Analisis Keragaman Vertikal Strata Pekarangan

4.3. Analisis Pengelolaan Pekarangan Kampung

4.3.1. Analisis Demografi Kelompok Wanita Tani

Demografi KWT menggambarkan kondisi sosial dan ekonomi pengelola pekarangan kampung di masing-masing kabupaten. Variabel demografi tersebut meliputi rata-rata usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan jumlah pendapatan per bulan. Usia dapat mempengaruhi pola pikir dan kemampuan kerja Purwanti 2007. Usia rata-rata anggota KWT di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 50, 43, dan 44 tahun, yang mana pada rentang tersebut masih dapat dikatakan usia produktif. Kemudian dilihat dari tingkat pendidikannya, sebagian besar 52 anggota KWT hanya lulusan Sekolah Dasar SD, padahal tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam memahami arti penting pengelolaan pertanian dan mencari solusi permasalahan Adhawati 1997. Anggota KWT di Kabupaten Cirebon rata-rata memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, daripada anggota KWT di Kabupaten Bandung dan Bogor. Hasil wawancara menunjukkan bahwa rata-rata orang yang berpendidikan lebih tinggi memiliki pendapatan per bulan yang lebih tinggi. Jenis pekerjaan berhubungan dengan waktu yang tersedia untuk mengelola pekarangan, dan ternyata mayoritas responden adalah ibu rumah tangga yang lebih sering ada di rumah. Ibu rumah tangga diasumsikan memiliki kesempatan lebih leluasa untuk mengelola pekarangannya dari pada mereka yang bekerja di sawah, pabrik, atau sekolah. Namun, waktu mereka untuk mengelola pekarangan setiap hari antara 5 – 30 menit. Ternyata ada hal lain yang mempengaruhi kesempatan mengelola pekarangan yakni aktivitas sosial ibu-ibu, seperti arisan, pengajian di majelis ta’lim, dan mengasuh anaknya. Waktu untuk mengelola pekarangan belum menjadi prioritas dalam keseharian mereka. Responden yang bekerja sebagai petani di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon hanya 10, 27, dan 3 sehingga banyak anggota KWT yang belum terbiasa dengan aktivitas pertanian. Anggota KWT yang bekerja sebagai petani di Kabupaten Bogor paling banyak daripada di kabupaten lainnya. Kondisi dan kemampuan anggota KWT dalam menjalankan program P2KP ini perlu menjadi catatan pendamping kelompok, yang ditindak- lanjuti dengan lebih banyak memberi perhatian dan arahan. Setiap kabupaten memiliki karakteristik demografi anggota KWT yang berbeda Tabel 26. Tabel 26 Demografi KWT pengelola pekarangan kampung Kabupaten R at a- rat a U m ur Pendidikan Pekerjaan Pendapatan per kelas Sek o lah Dasar SMP SMA Dip lo m a Sar jan a Ib u R u m ah T an g g a Petan i W ir aswa sta Peg awa i L ain n y a R p 1 5 00 r ib u R p 50 ri bu 1 j ut a R p 1 ju ta 1 .5 j ut a R p 1. 5 ju ta 2 ju ta R p 2 ju ta 2 .5 j ut a R p 2. 5 ju ta 3 ju ta Bandung 50 60 20 17 3 53 10 30 7 70 10 10 3 3 3 Rata-rata Rp 600 000 Bogor 43 50 23 20 7 40 27 23 3 7 70 3 3 3 7 13 Rata-rata Rp 816 000 Cirebon 44 47 20 26 7 57 3 34 3 3 63 7 10 3 3 13 Rata-rata Rp 834 000 Keterangan: SMP = Sekolah Menengah Pertama SMA = Sekolah Menengah Atas Nilai pendapatan per bulan hasil wawancara hanya menggambarkan kondisi ekonomi responden. Ternyata lebih dari 67 anggota KWT memiliki penghasilan kurang dari Rp 500 000 per bulan, sehingga sangat rawan terjadi masalah ekonomi di rumah tangga apabila penghasilan utama keluarga terganggu. Penghasilan rata- rata anggota KWT di Kabupaten Cirebon paling tinggi Rp 834 000 daripada di kabupaten lainnya. Penghasilan tersebut berasal dari wirausaha di bidang agribisnis dengan komoditas berupa telur bebek, udang, tape ketan, dan pangan olahan. Berdasarkan analisis demografi anggota KWT berupa kondisi sosial dan ekonomi, dapat dinilai kualitas sumberdaya manusia SDM pengelola pekarangan kampung di masing-masing kabupaten. SDM di Kabupaten Bogor telah memiliki kemanpuan bertani paling baik, sedangkan SDM di Kabupaten Cirebon memiliki potensi paling baik dalam mengelola pekarangan kampung.

4.3.2. Analisis Aktivitas Kelompok Wanita Tani

Kegiatan pengelolaan pekarangan kampung yang telah dilakukan oleh KWT dalam rangka program P2KP mencakup pemberdayaan masyarakat, pembibitan dan distribusi bibit ke pekarangan anggota, pemanenan dan pemanfaatan produk dari pekarangan, serta pemasaran produk pekarangan kampung. Pemberdayaan anggota KWT sebagai sumberdaya manusia pengelola pekarangan kampung penting untuk dilakukan karena pekarangan mempunyai hubungan yang kuat antara pemiliknya dengan tanaman dan hewan-hewan yang diternaknya Arifin 2010. Menurut hasil pengamatan serta wawancara di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon, diketahui kegiatan pemberdayaan anggota KWT berupa pelatihan budidaya tanaman pertanian di pekarangan. Mereka diberikan pencerdasan tentang fungsi dan manfaat pengelolaan pekarangan, cara mengelola pekarangan sebagai sumber pangan rumah tangga, serta budidaya tanaman dengan teknik vertikultur. Selain itu, mereka juga mendapat pelatihan pembibitan tanaman di kebun bibit kelompok dan pengolahan produk hasil pekarangan menjadi produk olahan pangan yang lebih bernilai ekonomis. Kegiatan-kegiatan tersebut dibimbing langsung oleh pendamping KWT yang merupakan penyuluh dari Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian BP3, di bawah koordinasi Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan tingkat kabupaten. Di samping kegiatan KWT yang telah terprogram oleh BP3, biasanya KWT berinisiatif membuat kegiatan internal yang bertujuan mempererat kekompakan dan menambah fungsi kelompok, seperti arisan, masak bersama, dan simpan pinjam modal anggota. Upaya pemanenan komoditas dari pekarangan kampung akan meningkatkan kuantitas produk sehingga dapat lebih menunjang ketahanan pangan, kepedulian, dan kesejahteraan masyarakat. Pekarangan satu dengan tetangganya dapat saling tukar barter komoditas pangan yang mereka perlukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kelebihan produksi pangan dari pekarangan kampung dapat dibagi- kan kepada orang yang membutuhkan sehingga menumbuhkan sikap peduli di masyarakat. Jumlah produk pekarangan kampung yang semakin banyak akan lebih ekonomis apabila dijual ke pasar. Sebagai contoh, dalam sekali panen buah mangga dari pekarangan kampung di Kabupaten Cirebon diperoleh rata-rata 406 kg. Contoh lainnya, pemanenan jambu kristal dari pekarangan kampung di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, yang menghasilkan puluhan kilogram dalam sekali panen. Hasil panen tersebut apabila dijual ke pasar akan lebih mudah dan bernilai ekonomis.