Multikultur di Zaman Perjanjian Lama Multikulturalisme di Zaman Perjanjian Baru

Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekeri 129

A. Pengantar

Pelajaran ini merupakan lanjutan dari pembahasan sebelumnya, yaitu mengenai multikulturalisme. Jika pada pelajaran sebelumnya membahas mengenai pemahaman konsep multikulturalisme, selanjutnya pembahasan ini membahas mengenai gereja dan multikulturalisme. Remaja sebagai warga gereja perlu mendalami bagaimana gereja menanggapi kenyataan multikultur- alisme. Pemahaman mengenai multikulturalisme telah dipelajari dalam pembahasan pada bab sebelumnya. Pada pembahasan ini peserta didik dibimbing untuk mengkaji mengenai sikap gereja terhadap multikulturalisme di Indonesia. Sebelum membahas mengenai sikap gereja terhadap multikulturalisme di Indonesia, peserta didik dibimbing untuk belajar mengenai multikulturalisme secara global, bagaimana sikap gereja-gereja pada umumnya kemudian membahas mengenai sikap gereja-gereja Kristen di Indonesia. Peserta didik diharapkan memperoleh pencerahan mengenai sikap gereja terhadap multikulturalisme. Terutama bagaimana gereja membangun jemaat multikultur.

B. Multikulturalisme di Zaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru

1. Multikultur di Zaman Perjanjian Lama

Perjanjian Lama mencatat perbedaan budaya yang dipengaruhi agama karena ada hubungan yang erat antara agama dan budaya. Relasi itu tampak dalam hubungan antara bangsa Israel dengan bangsa-bangsa Kanaan di sekitar yang menimbulkan berbagai pengaruh. Bangsa Israel berhadapan dengan kemajemukan budaya bangsa di sekitarnya, namun ketika bangsa Israel bersosialisasi dengan bangsa di sekeliling, mereka tidak selektif. Efeknya, budaya-budaya bangsa sekitarnya yang negatif membawa bangsa Israel pada penyembahan berhala. Alkitab mencatat, sepanjang sejarah hakim-hakim sampai dengan bangsa Israel menuju ke pembuangan, Israel terjerat dengan penyembahan berhala yang dipengaruhi oleh budaya kair bangsa-bangsa di tanah Kanaan. 130 Buku Guru Kelas XII SMASMK

2. Multikulturalisme di Zaman Perjanjian Baru

Budaya bangsa Israel di zaman Perjanjian Baru dipengaruhi oleh warna-warni budaya dari beberapa bangsa yang pernah menjajah Israel, seperti Persia, Yunani dan Romawi. Secara khusus, saat itu bangsa Israel yang tersebar di luar Yerusalem sebagai pusat aktivitas rohani- membawa mereka pada konsep eksklusivisme sebagai umat pilihan Allah. Pada zaman Tuhan Yesus, Dia membawa pemikiran baru tentang pentingnya inklusivisme. Yesus tidak menutup diri dari kemajemukan kebudayaan. Yesus tidak memandang latar belakang budaya, suku maupun ras, Ia berkenan menerima semua orang dalam pergaulan multikultural. Ketika seorang perempuan Kanaan hendak meminta tolong Matius 15:21-28 dan seorang Perwira Roma meminta kesembuhan Lukas 7:1-10, Yesus menjawab kebutuhan mereka dan menolong mereka. Ini menyatakan Yesus sendiri menghargai keberagaman dan perbedaan budaya. Dalam Perjanjian Baru, jemaat multikultural secara eksplisit dicatat dalam Kisah Para Rasul 2:41-47 orang-orang yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai budaya yang berbeda mendengarkan khotbah Petrus. Pada waktu itu ada tiga ribu orang bertobat, dan mereka menjadi model gereja pertama. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi masalah antara jemaat yang berbudaya Yunani dan Yahudi. Perbedaan budaya antara Yahudi dan Yunani menimbulkan banyak persoalan dalam beberapa jemaat, seperti di Roma dan Korintus. Perpecahan dan perselisihan tersebut timbul hanya karena mengenai kebiasaan-kebiasaan jemaat 1 Korintus 11. Namun, Paulus menegaskan bahwa sekarang tidak ada lagi orang Yunani atau Yahudi, tidak ada orang bersunat maupun tidak bersunat, tidak ada budak atau orang merdeka. Semua orang sama di hadapan Allah, semua menjadi satu jemaat dimana kepalanya adalah Yesus Kristus.

C. Gereja dan Multikulturalisme