Tema I : Kebiasaan Masyarakat Setempat

BAB 5 PEMBAHASAN Peneliti telah mengidentifikasi 9 tema yang merupakan interpretasi dari hasil penelitian yang terdiri dari 6 tema penyebab pernikahan dini tidak sekolah, takut berbuat dosa zinah, sudah jodoh cinta, sudah merupakan kebiasaan masyarakat setempat, terjadi kehamilan di luar nikah, dan kurang pengetahuan kesehatan reproduksi, dan 3 tema dampak pernikahan dini mudah cemburu dan curiga, ketidakstabilan ekonomi keluarga, dan terjadinya perceraian.

5.1 Penyebab Pernikahan Usia Dini

5.1.1 Tema I : Kebiasaan Masyarakat Setempat

Suatu kondisi sosial budaya masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap sebuah tradisi kebudayaan di dalam wilayah tersebut, yaitu apakah budaya tersebut akan tetap dijalankan, ataukah sudah mulai ditinggalkan karena masuknya budaya- budaya lain yang mempengaruhi tatanan kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat. Walaupun proses sebuah penerimaan budaya luar tidak selalu dilewati dengan jalan mudah dan langsung dapat diterima oleh masyarakat setempat, akan tetapi bila perubahan dapat menerima kedudukan tradisi dan budaya luar, maka dengan sendirinya budaya luar itu akan menjadi sebuah tradisi yang akan diikuti dan dijalankan oleh masyarakat setempat. Begitu juga sebaliknya, sebuah budaya yang sudah ada sejak nenek moyang mereka terdahulu, akan sangat sulit untuk ditinggalkan atau diganti dengan budaya Universitas Sumatera Utara lain. Kalaupun bisa, proses perubahannya pun akan terasa sulit dan memakan waktu yang sangat lama, karena harus melewati banyak tantangan untuk merubahnya dengan kebudayaan-kebudayaan yang baru. Terkadang suatu masyarakat untuk mempertahankan dan memperjuangkan suatu kebudayaan yang telah ada sejak leluhur mereka terdahulu, harus mengorbankan harta dan benda, agar budaya tersebut tetap lestari ataupun tetap ada hingga akhir hayat mereka. Jika saja semua orang terutama orang tua benar-benar menyadari dan belajar dari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan akibat pernikahan di usia dini tentu saja tidak ada orang tua yang ingin merelakan anak-anaknya terutama anak perempuannya akan menjadi korban berikutnya. Rata-rata usia kawin pertama yang rendah dari penduduk suatu daerah mencerminkan keadaan sosial ekonomi yang rendah dari daerah tersebut. Perempuan dan laki-laki tidak banyak mempunyai alternatif kegiatan lain sehingga menikah muda dan meninggalkan bangku sekolah. Remaja dimungkinkan untuk menikah pada usia di bawah 20 tahun sesuai dengan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bahwa usia minimal menikah bagi perempuan adalah 16 tahun dan bagi laki- laki 18 tahun. Pernikahan dini lebih banyak terjadi di kalangan perempuan, dan biasanya terjadi pada masyarakat pedesaan dan masyarakat pinggiran perkotaan yang minim pendidikannya. Sebab dalam lingkungan masyarakat seperti itu biasanya memiliki asumsi bahwa perempuan yang telah menginjak usia balig atau telah memasuki usia Universitas Sumatera Utara remaja sebaiknya lekas-lekas dinikahkan. Sebab jika tidak, akan mendapat cemoohan dan julukan sebagai perawan tua atau perawan yang tidak laku. Pengaruh sosial budaya dalam hal ini adat istiadat terhadap pernikahan usia dini adalah disebabkan karena adanya pandangan masyarakat bahwa anak gadis yang telah dewasa tetapi belum berkeluarga akan dipandang aib bagi keluarga. Sehingga orang tua menikahkan anak gadisnya secepat mungkin yang mendorong perkawinan usia muda Landung, 2009. Terjadinya pernikahan dini tidak terlepas dari tradisi dan pandangan masyarakat terhadap pernikahan dan keluarga. Tradisi pernikahan termasuk juga usia yang diharapkan untuk menikah dan bagaimana pemilihan istri tergantung pada pandangan masyarakat terhadap sebuah keluarga yaitu mengenai peran, struktur, pola hidup dan tanggung jawab individu terhadap keluarganya. Alasan penyebab terjadinya pernikahan dini juga tergantung pada kondisi dan kehidupan sosial masyarakatnya. Terdapat dua alasan utama terjadinya pernikahan dini, pertama, pernikahan dini sebagai strategi untuk bertahan secara ekonomi. Kemiskinan adalah salah satu faktor utama yang menjadi tiang fondasi munculnya pernikahan dini. Pernikahan dini meningkat ketika tingkat kemiskinan juga meningkat. Penyebab kedua adalah untuk melindungi anak gadisnya. Pernikahan adalah salah satu cara untuk memastikan anak perempuan mereka terlindungi sebagai istri, melahirkan anak yang sah di mata hukum dan akan lebih aman jika memiliki suami yang dapat menjaga mereka secara teratur UNICEF, 2005. Universitas Sumatera Utara Pola perkawinan masyarakat Indonesia sangat beragam, sesuai dengan budaya dan norma yang berlaku di masyarakat. Faktor budaya erat kaitannya dengan kebiasaan setempat. Di Indonesia, masing-masing daerah memiliki adat kebiasaan, antara lain: pada masyarakat Jawa, mereka lekas-lekas menikahkan anak gadisnya dengan alasan malu kalau anaknya dianggap perawan tua Budioro, 2010. Suku Aceh atau masyarakat di Kota Lhokseumawe menganut sistem patriarkhi yang sudah menjadi fenomena sosial dimana pengambilan keputusan berada di tangan laki-laki. Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi tersebut hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan. Perempuan dianggap lemah, tidak memiliki hak dan kesempatan untuk membuat pilihan atas hidupnya sendiri. Pada penelitian ini, subjek merasa tidak ada yang salah dengan pilihannya untuk menikah muda. Hal ini dikarenakan kebiasaan masyarakat setempat yang menganggap wajar remaja putri menikah pada usia muda 15-18 tahun. Jika wanita menikah di atas usia tersebut, maka warga menyebutkan sebagai perawan tua atau perempuan yang tidak laku. Kebiasaan masyarakat menikahkan anaknya pada usia muda tersebut karena berbagai faktor seperti memiliki anak yang banyak, sehingga dengan cepat menikahnya anak maka akan mengurangi beban ekonomi keluarga, karena sudah menjadi tanggungan pihak laki-laki. Walaupun pada kenyataannya, banyak juga keluarga muda tersebut malah menjadi beban keluarga karena laki-laki Universitas Sumatera Utara yang menikahinya tidak memiliki pekerjaan yang tepat, atau memiliki pekerjaan tetapi dengan penghasilan yang kecil.

5.1.2 Tema II : Tidak Sekolah