HTI di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

berbagai aksi tersebut hanya sebatas strategi untuk meujudkan kepentingan kelompoknya. Pemaparan di atas, mengindikasikan bahwa HTI UIN Jakarta tidak pernah surut melakkan aktivitas gerakannya. Sejak menit pertama diperkenalkannya di UIN, hingga saat ini HTI tetap konsisten untuk menyebarkan pengaruh dan konsisten terhadap pencaharian anggota-anggota baru. Misi besar HTI di UIN Jakarta adalah menjadikan mahasiswa UIN Jakarta sebagai mahasiswa muslim yang taat dan terhadap agama Islam dan ikut terlibat dalam perjuangan berdirinya negara islam dibawah naungan khilafah Islamiyah.

B. HTI Sebagai Organisasi yang Berideologi Islam

Dalam menjelaskan perihal gerakan sosial, salah satu aspek penting yang layak diperhatikan adalah mekanisme internalnya yang memungkinkan sebuah gerakan bisa tumbuh dan lebih terorganisir. Pada awal perkembanganya, peran pemimpin dalam menciptakan mekanisme itu sangat penting. Dalam kasus gerakan sosial HT Hizbut Tahrir, peran Taqiyuddin An-Nabhani sangat dominan dalam memberikan landasan ideologi. Perjalanan HTmemang tidak lepas dari konteks sosial politik yang kompleks dalam dunia Islam, sehingga Islam dalam kondisi terpuruk. Berbagaikritik yang disampaikan tokoh HT An-Nabhani terhadap realitas sosial tidak hanya tertuju pada faktor eksternal saja, melainkan beliau mengkritik masalah yang ditimbulakan oleh internal Islam sendiri. Kritik An-Nabhani terhadap internal Islam mengarah pada beberapa faktor diantaranya adalah Pertama, An-Nabhani melihat bahwa para kaum muslimin yang memperjuangkan Islam mereka tidak memiliki pemehaman yang mendalam terhadap paradigma fikrah al-Islamiyah pemikiran Islam, dan nalar berfikir mereka justru dipengaruhi oleh pemikiran di luar Islam. Salah satu prodak pemikiran asing yang banyak dikritik An-Nabhani adalan filsafat asing baik itu dari India, Persia, maupun Yunani. Menurut An-Nabhani, banyak kaum muslimin yang telah dipengaruhi oleh filsafat di atas, sehingga mereka melupakan ilmu-ilmu dari Islam. Ironisnya, umat Islam sudah berani melakukan interpretasi terhadap teks yang menjauhkan arti dan hakikat Islam yang sebenarnya dan mereka justru lemah dalam pengetahuan Islam. Kedua adalah lemahnya al-tariqah al-Islamiyah metode Islam. Dalam aspek ini umat Islam di nilai tidak memiliki gambaran yang jelas mengenai tariqah al- Islamiyah. Dalam hal ini An-Nabhani menyebutkan : Akan halnya denganal-tariqah al-Islamiyah, sesungguhnya umat Islam secara berangsur-angsur telah kehilangan gambaran yang jelas mengenai al-tariqah al- Islamiyah. Dahulu, kaum muslimin mengetahui bahwa keberadaannya dalam hidup ini hanya untuk Islam semata; menjalankan hukum-hukum Islam di dalam negeri serta menyebarkan dakwah Islam di luar negeri. Namun demikian fakta menunjukan bahwa umat Islam mulai berpandangan bahwa tugas seorang muslim di dunia ini, pertama-tama adalah mencari kesenangan di dunia terlebih dahulu, baru setelah itu sebagai tugas yang kedua menyampaikan nasehat dan petunjuk, itu pun jika keadaan mendukung. Sementara negara sudah tidak lagi mempedulikan kesalehan dan kelalaiannya dalam melaksanakan hukum-hukum Islam. Kaum muslimin sendiri, setelah kehilangan negaranya, mulai beranggapan bahwa kebangkitasn Islam dapat diraih kembali dengan cara membangun masjid-masjid, menerbitkan buku-buku, tulisan atau karangan lain, serta memperbaiki akhlak- sementara mereka padasaat yang sama tetap berdiam diri terhadap kepemimpinan kufur yang menguasai mereka dan menjajah mereka. 26 Faktor berikutnya adalah tidak adanya jalinan yang kokoh antara fikrah dan tariqah. Menurut An-Nabhani, kaum muslim yang memperjuangkan Islam hanya memperhatikan hukum-hukum syari‟at yang berkaitan dnegan pemecahan persoalan kehidupan yang menyangkut aspek-aspek fikrah saja. Sedangkan, syari‟at yang menjelaskan cara praktis pemecahan masalah, justru diabaikan seperti hukum yang berkaitan dengan jihad, ghanimah, hukum yang menyangkut khilafah, qada pengadilan , kharaj dan sebaginya. 27 Selain persoalan fikrah dan tariqah, An-Nabhani juga mengkritik metode penafsiran yang umumnya digunakan oleh umat Islam dalam memahami teks sumber pengetahuan. Dalam tradisi interpretasi modern yang umumnya digunakan oleh kelompok- kelompok Islam liberal bahwa syari‟at difahami dan disesuaikan ke dalam konteks ruang dan waktu. Artinya memahami teks-teks keagamaan seseorang harus mempertimbangkan dengan keadaan dan waktu yang sedang terjadi pada saat itu. Bagi An-Nabhani justru sebaliknya seharusnya masyarakatlah yang diubah agar sesuai dengan syari‟at Islam, bukan sebaliknya. 28 26 Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al- TahrirI ndonesia, h. 97-98. 27 Ibid., h. 95-119. 28 Ibid., h. 95-119. Masalah selanjutnyaadalah faktor internal yang telah merasuki dunia Islam. Pengaruh-pengaruh Barat dianggap telah memporak-porandakan tatanan sosial dunia Islam. Imperialisme budaya telah merubah tradisi-tadisi yang diwariskan Islam pada masyarakat muslim di dunia. Kemudian secara politik dunia Islam banyak di serang oleh gagsan-gagsan Barat yang justru melahirkan petaka seperti ide tentang demokrasi, kapitalisme, liberalisme, komunisme dan lain sebagainya. Realitas seperti ini mengundang perhatian An-Nabhani untuk mengembalikan tatanan yang telah rapuh. Bagi An-Nabhani, umat Islam perlu diajak kembali untuk memahami pesan-pesan Islam yang otentik sesuai dengan nas quran dan sunah. Dalam upaya mewujudkan cita-cita tersebut, maka diperlukan sebuah wadah gerakan partai politik yang berideologi Islam. Suatu kelompok yang benar, tegas An-Nabhani adalah sebuah kelompok yang berdiri sebagai sebuah partai yang berideologi Islam. Ideologi Islam difahami juga sebagai fikrah Islam dan sebagai ruh dan jati diri partai. 29 Untuk mengkontruksi suatu ideologi sebagai basis perjuangan partai aktivis HT atau HTI menganggap Islam sebagai sumber legitimasi. Baik HT atau di Indonesia dikenaldengan HTI memiliki suatu keyakinan terhadap cakupan agama Islam yang universal. Islam oleh HTI tidak hanya difahami sebagai sebuah agama yang mengerusi masalah spiritual saja, akan tetapi juga mengurusi masalah sosial secara menyeluruh. Maka kesimpulan yang bisa diatarik adalah menjadikan Islam 29 Ibid.,h. 103. tidak hanya sebagai agama semata, namun mereka menganggap Islam sebagai mabda ideologi. 30

2. Visi dan Misi HTI di Kampus UIN Jakarta

Kehadiran HTI sebagai sebuah gerakan sosial tentunya memiliki visi dan misi agar roda perjalanan organisasi bisa berjalan tersetruktur dan objektif. HTI memiliki orientasi politik dan orientasi sosial yang mengarah pada terciptanya sebuah tatanan yang Islami di bawah syariat dan struktur politik khilafah. Di UIN Jakarta para aktivis HTI terlibat dalam aktivitas dakwah Islam di kampus. Meskipun HTI merupakan organisasi yang terstruktur formal artinya barbagi aktivitas HTI dimanapun mereka berada harus atas dasar rekomendasi dari Dewan Pimpinan Pusat HTI, akan tetapi masing-masing pengurus cabang diberikan kelonggaran dalam membuat kerangka visi dan misi organisasi yang disesuaikan dengan konteks lingkungan yang ada. Dalam hal ini, yang terpenting substansi dan orientasi yang terangkum dalam visi dan misi tersebut tidak keluar dari perjuangan untuk penegakan syari‟at Islam dan mewujudkan struktur khilafah Islamiyah. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa UIN adalah institusi pendidikan yang berfungsi menyelenggarakan pendidikan yang bermutu tinggi. Misi UIN Syarif Hidayatullah adalah menjadi universitas kelas dunia dengan keunggulan integrasi keilmuan, keislaman, dan keindonesiaan. Adapun HTI yang berada di lingkungan 30 Ibid.,h. 103-110 UIN Jakarta juga memiliki misi organisasi yang jelas yang disinergikan dengan konteks lingkungan kampus yang ada yaitu Pertama, HTI mencita-citakan terwujudnya kehidupan Islam yaitu kehidupan yang diatur dan ditata berdasarkan syari‟at Islam dalam segala aspek kehidupan. Kedua, Mengembangkan dakwah Islam baik dikampus maupun di luar kampus. Ketiga, Memberikan landasan moral terhadap pengembangan IPTEK dan melakukan pencerahan dalam pembinaan IMTQ sehingga IPTEK dan IMTQ dapat sejalan. 31 Dengan mempertimbangkan visi dan misi di atas, diharapkan kader HTI memiliki beberapa standar aqliyah yang mencakup tsiqoh pada ideologi, berani dan tegas, serius dan tanggungjawab, sabar dan teguh, tidak berhenti untuk belajar, bisa bekerjasama. Selanjutnya “gerak” dalam pergerakannya aktivis HTI harus konsisten, semangat juang tanpa henti, tekun, mampuh mempengaruhi dan meyakinkan dan menggerakan sekala individu, keluarga, masyarakat dan bangsa. 32

C. Hizbut Tahrir Sebagai Eksemplar Fundamentalisme Islam

Istilah fundamentalisme merupakan istilah klasik yang berkonotasi pada gerakan keagamaan kristen abad ke 20-an di Barat. Setelah beberapa lama dari peristiwa Revolisi Iran 1979, istilah fundamentalisme tidak begitu ramai dibicarakan. Akan tetapi sejak peristiwa terorisme pada 11 September 2001 yang menghancurkan menara kembar World Trade Centre WTC New York Amerika Serikat, dan dilanjutkan dengan peristiwa yang sama pada 12 Oktober 2002 di Bali, 31 Yuliawati, “Peran Dakwah HTI di Lingkungan Kampus UIN Jakarta 2009”, h. 20-30. 32 Ibid.,h. 20-30.