Kontribusi  hasil  pekarangan  secara  langsung  untuk  menunjang  konsumsi pangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 3.8, 2.2, dan 1.4
dari biaya konsumsi per bulannya. Sedangkan kontribusi nilai ekonomi pekarangan yang diperoleh rumah tangga terhadap biaya konsumsi bulanannya di  Kabupaten
Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 19.1, 10.7, dan 7.1 Tabel 33. Pemilik pekarangan lebih banyak memanen produk buah dan sayur dibanding sumber pati
dan protein hewani. Hewan ternak besar seperti kambing atau domba dipelihara di pekarangan untuk dijual sebagai investasi. Kebutuhan konsumsi hewani yang dapat
ditunjang dari pekarangan yaitu ikan, susu sapi, telur, dan daging ayam.
Tabel 33 Kontribusi nilai ekonomi pekarangan terhadap konsumsi rumah tangga
Kabupaten Biaya konsumsi rumah
tangga per bulan Rp Penghematan
per bulan Tambahan income
per bulan Kontribusi
ekonomi Bandung
1 180 400 3.8
15.3 19.1
Bogor 1 521 400
2.2 8.5
10.7 Cirebon
1 340 800 1.4
5.7 7.1
4.5. Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan Kampung yang Berkelanjutan
4.5.1. Konsep Pekarangan Kampung yang Berkelanjutan
Pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon masih banyak yang belum mampu menunjang kebutuhan pangan rumah tangga. Jika untuk menunjang
konsumsi pangan rumah tangga saja kesulitan, maka sulit untuk saling berbagi hasil panen, dan kecil kemungkinan pekarangan itu dapat menjual produknya. Kesulitan
tersebut karena ukuran pekarangannya kurang dari 120 m
2
. Menurut Arifin 1998, ukuran kritis minimal suatu pekarangan ideal yaitu 100 m
2
, sebab apabila kurang dari itu maka tanaman dan hewan ternak yang dipelihara akan terbatas keragaman
strata  dan  fungsinya.  Tercatat  26.7  pekarangan  di  Kabupaten  Bandung,  66.7 pekarangan di Kabupaten Bogor, dan 60 pekarangan di Kabupaten Cirebon yang
termasuk  kategori  sempit.  Berbeda  halnya  jika  komoditas  yang  dibudidayakan adalah  tanaman  non-pangan  atau  hewan  ternak  besar  yang  khusus  untuk  dijual.
Pada  kondisi  tersebut,  kebutuhan  pangan  rumah  tangga  dapat  dibeli  dari  hasil penjualan produk dari pekarangan.
Dalam  konsep  keberlanjutan  penggunaan  lahan,  penggunaan  terbaik  yaitu suatu situasi keseimbangan atau integritas antara efisiensi, ekuitas, dan penggunaan
sumberdaya  alam  Miranda  2001.  Penggabungan  beberapa  pekarangan  di  suatu kawasan akan meningkatkan jumlah dan jenis komoditasnya.  Sebagai  gambaran,
suatu kampung biasanya memiliki komoditas unggulan seperti mangga yang ada di hampir setiap pekarangan di Kabupaten Cirebon, dan jambu biji atau jambu merah
di Desa Cikarawang dan Bantarsari, Kabupaten Bogor. Tidak hanya bahan mentah, tetapi produk olahan warga juga bisa menjadi komoditas unggulan suatu kampung.
Pekarangan kampung yang dikelola oleh kelompok masyarakat dalam satu kawasan dapat  meningkatkan  produksi  secara  agregat  dengan  memanfaatkan  sumberdaya
alam yang tersedia di lingkungan sekitarnya.
Kondisi pengelolaan pekarangan kampung serta kendala yang teridentifikasi saat survei dan wawancara kemudian dikemukakan pada forum diskusi kelompok
atau focus group discussion FGD yang melibatkan pihak-pihak terkait. Pihak yang terlibat  dalam FGD  ini  terdiri atas: a  Badan  Ketahanan Pangan dan Penyuluhan
tingkat kabupaten, b instansi dinas dan badan pemerintah daerah kabupaten yang terkait pelaksanaan program P2KP, c pemerintah kecamatan, d pemerintah desa,
e penyuluh, dan f KWT. FGD dilaksanakan di Kantor Badan Ketahanan Pangan dan  Penyuluhan  di  Kabupaten  Bandung,  Bogor,  dan  Cirebon  untuk  menampung
aspirasi dari peserta terhadap permasalahan yang ada secara komprehensif.
Terdapat tiga isu penting dalam pengelolaan pekarangan kampung yang telah dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan program P2KP, yaitu: 1 pemahaman dan
kondisi  anggota  KWT  masyarakat  terhadap  pekarangan,  2  ketersediaan  bibit tanaman dan hewan ternak atau ikan untuk pekarangan, serta 3 pemasaran produk
hasil pekarangan kampung.
Hasil  diskusi  tersebut  kemudian  menentukan  tiga  komponen  keberlanjutan pekarangan kampung sebagai solusi permasalahan yang terjadi, yaitu: 1 kelompok
wanita tani KWT, 2 kebun bibit kelompok, dan 3 koperasi. Arifin et al. 2009 menyatakan  bahwa  keseimbangan  dan  keberlanjutan  lanskap  pekarangan  dapat
dicapai  dengan mengaplikasikan konsep  triple bottom line benefit,  yakni  ekologi lingkungan, sosial  masyarakat, dan ekonomi pasar. Mengacu pada pendapat
tersebut,  kemudian  ditetapkan  bahwa  komponen  dalam  pengelolaan  pekarangan kampung dapat mewakili tiga pilar keberlanjutan Gambar 26.
Gambar 26 Model tiga pilar keberlanjutan pengelolaan pekarangan kampung
4.5.2. Pengelolaan Agroekosistem Pekarangan Kampung untuk Menunjang
Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan
Komponen penting dalam konsep pekarangan kampung yang berkelanjutan adalah:  1  KWT,  2  kebun  bibit  kelompok,  dan  3  koperasi.  Dalam  praktiknya,
konsep tersebut dijabarkan dalam pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung yang bertujuan untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat
yang  berkelanjutan.  Adapun  garis  besar  rekomendasi  pengelolaannya  terangkum menjadi tiga hal, yakni pemberdayaan KWT, revitalisasi kebun bibit kelompok, dan
pengembangan koperasi.
Rekomendasi untuk pemberdayaan KWT yaitu : 1.
KWT di setiap desa dan kelurahan diberikan pemahaman yang tepat tentang pertanian  dan  pengelolaan  pekarangan  kampung  sesuai  dengan  kondisi  atau
kemampuannya. Penyesuaian tersebut melihat kenyataan bahwa masyarakat di perdesaan  mungkin  telah  berpengalaman  dalam  hal  pertanian  namun  kurang
baik dalam manajemen organisasi dan sumberdaya, sedangkan masyarakat di
perkotaan  biasanya  lebih  berpendidikan  sehingga  lebih  mudah  berorganisasi dan mengelola sumberdaya namun belum terbiasa dengan aktivitas pertanian.
2. Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan di tingkat kabupaten memfasilitasi
pengelola  pekarangan  kampung  dengan  adanya  pendamping  yang  terampil. Tenaga pendamping dituntut untuk memiliki pemahaman yang baik dan benar
tentang hal-hal yang mendukung pengelolaan pekarangan kampung. Selain itu, pendamping sebaiknya mampu bersahabat dengan seluruh anggota kelompok.
3. Tenaga  pendamping  secara  intensif  memberikan  pelatihan  dan  pengarahan
terkait  pengelolaan  pekarangan  kampung.  Teknik  vertikultur  perlu  diketahui oleh seluruh anggota KWT dan diaplikasikan pada pekarangan sempit. KWT
sebaiknya  diberikan  rekomendasi  tanaman  dan  hewan  ternak  apa  saja  yang cocok untuk dibudidayakan di pekarangan dengan memperhatikan lingkungan
sekitar.  Pengelolaan  pekarangan  kampung  sebagai  agroekosistem  diarahkan agar  sesuai  dengan  daya  dukung  luasan,  kondisi  lingkungan  lokasi,  serta
manfaat dan nilai jual produk yang akan dipanen.
Rekomendasi untuk revitalisasi kebun bibit kelompok yaitu: 1.
Adanya dukungan dari pemerintah setempat, seperti menyediakan lahan untuk lokasi kebun bibit kelompok. Semestinya kebun bibit kelompok berada di atas
tanah desa atau pemerintah dengan persetujuan perangkat desa atau kelurahan agar  keberadaannya  lebih  terjamin.  Sebisa  mungkin  dihindari  pembangunan
kebun bibit di atas tanah pribadi karena rawan konflik kepentingan yang bisa mengancam eksistensinya.
2. Bangunan  kebun  bibit  sebaiknya  terbuat  dari  material  yang  tahan  lama  dan
berkualitas  baik,  supaya  kebun  bibit  tidak  cepat  rusak.  Perawatan  bangunan kebun bibit kelompok dilakukan sebagai tanggung jawab bersama oleh seluruh
anggota KWT.
3. Jenis tanaman pertanian yang akan dikembangkan sebaiknya tanaman semusim
yang memiliki nilai ekonomi tinggi, baik berupa tanaman pangan, obat, bumbu, dan bahkan pakan ternak Thakur et al. 2005. Berdasarkan analisis produksi
dan mengacu pada pernyataan tersebut, pembibitan sebaiknya difokuskan pada tanaman buah, sayur, dan bumbu karena dapat dikonsumsi oleh rumah tangga
dan nilai ekonominya relatif lebih besar.
4. Selain  mempertimbangkan  aspek  konsumsi  dan  ekonomi,  aspek  konservasi
keanekaragaman hayati juga penting diperhatikan. Maksudnya jangan sampai komoditas  yang  dibibitkan  untuk  pekarangan  kampung  akan  mengeliminasi
sumberdaya  lokal  atau  spesies  endemik.  Konservasi  keanekaragaman  hayati diperlukan  untuk  keseimbangan  ekosistem,  karena  pemanfaatan  sumberdaya
hayati  untuk  berbagai  keperluan  secara  tidak  seimbang  akan  menyebabkan makin langkanya beberapa jenis flora dan fauna Supriatna 2008. Pekarangan
sebagai  agroekosistem  yang  berbasis  agroforestri  dapat  menjadi  salah  satu metode konservasi secara eks-situ, khususnya untuk pertanian Paruna 2012.
Institusi  pendidikan  atau  pihak  akademisi  dapat  berkontribusi  memberikan rekomendasi komoditas pekarangan.
5. Aktivitas pembibitan oleh KWT dilakukan tanpa tergantung pada dana bantuan
sosial dari pemerintah pusat maupun daerah. KWT dituntut untuk mandiri dan kreatif dalam mencari modal pembibitan. Sumber modal pembibitan bisa dari