Analisis Zonasi Pekarangan Analisis Karakter Agroekosistem Pekarangan

Jenis tanaman hias memang paling beragam di pekarangan, namun jumlah jenis tanaman pangan di setiap kabupaten lebih banyak daripada jenis tanaman non- pangan Gambar 20. Persentase tanaman pangan pada pekarangan kampung di Kabupaten Bandung dan Bogor masing-masing mencapai 62 dari seluruh spesies yang teridentifikasi, sedangkan di Kabupaten Cirebon persentasenya lebih rendah, yakni 57 namun masih lebih banyak dari tanaman non-pangan. Hal tersebut juga dibuktikan dengan analisis Shannon-Wienner terhadap keanekaragaman tanaman pangan, yang mana hasil tertinggi yaitu di Kabupaten Bogor H’ = 1.95, kemudian Kabupaten Bandung H’ = 1.44 dan terendah yaitu Kabupaten Cirebon H’ = 0.86. Tingkat keanekaragaman tanaman pangan pada pekarangan kampung di Kabupaten Bogor tersebut karena upaya dan keinginan pemilik pekarangan yang ditunjang oleh lingkungannya. Sebagaimana telah disebutkan, dataran sedang di Kabupaten Bogor merupakan zona peralihan ecotone sehingga memiliki kesesuaian ling- kungan lebih baik untuk lebih banyak makhluk hidup. Tanaman pangan meliputi tanaman obat, sayur, buah, bumbu, penghasil pati, serta beberapa spesies dari kelompok tanaman hias dan industri, sedangkan tanaman non-pangan pada umumnya merupakan tanaman hias, bahan baku industri, dan lainnya. Tanaman hias yang dapat dikonsumsi misalnya bunga kecombrang, kenikir, puring, petai cina, dan daun suji. Tanaman tersebut ada yang bermanfaat sebagai sayuran, obat-obatan, atau bumbu masak. Adapun tanaman industri yang dapat dikonsumsi yaitu cokelat kakao, kopi, cengkeh, kelapa, dan aren. Di sisi lain, ada tanaman pangan yang dimanfaatkan untuk fungsi lain, seperti tanaman singkong sebagai pagar pembatas pekarangan. Gambar 20 Perbandingan keanekaragaman tanaman pangan dan non-pangan Suatu agroekosistem pekarangan tidak hanya tanaman yang dibudidayakan tetapi juga ternak mamalia kambing, domba, kelinci, unggas ayam, bebek, angsa, dan ikan air tawar. Keberadaan hewan ternak di pekarangan Kabupaten Bandung dan Bogor cukup tinggi yaitu 34.5. Keragaman hewan ternak yang cukup tinggi di pekarangan Kabupaten Bandung dan Cirebon, yaitu terdapat masing-masing 10 spesies Tabel 25. Keanekaragaman hayati berkontribusi terhadap keberlanjutan sosial – ekonomi suatu agroekosistem Kehlenbeck et al. 2007. Tabel 25 Keberadaan dan jumlah spesies hewan ternak di pekarangan Kabupaten Persentase keberadaan Jumlah spesies Ternak mamalia Ternak unggas Kolam ikan Rata- rata Ternak mamalia Ternak unggas Ikan Bandung 10.0 66.7 26.7 34.5 3 4 3 Bogor 16.7 56.7 30.0 34.5 3 1 4 Cirebon 0.0 20.0 20.0 13.3 7 3 57 62 62 43 38 38 K a b . C i r e b o n K a b . B o g o r K a b . B a n d u n g pangan non-pangan

4.3. Analisis Pengelolaan Pekarangan Kampung

4.3.1. Analisis Demografi Kelompok Wanita Tani

Demografi KWT menggambarkan kondisi sosial dan ekonomi pengelola pekarangan kampung di masing-masing kabupaten. Variabel demografi tersebut meliputi rata-rata usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan jumlah pendapatan per bulan. Usia dapat mempengaruhi pola pikir dan kemampuan kerja Purwanti 2007. Usia rata-rata anggota KWT di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 50, 43, dan 44 tahun, yang mana pada rentang tersebut masih dapat dikatakan usia produktif. Kemudian dilihat dari tingkat pendidikannya, sebagian besar 52 anggota KWT hanya lulusan Sekolah Dasar SD, padahal tingkat pendidikan akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam memahami arti penting pengelolaan pertanian dan mencari solusi permasalahan Adhawati 1997. Anggota KWT di Kabupaten Cirebon rata-rata memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, daripada anggota KWT di Kabupaten Bandung dan Bogor. Hasil wawancara menunjukkan bahwa rata-rata orang yang berpendidikan lebih tinggi memiliki pendapatan per bulan yang lebih tinggi. Jenis pekerjaan berhubungan dengan waktu yang tersedia untuk mengelola pekarangan, dan ternyata mayoritas responden adalah ibu rumah tangga yang lebih sering ada di rumah. Ibu rumah tangga diasumsikan memiliki kesempatan lebih leluasa untuk mengelola pekarangannya dari pada mereka yang bekerja di sawah, pabrik, atau sekolah. Namun, waktu mereka untuk mengelola pekarangan setiap hari antara 5 – 30 menit. Ternyata ada hal lain yang mempengaruhi kesempatan mengelola pekarangan yakni aktivitas sosial ibu-ibu, seperti arisan, pengajian di majelis ta’lim, dan mengasuh anaknya. Waktu untuk mengelola pekarangan belum menjadi prioritas dalam keseharian mereka. Responden yang bekerja sebagai petani di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon hanya 10, 27, dan 3 sehingga banyak anggota KWT yang belum terbiasa dengan aktivitas pertanian. Anggota KWT yang bekerja sebagai petani di Kabupaten Bogor paling banyak daripada di kabupaten lainnya. Kondisi dan kemampuan anggota KWT dalam menjalankan program P2KP ini perlu menjadi catatan pendamping kelompok, yang ditindak- lanjuti dengan lebih banyak memberi perhatian dan arahan. Setiap kabupaten memiliki karakteristik demografi anggota KWT yang berbeda Tabel 26. Tabel 26 Demografi KWT pengelola pekarangan kampung Kabupaten R at a- rat a U m ur Pendidikan Pekerjaan Pendapatan per kelas Sek o lah Dasar SMP SMA Dip lo m a Sar jan a Ib u R u m ah T an g g a Petan i W ir aswa sta Peg awa i L ain n y a R p 1 5 00 r ib u R p 50 ri bu 1 j ut a R p 1 ju ta 1 .5 j ut a R p 1. 5 ju ta 2 ju ta R p 2 ju ta 2 .5 j ut a R p 2. 5 ju ta 3 ju ta Bandung 50 60 20 17 3 53 10 30 7 70 10 10 3 3 3 Rata-rata Rp 600 000 Bogor 43 50 23 20 7 40 27 23 3 7 70 3 3 3 7 13 Rata-rata Rp 816 000 Cirebon 44 47 20 26 7 57 3 34 3 3 63 7 10 3 3 13 Rata-rata Rp 834 000 Keterangan: SMP = Sekolah Menengah Pertama SMA = Sekolah Menengah Atas