Fundamentalisme Baru PEMERINTAH DAN RAKYAT

penguasa di Jawa raja dan para pangeranbangsawan, mempunyai kendali penuh terhadap rakyat karena ukuran kekuasaan mereka bisa dilihat dari jumlah pengikut. Maka bisa terlihat rakyat mempunyai kesetiaan yang tinggi terhadap raja walaupun raja sudah tidak mempunyai kedaulatan penuh atas teritori tertentu. Tanah bisa saja lepas dari kendali raja, tapi kesetiaan dari rakyat tetap menjadi milik raja.

2. Fundamentalisme Baru

Saat isu tentang keistimewaan Yogyakarta pertama kali berhembus, yakni pada tahun 1998 sampai dengan tahun 2000-an, perhatian publik dan media massa tertuju pada sekelompok masyarakat yang mendukung penetapan dan memberikan penafsiran bahwa hal itu adalah keaslian Yogyakarta. Aksi mereka mendapatkan dukungan dari sebagian penduduk Yogyakarta. Pada kemunculan gelombang kedua kelompok-kelompok pro penetapan, nuansa esensialisme sudah tidak lagi nampak. Yang nampak adalah pembentukan identitas kolektif yang berdasarkan pemahaman yang saling dibagikan. Yang membuat mereka merasa menjadi satu kelompok besar bukan kesamaan etnisitas atau relijius melainkan satu pengetahuan kesamaan penafsiran tentang makna keistimewaan Yogyakarta. Saya melihat ada suatu gaya baru untuk mengidentifikasi dalam rangka menciptakan identitas kolektif. Gaya mengidentifikasi ini yang kemudian membentuk suatu fundamentalisme baru di ranah politik lokal. Bandingkan dengan yang terjadi di Papua yang menciptakan fundamentalisme atas dasar ras melanesia, sehingga terwujud dalam aturan yang tidak memperbolehkan orang dari etnis lain untuk menjadi gubernur. Bandingkan pula dengan sentimen anti pendatang di daerah-daerah lainnya. Di Yogyakarta, dinamikanya bergerak dengan berbeda. Meliyankan pihak-pihak yang tidak menyetujui penetapan menjadi tindakan yang dianggap wajar. Ada pemahaman bahwa menjadi orang Jogja kawula ngayogyakarta bukan hanya untuk orang Jawa atau penduduk yang tinggal di Yogyakarta tapi mereka yang mendukung keberadaan Sultan, Kraton, dan Penetapan. Dengan menyebut ‘istimewa’, maka ada dorongan untuk menerobos batas penggolongan etnisitas dan entitas politik. Identitas istimewa adalah perkembangan mutakhir dari bentukan identitas yang tercipta di dalam orang- orang Yogyakarta. Selama belum ada kejelasan secara legal tentang bentuk keistimewaan Yogyakarta, orang-orang yang menyebut diri pro penetapan memberikan penafsiran bahwa ‘istimewa’ itu juga melekat pada diri mereka. Menjadi ‘istimewa’ terkesan sebuah kesadaran untuk menjadi berbeda dan harus dimaklumi. Maka, menjadi ‘istimewa’ adalah proses bagaimana mereka mengidentifikasi dirinya. Identitas keistimewaan adalah bentukan identitas baru yang berkembang saat tema Keistimewaan Yogyakarta sedang mencapai popularitas. Pada perkembangannya, identitas ini mulai menjadi citra pembentukan warga masyarakat Yogyakarta. Para pendukung penetapan, baik yang asli Jawa orang Jogja, sejak lahir maupun penduduk Jogja yang pendatang atau bukan berlatar belakang suku jawa menyatakan dukungan ini karena memiliki rasa kecintaan atas daerah yogyakarta. Identitas ini terbentuk melewati batas-batas kategori jawa, penduduk jogja, atau orang asli jogja. Identitas ‘istimewa’ adalah identitas baru yang terbentuk dalam dinamika kehidupan masyarakat Yogyakarta. ‘Istimewa’ tidak hanya menunjuk kepada para penduduk daerah yogyakarta atau orang-orang Jawa. Konstruksi identitas istimewa terbentuk dalam konteks dukungan terhadap penetapan. Dipicu oleh kuatnya resistensi, pembentukan identitas mulai mengarah menjadi fundamentalisme. Fundamentalisme tidak lagi terbentuk dalam kelompok-kelompok keagamaan tapi juga terjadi dalam kelompok pro penetapan. Sebagai perbandingan, gerakan keagamaan bertumbuh pesat melewati batas-batas negara, bangsa, dan bahasa. Gerakan keistimewaan juga mulai berkembang mendapatkan dukungan besar saat mulai menerjang batasan-batasan kedaerahan. Gerakan keistimewaan merangkum orang-orang yang bukan orang asli Yogyakarta. Sumber pembentukan identitasnya justru berkembang pada ideologi yaitu sikap dukungan pada bentuk penafsiran tertentu dalam konsep keistimewaan Yogyakarta. Singkatnya, ada kecenderungan untuk meleburkan dukungan terhadap penetapan dengan menjadi orang Yogyakarta. Jika orang tertentu disebut sebagai Orang Jogja maka sudah pasti dia adalah pro penetapan. Sebaliknya, walaupun ada orang-orang yang tinggal di Yogyakarta tapi tidak sependapat tentang penetapan, maka mereka tidak pantas menjadi orang Jogja.

3. Kelas Priyayi Baru