan draf kontrak politik kepada Pangeran Dorodjatun. Mencermati ada ketidaksesuaian pada butir-butir aturan dalam kontrak politik tersebut, sang Putra mahkota enggan menandatangani. Sempat terjadi kekosongan tahta. 76Lihat Moedjanto 2002 melalui Suksesi dalam Sejarah Jawa, menuliskan bahwa penandatangan surat perjanjian ini sebenarnya ditafsirkan secara keliru oleh pihak VOC. Dalam surat perjanjian tersebut, tertulis ngaturaken yang artinya ‘menyerahkan’. Pihak VOC menganggap bahwa ungkapan ini penyerahaan kedaulatan kerajaan. Moedjanto berpendapat bahwa ungkapan ini sebenarnya ungkapan yang lazim diartikulasikan dalam gaya tutur maupun lisan. Jadi, belum tentu juga perjanjian ini bermaksud menyerahkan kedaulatan. Lepas dari kritik historis ini, posisi kerajaan Mataram sangat lemah dihadapan VOC sehingga tidak bisa menunjukkan daya tawarnya. Perjanjian yang sebenarnya alat penundukan ini bahkan menjadi legitimasi kelahiran Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian Giyanti yang disepakati antara kedua pihak bangsawan Mataram yang berseteru serta VOC, menjadi titik peristiwa ini. Penundukan tertulis ini telah menjadi inisiasi atas hak memerintah dinasti Hamengku Buwono. Singkatnya, perjanjian politik tertulis menunjukkan bahwa eksistensi Yogyakarta sejak awal tidak pernah berdaulat penuh. Bahkan, bisa dikatakan kedaulatan itu tidak dimiliki karena hanya dipinjamkan. Dalam sebuah kontrak, ada unsur-unsur tertentu yang mutlak harus ada. Kontrak yaitu perjanjian yang disepakati bersama antar dua belah pihak atau lebih. Posisi masing-masing pihak bisa setara maupun tidak setara. Yang dimaksudkan posisi dalam hubungan kontrak yaitu daya pihak yang melakukan kontrak untuk menentukan atau merumuskan content dalam kontrak yang disepakati bersama. Jika posisi masing-masing pihak setara, mereka mempunyai daya yang sama untuk merumuskan ketentuan-ketentuan sebelum terjadinya kesepakatan. Sebaliknya, jika ada pihak yang lebih dominan, ia menjadi lebih kuat dalam menentukan bentuk-bentuk kesepakatan. Sudah dijelaskan dalam penelusuran sejarah bahwa perjanjian-perjanjian politik antara Kerajaan Mataram dengan Kompeni bukanlah perjanjian atau kontrak yang setara antar pihak. Walaupun tidak setara, keduanya tetap mempunyai daya tawar yang cukup kuat untuk bernegosiasi. Pada awalnya, posisi kompeni bukan yang dominan, tapi karena perannya yang cukup kuat dalam hal perdagangan dan militer, menjadikannya lebih dominan daripada para penguasa di Jawa. Sebelumnya sudah terungkap bahwa salah dengan perjanjian politik, terjadi perubahan posisi antara kerajaan Mataram dengan Kompeni. Mataram pada akhirnya berbalik menjadi vasal, padahal sebelumnya Kompeni yang menjadi vasal dalam lingkup kekuasaan kompeni. Maka, perjanjian politik, yang pada perkembangannya disebut kontrak politik, membawa implikasi bagi kedua belah pihak sebagai penanda kekuasaan. Bagi Kompeni yang menjadi pihak dominan, kontrak politik menunjukkan tiga hal pokok yang merinci kedudukannya. Pertama, kontrak ini adalah dasar legitimasi kekuasaan. Dengan kata lain, kontrak menjadi alat penundukan. Secara eksplisit, legitimasi ini tertera bahwa Kompeni menjadi pihak yang lebih kuat untuk menentukan aturan, menjadi berdaulat, dan berkuasa atas tanah, dan pemerintahan. Kedua, sesudah secara jelas terjadi penundukan yang menempatkan posisi Kompeni sebagai pihak yang dominan dalam hubungan pemerintahan di Jawa, kontrak politik adalah alat kontrol. Kontrak politik menjadi alat kontrol karena di dalamnya mengandung pokok-pokok aturan sebagai dasar dalam pemerintahan. Jadi kontrak politik sama saja dengan sebuah sistem tata kelola pemerintahan. Maka, sistem pemerintahan inilah yang menjadi sistem kontrol bagi penguasa lokal, dalam hal ini raja, oleh Kompeni sebagai pemerintah kolonial. Bagi penguasa lokal, dalam hal ini raja dan pemerintah kerajaan Sultan dan kraton, kontrak politik juga menjadi penanda yang sangat penting bagi kedudukan kuasanya. Pertama, dengan adanya kontrak politik, maka seseorang bisa menjadi raja. Dari sini terlihat bahwa legalisasi kekuasaan raja berasal dari pihak luar. Maka, kedaulatan raja menjadi semu karena pemerintah kolonial yang sebenarnya mempunyai kedaulatan tersebut. Di sisi lain, posisi ini justru menguntungkan posisi raja dan para bangsawan yang menjadi aparatur pemerintahan, karena peran mereka dilebur menjadi bagian dari birokrasi kolonial. Saya akan mencermati bagaimana konsep legalisasi kedudukan politik terwujud dalam logika kontrak. Secara lebih spesifik, hal ini terwujud dalam model kontrak pernikahan. Publik di Yogyakarta ‘dipaksa’ setiap harinya menngetahui perkembangan isu Keistimewaan Yogyakarta melalui spanduk yang bertuliskan “Konsisten Ijab Qobul”. Spanduk putih dengan gambar seorang abdi Dalem memegang senjata ini adalah satu jenis spanduk yang paling banyak tersebar di sudut-sudut kota. Tanpa banyak kata, propaganda kelompok pro penetapan dalam bentuk frasa ini memberikan efek yang cukup kuat pada pemahaman masyarakat luas soal tema ini. Walaupun tanpa menggunakan kata ‘keistimewaan’ masyarakat yang melihat spanduk ini mengetahui bahwa frasa ini adalah pemaknaan resmi dari kelompok arus utama tentang tema keistimewaan. Bahkan, propaganda ini berhasil memancing keingintahuan serta memberikan pengetahuan bahwa Keistimewaan Yogyakarta adalah sebuah kontrak perkawinan antara pemerintah Republik Indonesia dengan Yogyakarta. Dari titik ini, terbaca sebagaimana dipahami oleh golongan arus utama keistimewaan, kedaulatan adalah soal perkawinan politik. Protes kepada pemerintah dengan membuat analogi pernikahan ini sebuah proses untuk menggugat sebuah kontrak. Dalam konsep pernikahan Islam, pihak yang menyerahkan diri, mempunyai hak untuk menggugat cerai. Maka, hal ini yang dilakukan oleh pihak pro penetapan, yaitu melakukan gugatan atas pernikahan politik antar Indonesia dan Yogyakarta pada tahun 1945.

5. Renegosiasi Kontrak: Politik Balas Budi