Teori Fundamentalisme Gerakan Fundamentalis Di Perguruan Tinggi islam (Studi: Pola Gerakan Dan Strategi Kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

oleh Arifin di atas, maka terdapat karakter yang sama antara HTI dengan gerakan fundamentalis yaitu adanya faham kembali kepada tradisi religius, artinya kedua gerakan ini memandang bahwa setiap perkara yang terjadi di dunia ini baik itu soal agama, sosial, ekonomi, budaya maupun politik agama diyakini sebagai solusi untuk mengatasi masalah. Meskipun wacana gerkan fundamentalisme Islam sendiri masih mengundang kontroversi dikalangan para sarjana gerakan sosial. Kesulitan para sarjana untuk menghubungkan wacana gerakan fundamentalis dengan gerakan Islam terletak pada beberapa faktor diantaranya adalah dimensi historis, ruang dan waktu istilah itu dikembangkan. Secara historis kedua istilah tersebut sangat jelas perbedaannya. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa gerakan fundamentalisme lahir dari tradisi Kristen yang merujuk pada gerakan keagamaan dalam sekte Kristen Protestan Amerika yang muncul sekitar abad ke 19 dan permulaan abad ke 20. 10 Selanjutnya sebagai istilah, fundamentalisme diadopsi dari buku yang berjudul The Fundamentals: A Testimony to The Truth, sebuah kumpulan yang berasal dari para teolog konservarif. 11 Dalam tradisi kristen sendiri kemunculan gerakan fundamentalisme merupakan bentuk reaksi terhadap banyak hal, seperti berkembangnya kajian kritik terhadap injil, populernya teori Darwin, perseteruan antara sains versus teologi. Kaum 10 Armstrong, Berperang Demi Tuhan, h. 10. 11 Ibid., h. 267-268. fundamentalis memiliki doktrin yang disebut five point of fundamentalism. Lima doktrin itu adalah; 1 Injil tidak pernah salah, kata perkata. 2 Ketuhanan Yesus Kristus. 3 Kelahiran Yesus dari Perawan Maria. 4 Penebusan doas. 5 Kebangkitan Yesus ke dunia secara fisik. 12 Kelima doktrin ini merupakan hasil interpretasi para teolog konservatif terhadap Injil. Interpretasi ini bersifat tekstual sekaligus menolak kontekstualitas kalangan liberal dan memiliki pengertian yang mutlak, jelas tidak berubah. Jams Barr, mengatakan setigma sosial yang kerap dialamatkan pada kelompok ini adalah fanatik, militan, berfikiran sempit, dan pada kepada mereka yang berbeda keyakinan di luar jalur kelompok sejati dalam kasus tertentu menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuannya. 13 Berdasarkan pengamatannya terhadap fundamentalisme agama, terutama kristen di Amerika, Peter Huff mencatat terdapat enam karakteristik penting gerakan fundamentalisme. Secara sosiologis, gerakan fundamentalisme sering dikaitkan dengan nilai-nilai yang telah ketinggalan zaman atau tidak relevan lagi dengan perubahan dan perkembangan zaman; secara kultural, fundamentalisme menunjukan kecenderungan kepada suatu yang vulgar dan tidak tertarik pada hal-hal yang bersifat intelektual; secara psikologis, gerakan fundamentalisme ditandai dengan 12 F.L Cross ed The Oxford Dictionary of the Christian Church Oxford University Press, 1997, h. 926, seperti dikutip dari Rifyal Ka’bah, Modernisme dan Fundamentalisme ditinjau dari konteks Islam Ulmul Qur’an, No. 3 vol IV, 1993, h. 26. 13 Ulfiyah, Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Tsawirul Afkar Edisi 13 Tahun 2002, h. 37. otoriterianisme, arogansi, dan lebih condong kepada teori konspirasi. Secara intelektual, gerakan fundamentalisme dicirikan oleh tiadanya kesadaran sejarah dan ketidak-mampuan terlibat dalam pemikiran kritis; dan secara teologis, fundamentalisme diidentikan dengan literalisme, primitivisme, legalisme dan tribalisme; sedangkan secara politik, fundamentalisme dikatakan dengan populisme reaksioner. 14 Dengan demikian secara etimologis dan istilah, gerakan fundamentalisme tidak akan ditemukan dalam tradisi Islam. Grrakan fundamentalisme dalam tradisi Islam hanya padanan kata. Penerapan fundamentalisme dalam tradisi Islam pada akhirnya lebih banyak ditolak daripada diterima. 15 Dalam hal ini, John L. Esposito mengatakan dalam beberapa hal kata itu baca Fundamentalisme Islam menceritakan tentang segalanya, akan tetapi pada saat yang sama tidak mengungkapkan apa-apa. 16 Martin Van Bruessen mengatakan hal serupa bahwa penerapan terminologi fundamentalisme dalam konteks Islam menimbulkan beberapa asosiasi, 14 Huff, “The Challenge of Fundamentalism for Interreligiuos Dialogue”, Cross Curent SpringSummer,200,10 http:www.findarticles.comcf_0m20962000_SpringSammer63300895print .jhtml . Diakses pada 09 Desember 2012, pukul 19.30 wib. 15 Adanya penolakan terhadap istilah fundamentlaisme disejajarkan dengan istilah Islam disebabkan oleh beberapa hal yaitu Pertama, geneologi istilah fundemantalisme berasala dari pengalaman kasus Kristen.Kedua, memiliki implikasi yang jauh lebih buruk jika diterapkan dalam Islam, seperti kebodohan, keterbelakangan.Ketiga, karena luasnya kajian yang direpresentasikan oleh istilah fundamentalisme Islam, maka beragam paradigma dan perspektif yang digunakan oleh para sarjana sebagai metode dalam mengkajinya. Maka wajar apabila melahirkan beragam kesimpulan Lihat Ufi Ulfiyah dalam “Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Taswirul Afkar Edisi ke- 13 Tahun 2012 ”, h. 38 16 John L. Esposito, Ancaman Islam Mitos dan Realitas, trj. Alawiyah Abdurahman Bandung: Mizan, 1996, h. 17. bagaimanapun kita berusaha mendeskripsikannya akan tampak sebagai sesuatu yang sulit dipahami. 17 Khursid Ahmad menolak dengan alasan istilah fundamentalisme adalah khas Kristen Barat, jika tetap digunakan berarti terjadi pemerkosaan yang besar-besaran terhadap sejarah. 18 Sedangkan Chandra Muzaffar dengan lantang mengatakan gerakan fundamentalisme Islam adalah suatu bukti khas Barat dan menunjukan adanya vested interest dalam penggunaannya baik oleh media maupun akademisi. 19 Dari sekian banyak para sarjana yang tidak setuju terhadap istilah fundamentalisme dihubungkan dengan gerakan Islam, namun ada beberapa sarjana yang justru setuju atau paling tidak menemukan persamaan-persamaan dari kedua istilah tersebut dihubungkan. Ibrahim Abu Bakar dari Universitas Kebangsaan Malaysia UKM menemukan beberapa persamaan dari kedua istilah tersebut. Dalam interpretasinya Abu Bakar mengelompokan persamaan gerakan fundamentalisme dan gerakan Islam yaitu dalam hal interpretasi terhadap teks, sikap ingklusif, cenderung menolak gagasan-gagasan Barat dan lain-lain. 20 17 Imron Rosidy ed, Agama dalam Pergulatan Dunia Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998 , h. 63. 18 Khursid Ahmad, Sifat Kebangkitan Islam, John L. Esposito ed, Dinamika Kebangkitan Islam, trj. Hasan Jakarta: Rajawali Press, 1985, h. 283. 19 Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia dalam Tata Dunia Baru: Menggugat Dominasi Global, trj. Purwanto Bandung: Mizan, 1995, h. 236. 20 Beberapa persamaan yang ditemukan oleh Ibrahim Abu Bakar adalah:Pertama, fundamentalisme memberikan interpretasi literal terhadap kitab suci agama. Kedua, fundamentalisme dapat dihubungkan dengan fanatisme, ekslusifisme, intoleran, rdikalisme, dan militanisme. Ketiga, fundamentalisme memberikan penekanan pada pembersihan agama dari isme-isme modern seperti modernisme, liberalisme, humanisme. Keempat, kaum fundamentalisme mendakwahkan diri mereka

B. Teori Gerakan Sosial

Ditinjau dari perspektif sejarah, fenomena gerakan sosial sebetulnya bukanlah masalah baru di seantero bumi ini. Sebagai tipe klasiknya dalam mengkaji gerakan sosial dapat dilihat pada gerakan buruh pada masyarakat Eropa di abad ke 19 dan awal abad ke 20-an. 21 Ketimpangan sosial dan ketidakadilan struktural yang dilahirkan oleh revolusi industri sehingga memicu gerakan buruh di Eropa. Dalam melihat gerakan sosial para sarjana memiliki pendekatan yang berbeda-beda sehingga hal ini melahirkan perspektif yang berbeda-beda ketika memaknainya. Seperti halnya Micheal Useem, dia mendefinisikan gerakan sosial sebagai tindakan kolektifitas terorganisasi yang dimaksudkan mengadakan perubahan terhadap kondisi sosial dan politik. Kemudian John McCarthy dan Mayer Zald sedikitmelangkah lebih rinci dalam memahami gerakan sosial. Kedua sarjana itu memahami gerakan sosial sebagai upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam distribusi apapun yang bernilai secara sosial. Lain halnya dengan Charles Tilly yang menambahkan sisi perseteruan dalam interksi gerakan sosial. Tilly sebagai penafsir agama yang benar dan diluar dari mereka salah. Dikutip oleh Hadimulyo, “Fundamentalisme Islam: Istilah yang Dapat Menyesatkan”, Ulumul Qur‟an, No. 3 Vol. IV, 1993, h. 5. 20 21 Bara Ilyasa, “Profil Partai Fundamentalis Islam: Studi Tentang Mobilisasi Politik Partai Keadilan Sejahtera 1999- 2009”, Skripsi SI Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012, h. 32 mendefinisikan gerakan sosial sebagai upaya perseteruan dan dan berkelanjutan di antara warga negara. 22 Beberapa sarjana di atas, memberikan ciri-ciri dan penekanan tertentu perihal pendefinisian gerakan sosial. Berbeda dengan David Meyer dan Sidney Tarrow, dalam karyanya Social Movenent Society 1998. Kedua sarjana ini berusaha memasukan semua ciri yang sudah disebutkan di atas dan mengajukan sebuah definisi yang lebih inklusif tentang gerakan sosial, yakni: Tantangan-tantangan bersama yang didasarkan atas tujaun dan solideritas bersama dalam interaksi yang berkelanjutan dengan kelompok elit, saingan, atau musuh, bahkan pemegang otoritas. 23 Goerge Simel dalam memetakan gerakan sosial ia lebih menekankan pada jumlah anggota sebagai pendukung gerakan sosial. 24 Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas oleh para sarjana maka HTI bagian daripada gerakan sosial, kerana HTI sebagai sebuah kelompok masyarakat 22 Astrid S. Susanto, Masyarakat Indonesia Memasuki Abad Ke Dua Puluh Satu, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998, h. 21 23 Quintan Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial,Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2007, h. 1-4. 24 Berangkat dari definisi di atas, paling tidak terdapat dua fitur yang menonjol ketika menteoritisikan gerakan sosial. Pertama, gerakan-gerakan sosial melibatkan tantangan kolektif, yakni upaya-upaya terorganisasi untuk mengadakan prubahan didalam aransemen-aransemen kelembagaan. Tantangan-tantangan ini bisa berpusat pada kebijakan-kebijakan publik dan ditunjukan untuk mewakili perubahan yang lebih luas dalam struktur lembaga-lembaga sosial politik, distribusi jaminan sosial atau bisa juaga menyangkut konseptualisasi menganai tanggungjawab sosial dan politik.Kedua, adalah corak politis yang inheren di dalam gerakan-gerakan sosial, terutama terkait dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai lewat gerakan sosial yang secara tipikal mencakup perubahan di dalam distribusi kekuasaan dan wewenang. Tujuan politis ini hanya mungkin dicapai lewat interaksi-interaksi terus- menerus, berkelanjutan, dengan aktor-aktor politik di luar gerakan, yang terpenting diantaranya adalah sekutu-sekutu dan pesaing-pesaing politik dan pemegang otoritas kekuasaan. Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al-Tahrir Indonesia, h. 68. Lihat juga Bara Ilyasa dalam “Profil Partai Fundamentalis Islam, h. 34-35 yang terorganisir dan memiliki orientasi untuk merubah sebuah tatanan sosial dan politik yaitu dengan menegakan Islam sebagai rujukan tunggal dalam membangun struktur sosial dan politik di bawah struktur kilafah Islamiyah. Kemudian, dari sisi keanggotaan yang ditekankan oleh Simel, nampak jelas HTI memiliki jumlah anggota yang cukup mempuni untuk diidentifikasi sebagai gerakan sosial. Dari berbagai perbedaan dalam memahami gerakan sosial tersebut, penelitian ini akan meletakan tiga faktor dalam memetakan secara teoritis persoalan gerakan sosial yaitu kesempatan politik political opportunities, mobilisasi sumber daya resource mobilization, dan proses pembingkaian friming processes. Ketiga trend teoritis inilah yang akan digunakan penulis untuk menganalisis HTI di kampus UIN Jakarta.

1. Struktur Kesempatan Politik Political Opportunity Structure

Gerakan sosial tidak beroprasi dalam ruang hampa, namun mereka adalah bagian dari suatu lingkungan dan konteks sosial yang lebih luas yang dicirikan oleh bagian konfigurasi keleluasaan dan hambatan yang berubah dan cair yang menstrukturkan dinamika gerakan. Terlepas dari tingkat ketidakpuasaan, ketersediaan sumber daya atau kelajiman struktur mobilisasi. Para aktor kolektif dibatasi maupun diberdayakan oleh faktor-faktor eksogen yang seringkali membatasi kemungkinan gerakan dan daftar taktik, tindakan dan pilihan. Di kalangan para pemikir gerakan sosial, tidak ditemukan kesepakatan secara khusus terkait faktor-faktor eksogen. Namun, para sarjana banyak memfokuskan pada ketidaktersediaan ruang politik dan lokasi kelembagaan dan substansinya. Teori kesempatan politik berasumsi bahwa para aktor, begitu mereka menyadari terdapatnya kesempatan dan ancaman maka mereka akan memberikan tanggapan secara rasional untuk memaksimalkan berbagai keterbukaan atau mengetasi kesulitan. Di Indonesia adanya perubahan sosial-politik pasca kepemimpinan Soeharto, maka membuka kesempatan untuk lahirnya gerakan-gerakan sosial. Sistem politik yang demokratis membuka ruang kebebasan pada masyarakat untuk berekpresi, berkumpul dan berorganisasi. Selain kebebasan secara general berbagai aturan-aturan yang dianggap membonsai pergerakan mahasiswa juga di amademen sebagai contoh adalah amademen aturan kampus NKKBKK Normalisasi Kehidupan Kampus Badan Koordinasi Kampus. 25 Terbukanya celah kesempatan politik tentunya banyak dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan sosial keagamaan untuk masuk pada institusi pendidikan khususnya di lingkungan kampus. Seperti halnya HTI di kampus UIN Jakarta, kehadiran mereka dipicu oleh adanya kesempatan untuk berekpresi dan berorganisasi. Selain adanya kesempatan yang bersifat struktural, situasi sosial di lingkungan kampus juga turut mendukung perkembangan HTI di kampus. Kebijakan kampus yang mengakomodir 25 Ali Said Damanik, Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002, h. 59 setiap kegiatan mahasiswa seperti seminar, melakukan demontrasi, dan event-event lainnya, tidak jarang dimanfaatkan sebagai ajang untuk memperluas pengaruh HTI pada mahasiswa UIN Jakarta. Fenomena menguatnya kelompok-kelompok yang berhaluan fundamentalis seperti HTI di kampus UIN Jakarta ini seraya membenarkan tesis Pipa Noris dan Ronald Inglehart dalam Secred and Secular: Religion and Politics Worldwide, yang menjelaskan kuatnya kehidupan beragama di Amerika Serikat, atau dengan munculnya kelas menengah muda protestan Yuppies, Young Urban Profesional dalam tulisan Harvey Cocks berjudul The Return of Religion to The Secular City. 26 Tesis ini sekaligus memberikan bantahan terhadap tesis sekulerisasi yang meniscayakan semakin modern, maka akan semakin sekuler. Adanya integrasi keilmuan di UIN Jakarta yang dikembangkan sejak dekade 70-an terwujud dalam program kerjasama UIN dengan McGill University. 27 Dalam perkembangannya yang lebih maju gagasan integrasi keilmuan yang diproyeksikan UIN Jakarta melahirkan corak baru bagi sistem pendidikan di UIN Jakarta. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa UIN pada fase IAIN lebih banyak mengembangkan gagasan-gagasan tradisional ala-pesantren, kini berubah menjadi kampus yang mengusung modernisasi dalam berbagai sektor. Meskipun modernisasi 26 Anas Shafwan Khalid, “IAIN Sebagai Pembaharuan olehdari bagi Pesantern”, Komunita Saung, 6 Maret 2012, h. 5-11 27 Fuad Jabali, Jamhari Peny, IAIN dan Moderenisasi Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002, h. 20-27.