Kasus A Pengalaman dengan Subjek

mahasiswa, rata-rata sebesar Rp.75.000.- setiap mahasiswa, sedangkan dalam satu hari pada saat ujian praktek ANC tersebut mereka bisa mendapatkan 2-3 x lipatnya karena sebanyak 2-3 orang mahasiswa yang menggunakan mereka sebagai latihan praktik ANC. Selain diberi imbalan berupa uang, mereka juga diberi obat seperti vitamin. Namun, sebagian dari mereka tidak meminumnya karena takut bayinya besar sehingga takut menyulitkan dalam melahirkan. Berikut ini adalah gambaran kondisi masing-masing subjek dan pengalaman peneliti selama berlangsungnya penelitian wawancara mendalam. Kondisi ketiga subjek digambarkan dalam bentuk kasus dan nama subjek dalam penelitian ini menggunakan inisial.

4.3.1 Kasus A

Subjek berinisial A, saat ini berumur 17 tahun dengan tinggi badan 155 cm, dengan berat 48 kg, mengenakan jilbab. Ketika menikah, A berumur 16 tahun sedangkan suaminya berumur 18 tahun. Mereka tinggal dalam satu kampung gampong yaitu Pusong Lama. Keduanya menikah di KUA Banda Sakti. Pada pemeriksaan ANC tanggal 23 Januari 2014 diketahui bahwa kehamilan A berusia ± 36-38 minggu 9 bulan, sehingga tinggal menunggu harinya saja untuk melahirkan. Saat pertama kali bertemu, peneliti menanyakan mengapa cepat menikah, A mengatakan karena sudah jodoh, daripada berbuat dosa maksudnya melakukan zina, maka lebih baik menikah saja, karena A juga sudah tidak bersekolah lagi. Pada saat pertemuan pertama tersebut, peneliti melihat ada keengganan subjek kalau diajak mengobrol terus karena ada mahasiswa lain yang bukan bimbingan Universitas Sumatera Utara peneliti untuk memakai dia subjek. Maka peneliti membuat suatu kontrak untuk bertemu kembali di lain waktu di rumahnya dan subjek menyetujuinya pada tanggal 10 Februari 2014. Pada tanggal yang telah ditentukan yaitu 10 Februari 2014, peneliti menghubungi subjek untuk membuat perjanjian bertemu menentukan tempatnya, karena subjek baru selesai melahirkan. Subjek bersedia menemui peneliti di sebuah warung tempat berjualan bahan-bahan pokok keperluan rumah tangga sembako di dekat rumah subjek pada pagi hari jam 09.00 Wib. Peneliti meminta ke rumahnya saja tetapi subjek tampak keberatan sehingga meminta peneliti datang ke tempat itu saja. Pemilik warung itu juga masih merupakan famili dari subjek sehingga anaknya yang masih bayi dapat ditidurkan di ayunan di warung tersebut. Suasanasituasi kelihatan lebih santai daripada pertemuan pertama dan subjek lebih bersahabat. A sedang menggendong bayi laki-lakinya yang mungil dan jika dilihat sekilas seperti sedang menggendong adiknya, karena A juga terlihat masih anak-anak. Proses persalinan A ditangani oleh dukun bayi setempat. A menjelaskan bahwa sebenarnya dirinya ingin juga ditolong bidan, tetapi biayanya mahal A tidak mendapatkan informasi tentang jampersal, sehingga dukun bayi yang membantu persalinannya. Selain sudah kenal dekat dengan dukun bayi, biayanya juga lebih murah, kadang diberi ikan atau diberi beras saja sebagai pengganti biaya persalinan, dukun bayi tersebut juga mau sehingga A dan suaminya lebih memilih dukun bayi sebagai penolong persalinan. A menceritakan bahwa saat persalinan anaknya tersebut, dirinya kurang mendapatkan dukungan dari suami, karena sedang melaut, juga Universitas Sumatera Utara kurang dukungan dari keluarga, karena jarak yang agak jauh dengan keluarganya. Saat proses persalinan, A menjerit-jerit menahan rasa sakit yang tidak tertahankan, dengan pertolongan dukun bayi, A tidak tahu cara mengedan yang benar. Beberapa mahasiswa Akbid pernah memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu hamil tentang kesiapan menghadapi persalinan dan proses persalinan tetapi mereka kurang peduli karena sebagian besar mereka berpendidikan rendah. A menceritakan awal pernikahan berawal dari pacaran dengan T suaminya selama satu tahun. A menyatakan tidak tamat SMP sedangkan suaminya hanya tamat SMP dan tidak meneruskan SMA. Suaminya tersebut yang memintanya untuk segera menikah karena A sudah tidak sekolah lagi. Suami A seorang nelayan, pergi mencari ikan di laut, kadang 3 hari atau seminggu baru pulang. Hampir setiap hari suaminya melaut kecuali hari Jum’at. Ketika peneliti menanyakan apa usia 16 tahun merupakan usia yang pas untuk menikah, A menjawab bahwa usia 16 tahun termasuk cepat menikah tetapi menurutnya teman-temannya bahkan ada yang lebih muda lagi menikah yaitu pada usia 15 tahun. Tapi sekarang kawannya tersebut ikut keluarga suaminya pindah ke Langsa. Menurut A, usia yang pas untuk menikah bagi perempuan yaitu ketika sudah tamat SMA atau tamat kuliah, berusia antara 23 tahun sampai 25 tahun. Tetapi di daerah tempatnya tinggalnya, menikah di usia muda merupakan hal yang biasa karena kalau lama menikah dianggap sebagai perawan tua dan tidak laku. Kedua orangtua A juga menyetujuinya untuk menikah di usia muda, karena kalau anaknya sudah mau, orangtuanya pasti mau juga. Universitas Sumatera Utara Saat ini mereka tinggal di rumah kontrakan sederhana dengan biaya Rp.250.000.- sebulan. Selayaknya pasangan yang menikah, pada awalnya mereka juga mengalami masalah kendala dalam rumah tangga. Sering ribut-ribut masalah cemburu, masalah anak, masalah keluarga, dan lain-lain kadang terjadi juga dalam keluarga muda tersebut. Namun mereka berjanji untuk tidak ribut-ribut lagi apalagi sudah mempunyai anak. Seperti pada kebanyakan perkawinan pada usia muda yang rentan terhadap permasalahan dan belum dapat berpikir matang seperti mudah terbakar cemburu, mudah emosi, demikian juga pada perkawinan mereka. Walaupun sudah berjanji tidak akan ribut-ribut lagi, problema dalam keluarga selalu saja ada. Dengan sikap kanak-kanaknya, A sering pulang ke rumah orangtuanya sedangkan suaminya membiarkan istrinya pergi tanpa mencegahnya dan tidak menjemputnya sehingga kadang A sendiri yang harus pulang ke rumah kontrakannya tersebut. Ketika hari makin siang, peneliti permisi pulang dengan membuat kontrak perjanjian untuk melakukan pertemuan ketiga. Subjek bersedia ditemui pada 5 hari berikutnya yaitu pada tanggal 15 Februari 2014 di rumahnya. Setelah mencari alamatnya di Desa Pusong Lama, jalan menuju rumahnya melewati tempat pengumpulan ikan TPI Pusong. Jalan menuju rumah subjek memasuki lorong atau gang kecil yang lebarnya kira-kira 0,5 meter dan jalannya seperti jembatan kayu yang sudah banyak bolong-bolong karena kayu sudah lapuk karena selalu terendam di bawahnya jika air laut sedang pasang. Kira-kira 50 meter dari TPI tersebut peneliti mendapati rumah kontrakan subjek. Rumah kontrakan Universitas Sumatera Utara terbuat dari papan dan tripleks, memiliki kamar tidur hanya satu, ada ruang tamu kecil dan dapur kecil. Lantai terbuat dari kayu dan sebagian juga sudah lapuk. Rumah kelihatan rapi walau dengan perabotan yang sangat sederhana. Di samping mengasuh anaknya sendiri, subjek juga ada mengasuh anak yang dititipkan tetangga tidak berapa jauh dari rumahnya. Menitipkan anak bagi masyarakat di sini bukan merupakan tradisi, tetapi karena kesibukan pekerjaan. Imbalan yang diperoleh dapat membantu penghasilan suaminya. Pada pertemuan ketiga tersebut peneliti menanyakan tentang masalah rumah tangga yang ribut-ribut dengan suaminya. Masalahnya adalah saling cemburu. Suaminya cemburu jika melihat A berbicara dengan laki-laki lain, demikian juga sebaliknya, A merasa cemburu jika suaminya berbicara dengan wanita lain. A menyadari hal tersebut mungkin karena masih sama-sama muda sehingga gampang curiga dan cemburu. Akibat curiga dan cemburu tersebut, pada pernikahan memasuki usia 3 bulan, A pernah bercerai dengan talak satu, dan sebulan kemudian mereka rujuk lagi. Setelah mereka memiliki anak, semuanya menjadi aman dalam artian mereka jarang ribut-ribut lagi. Jika masalah keuangan, mereka tidak pernah ribut-ribut, karena menurut A tidak makan juga tidak apa-apa yang penting saling setia dan percaya, serta sabar. Tetapi di desa tersebut, ada juga keluarga yang cerai gara-gara tidak ada uang masalah ekonomi. Kehidupan ekonomi keluarga muda tersebut juga sangat rentan, karena dengan penghasilan yang tidak menentu seperti cuaca buruk sehingga tangkapan ikan sedikit mereka harus mengencangkan ikat pinggang dengan makan seadanya saja. Universitas Sumatera Utara Untuk makan saja susah, apalagi untuk membayar kontrakan rumah. Tetapi anak tetap menjadi yang utama bagi A, sehingga jika tidak ada nasi di rumah, A memberi anaknya dengan makan pisang sedangkan dirinya kadang hanya makan satu hari sekali. Dengan kondisi tersebut, A berencana untuk berjualan kecil-kecilan di TPI. Menurutnya, jika cuaca bagus, maka hasilnya lumayan. Makanya ketika ada tawaran untuk menjadi klien mahasiswa praktek tersebut mereka bersedia mengikutinya karena dengan mengikuti kegiatan tersebut mereka mendapat hadiah, dan diberi imbalan sehingga dapat untuk membeli popok untuk bayinya. Hal yang unik dalam masalah administrasi syarat pernikahan mereka. Pada umumnya, remaja yang menikah pada usia kurang dari 17 tahun dan belum memiliki KTP mereka menggunakan kartu pelajar sebagai syarat administrasi. Menurut A, rata-rata mereka yang menikah usia muda menggunakan kartu pelajar sebagai persyaratan, seperti yang dialami oleh adik iparnya menikah pada usia hampir 16 tahun. Dan setelah menikah adiknya tersebut dibawa suaminya pindah ke Langsa. Harapan A dengan menikah pada usia muda dapat merubah hidup yang lebih layak dibandingkan orangtuanya yang miskin. Tetapi hal tersebut seperti hanya sebuah mimpi karena nasib mereka ternyata sama dengan kedua orangtuanya. Kehidupan mereka sangat miskin sehingga mereka cepat-cepat menikah. Ingin meminta pertolongan pada saudara dan tetangga tetapi nasib mereka juga sama saja dengan yang mereka alami. Saat tidak memiliki uang, mereka biasanya berhutang di kedai tempat mereka biasa berbelanja keperluan sehari-hari, setelah suaminya pulang dan mendapatkan hasil tangkapan ikan yang banyak barulah mereka membayar utang Universitas Sumatera Utara tersebut, dan jika hasil tangkapannya sedikit maka itu berarti hutang mereka akan semakin menumpuk. Ketika peneliti menanyakan dampak kehamilan pada usia muda, A mengatakan tidak ada dampak yang berarti, karena di sini banyak yang hamil di usia seperti dirinya tetapi tidak banyak yang mengalami masalah. Saat peneliti menjelaskan bahwa dengan kehamilan usia muda tidak saja berpengaruh pada ibunya tetapi juga pada bayinya, A hanya terdiam, menunjukkan ketidaktahuan dan ketidakpahaman terhadap masalah tersebut.

4.3.2 Kasus Ma