Menafsir Demokrasi MERIBUTKAN WACANA KEBENARAN

asing. Saat ini, kekuatan asing tersebut diidentifikasikan sebagai pemerintah pusat.

C. MERIBUTKAN WACANA KEBENARAN

Pada pembahasan sebelumnya telah memetakan hubungan-hubungan antar pihak sebagai subyek-subyek yang hidup dalam konstelasi kuasa. Bagian ini menjabarkan bagaimana kuasa terwujud dalam pengetahuan-pengetahuan tertentu.

1. Menafsir Demokrasi

Seperti sudah diungkapkan sebelumnya, polemik soal Keistimewaan Yogyakarta menjadi semakin panas saat Presiden SBY secara tidak langsung mengungkapkan bahwa keberadaan monarki bertentangan dengan nilai demokrasi. Dibalik pernyataan presiden tersebut, ada dua gagasan yang sebenarnya sedang dipertentangkan. Dua gagasan tersebut yaitu monarki melawan demokrasi. Mengingat dua hal tersebut diungkapkan oleh seorang presiden, maka pernyataannya menjadi sebuah wacana kebenaran dalam kebijakan pemerintahan daerah. Secara tidak langsung pernyataan tersebut menggiring pada sebuah gagasan tentang hal yang dianggap benar dan hal lain dianggap menyimpang. Ada dua hal yang dianggap antagonistik yaitu monarki dengan demokrasi. Artinya, keberadaan sebuah monarki bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dalam pemerintahan negara. Maka, terbaca sebuah dikotomi yang mana demokrasi diposisikan sebagai sebuah normalitas. Sebaliknya, monarki ditempatkan sebagai abnormalitas. Selanjutnya, kebenaran bernama demokrasi ini bekerja melalui ritual untuk merayakan kebenaran. Ritual ini bernama Pemilihan Umum Pemilu. Pemilihan umum menjadi ritual dari sebuah pengetahuan resmi yang disebut demokrasi. Pengetahuan ilmiah tentang hidup bernegara terwujud dalam sebuah mantra bernama demokrasi. Artinya, dengan diselenggarakannya sebuah pemilu, menjadi pembenaran adanya demokrasi. Demokrasi bukanlah pengetahuan baru. Semenjak pemerintahan Soekarno, yang disebut sebagai Orde Lama oleh Soeharto untuk menyebut masa pemerintahaannya Orde Baru, demokrasi sudah menjadi pengetahuan besar yang menjadi inspirasi untuk kepemimpinan dua penguasa besar Indonesia ini melalui demokrasi terpimpin dan demokrasi Pancasila gaya Orba. Akan tetapi gelombang besar perubahan pada tahun 1998 membuktikan bahwa selama berpuluh-puluh tahun pengetahuan bernama demokrasi tersebut ternyata tidak demokratis, dan hanya menghasilkan ritual yang bernama Pemilu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pemilu pada zaman Orba hanyalah sebuah panggung pertunjukan yang esensi demokrasinya dipertanyakan. Ada usaha untuk merevisi pengetahuan soal demokrasi dengan menata kembali reform ritualitas Pemilu. Yang terjadi adalah penciptaan desain baru pemilu yaitu, pemilukada pemilihan Umum Kepala dan Wakil Kepala Daerah. Hasil nyata dari pemilukada ini yaitu adanya penentuan jabatan gubernur dan wakil gubernur melalui pemilihan secara langsung oleh penduduk daerah tersebut. Maka, hal inilah yang disebut sebagai demokratis. Sebagai sebuah ritual yang mewujudnyatakan sebuah pengetahuan kebenaran bernama demokrasi, pelaksanaan pemilu mulai dipertanyakan. Problematisasi ini muncul dari kelompok pro penetapan. Dengan nada nyinyir, mereka menyebutnya ‘Demokrasi Prosedural’. Dengan kata lain, pelaksanaan pemilu hanya bertujuan melaksanakan prosedur pemilihan saja tapi hasilnya belum tentu demokratis. Bahkan, muncul anggapan jika pelaksanaan pemilu menghasilkan efek yang jauh dari esensi demokrasi. Dalam kecamuk ini, lagi-lagi ada dikotomi yang terbaca, yaitu antara demokratis sebagai yang normal dan tidak demokratis sebagai yang abnormal. Dengan sebuah pengetahuan bernama demokrasi, ada daya untuk menentukan bentuk-bentuk normalitas dalam pemerintahan yaitu melalui praktek pemilihan umum. Masalahnya, kelompok pro penetapan yang sudah berhasil mengambil hati sebagian besar masyarakat Yogyakarta, tidak mengganggap pemilukada sebagai hal yang baik untuk mereka. Pada titik ini, hubungan yang terjadi seperti seorang pasien yang menolak resep obat yang diberikan oleh dokter seraya menggugat bahwa dirinya tidak sakit. Yang menarik dicermati dalam peristiwa ini yaitu, bagaimana rumusan utama tentang demokrasi sedang ditantang dengan pemaknaan lain yang kurang kurang lazim. Ukuran-ukuran demokratis yang dirumuskan oleh pemerintah pusat dianggap tidak lagi relevan. Jika pelaksanaan pemilukada bertujuan untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam memilih pemimpin, tujuan tersebut sedang dihadang dengan pernyataan bahwa rakyat sudah memilih pemimpinnya. Maka, pemilukada menjadi tidak penting bagi mereka karena ukuran yang dianggap demokratis sudah tercapai. Sikap kelompok pro penetapan ini menjadi antitesis pada cara melaksanakan demokrasi dengan prosedur pemilu. Ada perbedaan cara pandang antara penentu kebijakan presiden, kabinet, dan kementerian dalam negri dengan kelompok-kelompok pro penetapan yang didukung oleh sebagian besar masyarakat di Yogyakarta. Jika merentang jalinan perkembangan demokratisasi di Indonesia, apa yang terjadi di Yogyakarta menjadi sebuah titik pergeseran. Semenjak tahun 1998, ratusan pemilihan umum telah dilakukan untuk menentukan para pemimpin daerah. Keterlibatan jutaan orang untuk terlibat dalam proses ini menjadi peserta, seakan menjadi ukuran kesuksesan pelaksanaan demokrasi. Akan tetapi, ada cara pandang yang berubah saat melihat ukuran demokrasi, yaitu pada hasil demokrasi bukan pada mekanisme pemilihan. Maka, dalam kehidupan politik, kebenaran menjadi ruang terbuka, tergantung siapa yang menafsirkan karena kebenaran dalam politik adalah alat untuk mendominasi dan alat untuk melawan balik. Pemilu menjadi bentuk penyeragaman yang diberlakukan untuk semua daerah atas nama demokrasi. Ciri keseragaman ini mengharuskan adanya suatu bentuk yang simetris. Bertolak dari istilah simetris ini, maka pemerintahan dalam suatu negara harus mempunyai poros pusat, yang mana pinggiran mempunyai bentuk dan ukuran yang sama dengan pinggiran yang lain. Bentuk ini menciptakan sebuah pusat yang bersifat tunggal dan pinggiran-pinggiran yang berbentuk ‘sama rata’. Implikasinya, pusat terkesan menjadi dominan, karena menjadi sentris dalam suatu susunan. Letak dan bentuk unsur-unsur pinggir ini yang menciptakan keseimbangan. Dengan menguatnya tuntutan untuk ‘mengistimewakan’ Yogyakarta ini, maka dengan logika simetri tersebut, akan tercipta ketidakseimbangan. Di Indonesia, keseimbangan dalam logika simetri, selama ini dipahami sebagai ‘persatuan kesatuan’ atau istilah NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prakteknya, seluruh daerah terbagi-bagi dalam satuan bernama provinsi. Kemudian, bagaimana jadinya kalau beberapa sisi mempunyai bentuk yang berbeda? Sebuah susunan akan kehilangan prinsip keseimbangan.

2. Wajah Jahat Liberalisme