Multikulturalisme dan Sinkretisme KelasXII AgamaKristen BG www.divapendidikan.com

132 Buku Guru Kelas XII SMASMK Hal ini terjadi misalnya dalam kampanye pemilu legislatif pemilu presiden dan wakil presiden. Isu ini dibangun untuk mengurangi elektabilitas calon dan untuk mempengaruhi para pemilih yang dengan mudah termakan oleh isu tersebut terutama di kalangan masyarakat yang masih memilih pemimpin berdasarkan agama. Namun masyarakat kini mulai berpikir rasional memilih pemimpin berdasarkan kemampuan dan integritas bukan berdasarkan agama atau suku. Meskipun demikian, tak dapat dihindari ketika multikultur dijadikan komoditi politik maka dapat menimbulkan potensi konlik secara horizontal antarmasyarakat. Hal yang sama juga terjadi dalam kehidupan antarumat beragama, pada aras akar rumput atau rakyat jelata, nampak solidaritas dan kebersamaan namun situasi ini dapat saja berubah ketika perbedaan agama dijadikan komoditi politik. Dalam Kitab Efesus 2:11-21 Paulus menjelaskan mengenai dipersatukan dalam Kristus. Ia memfokuskan pembahasannya pada pekerjaan penebusan, rekonsiliasi dan merubuhkan tembok-tembok pemisah antarumat. Jadi, jika kita satu di dalam Kritus maka kita terlepas dari perbedaan suku, ras, budaya maupun status sosial ekonomi. Kegiatan tersebut sudah merubuhkan tembok pemisah dalam berbagai perbedaan, maka kita menjadi satu dalam Kristus. Sebagaimana Kristus telah menerima kita tanpa syarat maka kita pun wajib saling menerima satu dengan yang lain. Menjadi satu dalam Kristus memungkinkan gereja menjadi satu. Dalam Kitab Galatia 3:26-28, Paulus mengatakan kita memiliki identitas baru melalui Kristus. Tidak ada diskriminasi dalam Kristus, kita semua sama di hadapan Allah.

D. Multikulturalisme dan Sinkretisme

Konteks gereja-gereja Asia adalah kemajemukan di mana multikultur merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak dan diabaikan. Antoni S. Hope dengan mengutip seorang ahli Biblika dari Sri Lanka, Daniel hiagarajah yang mengatakan bahwa : “misi Allah adalah gerakan Allah melawat umat- Nya. Dalam dirinya sendiri misi gereja mengambil langkah baru untuk maju. Setiap pembicaraan manapun mengenai Allah yang secara autentik mengklaim bersifat Asia harus memperhatikan kompleksitas situasi di Asia di mana kita dipanggil untuk hidup, mewartakan dan merayakan iman kita. Berteologi tidak pernah dapat dilakukan dalam suatu ruang kosong, tetapi harus selalu dilakukan dalam hubungan dengan situasi hidup yang aktual. Oleh sebab itu, meskipun misi gereja adalah mission Dei atau misi Allah, namun tidak boleh terlepas dari konteks”. Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekeri 133 Misi Allah hendaknya ditempatkan dalam konteks masyarakat di mana gereja sebagai lembaga dan umat Allah ada dan hidup. Dalam kaitannya dengan pendapat tersebut, kita pernah mengalami masa-masa suram ketika para penginjil barat datang dengan superioritas budaya barat yang memberangus semua kekayaan budaya lokal yang ada di Indonesia. Ketakutan terhadap sinkretisme penyembahan berhala dan sikap superioritas telah melahirkan tindakan yang menurut mereka merupakan pembersihan terhadap sinkretisme dan upaya untuk “memurnikan” Injil. Bukankah para penginjil, para pemberita yang hidup di zaman Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru juga turut dibentuk oleh budaya setempat pada masa itu? Contohnya aturan mengenai kaum perempuan yang tidak boleh beribadah dengan rambut terurai dan harus menutupi kepalanya, 1 Timotius 2:8-15. Perempuan tidak boleh memimpin, menurut Barclay dipengaruhi oleh kebudayaan Yahudi yang memandang rendah kedudukan seorang perempuan, dan bahkan tidak dianggap sebagai pribadi, melainkan sebagai sebuah barang. Artinya, Injil tidak terlepas dari konteks budaya. Oleh karena itu, sepakat dengan Daniel hiagarajah yang dikutip oleh Antone S.Hope di atas, bahwa misi Allah harus ditempatkan dalam konteks kehidupan setempat. Itulah yang tengah dikembangkan oleh gereja-gereja di Indonesia. Dibutuhkan upaya dan kerja keras dalam menjalankan misi Allah di tengah masyarakat multikultur dan membangun pemahaman multikulturalisme. Ada kekhawatiran seolah-olah jika gereja turut memperjuangkan multikulturalisme maka gereja jatuh ke dalam sinkretisme. Multikulturalisme bukanlah sinkretisme karena multikulturalisme tidak mengorbankan misi Allah. Bahkan melalui multikulturalisme misi Allah lebih dipertegas lagi, terutama ketika Allah mengatakan pada Abraham “karena Engkau maka segala bangsa di muka bumi akan diberkati”. Memperkuat pernyataan itu, kita dapat mengacu pada Kitab Efesus 2:11-21, Galatia 3:26-28 bahwa di dalam Yesus tidak ada orang Yahudi maupun orang Yunani, tidak ada budak maupun orang merdeka, kita semua adalah satu di dalam Yesus Kristus.

E. Belajar dari Yesus