Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekeri 133
Misi Allah hendaknya ditempatkan dalam konteks masyarakat di mana gereja sebagai lembaga dan umat Allah ada dan hidup. Dalam kaitannya dengan
pendapat tersebut, kita pernah mengalami masa-masa suram ketika para penginjil barat datang dengan superioritas budaya barat yang memberangus
semua kekayaan budaya lokal yang ada di Indonesia. Ketakutan terhadap sinkretisme penyembahan berhala dan sikap superioritas telah melahirkan
tindakan yang menurut mereka merupakan pembersihan terhadap sinkretisme dan upaya untuk “memurnikan” Injil. Bukankah para penginjil, para pemberita
yang hidup di zaman Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru juga turut dibentuk oleh budaya setempat pada masa itu? Contohnya aturan mengenai
kaum perempuan yang tidak boleh beribadah dengan rambut terurai dan harus menutupi kepalanya, 1 Timotius 2:8-15. Perempuan tidak boleh memimpin,
menurut Barclay dipengaruhi oleh kebudayaan Yahudi yang memandang rendah kedudukan seorang perempuan, dan bahkan tidak dianggap sebagai
pribadi, melainkan sebagai sebuah barang. Artinya, Injil tidak terlepas dari konteks budaya. Oleh karena itu, sepakat dengan Daniel hiagarajah yang
dikutip oleh Antone S.Hope di atas, bahwa misi Allah harus ditempatkan dalam konteks kehidupan setempat. Itulah yang tengah dikembangkan
oleh gereja-gereja di Indonesia. Dibutuhkan upaya dan kerja keras dalam menjalankan misi Allah di tengah masyarakat multikultur dan membangun
pemahaman multikulturalisme. Ada kekhawatiran seolah-olah jika gereja turut memperjuangkan multikulturalisme maka gereja jatuh ke dalam sinkretisme.
Multikulturalisme bukanlah sinkretisme karena multikulturalisme tidak mengorbankan misi Allah. Bahkan melalui multikulturalisme misi Allah lebih
dipertegas lagi, terutama ketika Allah mengatakan pada Abraham “karena Engkau maka segala bangsa di muka bumi akan diberkati”. Memperkuat
pernyataan itu, kita dapat mengacu pada Kitab Efesus 2:11-21, Galatia 3:26-28 bahwa di dalam Yesus tidak ada orang Yahudi maupun orang Yunani, tidak
ada budak maupun orang merdeka, kita semua adalah satu di dalam Yesus Kristus.
E. Belajar dari Yesus
Yesus menjadikan multikultur sebagai wacana perjumpaan antarmanusia yang dapat bergaul dan bekerja sama dalam kasih. Mengenai sikap Yesus, kita
dapat mencatat beberapa pokok pikiran dari Hope S.Antone dalam kaitannya dengan multikulturalisme. Antara lain:
• Kesetiaan Yesus ditujukan kepada Allah bukan kepada institusi maupun
praktik agama yang sudah mapan. Konsekuensi dari sikap itu adalah Ia
134 Buku Guru Kelas XII SMASMK
mengasihi manusia tanpa kecuali. Kemanusiaan, keadilan dan perdamaian amat penting bagi-Nya. Itulah cara Yesus memperlihatkan kesetiaan-Nya
kepada Allah. Sikap ini menyebabkan Ia tidak disukai oleh kaum Farisi dan ahli Taurat yang begitu setia kepada lembaga agamanya melebihi Allah
sendiri. Mereka mempraktikkan tradisi dan hukum agama secara turun- temurun namun lupa untuk mewujudkan hukum itu dalam kehidupan
nyata sebagai umat Allah. Kritik-kritik Yesus amat keras ditujukan pada mereka. Praktik agama dan ajarannya bukan hanya dipelajari, dihafal dan
diwujudkan dalam penyembahan namun terutama harus diwujudkan dalam kehidupan dengan sesama. Itulah sebabnya Kitab Amos mengkritik
orang Israel bahwa Allah menghendaki mereka taat menjalankan ibadah, namun harus mempraktikkan keadilan dan kebenaran, itulah ibadah yang
sejati.
• Kasih dan solidaritas Yesus ditujukan bagi semua orang tanpa kecuali, orang dari berbagai suku, tradisi, budaya bahkan yang tidak mengenal
Allah yang disembah-Nya pun ditolong oleh-Nya. Itulah wujud kesetiaan Yesus pada Allah.
• Yesus memperkenalkan visi baru mengenai komunitas baru di bawah pemerintahan Allah. Sebuah komunitas yang melampaui berbagai
perbedaan latar belakang. Sebuah komunitas yang memiliki hubungan- hubungan yang baru dimana tidak ada pembedaan dan perendahan
antara: kali-laki maupun perempuan, budak ataupun orang merdeka, orang Yahudi maupun Yunani. Semua orang sama di hadapan Allah
dan memiliki tempat yang sangat penting dalam komunitas baru yang terbentuk karena kedatangan Yesus.
• Kita juga belajar dari Yesus bahwa walaupun identitas pribadi, rasial, suku, kelas sosial maupun keagamaan merupakan kenyataan sosiologis, namun
yang lebih penting adalah bagaimana dalam segala perbedaan yang ada umat manusia memuliakan Allah dengan melakukan kehendak-Nya.
Dalam sikap ini, untuk multikultur mungkin tidak akan dipermasalahkan tetapi ketika prinsip ini dikaitkan dengan perbedaan iman agama, apakah
hal ini dapat dibenarkan? Hal ini dibahas dalam pelajaran mengenai sikap terhadap orang yang berbeda iman. Namun demikian, dapat diklariikasi
dalam penjelasan disini bahwa dalam kaitannya dengan agama lain, kita dapat mengembangkan toleransi dalam hal solidaritas dan kebersamaan
tanpa kehilangan identitas sebagai orang Kristen. Artinya, orang beragama lain pun dapat melakukan kehendak Allah menurut ajaran agamanya,
menolong dan mengasihi sesama.
Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekeri 135
• Melakukan kehendak Allah dapat dilakukan dalam kemitraan dengan orang lain, baik itu sesama orang Kristen maupun orang lain yang berbeda
suku, bangsa, budaya, adat istiadat, bahasa, kebiasaan, status sosial, maupun agama. Tidak ada seorang manusia pun yang mampu melakukan
berbagai hal sendirian. Dalam segala aspek kehidupan kita membutuhkan orang lain untuk saling mengisi dan saling membantu.
F. Bentuk Nyata Multikulturalisme dalam Gereja Kristen di Indonesia