Hizbut Tahrir Sebagai Eksemplar Fundamentalisme Islam

memudahkan kedua istilah tersebut di sejajarkan. Berangkat dari sebuah teori yang dikemukakan oleh Euben dan Basam Tibi yaitu fundamentalisme merupakan kelompok dan gerakan religio-politik yang berusaha mengubah sistem sekuler dengan sistem politik yang didasarkan pada agama. 42 Selain Euben dan Tibi, kriteria fundamentalisme yang dikonseptualisasikan oleh Ibrahim Abu Bakar, yaitu fundamentalisme memberikan penekanan pada pembersihan agama dari isme-isme modern seperti modernisme, liberalisme, humanisme, demokrasi dan lain-lain. 43 Merujuk pada para sarjana di atas, nampaknya terdapat bebrapa persamaan karakter yang dimiliki HTI dengan gerakan fundamentalisme. Sebagaimana telah umum diketahui bahwa HTI sejak awal mendeklarasikan dirinya sebagai partai politik. Dalam gerakan politiknya HTI dimanapun mereka berada maka akan memperjuangkan terbentuknya tatanan sosial yang Islami dibawah struktur politik khilafah Islamiyah. 44 Jadi dimensi religio-politik yang melekat pada HTI relatif dekat dengan teoritisasi gerakan fundamentalisme Islam. Selain dimensi politik, sikap HTI yang menolak berbagai ideologi Barat juga turut mempertegas asumsi bahwa HTI memiliki kemiripan dengan gerakan fundamentalis. Berbagai ideologi-ideologi modern seperti kapitalisme, komunisme, liberalisme, pluralisme, demokrasi dan sebagainya di tolak HTI. Di dalam pandangan 42 Ibid., h. 320. 43 Ulfiyah, Fundamentalisme Islam: Analisis Wacana Jurnal Tsawirul Afkar Edisi 13 Tahun 2002, h. 40. 44 Arifin, Ideologi dan Praksis Gerakan Sosial Kaum Fundamentalis: Pengalaman Hizb al- Tahrir Indonesia, h. 93-120. HTI, varian ideologi di atas adalah prodak Barat yang tidak memiliki sumber pada qur‟an dan sunah. Oleh kerena itu, setiap kaum muslimin wajib menolak dan menghindari ideologi tersebut. Sebagimana pandangan Zallum terhadap ide demokrasi di bawah ini: Pertama, demokrasi merupakan bagian dari produk akal manusia, bukan berasal dari allah swt. Demokrasi tidak disandarkan sama sekali pada wahyu allah dan tidak memiliki hubungan sama sekali dengan agama manapun yang pernah diturunkan allah kepada para Rasul-nya. Kedua, demokrasi lahir dari aqidah pemisahan agama dari kehidupan yang selanjutnya melahirkan pemisahan agama dan negara. Ketiga, demokrasi dilandaskan pada dua ide; 1 kedaulatan ditangan rakyat. 2 rakyat merupakan sumber kekuasaan. Keempat, demokrasiadalahsistempemerintahanmayoritas.Pemilihanpenguasadananggotadewan perwakilandiselenggarakanberdasarkansuaramayoritasparapemilih.Semuakeputusand alamlembaga-lembagatersebutjugadiambilberdasarkanpendapatmayoritas.Kelima, demokrasimenyatakanadanyaempatmacamkebebasan yang bersifatumum, yaitu: 1 kebebasanberagama. 2 kebebasanberpendapat. 3 kebebasankepemilikan. 4 kebebasanberprilaku. 45 Dengan pemahaman seperti di atas, sudah cukup bagi Zallum memberikan lebel kufur kepada demokrasi dan ideologi lain di luar Islam. Sebagai sistem kufur, implikasi hukumnya menurut Zallum jelas. Zallum mengatakan, kaum muslimin diharamkan mengambil sistem pemerintahan demokrasi sebagai mana haramnya mengadopsi ekonomi kapitalisme. Penolakan HTI terhadapi deologi-ideologi non-Islam di atas, dalam kerangka teori Ibrahim Abu Bakar adalah bagian dari ciri fundamentalisme Islam. Dalam bab teoritis telah dijelaskan bahwa penelitian ini meletakan fundamentalisme Islam, hanya sebagai tipe ideal agar cara penggunaannya lebih fleksibel. Berangkat dari 45 Ibid.,h. 188-189. metodelogi seperti itu, maka dengan memaparkan beberapa karekteristik yang sama antara HTI dengan gerakan fundamentalis, maka dapat diambil kesimpulan bahwa HTI adalah bagian dari eksemplar gerakan fundamentalisme Islam. BAB IV POLA GERAKAN DAN STRATEGI KADERISASI HIZBUT TAHRIR INDONESIA DI KAMPUS UIN JAKARTA Dalam pembahasan gerakan sosial, hampir semua sarjana meletakan ideologi dan basis massa menjadi unsur terpenting untuk mencapai tujuan gerakannya. Dengan memperkuat basis massa, maka setiap gerakan sosial akan lebih mudah untuk mancapai tujuan yang telah dicantumkan dalam ideologinya. Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa orientasi ideologi gerakan sosial HTI adalah menegakan kembali daulah Islam. HTI menyadari bahwa untuk meraih misinya ini mereka membutuhkan basis masa yang luas dan solid sebagai pendukung sekaligus aktor dalam melakukan aksi yang dirancang HTI. Berangkat dari kesadaran ini, maka HTI membutuhkan pola yang dirancang secara cermat. Pola ini berkaitan dengan tata cara dalam memperluas basis dan cara yang bisa mengarahkan gerakan sosial agar dapat meraih tujuan secara cepat dan tepat. Selain perlu adanya desain pola yang rapi, HTI juga membutuhkan strategi khusus untuk mencetak kader-kader yang militan, konsisten dan memiliki kapasitas yang mempuni. Pada saat ini di hampir seluruh tempat para aktivitas HTI melakukan sebuah pergerakan yang berkonsentrasi pada penguatan basis massa dan sosialisasi tentang ide-ide HTI, sebagaimana dikenal dengan istilah marhalah al- tafaul maa‟a al-umah. Di kampus UIN Jakarta, pola gerakan yang dilakukan HTI terbagi dalam beberapa bentuk gerakan seperti membentuk lembaga studi, melakukan afiliasi ke masjid- masjid, membangun relasi antar pertemanan, memanfaatkan berbagai media, dan bahkan melakukan aktivitas pembingkaian isu melalui tulisan, opini public, interpretasi teks, dan lain-lain. Agar penelitian ini bisa lebih mudah difahami penulis akan memaparkan beberapa pola gerakan yang dilakukan HTI UIN Jakarta diantaranya adalah melalui masjid yang dijadikan insturmen penggembangan jaringan, memanfaatkan relasi keluarga dan pertemanan, dan pembingkaian isu-isu.

A. Masjid Sebagai Instrumen Pengembangan Jaringan Sosial HTI UIN

Jakarta Ilustrasi Masjid Fatullah dan Masjid Baiturrahmah Legoso Studi tentang alat atau sumber daya sangat krusial dalam teori gerakan sosial dalam rangka memahami infrastruktur pendukung yang dibutuhkan bagi gerakan sosial. Dalam bab teoritis studi tentang alat ini dikenal sebagai mobilisasi sumber daya atau pendekatan struktur mobilisasi resource mobilization. Bagian ini akan menjelaskan “alat” mobilisasi yang digunakan HTI UIN Jakarta untuk mencari dukungan dan mengembangkan organisasinya. Dalam teori gerakan sosial jenis sumber daya organisasi memiliki berbagai bentuk seperti pemasukan dana gerakan, jejaring komunikasi, komitmen moral, justifikasi ideologi, kapasitas kepemimpinan, setrategi, dan perlengkapan lainnya. 1 Dari berbagai bentuk sumber daya organisasi di atas, tulisan ini akan mengangkat masjid sebagai instumen pengembangan jaringan dan instrmen bagi pelaksanaan aktivitas organisasi untuk menjaring simpatisan. Masjid merupakan lembaga utama bagi praktek keagamaan dalam masyarakat- masyarakat muslim, dan sering kali dimanfaatkan sebagai struktur mobilisasi religio- spesial oleh beragam kelompok Islamis. Dalam struktur fisik masjid, kalangan Islamis menyelenggarakan kutbah, ceramah, dan kelompok-kelompok studi untuk menyebarkan pesan gerakan tersebut, mengorganisasi tindakan kolektif, dan merekrut anggota-anggota baru. Masjid-masjid juga menawarkan jaringan organik dan nasional yang menghubungkan komunitas-komunitas aktivis di berbagai tempat . 2 Keberadaan masjid di lingkungan kampus UIN Jakarta menjadi intrumen yang penting bagi HTI untuk mengembangkan jaringan organisasi. Selain itu, masjid juga tidak jarang dijadikan tempat oleh HTI untuk melaksanakan berbagai kegiatan- kegiatan organisasi yang bertujuan untuk memperkenalkan ide-ide HTI. Dalam pantauan penulis masjid yang kerap dijadikan tempat kegiatan HTI adalah Masjid Fatullah dan Masjid Al-Mukhlisin, Masjid baiturrahmah, Masjid Al-Mugirah, dan di masjid yang ada di dalam kampus UIN Jakarta Strudent Center. Keterlibatan HTI dengan masjid-masjid tersebut berawal dari hubngan emosional antara aktivis HTI dengan pengurus majid. Berangkat dari hubungan tersebut, selama ini para aktivis HTI bisa lebih mudah melaksanakan kegiatan- kegiatan organisasinya seperti seminar, halaqah ‟am, diskusi-diskusi kecil, 1 Burhanudin Mukhtadi, Dillema PKS: Suara dan Syariah, Jakarta: Paramadina, 2012, h. 118-119. 2 Quintan Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2007, h. 33 penyebaran opini melalui tulisan dan lain-lain. Dalam hal penyebaran opini para aktivis HTI di UIN Jakarta sangat intensif membagikan tulisan rutin melalui buletin Al-Islam yang di berikan setiap setelah salat Jum‟at. Menurut keterangan Haris Ketua Ikatan Remaja Masjid Fatullah yang berhasil penulis wawancarai menyebutkan bahwa: Jauh sebelum saya menjabat sebagai ketua IRMAFA para aktivis HTI telah memiliki hubungan emosional dengan para senior-senior kami di IRMAFA. Adapun untuk penyebaran opini Islam, dalam buletin Al-Islam, itu dilakukan sejak dulu dan rutin setiap Jum‟at. Bahkan, terkadang kami dari IRMAFA membantu mereka membagikan buletin kepada para jama‟ah salat Jum‟at. 3 Selain pembagain buletin, HTI juga sering bekerja sama dengan pengurus Masjid Fathullah dalam program seminar dan para aktivis mereka juga sering mengikuti program pengajian yang diadakan pengurus masjid. Lebih lanjut Haris mengemukakan: Sejak dari awal tahun 2013 ini, para aktivis HTI telah mengajak kerjasama dalam program seminar mingguan yang bertemakan “Aqidah, dan Syariah, Solusi Problematika Umat”. Dan sampai saat ini, sepengetahuan saya mereka telah melaksanakan sekitar 15 kali seminar mingguan tersebut. Adapaun sebelum- sebelumnya, saya tidak tahu pasti karena padasaat itu saya belum terlibat di kepengurusan IRMAFA. Berbagai keterangan Haris sama dengan keterangan yang disampaikan oleh Adriansah Pengurus Masjid Baiturrahmah Legoso, ia menyebutkan: Kegiatan-kegiatan yang selama ini dilakukan HTI di sini adalah program seminar mingguan yang bertema “Aqidah, dan Syariah, Solusi Problematika Umat”, seingat saya, mereka mengadakan seminar di tahun ini sekitar 15 kali dan yang pernah saya 3 Wawancara penulis dengan Haris Ketua Ikatan Remaja Masjid Fathullah UIN Jakarta, pada 22 Mei 2013 pukul 20.3 wib. Di Masjid Fathullah Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten. lihat anggotanya sekitar 15-20 per-peertemuan. Selain itu, mereka juga sering mengadakan halaqah ‟am di sini, bahkan hampir setiap minggu ada . 4 Dalam pengalaman penulis selama mengikuti halaqah ‟am hampir setiap pertemuan dilakukan di masjid-masjid khususnya di ketiga masjid tersebut. Menurut Gustar, selain diadakan halaqah ‟am masjid juga dijadikan sarana untuk menghubungkan jaringan organik antara HTI dengan komunitas-komunitas HTI di tempat-tempat lain. Melalui berbagai pengajian di masjid dan musola para aktivis HTI bergabung dan berinteraksi dengan masyarakat dan para aktivis HTI di tempat lain. 5 Melihat fenomena di atas, jelas bahwa masjid tidak hanya melayani kebutuhan keagamaan mahasiswa tetapi juga berperan menjadi institusi yang potensial bagi berkembangnya gerakan sosial, tidak terkecuali HTI di UIN Jakarta.

B. Memanfaatkan Relasi Personal Pertemanan dan Keluarga

Gerakan sosial berakar dari kelompok-kelompok berjejaring yang kompleks yang cenderung lebih memilih informalitas ketimbang kelembagaan yang terfolmalkan. Banyak gerakan sosial Islam lebih mungkin memanfaatkan jaringan- jaringan asosiasi hubungan-hubungan pribadi yang kuat. Bahkan organisasi Islam sekaliber Ikhwanul Muslim dibentuk oleh jaringan-jaringan dinamis yang melampaui 4 Wawancara penulis dengan Andriansyah pengurus Masjid Baiturrahmah Legoso Ciputat, selain menjadi pengurus masjid, Andriyansah juga aktif sebagai Mahasiswa Science dan Teknologi smester 8 UIN Jakarta, pada 12 April 2012, pukul 15.00 wib. Di Masjid Baiturrahmah Legoso Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten. 5 Wawancara penulis dengan Gustar Salah satu pembina Halaqoh Umum HTI UIN Jakarta, pada 25 Maret 2013, pukul 20.00 wib, di Masjid Fathullah komplek perumahan UIN Jakarta Kel. Pisangan Kec. Ciputat Kota Tangerang Selatan Prov. Banten. parameter-parameter lingkup organisasi formal yang menghubungkan para aktivis dengan kalangan sahabat, keluarga, dan kolega-kolega lain. Pola jaringan yang dibangun sebenarnya mempersulit bagi penelitian karena jaringan yang dibentuk berakar pada interaksi-interaksi pribadi dan hubungan- hubungan sosial. Guna mendapatkan akses ke jaringan-jaringan ini penulis harus rela melakukan kerja lapangan yang menghabiskan cukup banyak waktu. Selain itu, penulis juga harus berusaha meyakinkan kepercayaan, membangun persahabatan dan terus melakukan interaksi yang berulang-ulang agar mendapatkan hasil yang optimal. Dalam analisa yang selama ini penulis lakukan terhadap HTI di UIN Jakarata, hubungan personal baik pertemanan maupun keluarga memiliki pengaruh yang besar terhadap ketersediaan anggota untuk terlibat dalam HTI di UIN Jakarta. Pola pendekatan yang dilakukan HTI terahadap mahasiswa biasanya memiliki beragam bentuk. Sebagaimana keterangan Zakiyatun Nufus saat berdialog dengan penulis, mengatakan Dulu saya pernah memasuki beberapa organisasi ekstra kampus seperti PMII, IMM, HMI, yang ditawarkan oleh mahasiswa di lobi-lobi kampus. Pada saat itu, saya belum mengenal HTI sama sekali. Di HMI, PMII dan lain-lain saya mengenal organisasi tersebut dengan sendiri, karena pola rekrutmen yang mereka lakukan relatif terbuka untuk umum dan banyak bertebaran di fakultas-fakultas. Kemudian, selama di HMI dan PMII, saya tidak menemukan perbedaan, kedua organisasi ini menurut saya hampir sama, mereka sangat aktif dalam politik kampus. Lalu, awal persentuhan saya dengan HTI perta di bangun sejak tahun 2010, pada waktu itu saya mengikuti seminar yang temannya saya lupa, tapi seminar itu di laksanakan di Student Center UIN Jakarta. Di sana saya berdialog dengan Novi mahasiswi dari Fakultas Tarbiyah. Dari obrolan tersebut saya diperkenalkan tentang berbagai hal terkait Islam dan perempuan. Awalnya kami tidak menyinggung soal HTI, tetapi Novi sangat mahir menghubungkan peren perempuan dengan Islam. Daya kritis dan luasnya pengetahuan dia tentang Islam, membuat saya tertarik berhubungan dengan dia. Dari situ saya diajak beberapa kali diskusi kecil di kampus, dan disana saya diperkenalkan dengan muslimah-muslimah HTI dari berbagai fakultas. Di HTI saya menemukan perbedaan dengan organisasi lain, bagi saya HTI cukup konsisten dalam memperjuankan dakwah Islam. Itulah awal dari persentuhan saya dengan HTI, dan hingga saat ini hubungan pertemanan kami sangat baik meskipun kami sudah jarang bertemu karena Novi saat ini sudah selesai menamatkan kuliahnya . 6 Pengalaman yang dialami Nufus memiliki kesamaan dengan Munawir. Munawir adalah mahasiswa semester awal pada prodi Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta. Di sela-sela perbincangannya dengan penulis, ia menyebutkan pengalaman pribadinya saat pertama dia bersentuhan dengan HTI. Dalam keterangan Munawir, dia mengaku bahwa dirinya mengenal HTI berawal dari pertemanan dikos-kosan tempat tinggalnya. Di tempat dia tinggal, dia mengenal Gustar aktrivis HTI dan Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora. Sejak pertemanannya dengan Gustar itulah Munawir sering diajak mengikuti kegiatan-kegiatan HTI. Dalam wawancara dengan penulis menyebutkan: Saya mengenal HTI dari tetangga sekosan saya, Ust. Gustar. Dari situ saya sering diajak berdiskusi mingguan dengan teman-temah HTI di Gema Pembebasan. Dari pertama saya masuk UIN Jakarta, organisasi eksternal yang saya geluti hanyalah HTI. Di HTI saya bisa banyak belajar tentang Islam dan lain-lain. Saya tertarik dengan Islam kerena latar belangang pendidikan saya adalah sekolah umum sementara di UIN Jakarta saya di tuntut mempelajari tentang Islam. Di HTI inilah 6 Wawancara penulis dengan Zakiyatun Nufus anggota muslimah HTI UIN Jakarta. Nufus adalah mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Smster IV. Wacancara penulis dengan responden dilakukan secara tertutup artinya wawancara yang dilakukan penulis tidak begitu formal. Adapun bentuk pengambilan data yang penulis lakukan adalah dengan memanfaatkan obrolan-obrolan sederhana di lobi-lobi kampus khususnya di fakultas dakwah dan komunikasi. Pola wawancara seperti ini, bertujuan untuk mempermudah penulis dalam berinteraksi untuk mendapatkan data-data. Di HTI, pada umumnya hubungan laki-laki dan perempuan memiliki batasan-batasan tertentu dalam berinteraksi. Selain itu, apabila terdapat peneliti atau siapapun yang ingin meneliti tentang HTI, maka peneliti tersebut diwajibkan untuk mendapatkan rekomendasi dari DPP HTI terlebih dahulu. Berangkat dari kesulitan-kesulitan ini, beberapa pengambilan data yang penulis dapatkan dilakukan melalui wawancara tertutup, termasuk dengan Zakiyatun Nufis. Wawancara dilakukan pada 27 Mei 2013, di kantin Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Pukul 13.00 wib.