Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan.

(1)

PENGELOLAAN PEKARANGAN KAMPUNG

SEBAGAI AGROEKOSISTEM UNTUK MENUNJANG

KETAHANAN PANGAN DAN KESEJAHTERAAN

YANG BERKELANJUTAN

VIVANDRA PRIMA BUDIMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2015 Vivandra Prima Budiman NIM P052120171


(4)

RINGKASAN

VIVANDRA PRIMA BUDIMAN. Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN, NURHAYATI H.S. ARIFIN, dan MADE ASTAWAN.

Alih fungsi lahan pertanian menjadi pemukiman akan mengancam ketahanan pangan karena dapat menurunkan jumlah produksi pertanian. Di sisi lain, muncul harapan dari luas agregat pekarangan yang terus bertambah. Pekarangan sebagai agroekosistem memperhatikan komponen biotik dan abiotik untuk menghasilkan berbagai produk yang bisa menunjang ketahanan pangan. Pengelolaan pekarangan dalam suatu kawasan atau kampung akan meningkatkan manfaatnya. Sejumlah pekarangan pada satu kawasan atau komunitas masyarakat disebut pekarangan kampung. Pemerintah memfasilitasi pengelolaan pekarangan kampung dengan melibatkan kelompok wanita tani (KWT). Kontribusi pengelolaan pekarangan terhadap ketahanan pangan dihitung berdasarkan nilai ekonomi produknya untuk konsumsi, berbagi, dan dijual.

Tujuan penelitian ini adalah 1) menganalisis agroekosistem pekarangan kampung, 2) menganalisis pengelolaan pekarangan kampung, 3) menganalisis pemanfaatan dan nilai ekonomi produk pekarangan, serta 4) menyusun rekomen-dasi pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan yang berkelanjutan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013 sampai Juni 2014 di Kabupaten Bandung (600 – 1 200 mdpl), Kabupaten Bogor (150 – 600 mdpl), dan Kabupaten Cirebon (0 – 150 mdpl).

Kelompok luas pekarangan yang paling banyak di Kabupaten Bandung yaitu ukuran sedang (50%) dengan rata-rata 317 m2, sedangkan pekarangan di Kabupaten Bogor dan Cirebon paling banyak berukuran sempit (67% dan 60%) dengan rata-rata 143 m2 dan 145 m2. Hampir setiap pekarangan memiliki zona depan sebagai tempat bertani dan bersosialisasi. Jenis tanaman strata I dan II mendominasi di ketiga kabupaten, yang berkorelasi dengan daya dukung pekarangan sempit dan sedang. Fungsi tanaman pangan lebih banyak daripada komoditas non-pangan. Nilai ekonomi rata-rata dari produk pekarangan per m2 dalam satu tahun di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu Rp 11 100, Rp 13 400, dan Rp 10 500. Kontribusi nilai ekonomi dari pekarangan kampung yang diperoleh rumah tangga terhadap biaya konsumsi per bulannya di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 19.1%, 10.8%, dan 7.1%. Jenis komoditas pekarangan yang paling banyak berkontribusi terhadap nilai ekonomi yaitu buah (25.3%), ternak besar (24.8%), dan sayur (12.9%). Tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan sebaiknya disesuaikan dengan kondisi lingkungan agar produksinya optimal. Keberlanjutan pengelolaan pekarangan kampung perlu didukung oleh tiga komponen inti, yaitu kelompok tani (aspek sosial), kebun bibit (aspek ekologi), dan koperasi desa (aspek ekonomi). Adapun rekomendasinya yaitu: 1) pemberdayaan KWT oleh tenaga pendamping, 2) revitalisasi kebun bibit kelompok agar pasokan bibit tetap tersedia, terutama tanaman sayur yang musiman dan buah-buahan, 3) pengembangan usaha koperasi unit desa untuk menampung produk pekarangan kampung.

Kata kunci:


(5)

SUMMARY

VIVANDRA PRIMA BUDIMAN. Management of “Pekarangan Kampong” as Agroecosystem to Support the Sustainable of Food Security and Prosperity. Supervised by HADI SUSILO ARIFIN, NURHAYATI H.S. ARIFIN, and MADE ASTAWAN.

There have been massive changes in land use from agricultural areas into urban areas in West Java province because increasing that will reduced the size of paddy fields and farm. On the other hand, total area of pekarangan or Indonesian home garden has continuously increased in line with the increase of settlement. Pekarangan as agroecosystems produce wide range of products in order to support food security in family level. A number of pekarangan in a village region or one society communities called pekarangan kampong. Management of pekarangan kampong will improve the ability for supporting food security as well as economic value. In this context, the economic value of the product showed contribution of pekarangan which calculated from saving, sharing, and selling.

The purpose of this study is to analyze the agro-ecosystem characteristics of pekarangan kampong, to analyze management of pekarangan kampong, to analyze utilization from the production of pekarangan management as supporting food security, and to designing a management strategy recommendation of pekarangan kampong as agro-ecosystem to support sustainable food security. The study was conducted in Bandung regency (600 - 1200 m asl) as high land, Bogor regency (150

– 600 m asl) as middle land, and Cirebon regency (0 – 150 m asl) as lowland, since September 2013 until June 2014.

Based on this research, about 50% of pekarangan in Bandung regency are categorized by medium size (between 120 – 400 m2). Then about 67% and 60% of pekarangan in Bogor and Cirebon regencies are categorized by small size (between 0 – 120 m2). The average size of pekarangan in Bandung, Bogor, and Cirebon regencies are 317 m2, 143 m2, and 145 m2 respectively. Almost every pekarangan has front zone where usualy used for agricultural practice and social activities. The results show average annual economic value from harvesting product of pekarang-an in Bandung is Rp 11 100 per m2, in Bogor is Rp 13 400 per m2 and in Cirebon is Rp 10 500 per m2. The contribution of economic income from pekarangan toward monthly consumption cost in Bandung, Bogor, and Cirebon regencies are 19.1 %, 10.8%, and 7.1% respectively. In total, the kind of pekarangan commodity that gave a lot contribution to the economic value was fruits (25.3 %), livestock (24.8 %), and vegetables (12.9 %). Selected crops, livestock, and fish in pekarangan should be adapted to the environmental conditions. The prime components of pekarangan kampong is women farmer group (social aspect), communal nursery (ecological acpect), and cooperation (economic aspect). The recommendation of management of pekarangan kampong to sustainable food security and prosperity is empower-ment women farmer group which guided by assistant, communal nursery revita-lization, and cooperation improvement to collect all products from pekarangan. Keywords: Women farmer group, pekarangan products utilisation, economic value,


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

PENGELOLAAN PEKARANGAN KAMPUNG

SEBAGAI AGROEKOSISTEM UNTUK MENUNJANG

KETAHANAN PANGAN DAN KESEJAHTERAAN

YANG BERKELANJUTAN

VIVANDRA PRIMA BUDIMAN

NRP: P052120171

Tesis

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(8)

(9)

Judul : Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan.

Nama : Vivandra Prima Budiman

NRP : P052120171

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Hadi Susilo Arifin, MS Ketua

Dr Ir Nurhayati H.S. Arifin, MSc Prof Dr Ir Made Astawan, MS

Anggota Anggota

Diketahui oleh Ketua Program Studi Pascasarjana

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(10)

(11)

3

PRAKATA

Bismillahirrahmaanirrahim.

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah Yang Maha Pengasih, atas segala karunia dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis berjudul “Pengelolaan Pekarangan Kampung sebagai Agroekosistem untuk Menunjang Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan yang Berkelanjutan”. Shalawat serta salam ditujukan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta umatnya.

Penyusunan tesis ini dalam rangka memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tujuan tesis ini menganalisis dan menyusun rekomendasi pengelolaan pekarangan dalam suatu kawasan atau kampung yang diposisikan untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghormatan kepada Prof. Dr. Hadi Susilo Arifin, M.S. selaku ketua Komisi Pembimbing serta Dr. Nurhayati HS Arifin, M.Sc. dan Prof. Dr. Made Astawan, M.S. selaku anggota komisi pembimbing yang mana beliau-beliau telah sangat berjasa memberikan banyak saran serta pelajaran yang sangat berharga dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih juga untuk Dr. Kaswanto, M.Si. selaku dosen penguji luar komisi. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih banyak kepada Azka L.Z. Azra sebagai rekan penelitian, enumerator (Refi, Ray, Irma, dkk), HSA students (Arkham, Erlin, Tyo, dkk), Izan Faruqi, rekan seperjuangan di PSL – IPB 2012 (Mas Riza, Mas Royo, Kak Ita, Mba Dini, dkk) dan seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk adik-adik yang baik, Vinessa Prisma Budiman dan Vimella Pratiwi Budiman, serta sangat terima kasih untuk Papah, Dr. H. Dana Budiman, M.Si. dan Mamah, Hj. Elvi Andi, Bsc. yang telah memberi dukungan luar biasa, baik materiil, nasihat, maupun doa-doanya. Karya tulis ini merupakan salah satu bakti penulis atas cinta orang tuanya.

Penulis sangat berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, sebagai upaya menjaga ketahanan pangan bangsa Indonesia, khusus-nya melalui upaya pengelolaan pekarangan kampung yang berkelanjutan. Semoga ke depannya bangsa Indonesia terus memiliki ketahanan pangan yang kuat.

Bogor, April 2015 Vivandra Prima Budiman


(12)

(13)

i

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR TABEL iii

1. PENDAHULUAN 1

1.1.Latar Belakang 1

1.2.Perumusan Masalah 2

1.3.Tujuan Penelitian 3

1.4.Manfaat Penelitian 3

1.5.Ruang Lingkup Penelitian 4

1.6.Kerangka Pikir Penelitian 4

2. TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1.Pengertian dan Fungsi Pekarangan 5

2.2.Biofisik Pekarangan 5

2.2.1. Ukuran Pekarangan 5

2.2.2. Zona Pekarangan 6

2.2.3. Keragaman Horizontal (Fungsi) 7

2.2.4. Keragaman Vertikal (Strata) 7

2.3.Agroekosistem 7

2.4.Ketahanan Pangan 8

2.5.Aspek Keberlanjutan 8

3. METODE PENELITIAN 9

3.1.Tempat dan Waktu Penelitian 9

3.2.Alat dan Bahan 10

3.3.Metode Pengumpulan Data 11

3.4.Metode Pengolahan Data 11

3.4.1. Analisis Karakteristik Pekarangan 11

3.4.2. Analisis Sosial 12

3.4.3. Analisis Hasil Pertanian dan Nilai Ekonomi 13

3.4.4. Penyusunan Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan 13

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15

4.1.Analisis Situasional 15

4.1.1. Kondisi Umum Kabupaten Bandung 15

4.1.2. Kondisi Umum Kabupaten Bogor 19

4.1.3. Kondisi Umum Kabupaten Cirebon 24

4.2.Analisis Karakter Agroekosistem Pekarangan 28

4.2.1. Analisis Lingkungan Agroekosistem Pekarangan 28

4.2.2. Analisis Ukuran Pekarangan 29

4.2.3. Analisis Zonasi Pekarangan 31

4.2.4. Analisis Keragaman Vertikal (Strata) Pekarangan 32 4.2.5. Analisis Keragaman Horizontal (Fungsi) Pekarangan 33

4.3.Analisis Pengelolaan Pekarangan Kampung 35

4.3.1. Analisis Demografi Kelompok Wanita Tani 35

4.3.2. Analisis Aktivitas Kelompok Wanita Tani 36

4.3.3. Analisis Kondisi Kebun Bibit Kelompok Wanita Tani 37


(14)

4.4.Analisis Pemanfaatan dan Nilai Ekonomi Produk Pekarangan Kampung 40 4.4.1. Analisis Pemanfaatan Produk Pekarangan Kampung 40 4.4.2. Analisis Nilai Ekonomi dari Produk Pekarangan Kampung 42 4.5.Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan Kampung yang Berkelanjutan 43

5. KESIMPULAN DAN SARAN 46

5.1.Simpulan 46

5.2.Saran 47


(15)

iii

DAFTAR TABEL

1 Lokasi sampel kelompok wanita tani penerima program P2KP ... 10

2 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ... 10

3 Data yang diperlukan dalam penelitian. ... 10

4 Analisis, standar, metode, dan analisis dalam mengolah data ... 14

5 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bandung ... 16

6 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas, Kabupaten Bandung... 17

7 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas ... 17

8 Kondisi pengelola pekarangan kampung di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas ... 19

9 Aktivitas KWT di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas ... 19

10 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bogor ... 21

11 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari ... 21

12 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari ... 22

13 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Situ Udik, Cikara-wang, dan Bantarsari ... 23

14 Karakteristik KWT di Desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari ... 23

15 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Cirebon ... 25

16 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor ... 26

17 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor ... 26

18 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor ... 27

19 Karakteristik KWT di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor ... 28

20 Kondisi umum lingkungan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon ... 29

21 Keragaman tanaman pangan yang dominan di pekarangan kampung ... 29

22 Ukuran pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon ... 30

23 Persentase frekuensi keberadaan zona pekarangan ... 31

24 Keragaman strata tanaman pekarangan ... 33

25 Keberadaan dan jumlah spesies hewan ternak di pekarangan ... 34

26 Demografi KWT pengelola pekarangan kampung ... 35

27 Kondisi, status lahan, dan produk kebun bibit milik KWT... 39

28 Persepsi masyarakat terhadap pemasaran kolektif dan koperasi desa ... 40

29 Hasil dan alokasi dari panen produk di pekarangan kawasan per tahun ... 41

30 Persentase kelompok komoditas per alokasi hasil panen dari pekarangan ... 41

31 Nilai ekonomi dan pemanfaatan produk pekarangan kampung per tahun ... 42

32 Persentase nilai ekonomi dari produk pekarangan kampung ... 42


(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian ... 4

2 Gambaran umum fungsi pekarangan (Kehlenbeck et al. 2007) ... 5

3 Pembagian pekarangan berdasarkan zona (Arifin et al. 2009) ... 6

4 Lokasi penelitian di A) Kabupaten Bandung, B) Kabupaten Bogor, dan C) Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat... 9

5 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bandung ... 15

6 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Patrolsari... 18

7 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Girimekar ... 18

8 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bojongemas ... 18

9 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bogor ... 20

10 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Situ Udik ... 22

11 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Cikarawang... 22

12 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bantarsari ... 22

13 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Cirebon ... 24

14 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bakung Lor ... 26

15 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Grogol... 26

16 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Pegagan Lor... 27

17 Pemanfaatan zona pekarangan untuk tanaman pangan dan non-pangan ... 32

18 Keanekaragaman vertikal (strata) tanaman pekarangan ... 32

19 Keanekaragaman horizontal (fungsi) tanaman pekarangan... 33

20 Perbandingan keanekaragaman tanaman pangan dan non-pangan... 34

21 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bandung ... 37

22 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bogor ... 37

23 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Cirebon ... 37

24 Kondisi kebun bibit milik salah satu kelompok wanita tani di Kabupaten Bandung (kiri), Bogor (tengah), dan Cirebon (kanan) ... 38

25 Contoh kebun bibit kelompok yang mengalami kerusakan fisik ... 39

26 Model tiga pilar keberlanjutan pengelolaan pekarangan kampung ... 44


(17)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara agraris dengan potensi sumberdaya alam yang ada, seharusnya mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional serta kesejahteraan penduduknya. Mengacu pada definisi ketahanan pangan dari FAO (2010), maka ketahanan pangan nasional dapat diartikan sebagai kondisi ketika semua penduduk memiliki akses pangan yang cukup untuk hidup sehat dan aktif. Kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang berjumlah 243.74 juta jiwa (BPS 2014) tidaklah sedikit dan merupakan tantangan besar bagi pemerintah. Selain itu, untuk menjaga daya beli pangan untuk konsumsi, maka kesejahteraan penduduk perlu ditingkatkan.

Permasalahan ketahanan pangan nasional yang dialami saat ini salah satunya adalah hasil panen menurun akibat berkurangnya lahan untuk aktivitas pertanian. Banyak ladang, kebun, dan sawah mengalami alif fungsi menjadi lahan terbangun seperti perumahan dan kawasan urban. Sensus Pertanian tahun 2003 menunjukkan hasil mengejutkan sebab selama tahun 2000 – 2002 telah terjadi konversi lahan pertanian seluas 563 000 ha atau sekitar 188 000 ha per tahun. Pengurangan luas lahan pertanian akibat konversi lahan mencapai 7.27 % selama tiga tahun atau rata-rata 2.42 % per tahun (Irawan 2005). Kemudian pada tahun 2010 – 2011 secara nasional telah terjadi konversi lahan pertanian seluas 355 360 hektar atau berkurang 1.97% dari tahun sebelumnya (BPS 2013). Kondisi demikian terjadi begitu masif terutama di Pulau Jawa, karena peningkatan kepadatan penduduk yang disebabkan oleh laju pertumbuhan penduduk. Jawa Barat sebagai provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia, pertumbuhan penduduknya pada tahun 2000 hingga 2010 sebesar 1.9 % per tahun (BPS 2014). Pemerintah harus bijak dalam menyikapi alih fungsi lahan pertanian yang terjadi saat ini supaya kebutuhan tempat tinggal tetap terpenuhi namun tidak sampai mengancam ketersediaan pangan dalam negeri.

Tidak hanya masalah konversi lahan pertanian, faktor kemiskinan penduduk juga dapat memicu kerawanan pangan. Hal tersebut karena penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sulit memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Pada tahun 2013 sebanyak 28.55 juta jiwa penduduk Indonesia masih termasuk dalam kategori miskin (BPS 2014). Adapun di Provinsi Jawa Barat, sebanyak 4.38 juta penduduk masih berada di bawah garis kemiskinan yang kebanyakan tersebar di perdesaan (BPS 2014). Harga barang konsumsi pangan yang terus meningkat dan tidak terjangkau mengakibatkan mereka banyak yang mengalami rawan pangan.

Ketika terjadi pembangunan perumahan yang menggantikan lahan pertanian, maka di sisi lain, jumlah luas agregat pekarangan akan meningkat. Kondisi tersebut dimungkinkan karena masyarakat Indonesia lebih menyukai pemukiman horizontal (landed), di mana penambahan rumah penduduk akan diikuti penambahan jumlah pekarangan. Berdasarkan data Kementerian Pertanian RI pada tahun 2010, luas total pekarangan di Indonesia mencapai lebih dari 10,3 juta hektar (Arifin 2013). Luasan tersebut merupakan modal potensial untuk menunjang ketahanan pangan.

Pekarangan merupakan lahan pertanian skala rumah tangga yang biasanya ditanami beraneka ragam vegetasi serta hidup berbagai jenis hewan ternak dan/atau ikan (Arifin 1998). Area pekarangan berpotensi sebagai lokasi budidaya beraneka ragam sumber pangan seperti tanaman pertanian, hewan ternak, maupun ikan air tawar. Dalam sudut pandang ekologi, interaksi serta integrasi antar komponen biotik dan abiotik di pekarangan akan membentuk suatu ekosistem pertanian skala


(18)

rumah tangga. Agroekosistem pekarangan didefinisikan sebagai unit penggunaan lahan di sekitar rumah yang meliputi tanaman dan/atau hewan ternak serta lahannya sendiri, yang mengubah energi cahaya matahari, air, nutrisi, tenaga kerja, dan input pertanian lainnya menjadi produk-produk yang secara ekonomis bermanfaat bagi manusia (Arifin et al. 2009). Ekosistem buatan ini diharapkan bisa bermanfaat tidak hanya di sektor pangan, tetapi juga secara ekologi dan ekonomi bagi rumah tangga secara berkelanjutan. Pentingnya pekarangan untuk melawan masalah gizi buruk dan kerawanan pangan telah semakin menjadi perhatian (Kumar dan Nair 2004).

Pemerintah Indonesia sangat memperhatikan pemenuhan kebutuhan pangan seluruh penduduknya sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang (UU) No. 18 tahun 2012 tentang pangan. UU tersebut merupakan amandemen dari UU Pangan No. 7 tahun 1996 tentang pangan, serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional sudah cukup berhasil, meskipun beberapa komoditas pangan pokok masih diimpor, misalnya beras, kedelai, dan daging sapi. Terkait kondisi demikian, pemerintah lalu membuat kebijakan Peraturan Presiden No. 22 tahun 2009 tentang kebijakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal, yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Pertanian No. 43 tahun 2009 tentang gerakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal. Oleh karena itu, Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian sejak tahun 2010 mencanangkan program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) untuk meningkatkan keanekaragaman pangan yang bergizi seimbang, sehat, dan aman (B2SA) serta memanfaatkan komoditas pangan lokal.

Program P2KP menginisiasi pengelolaan beberapa pekarangan dalam suatu kawasan untuk menunjang ketahanan pangan masyarakat. Sejumlah pekarangan pada satu kawasan atau suatu komunitas masyarakat dapat disebut pekarangan kampung (Arifin 2013). Dalam program ini, BKP melibatkan kelompok wanita tani (KWT) di desa dan kelurahan sebagai pengelola pekarangan kampung. Setiap KWT beranggota minimal 10 orang atau 10 pekarangan yang disebut dasa wisma, serta memiliki satu kebun bibit kelompok. Program P2KP direncanakan berjalan selama 5 tahun sejak 2010 hingga 2015 (BKP 2012), yang mana setiap KWT mendapat dana bantuan modal dan pengembangan usaha secara bertahap di setiap tahunnya. Pengelolaan pekarangan kampung diharapkan bermanfaat menunjang ketahanan pangan dalam aspek sosial, ekologi, dan ekonomi bagi rumah tangga maupun masyarakat lokal secara berkelanjutan.

1.2. Perumusan Masalah

Pekarangan sebagai agroekosistem merupakan bentuk pertanian skala rumah tangga. Luasan agregat pekarangan di Indonesia sangat potensial sebagai penunjang atau alternatif sumber pangan nasional yang dimulai dari skala rumah tangga atau keluarga. Hal tersebut dengan syarat pemilik pekarangan tidak hanya memelihara tanaman hias sebagai ornamen rumah tetapi juga membudidayakan tanaman pangan dan hewan ternak. Produk pekarangan memiliki nilai tambah yaitu bisa dikonsumsi oleh rumah tangga atau dijual, namun tetap mempertahankan manfaat sosial dan ekologinya (Kehlenbeck et al. 2007). Nilai ekonomi dari produk pekarangan bisa menunjang ketahanan pangan rumah tangga, dengan asumsi uang yang diperoleh dari penjualan produk kemudian digunakan untuk membeli kebutuhan pangan.


(19)

3

Keanekaragaman hayati pertanian yang ada di suatu pekarangan sebaiknya memperhatikan aspek agroekologi. Hal ini maksudnya adalah perlu ada kesesuaian antara komponen biotik dengan abiotik sehingga dapat membentuk agroekosistem pekarangan yang produktif. Komponen abiotik yang perlu diperhatikan yaitu iklim, suhu udara, kelembapan udara, curah hujan, ketersediaan air, dan jenis tanah. Beberapa komponen tersebut biasanya dipengaruhi oleh ketinggian tempat di atas permukaan laut dan letak geografis. Maka menarik untuk dikaji ada atau tidaknya perbedaan komoditas pertanian dan hasil panen dari pekarangan yang berada pada ketinggian dan letak yang berbeda. Tidak hanya itu, aspek sosial-budaya dalam hal organisasi masyarakat pada tiap lokasi pun dapat dikaji. Lokasi yang dimaksud ini diklasifikasikan menjadi dataran tinggi, sedang, dan rendah.

Idealnya klasifikasi ketiga lokasi penelitian berada dalam satu daerah aliran sungai (DAS) yang terdiri atas upper stream (hulu), middle stream (tengah), dan down stream (hilir). Lokasi pelaksanaan program P2KP telah ditentukan oleh BKP tingkat provinsi, yang mana tidak setiap desa/kelurahan di kabupaten/kota terpilih sebagai penerima program ini. Berdasarkan data dan rekomendasi dari BKP Jawa Barat tidak memungkinkan untuk mengambil sampel dalam satu DAS.

Kajian beberapa pekarangan kampung dibuat menyeluruh, yang mana fungsi pekarangan tidak hanya dipandang dari aspek ketahanan pangan, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Pengelolaan pekarangan kampung yang dilakukan oleh KWT diharapkan dapat menjawab tantangan ketahanan pangan. Meskipun banyak KWT yang baru terbentuk saat sosialisasi program P2KP, mereka dituntut untuk menghasilkan pangan yang murah, beragam, dan aman dari pekarangannya. Adapun masalah yang dikaji adalah:

1. Bagaimana kondisi eksisting pekarangan kampung milik KWT? 2. Bagaimana pengelolaan pekarangan kampung oleh KWT?

3. Bagaimana kontribusi hasil pekarangan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sekaligus mengurangi belanja pangan rumah tangga, menambah income rumah tangga, dan membantu kebutuhan pangan masyarakat?

4. Bagaimana strategi pengelolaan pekarangan oleh masyarakat desa agar bisa menunjang kebutuhan pangan serta meningkatkan pendapatan rumah tangga secara berkelanjutan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis karakteristik agroekosistem pekarangan kampung milik KWT. 2. Menganalisis pengelolaan pekarangan kampung oleh KWT

3. Menganalisis pemanfaatan dan nilai ekonomi produk pekarangan.

4. Menyusun rekomendasi pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung untuk menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan yang berkelanjutan.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah informasi tentang karakteristik agroekosistem pekarangan kampung, aktivitas pengelolaannya oleh KWT, serta hasil evaluasi pengelolaan pekarangan kampung. Informasi tersebut lalu dirumuskan menjadi rekomendasi pengelolaan pekarangan kampung yang berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu kawasan.


(20)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Aspek pekarangan yang ditinjau dalam penelitian ini meliputi ekologi, pola pengelolaan, pemanfaatan produk, dan nilai ekonomi produknya. Peninjauan aspek ekologi berdasarkan kondisi perbedaan zona ekologi pekarangan. Perbedaaan zona ekologi berimplikasi pada penentuan lokasi sampel yang berada di wilayah berbeda, yaitu dataran tinggi (500 - 1 000 mdpl), sedang (150 - 500 mdpl), dan rendah (0 - 150 mdpl). Sampel merupakan pekarangan KWT penerima bantuan program P2KP. Program tersebut sebagai pendorong pengelolaan pekarangan kampung, yang mana pendanaannya bersumber dari pemerintah pusat dan bekerja sama dengan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan di tingkat kota atau kabupaten. Aspek sosial ditinjau untuk menganalisa peran kelembagaan, yakni KWT dalam mengelola pekarangan secara kolektif. Aspek ekonomi dihitung berdasarkan nilai ekonomi produk pekarangan dari aktivitas konsumsi, berbagi, dan penjualan. Nilai ekonomi produk pekarangan mengacu pada harga yang berlaku di pasar tingkat kabupaten.

1.6. Kerangka Pikir Penelitian

Masalah ketahanan pangan nasional melatarbelakangi penelitian agroeko-sistem pekarangan ini. Pengelolaan pekarangan dalam suatu kawasan sebaiknya dilakukan secara kolektif agar memberikan dampak positif bagi rumah tangga dan juga masyarakat sekitarnya. Dampak tersebut meliputi aspek ekologi, sosial, dan ekonomi. Aspek ekologi menyentuh kajian biofisik dari pekarangan. Aspek sosial menyentuh aspek kelembagaan pengelolaan pekarangan kampung oleh KWT. Kemudian aspek ekonomi menyentuh nilai ekonomi produk pekarangan yang dikonsumsi, dibagikan, dan dijual. Produk dari penelitian ini adalah rekomendasi pengelolaan pekarangan kampung untuk menunjang ketahanan pangan dan kese-jahteraan yang berkelanjutan (Gambar 1).


(21)

5

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian dan Fungsi Pekarangan

Pekarangan merupakan lahan dengan sistem terintegrasi dan mempunyai hubungan yang kuat antara manusia sebagai pemilik dan penghuninya dengan tumbuhan dan tanaman serta dengan hewan-hewan yang diternaknya (Arifin 2010). Pekarangan dapat dianalogikan sebagai miniatur praktik agroforestri skala rumah tangga (Arifin et al. 2009). Fungsi dasar pekarangan, khususnya di area perdesaan, yaitu sebagai sumber produksi pangan subsisten (Kumar dan Nair 2004). Secara umum, agroekosistem pekarangan memiliki fungsi produksi dan jasa lingkungan (Kehlenbeck et al. 2007). Fungsi produksi berkaitan dengan peran langsung dari konsumsi atau pemanfaatan tanaman dan hewan yang dibudidayakan, serta peran komersial dari penjualan komoditas pekarangan; sedangkan fungsi jasa lingkungan berkaitan dengan sosial, budaya, dan ekologi (Gambar 2). Pekarangan berfungsi untuk menghasilkan: 1) bahan pangan tambahan hasil sawah dan tegalan; 2) sayur dan buah-buahan; 3) unggas, ternak kecil, dan ikan; 4) rempah-rempah, bumbu, dan wangi-wangian; 5) bahan kerajinan tangan; dan 6) uang tunai (Deptan 2002). Selain itu, pekarangan juga memberi manfaat jasa lingkungan. Optimalisasi pemanfaatan pekarangan bisa ditekankan pada fungsi pekarangan yang berimbang secara produktif, baik sisi ekonomis maupun ekologis (Arifin 2013).

Gambar 2 Gambaran umum fungsi pekarangan (Kehlenbeck et al. 2007)

2.2. Biofisik Pekarangan

Biofisik pekarangan terdiri atas beberapa aspek, yaitu ukuran (luas), zonasi, keragaman vertikal (strata) tanaman, serta keragaman horizontal (fungsi) tanaman dan hewan di pekarangan (Arifin 1998, Arifin et al. 2009, 2010, Azra 2014).

2.2.1.Ukuran Pekarangan

Ukuran lahan pekarangan sebagai media usaha tani sangat menentukan intensitas produksi dalam pekarangan (Arifin et al. 2013). Ukuran pekarangan juga salah satu modal dalam pengelolaan pekarangan, dengan asumsi bahwa semakin luas lahan maka semakin banyak aktivitas pertanian yang bisa dilakukan (Budiman


(22)

et al. 2015). Pekarangan diklasifikasikan ke dalam empat ukuran, yaitu: (1) pekarangan sempit dengan luas kurang dari 120 m2, (2) pekarangan sedang dengan luas 120 m2 s.d. 400 m2, (3) pekarangan besar dengan luas 400 m2 s.d. 1000 m2, dan (4) pekarangan sangat besar dengan luas lebih dari 1 000 m2 (Arifin 1998; Arifin et al. 2012). Ukuran pekarangan yang lebih kecil biasanya ditemukan di kawasan perkotaan (urban) serta di lokasi yang lebih tinggi (Brownrigg 1985). Model dan penggunaan pekarangan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) dipengaruhi oleh ukuran luas lahannya. Sebuah pekarangan agar dapat mengakomodasi semua struktur dan fungsi vegetasi, dibutuhkan luas minimum atau critical minimum size seluas 100 m2 (Arifin et al. 1997, 1998a; Arifin 1998). Pada pekarangan kota yang memiliki karakter ukuran sempit tentu diperlukan rekayasa dalam budidaya semisal dengan menanam buah di dalam pot (tabulampot), vertical garden, green screen garden, hanging garden, green roof garden, dan lain-lain (Arifin et al. 2009, 2010).

2.2.2.Zona Pekarangan

Model pekarangan rumah didasarkan pada pengetahuan dan kearifan lokal masyarakat setempat. Pekarangan sebagai tipe taman rumah Indonesia (Arifin dan Nakagoshi 2011) memiliki zona sebagai bentuk tata ruang sesuai lokasi geografis dan kondisi sosial budaya yang berlaku di lingkungan pekarangan. Pada umumnya pekarangan terdiri dari empat zona (Gambar 3), yaitu (1) pekarangan depan, (2) pekarangan samping kiri, (3) pekarangan samping kanan, serta (4) pekarangan belakang (Arifin 1998, 2002, Arifin et al. 1997, 2009). Seperti halnya pekarangan di Jawa Barat, suku Sunda menamai zona depan pekarangan mereka sebagai buruan, samping sebagai pipir, dan belakang sebagai kebon (Arifin 2009). Pembagian zona tersebut berguna dalam mempelajari bagaimana anggota rumah tangga meman-faatkan pekarangan. Zona depan merupakan tempat penting untuk sosialisasi dan pembelajaran nilai sosial budaya kepada anak-anak yang dilakukan oleh orang tua (Arifin 1998). Zona depan juga berfungsi sebagai tempat untuk ritual keagamaan dan upacara kebudayaan, pertemuan, serta arena bermain anak-anak (Abdoellah 1985). Zonasi ini menentukan pengelolaan pekarangan. Tanaman yang digunakan untuk estetika banyak ditemukan di zona depan, sedangkan tanaman-tanaman untuk agroforestri banyak ditemukan di zona samping dan belakang (Arifin et al. 1996). Hal ini didukung oleh Azra et al. (2014) yang menyatakan bahwa preferensi penanaman di zona depan lebih banyak untuk tanaman hias, sedangkan di zona belakang cenderung ditanami berbagai tanaman pangan.

Gambar 3 Pembagian pekarangan berdasarkan zona (Arifin et al. 2009) Zona Depan

Zona Samping

kiri

Zona Samping

kanan

Zona Belakang pintu masuk


(23)

7

2.2.3.Keragaman Horizontal (Fungsi)

Keragaman horizontal mengacu pada fungsi atau manfaat dari tanaman dan hewan yang ada di pekarangan. Tanaman pertanian di pekarangan diklasifikasikan berdasarkan keragaman horizontal (fungsi) menjadi 8 fungsinya (Karyono 1978, Arifin et al. 1997, 1998, 2009, 2012), yaitu (1) tanaman hias; (2) tanaman buah; (3) tanaman sayuran; (4) tanaman bumbu; (5) tanaman obat; (6) tanaman penghasil pati; (7) tanaman industri; (8) tanaman lain, yaitu tanaman yang tidak termasuk dalam kategori di atas. Penentuan kelompok tanaman berdasarkan fungsi ini dipengaruhi oleh preferensi pemilik pekarangan sebagai konsumen (Arifin 1997, 1998). Hewan ternak di pekarangan digolongkan berdasarkan ukurannya, yaitu ternak besar, ternak kecil, dan ikan air tawar (Azra 2014). Ternak besar yaitu hewan mamalia berukuran besar dengan berat lebih dari 10 kg serta memerlukan kandang yang ditempatkan di pekarangan secara khusus, contohnya sapi, kerbau, kambing, dan domba. Ternak kecil yaitu hewan mamalia berukuran kecil dengan berat kurang dari 10 kg dan unggas yang penempatan kandangnya bisa dipindah-pindahkan, contohnya kelinci, ayam, entog, bebek, itik, dan angsa.

2.2.4.Keragaman Vertikal (Strata)

Pekarangan di Indonesia selalu dicirikan dengan keragaman stratifikasi tumbuhan/tanaman yang cukup tinggi, mulai dari jenis rerumputan, herbaceous, semak, perdu, dan pohon tinggi (Arifin et al. 1997, 2010, 2012). Struktur tanaman pekarangan tersebut akan membentuk multilayer (berlapis) yang merepresentasikan sistem agroforestri (Arifin 1998). Berdasarkan keragaman vertikal (strata), tanaman pekarangan terdiri atas strata I s.d. V dengan ketinggian tajuk yang berbeda-beda (Arifin 1998). Strata I yakni tanaman yang tingginya kurang dari 1 m, kelompok semak/herba/rumput, misal talas, ubi jalar, jahe, tomat, cabai, terong, bayam, kangkung, semangka, dan nanas; strata II yakni tinggi tanaman 1-2 m, semak/herba, misal singkong, katuk, suji, rosella, ganyong, dan kacang panjang; strata III yakni tinggi tanaman 2-5 m, kelompok perdu kecil/semak, misal jeruk, lemon, pisang, pepaya, dan mengkudu; strata IV yakni tinggi tanaman 5-10 m, kelompok pohon kecil/perdu besar, misal jambu biji, nangka, rambutan, mengkudu, dan sawo; dan strata V yakni tanaman yang tinggi tajuknya lebih dari 10 m, kelompok pohon tinggi, misalnya petai, jengkol, durian, melinjo, salam, kelapa, sukun, dan duku.

2.3. Agroekosistem

Agroekosistem yaitu unit penggunaan lahan yang meliputi tanaman dan/atau hewan ternak serta lahannya sendiri, yang mengubah energi matahari, air, nutrisi, tenaga kerja, dan input pertanian lainnya menjadi produk-produk yang secara ekonomis bermanfaat bagi manusia; seperti bahan pangan, pakan, sandang, maupun papan (Arifin et al. 2009). Pekarangan adalah salah satu bentuk nyata dari sebuah agroekosistem. Produktivitas tanaman atau hewan ternak dan ikan dipengaruhi oleh kesesuaiannya dengan lingkungan tempat dibudidayakan.

Pada pekarangan di Jawa Barat, ditemukan integrasi antara manusia, tanaman, dan hewan yang membentuk sebuah rantai makanan (Soemarwoto dan Soemarwoto 1981). Prinsip agroekologi digunakan dalam pengelolaan agroekosistem untuk meningkatkan fungsi biodiversitas yang integral di dalamnya (Gliessman 1998). Pendekatan agroekosistem terhadap nilai penting keanekaragaman hayati atau bio-diversitas berbeda dengan pendekatan ekosistem alam (Moonen dan Barberi 2008).


(24)

Keanekaragaman hayati di dalam pengelolaan agroekosistem telah diseleksi oleh manusia dengan memilih spesies, varietas, dan ras yang lebih produktif, serta mengurangi spesies, varietas, dan ras yang kurang produktif. Langkah tersebut dilakukan karena agroekosistem tumbuh dan dikelola dengan tujuan memproduksi pangan, pakan, dan bahan baku (Moonen dan Barberi 2008).

2.4. Ketahanan Pangan

Mengacu pada Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Pada Perpres No. 68 tahun 2002 pasal 1 dan UU No. 18 tahun 2012 dijelaskan bahwa ketahanan pangan dapat diartikan sebagai kondisi di mana terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perse-orangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

2.5. Aspek Keberlanjutan

Penggunaan terbaik dari lahan dalam konsep keberlanjutan (sustainability) dispesifikasikan sebagai satu situasi keseimbangan atau integrasi antara efisiensi, ekuitas, dan penggunaan sumberdaya alam (Miranda 2001). Pekarangan merupakan lambang keberlanjutan (Kumar dan Nair 2004). Aspek pangan dan ekonomi perlu diperhatikan mengingat hasil produksi dari pekarangan merupakan indikator keberhasilan pengelolaan pekarangan, selain itu cukup banyak hasil pekarangan yang berpotensi sebagai sumber pemasukan ekonomi bagi rumah tangga (Michon dan Mary 1994). Keseimbangan dan keberlanjutan lanskap pekarangan dapat dicapai dengan mengaplikasikan konsep triple bottom line benefit, yakni ling-kungan (ekologi), masyarakat (sosial-budaya), dan ekonomi (Arifin et al. 2009). Konsep tersebut dijabarkan sebagai berikut:

a. Dimensi lingkungan mengacu pada masalah kelestarian alam seperti keragaman lanskap, kualitas kehidupan, kelangkaan sumberdaya, dan variabel-variabel lingkungan yang terkait dengan kemanusiaan. Faktor biodiversitas juga menjadi kunci strategi ekologis menuju keberlanjutan produksi pertanian (Altieri 1999). Orientasi pada ekologi seyogianya dilakukan dengan misi konservasi yang berprinsip pada pemanfaatan yang peduli lingkungan (Arifin et al. 2009). Pemanfaatan lahan dilakukan secara berkelanjutan, yaitu dapat memenuhi keperluan saat ini sekaligus mengawetkan sumberdaya tersebut untuk generasi yang akan datang, hal ini tentunya memerlukan kombinasi bijak antara produksi dan konservasi. b. Dimensi sosial memperhatikan masalah-masalah ekuitas atau masalah distribusi dan keadilan, seperti distribusi pendapatan, akses ke sumber pangan, dan tingkat kesejahteraan hidup. Dengan kata lain, harus dikaji dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dimaksud.


(25)

9

Konsep yang berpihak pada masyarakat diacu pada kesejahteraan secara rohani dan jasmani masyarakat itu sendiri (Arifin et al. 2009).

c. Dimensi ekonomi berhubungan dengan masalah efisiensi (penghematan) serta kesejahteraan seperti pendapatan, produksi, dan investasi. Pada konteks ketahanan pangan, penggunaan pekarangan sebaiknya layak secara ekonomi dalam arti memberikan hasil produksi yang optimal. Pengelolaan lahan harus diarahkan pada aktivitas produktif dan efisien.

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Jawa Barat dengan mengambil sampel di tiga wilayah dengan ketinggian yang berbeda. Ketiga wilayah tersebut yaitu dataran tinggi (600 – 1 200 mdpl) yang diwakili oleh Kabupaten Bandung, dataran sedang (150 – 600 mdpl) yang diwakili oleh Kabupaten Bogor, dan dataran rendah (0 – 150 mdpl) yang diwakili oleh Kabupaten Cirebon (Gambar 4). Pada setiap kabupaten tersebut dipilih 3 kecamatan yang memiliki satu desa yang terdapat kelompok wanita tani (KWT) penerima program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Lokasi sampel di Kabupaten Bandung berada di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas. Lokasi sampel di Kabupaten Bogor berada desa Situ Udik, Cikarawang, dan Bantarsari. Lokasi sampel di Kabupaten Cirebon berada di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor.

Sampel terpilih yaitu pekarangan milik anggota KWT penerima P2KP di desa tersebut. Masing-masing KWT memiliki 10 pekarangan anggota yang disebut dasa wisma. Satu wilayah atau kabupaten diwakili oleh 30 sampel pekarangan. Total sampel berjumlah 90 pekarangan berikut pemiliknya yang tersebar merata di sembilan kawasan (Tabel 1). Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2013 hingga bulan Juni 2014.

Sumber: Bakosurtanal 2003

Gambar 4 Lokasi penelitian di A) Kabupaten Bandung, B) Kabupaten Bogor, dan C) Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat

A


(26)

Tabel 1 Lokasi sampel kelompok wanita tani penerima program P2KP

No. Kabupaten Kecamatan Desa KWT

1 Bandung

(dataran tinggi)

Arjasari Patrolsari Mawar

2 Cilengkrang Girimekar Sauyunan

3 Solokanjeruk Bojongemas Melati 2

4 Bogor

(dataran sedang)

Cibungbulang Situ Udik Teratai

5 Dramaga Cikarawang Mawar

6 Rancabungur Bantarsari Rukun Tani

7 Cirebon

(dataran rendah)

Jamblang Bakung Lor Jambu Alas

8 Gunung Jati Grogol Bina Sri Lestari

9 Kapetakan Pegagan Lor Harum Sari

3.2. Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan beberapa peralatan dalam bentuk perangkat keras (hardware) perangkat lunak (software) (Tabel 2). Perangkat keras digunakan saat melakukan survei lapang dan wawancara, sedangkan perangkat lunak digunakan pada pengolahan data yang terhimpun. Bahan-bahan yang digunakan berbentuk data yang diperlukan untuk analisis (Tabel 3).

Tabel 2 Alat-alat yang digunakan dalam penelitian

Alat Kegunaan

Perangkat keras (hardware)

Lembar kuisioner Catatan data sementara dari hasil survei di lapang Kamera digital Pengambilan data visual kondisi wilayah setempat

Meteran Pengukuran luas pekarangan dan tanaman

Abney level Pengukuran ketinggian tanaman

GPS Pengecekan lapangdan delineasi

Perangkat lunak (software)

Microsoft Excel 2013 Pengolahan data kuesioner dan analisis ekonomi Tabel 3 Data yang diperlukan dalam penelitian.

Jenis Data Bentuk Data Sumber

Aspek Ekologi

1. Iklim - Statistik - Agroklimat 2. Kondisi umum pertanian - Statistik - BPS, BKP5K 3. Fisik pekarangan - Ukuran dan zona - Survei lapang 4. Biodiversitas pekarangan

kampung

- Daftar dan fungsi tanaman pekarangan

- Survei lapang dan wawancara

Aspek Sosial

1. KWT penerima P2KP - Laporan kegiatan - BKP kabupaten 2. Data demografi anggota

KWT

- Usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan

- Wawancara

3. Evaluasi pengelola pekarangan kampung

- Pemanfaatan pekarangan dan P2KP

- Wawancara dan FGD

Aspek Ekonomi

1. Pemanfaatan dan nilai ekonomi produk

- Informasi harga komoditas pertanian di pekarangan

- Survei pasar

2. Persepsi pemasaran produk pekarangan kampung

- Deskriptif - Wawancara dan FGD


(27)

11

3.3. Metode Pengumpulan Data

Metode penelitian yang digunakan yaitu survei lapangan, wawancara, dan diskusi kelompok atau focus group discussion (FGD). Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive sampling. Pemilihan tiga kabupaten di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bandung, Bogor, dan Kabupaten Cirebon mewakili kondisi lingkungan yang berbeda berdasarkan letak geografis dan ketinggiannya di atas permukaan laut (mdpl). KWT diseleksi berdasarkan rekomendasi dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Jawa Barat dan kabupaten yang merupakan penerima program P2KP pada tahun 2011 dan 2012. Pada satu kabupaten dipilih tiga KWT, lalu dipilih 10 anggota sebagai responden oleh ketua KWT.

Metode survei dilakukan dengan pengamatan langsung ke pekarangan-pekarangan, kebun bibit kelompok, lingkungan pekarangan kampung, dan harga komoditas pertanian di pasar terdekat. Wawancara dilakukan kepada anggota KWT dan pihak terkait di tingkat desa dan kabupaten. Aktivitas wawancara terhadap pemilik pekarangan terkait beberapa aspek, yaitu: aspek ekologi (ukuran luas dan zonasi pekarangan, sumber air, keragaman tanaman dan hewan yang dipelihara), aspek pengelolaan pekarangan kampung, dan pemanfaatan produk pekarangan. Studi pustaka juga dilakukan sebagai informasi tambahan dan bahan analisis atau referensi kesesuaian komoditas pertanian di pekarangan dengan lingkungannya.

3.4. Metode Pengolahan Data

Tahap selanjutnya setelah data terhimpun yaitu dilakukan beberapa analisis, yaitu: 1) analisis ekologi pekarangan sebagai suatu agroekosistem, 2) analisis sosial pada pengelolaan pekarangan kampung, 3) analisis pemanfaatan dan nilai ekonomi produk dari pekarangan, serta 4) penyusunan strategi pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung dalam menunjang ketahanan pangan yang berkelanjutan.

3.4.1.Analisis Karakteristik Pekarangan

Karakteristik pekarangan sebagai dasar dalam pengembangan pekarangan dianalisis secara deskriptif. Analisis karakteristik pekarangan yaitu (Arifin 1998, Arifin et al. 2013): 1) kondisi lingkungan (ketinggian, suhu, dan curah hujan); 2) klasifikasi ukuran sempit (< 120 m2), sedang (120 – 400 m2), besar (400 – 1000 m2), dan sangat besar (> 1000 m2); dan 3) agro-biodiversitas berdasarkan fungsi tanaman (hias, sayur, buah, pati, bumbu, obat, industri, dan lainnya). Selain itu juga dikaji keberadaan dan pemanfaatan hewan ternak dan ikan, baik jenis maupun jumlahnya; (7) sumber air; (8) pemeliharaan pekarangan (pemberian pupuk serta pengendalian hama dan penyakit). Jenis ternak dikelompokkan menjadi ternak besar dan kecil, yang mana ternak besar hanya spesies domba dan kambing, adapun ternak kecil yaitu ayam, bebek, angsa, dan kelinci. Pembatasan hewan besar agar tidak ada pencilan data pada angka bobot komoditas pekarangan, sehingga tidak termasuk spesies sapi dan kerbau.

3.4.1.1. Analisis Dominansi Tanaman Pekarangan

Analisis dominansi tanaman dilakukan dengan metode Summed Dominance Ratio (SDR) untuk mengetahui komposisi tanaman yang ada di pekarangan. Agar diketahui angka SDR dari tanaman tersebut, nilai kerapatan relatif spesies (RDa) dan nilai frekuensi relatif spesies (RFa) harus diketahui terlebih dahulu. Adapun rumus yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai RDa, RFa, dan SDR adalah sebagai berikut (Kanara 2012):


(28)

�� % = �ℎ �ℎ �×

�� % = �ℎ �� �ℎ �×

� � % = �� + ��

Nilai kerapatan dan frekuensi tersebut dihitung per spesies tanaman di setiap pekarangan. Terkait dengan fungsi dasar pekarangan sebagai penunjang ketahanan pangan rumah tangga maka hanya jenis tanaman pangan (obat, sayur, buah, bumbu, penghasil pati) yang dinilai SDR-nya. Setelah mengetahui angka SDR dari setiap spesies di pekarangan, lalu dibandingkan dengan spesies lainnya di dalam satu pekarangan kampung. Angka SDR rata-rata per spesies tanaman di pekarangan dalam suatu kabupaten diperoleh dari nilai SDR-nya per pekarangan kampung. Hal ini berguna untuk mengetahui spesies tanaman pangan apa yang paling banyak (mendominasi) di pekarangan kampung dalam suatu kabupaten. Semakin tinggi nilai SDR spesies tanaman berarti keberadaan spesiesnya semakin dominan.

3.4.1.2. Analisis Keragaman Shannon-Wiener

Komoditas pekarangan yang dianalisis meliputi tanaman, hewan ternak, dan ikan yang ditemukan di setiap pekarangan, yang kemudian diketahui nilai rata-rata keberadaannya untuk suatu kabupaten. Tanaman yang dianalisis terbatas pada jenis tanaman pangan, yaitu tanaman obat, sayur mayur, buah-buahan, bumbu, serta penghasil pati. Keragaman tanaman tersebut dianalisis dengan metode Shannon – Wiener (Azra et al. 2014), yang mana rumusnya sebagai berikut:

�′= − ∑ ln

� �=1

Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman hayati Shannon-Wiener Pi = ni/n

ni = jumlah individu jenis ke-i

n = jumlah individu dari semua spesies ln = logaritma natural (bilangan alami) s = jumlah jenis yang ada

Nilai perhitungan indeks keragaman (H’) tersebut menunjukkan keragaman

spesies tinggi bila H’ > 3, keragaman spesies sedang dengan nilai 1 < H’ < 3, atau keragaman spesies rendah bila H’ < 1 di lokasi penelitian (Azra 2014). Semakin tinggi keragaman spesies maka agroekosistem itu semakin baik secara ekologi.

3.4.2.Analisis Sosial

Analisis sosial dalam pengelolaan pekarangan kampung meliputi demografi (umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan anggota KWT). Informasi tersebut penting dalam perumusan rekomendasi strategi pengelolaan pekarangan. Umur rata-rata untuk melihat potensi kemampuan responden. Tingkat pendidikan responden diklasifikasikan mulai dari lulus sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan diploma atau sarjana (D3/S1). Pekerjaan responden digolongkan menjadi ibu rumah tangga (IRT), petani atau buruh tani, wirausaha atau pedagang, pegawai atau buruh, dan usaha lainnya. Pendapatan rata-rata responden per bulannya dikelompokkan dalam beberapa kelas


(29)

13

yaitu: 1) kurang dari Rp 500 000, 2) Rp 500 001 – Rp 1 000 000, 3) Rp 1 000 001

– Rp 1 500 000, 4) Rp 1 500 001 – Rp 2 000 000, 5) Rp 2 000 001 – Rp 2 500 000, dan 6) Rp 2 500 001 – Rp 3 000 000. Pendapatan ini tidak termasuk pendapatan bulanan dari suami atau anaknya. Besarnya pendapatan tambahan dari pekarangan akan dibandingkan dengan nilai pendapatan responden untuk diketahui persentase kontribusi hasil pengelolaan pekarangan terhadap pendapatan responden.

3.4.3.Analisis Hasil Pekarangan dan Nilai Ekonomi Produk

1. Analisis hasil dari panen tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan dilakukan sebagai berikut:

a. Menghitung rata-rata produksi tanaman pekarangan per fungsi (Arifin 1998), ternak, dan ikan dalam satu tahun.

b. Digunakan kalender tanam sebagai referensi siklus tanaman semusim. c. Digunakan referensi umur panen hewan ternak dan ikan budidaya. d. Satuan-satuan lokal yang ditemui saat survei seperti ikat atau karung

dikalibrasi dengan satuan baku yakni kilogram (kg).

2. Analisis pemanfaatan hasil panen pekarangan dilakukan dengan pengelom-pokkan hasil atau produk dari pekarangan sesuai keinginan pemiliknya. Lalu diperoleh tiga kelompok pemanfaatan produk pekarangan, yaitu konsumsi rumah tangga, dibagikan ke tetangga, dan dijual ke pasar.

3. Analisis nilai ekonomi hasil panen di pekarangan dilakukan dengan cara: a. Harga komoditas pertanian yang digunakan adalah harga beli pada saat

survei di masing-masing kabupaten dalam satuan rupiah (Rp).

b. Penghematan rumah tangga dihitung melalui valuasi hasil panen dari pekarangan yang dikonsumsi oleh anggota rumah tangga dengan harga komoditas yang serupa di pasaran;

c. Kontribusi sosial dihitung melalui valuasi hasil panen yang diberikan ke tetangga atau saudara dengan harga komoditas yang serupa di pasar. d. Menghitung tambahan nilai ekonomi bagi rumah tangga dengan valuasi

hasil produksi pekarangan yang dijual ke pasar.

e. Pendapatan tambahan ini dihitung dalam waktu satu tahun, sehingga perhitungannya disesuaikan dengan jumlah panen dalam setahun.

3.4.4.Penyusunan Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan

Penyusunan rekomendasi dimulai dari kajian tujuan pertama (karakteristik agroekosistem dan pengelolaan pekarangan kampung), kedua (hasil produksi dan nilai ekonomi produk pekarangan), dan kelembagaan serta kebijakan yang terkait pengelolaan pekarangan kampung. Tahap diskusi bersama pihak-pihak yang terkait pengelolaan pekarangan kawasan dilakukan untuk memperoleh informasi yang komprehensif. Pihak yang terkait tersebut yaitu KWT, penyuluh atau pendamping KWT, perangkat desa, dan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan di kabupaten. Bentuk diskusi dilakukan personal maupun dalam forum grup diskusi yang mana menghadirkan pakar pekarangan dari institusi pendidikan. Perumusan dilakukan secara deskriptif berdasarkan informasi yang dihimpun dan data hasil analisis.

Berbagai macam parameter tersebut dikelompokkan menurut analisis yang digunakan pada setiap tujuan. Secara umum meliputi analisis agroekosistem, sosial, dan ekonomi, sebagai penunjang keberlanjutan pengelolaan pekarangan kampung. Matriks keterkaitan antara tujuan, standar, metode, alat, dan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.


(30)

Tabel 4 Analisis, standar, metode, dan analisis dalam mengolah data

Tujuan Standar Metode Alat Analisis

1. Analisis karakteristik agroekosistem pekarangan kampung a. Kondisi

lingkungan

Ketinggian lokasi (mdpl), suhu udara (oC), curah

hujan (mm/tahun), dan jarak desa ke kota (km)

survei dan tinjauan pustaka lembar survei Karakteristik agro-ekosistem kawasan dan komoditas pertanian lokal b. Ukuran Klasifikasi Arifin (1998):

1. sempit (< 120 m2)

2. sedang (120 – 400 m2)

3. besar (400 – 1000 m2)

4. sangat besar (> 1000 m2)

survei meteran dan lembar survei

Ukuran pekarangan minimum, rata-rata, dan maksimum di lokasi penelitian

c. Zonasi Klasifikasi menurut Arifin (1998): a) zonasi depan, b) samping, dan c) belakang

survei kamera digital, catatan Intensitas zonasi setiap ukuran pekarangan d. Keragaman vertikal tanaman (strata)

Klasifikasi Arifin (1998): 1. Strata V (>10 m) 2. Strata IV (5-10 m) 3. Strata III (2-5 m) 4. Strata II (1-2 m) 5. Strata I (<1 m)

survei abney level, lembar survei, dan kamera digital

Keanekaragaman jenis dan jumlah spesies tanaman pekarangan berdasarkan strata e. Keragaman horizontal tanaman dan hewan ternak (fungsi)

Klasifikasi fungsi tanaman (Arifin 1998): tanaman hias, obat, sayur, buah, bumbu, penghasil pati, industri, dan tanaman lainnya. Jenis dan jumlah ternak serta ikan.

survei dan wawancara lembar survei, dan kamera digital Keanekaragaman jenis dan jumlah spesies tanaman dan hewan ternak di pekarangan berdasarkan fungsi

2. Analisis pengelolaan pekarangan kampung Demografi

pengelola pekarangan kampung

1) umur,

2) tingkat pendidikan, 3) jenis pekerjaan, 4) pendapatan, 5) kondisi kebun bibit

wawancara lembar kuesioner

1) umur produktif, 2) pemahaman kerja dan ilmu pertanian, 3 & 4) waktu mengelola pekarangan dan status sosial, 5) kelanjutan suplai bibit tanaman 3. Analisis pemanfaatan dan nilai ekonomi produk pekarangan kampung

a. Hasil panen pekarangan

Dikonversi dalam satuan kilogram (kg) per tahun

survei dan wawancara

lembar kuesioner

Jumlah produk dari pekarangan kampung b. Distribusi

hasil dari pekarangan

1. Dikonsumsi sendiri 2. Dibagikan ke tetangga 3. Dijual ke warung/pasar

survei dan wawancara lembar kuesioner Konsumsi rumah tangga, kepedulian sosial, dan penjualan c. Nilai

ekonomi produk

1. Penghematan biaya 2. Sumbangan sosial 3. Pendapatan tambahan

wawancara, konversi nilai produk lembar kuesioner, harga pasar Nilai penghematan biaya, kepentingan sosial, dan pendapatan d.

Produk-tivitas

Nilai ekonomi pekarangan per satuan meter persegi

perhitungan data produk dan luas lahan

Tingkat produktivitas pekarangan kawasan

4. Rekomendasi pengelolaan pekarangan kampung sebagai agroekosistem dalam menunjang ketahanan pangan dan kesejahteraan yang berkelanjutan

Penyusunan rekomendasi dalam pengelolaan pekarangan kampung oleh KWT sebagai suatu agroekosistem untuk menunjang ketahanan pangan yang berkelanjutan wawancara dan diskusi kelompok (FGD) Lembar kuesioner, notulensi FGD

Persepsi pihak terkait tentang pengelolaan pekarangan kampung dan penjualan produk secara kolektif


(31)

15

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Situasional 4.1.1. Kondisi Umum Kabupaten Bandung

Kabupaten Bandung merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat, yakni Kota Bandung. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 176.240 ha (BPS Kab. Bandung 2013), yang terletak pada 107°22' – 108° 50' Bujur Timur dan 64°1' – 7°19' Lintang Selatan. Batas-batas administratif Kabupaten Bandung adalah:

• bagian Utara berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Sumedang;

• bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut;

• bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur;

• bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi. Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan dan 278 desa, yang mana tiga desa diantaranya sebagai lokasi penelitian, yaitu Desa Patrolsari di Kecamatan Arjasari, Desa Girimekar di Kecamatan Cilengkrang, dan Desa Bojongemas di Kecamatan Solokanjeruk. Penduduk di Kabupaten Bandung sebanyak 3.351 juta jiwa dengan tingkat kepadatan 19.01 orang/ha. Kepadatan penduduk Kecamatan Arjasari, Cilengkrang, dan Solokanjeruk yaitu 14.47, 16.37, dan 33.24 orang/ha (BPS Kab. Bandung 2013).

Sebagian besar wilayah Kabupaten Bandung merupakan pegunungan dan perbukitan yang mengelilingi Kota Bandung, dengan ketinggian antara 500 – 1 800 mdpl. Kabupaten Bandung beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin muson dengan curah hujan antara 1 500 – 4 000 mm/tahun. Ketinggian tempat berpengaruh terhadap suhu udara yang berkisar antara 12°C – 24°C. Kelembaban udara di Kabupaten Bandung yaitu 78% saat musim hujan dan 70% saat musim kemarau. Umumnya kondisi lingkungan desa di Kabupaten Bandung masih asri (Gambar 5).

Gambar 5 Kondisi lingkungan desa dan lahan pertanian di Kabupaten Bandung Lahan pertanian di Kabupaten Bandung didominasi lahan basah atau sawah yang banyak terhampar di wilayah cekungan Bandung. Luas panen padi sawah pada tahun 2012 mencapai 78 029 ha dengan produksi sebanyak 520 437 ton. Pertanian lahan kering di Kabupaten Bandung yang banyak ditemui berupa talun dan tegalan. Luas lahan perkebunan pada tahun 2012 sekitar 52 921 ha (BPS Kab. Bandung 2013). Lahan kering dipergunakan untuk budidaya aneka tanaman pangan seperti singkong, jagung, pisang, terong, kangkung, caisin, bawang, dan tomat. Komoditas andalan kabupaten ini yaitu teh, kopi, dan cengkeh. Tanah jenis andosol, mediteran, dan aluvial yang ada di kabupaten ini cocok digunakan sebagai lahan pertanian.


(32)

4.1.1.1. Lingkungan Desa di Kabupaten Bandung

Desa Patrolsari berada di ketinggian 835 mdpl dan merupakan lokasi peneliti-an ypeneliti-ang tertinggi. Kondisi demikipeneliti-an berdampak pada suhu udara ypeneliti-ang sejuk dpeneliti-an udara yang cukup lembab sehingga sesuai untuk tumbuhan dataran tinggi. Akses jalan ke lokasi pekarangan sampel cukup jauh dari jalan arteri Kabupaten Bandung namun masih ada jalan kabupaten yang bisa dilalui kendaraan beroda empat dan truk beroda enam. Sumber air yang dimanfaatkan untuk pengairan pekarangan di Desa Patrolsari yaitu sumur (80%), kolam ikan, dan air hujan (Tabel 5). Desa Patrolsari memiliki komoditas pertanian unggulan yaitu tanaman hanjeli yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber pati dan diolah menjadi berbagai pangan alternatif.

Desa Girimekar berada di ketinggian 750 mdpl dengan sebagian wilayah desa yang berupa lereng dataran tinggi, sehingga akses jalannya cukup terjal mencapai kemiringan 45o. Warga desa yang ingin membeli kebutuhan pangan harus pergi ke pasar dengan jarak sekitar 3 km, sehingga mereka mengandalkan warung terdekat. Sumber air yang dimanfaatkan untuk pengairan pekarangan di sana yaitu sumur, saluran irigasi, kolam ikan, dan air hujan (Tabel 5). Warga desa ini membuat saluran air dari mata air, namun lebih banyak mengandalkan air sumur (40%) terutama pada musim kemarau. Suhu udara yang sejuk dan tersedianya air akan mendukung pertumbuhan berbagai tanaman dataran tinggi, tidak terkecuali padi sawah. Potensi lokal sekaligus komoditas pertanian andalan desa ini yaitu padi dan cengkeh.

Desa Bojongemas berada di ketinggian yang kurang lebih sama dengan Kota Bandung yaitu 650 mdpl (Tabel 5), sehingga suhu udaranya masih cukup sejuk. Akses jalan menuju lokasi penelitian mudah dilalui karena dekat dari jalan arteri Kabupaten Bandung dan jalannya cukup lebar. Penggunaan lahan masih didominasi oleh pertanian, terutama berupa padi sawah dan kebun. Sumber air yang digunakan untuk pengairan pekarangan di Desa Bojongemas yaitu sumur, kolam ikan, dan air hujan. Ada 80% warga yang memanfaatkan air sumur, terutama selama musim kemarau. Pada saat musim hujan desa ini kerap mengalami banjir karena luapan dari sungai Citarum sehingga merusak tanaman pertanian. Bencana banjir juga merugikan pemilik kolam ikan karena banyak ikan yang hilang bila terjadi banjir. Komoditas pertanian andalan Desa Bojongemas yaitu padi sawah.

Tabel 5 Kondisi lingkungan desa lokasi penelitian di Kabupaten Bandung

Nama Desa Ketinggian (mdpl)

Jarak ke kota (km)

Sumber air pekarangan (%) Komoditas andalan sumur kolam irigasi hujan

Patrolsari 835 11.0 80 10 0 10 Hanjeli Girimekar 750 6.0 40 10 30 20 Cengkeh Bojongemas 650 8.0 80 20 0 0 Padi

4.1.1.2. Pekarangan Kampung di Kabupaten Bandung

Pekarangan di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas memiliki ukuran rata-rata seluas 190 m2, 457 m2, dan 212 m2 sebagai tempat bertani skala rumah tangga. Ukuran pekarangan terbesar di ketiga desa ini adalah 368 m2, 950 m2, dan 565 m2, sedangkan ukuran terkecilnya masing-masing yaitu 73 m2, 136 m2, dan 20 m2 (Tabel 6). Seluruh pekarangan di ketiga desa ini memiliki zona depan yang biasa disebut buruan. Warga desa biasa memanfaatkan zona depan untuk tempat bersosialisasi dengan tetangga. Ada 70% pekarangan di Desa Bojongemas yang memiliki zona belakang, sedangkan di Desa Girimekar hanya 40% yang memiliki


(33)

17

zona belakang. Sebagian besar pekarangan di ketiga desa memiliki zona samping yang disebut pipir (Arifin 2009). Beberapa pekarangan memiliki kandang hewan ternak dan kolam ikan (Tabel 6). Kandang ternak unggas ditemukan di sebagian besar (80%) pekarangan warga Desa Patrolsari. Berdasarkan pengamatan, kandang hewan ternak dan kolam ikan lebih banyak diletakkan di zona samping dan belakang, sedangkan zona depan ditanami tanaman hias dan pangan.

Tabel 6 Luas area, zonasi, dan fasilitas pekarangan di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas, Kabupaten Bandung

Nama Desa Luas (m

2) Zonasi (%) Fasilitas (%)

Min Maks Rata-rata Dpn Blk Ki Ka KTB KTK Kol Patrolsari 73 368 190 100 60 70 60 40 80 20 Girimekar 136 950 457 100 40 70 40 30 50 30 Bojongemas 20 565 212 100 70 50 40 20 60 40

Keterangan: Dpn = depan Blk = belakang Ki = samping kiri Ka = samping kanan KTB = kandang ternak besar KTK = kandang ternak besar Kol = kolam ikan

Keanekaragaman tanaman pekarangan berpengaruh terhadap strata tanaman. Kebanyakan tanaman yang dipelihara di pekarangan Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas termasuk kelompok strata I dan II. Rata-rata di pekarangan setiap desa memiliki 32 jenis tanaman strata I, 18 jenis tanaman strata II, 12 jenis tanaman strata III, hanya 2 jenis tanaman strata IV, dan 11 jenis tanaman strata V. Kemudian menurut fungsinya, tanaman hias dan buah sebagai jenis yang paling beragam di pekarangan Desa Patrolsari (Gambar 6). Tanaman pekarangan di Desa Girimekar didominasi oleh jenis tanaman hias, bumbu, dan sayur (Tabel 7). Tanaman pangan yang dibudidayakan di desa tersebut sudah lebih spesifik untuk lingkungan dataran tinggi. Contoh tanaman yang ditemui di pekarangan dataran tinggi yaitu jahe merah, brokoli, lobak, blueberry, stroberi, dan hanjeli.

Tabel 7 Jumlah jenis tanaman, ternak, dan ikan di pekarangan kampung di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas

Nama Desa Strata Tanaman Fungsi Tanaman Ternak I II III IV V a b c d e f g h B K I Patrolsari 29 19 10 1 12 24 5 9 17 7 5 2 2 1 3 2 Girimekar 41 16 13 3 9 33 5 13 18 6 2 3 2 0 3 3 Bojongemas 26 18 12 2 13 12 5 16 18 9 5 2 1 1 3 2 Rata-rata 32 18 12 2 11 24 5 13 18 7 4 2 2 1 3 2

Keterangan: Fungsi Tanaman = hias (a), obat (b), sayur (c), buah (d), bumbu (e), pati (f), industri (g), dan lainnya (h)

Jenis Ternak = besar (B), kecil (K), ikan / udang air tawar (I)

Menurut informasi dari penduduk lokal, 20 tahun yang lalu Desa Girimekar merupakan perkebunan cengkeh yang termasuk tanaman strata IV yang berfungsi sebagai tanaman industri (Gambar 7). Dikarenakan penduduk desa terus bertambah serta harga jual cengkeh yang sempat menurun, sehingga banyak pohon cengkeh yang ditebang. Saat ini hanya beberapa pekarangan yang masih memiliki pohon cengkeh. Beternak ayam dan bebek lebih disukai warga ketiga desa daripada hewan ternak lainnya. Warga Desa Bojongemas lebih banyak membudidayakan tanaman sayur dan buah daripada tanaman hias di pekarangannya (Gambar 8). Dikarenakan pekarangan desa ini kadang tergenang banjir saat musim hujan, maka warga desa mengantisipasinya dengan membuat vertikultur.


(34)

Gambar 6 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Patrolsari

Gambar 7 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Girimekar

Gambar 8 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Bojongemas 4.1.1.3. Kondisi Kelompok Wanita Tani di Kabupaten Bandung

Anggota KWT Mawar di Desa Patrolsari, KWT Sauyunan di Desa Girimekar, dan KWT Melati 2 di Desa Bojongemas, adalah suku Sunda. Seluruh anggota KWT Mawar, Sauyunan, dan Melati 2 sudah berstatus kawin, dengan usia rata-rata yaitu 45, 56, dan 48 tahun. Tingkat pendidikan anggota KWT Mawar yang lulusan SD (50%) masih lebih banyak daripada lulusan SMP (20%) dan SMA (30%). Tingkat pendidikan anggota KWT Sauyunan yang lulusan SD sebanyak 80%, sedangkan lulusan SMP dan SMA masing-masing hanya 10%. Tingkat pendidikan anggota KWT Melati 2 yang lulusan SD sebanyak 50%, lebih banyak daripada lulusan SMP (30%) dan SMA (10%), tetapi ada 10% anggota yang berpendidikan diploma.

Jenis pekerjaan sehari-hari anggota KWT Mawar yaitu berwirausaha (30%), pedagang (10%), ibu rumah tangga (50%), dan 10% sisanya pekerjaan lain. Banyak anggota KWT Sauyunan di Desa Girimekar tidak memiliki pekerjaan selain sebagai ibu rumah tangga, hanya 10% anggota yang bekerja sebagai guru. Sebagian anggota KWT Melati 2 memiliki usaha sendiri (50%), sedangkan anggota yang bekerja sebagai petani hanya 10%, dan 40% sisanya hanya menjadi ibu rumah tangga (IRT). Pendapatan rata-rata anggota KWT di Patrolsari yaitu hanya Rp 300 000 per bulan, sedangkan di Desa Girimekar mencapai Rp 1 000 000 per bulan, dan anggota KWT di Desa Bojongemas berpenghasilan rata-rata Rp 500 000 per bulan (Tabel 8). Ada beberapa anggota KWT yang mendapat penghasilan tambahan dari anaknya.


(35)

19

Tabel 8 Kondisi pengelola pekarangan kampung di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas

Desa

Rata-rata usia

Pendidikan (%) Pekerjaan (%) Penghasilan

rata-rata per bulan (Rp) SD SMP SMA D3 /

S1 IRT Petani Wira-usaha Karya-wan Lain-lain

Patrolsari 45 50 20 30 0 30 20 40 0 10 300 000 Girimekar 50 80 10 10 0 90 0 0 0 10 1 000 000 Bojongemas 48 50 30 10 10 40 10 50 0 0 500 000

Pengelolaan pekarangan kampung dilakukan oleh KWT di masing-masing desa. KWT Mawar yang berada di Desa Patrolsari dibentuk sejak tahun 2010, KWT Sauyunan di Desa Girimekar dibentuk pada tahun 2009, dan KWT Melati 2 sudah ada sejak tahun 2008. Pelatihan pekarangan merupakan kegiatan rutin KWT yang dibimbing langsung oleh tenaga pendamping dari Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) tingkat kabupaten. Selain itu, kegiatan rutin KWT bervariasi tergantung keinginan ketua dan anggotanya, misalnya membuat pangan olahan dan arisan kelompok (Tabel 9). KWT Mawar pernah mendapat bantuan bibit hanjeli yang kemudian dibudidayakan dan dapat dipanen dengan baik. Hasil panen hanjeli dapat diolah menjadi berbagai macam produk pangan alternatif sumber karbohidrat. KWT ini beberapa kali diminta oleh pihak Badan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Barat untuk membawa hasil olahan hanjeli pada kegiatan diversifikasi pangan di Gedung Sate, Kota Bandung. KWT Melati 2 mengembangkan produksi makanan ringan dan telur asin yang sebagian bahan bakunya diperoleh dari pekarangan. Tabel 9 Aktivitas KWT di Desa Patrolsari, Girimekar, dan Bojongemas

Desa KWT Tahun berdiri Kegiatan rutin Produk unggulan Patrolsari Mawar 2010 Pelatihan pekarangan,

membuat pangan olahan

Pangan olahan hanjeli Girimekar Sauyunan 2009 Pelatihan pekarangan,

simpan pinjam kelompok -

Bojongemas Melati 2 2008 Pelatihan pekarangan, membuat pangan olahan

Telur asin dan rangginang

4.1.2. Kondisi Umum Kabupaten Bogor

Wilayah Kabupaten Bogor hanya berjarak sekitar 30 km dari DKI Jakarta. Luas wilayah kabupaten ini yaitu 230.195 Ha (BPS Kab. Bogor 2014), yang terletak di antara 106º23'45” - 107º13'30” Bujur Timur dan 6º18' - 6º47'10” Lintang Selatan. Batas administratif wilayah pemerintahan Kabupaten Bogor adalah:

• sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tanggerang dan Kota Depok;

• sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi dan Kab. Purwakarta;

• sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Cianjur;

• sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Provinsi Banten). Kabupaten Bogor terdiri atas 40 kecamatan dan 426 desa, yang mana tiga desa diantaranya sebagai lokasi penelitian, yaitu Desa Situ Udik di Kecamatan Cibungbulang, Desa Cikarawang di Kecamatan Darmaga, dan Desa Bantarsari di Kecamatan Rancabungur. Jumlah penduduk di Kabupaten Bogor sebanyak 5.202 juta jiwa dengan rata-rata kepadatan penduduk pada tahun 2013 yaitu 20 orang/ha. Kepadatan penduduk di Kecamatan Cibungbulang, Dramaga, dan Rancabungur masing-masing yaitu 42, 45, dan 25 orang/ha (BPS Kab. Bogor 2014).


(1)

hasil penjualan bibit kepada anggota kelompok, keuntungan dari penjualan produk pekarangan kampung, dan keuntungan penjualan pangan olahan. Rekomendasi untuk pengembangan koperasi yaitu:

1. Koperasi berperan sebagai pengumpul produk-produk pekarangan kampung. Pihak koperasi diupayakan mau menerima produk dalam bentuk mentah atau hasil olahan, tentunya dengan harga yang layak sesuai mekanisme pasar. 2. Terkait dengan aspek ekonomi, hingga saat ini satu-satunya wadah organisasi

formal yang menggalang dan menghimpun sumberdaya untuk kekuatan di bidang ekonomi dan sosial di pedesaan adalah Koperasi Unit Desa (KUD) (Saragih 2010). Namun kenyataannya di lapangan banyak KUD yang tidak beroperasi karena masalah organisasi dan modal. Adapun KUD yang masih beroperasi belum menggarap produk pekarangan kampung. KUD diharapkan mau mengembangkan usaha di sektor agribisnis pekarangan kampung.

3. Hasil penjualan produk pekarangan menjadi modal kelompok untuk membeli benih dan pengembangan usahanya. Asas kekeluargaan dan gotong royong perlu dibina antara KUD dengan KWT sehingga perputaran modal berjalan lancar dan dapat mendukung keberlanjutan pekarangan kampung.

Pada praktiknya, sistem pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung yang berkelanjutan melibatkan kebun bibit kelompok, pekarangan anggota, dan koperasi unit desa (Gambar 27).

Gambar 27 Sistem dalam pengelolaan pekarangan kampung yang berkelanjutan

5.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan klasifikasi ukuran, 50% pekarangan di Kabupaten Bandung termasuk kategori sedang, dengan rata-rata luas 317.1 m2. Berbeda halnya dengan Kabupaten Bogor dan Cirebon yang sebanyak 66.7% dan 60% pekarangannya termasuk kategori sempit. Zona belakang pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon paling banyak digunakan untuk budidaya tanaman pangan. Tanaman strata I dan II mendominasi di pekarangan ketiga kabupaten tersebut, sesuai dengan daya dukung pekarangan ukuran sempit dan sedang. Meskipun tanaman hias paling banyak ditemukan di semua pekarangan, namun keragaman tanaman pangan lebih banyak daripada non-pangan. Menurut analisis Shanon-Wienner, pekarangan di Kabupaten Bogor memiliki keanekaragaman tanaman pangan tertinggi (H’ = 1.95). Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan ecotone


(2)

47

Pemanfaatan hasil panen dari pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon paling banyak untuk dijual daripada untuk dikonsumsi atau dibagikan, dengan persentase penjualan produk masing-masing 58%, 57%, dan 64%. Nilai ekonomi produk pekarangan di ketiga pekarangan tersebut masing-masing 70%, 77%, dan 70%. Produktivitas lahan menurut nilai ekonomi pekarangan per m2 per tahun yang tertinggi yaitu Kabupaten Bogor (Rp 13 400) dan yang terendah yaitu di Kabupaten Cirebon (Rp 10 500). Kontribusi nilai ekonomi pekarangan kampung yang diperoleh rumah tangga terhadap biaya konsumsi bulanannya di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 19.1%, 10.8%, dan 7.1%.

Keberlanjutan pengelolaan agroekosistem pekarangan kampung dijabarkan pada tiga komponen, yaitu kelompok wanita tani (KWT), kebun bibit kelompok, dan koperasi. Diperlukan pemberdayaan KWT untuk meningkatkan kemampuan-nya sebagai pengelola pekarangan kampung. Diperlukan revitalisasi kebun bibit kelompok agar bibit untuk pekarangan tetap tersedia serta pembibitan difokuskan pada tanaman sayur dan buah karena produksinya tinggi, bisa dikonsumsi langsung dan lebih bernilai ekonomi. Diperlukan pemasaran kolektif melalui pengembangan usaha koperasi unit desa pada bidang agribisnis pekarangan kampung.

5.2. Saran

Pengelolaan pekarangan kampung bermanfaat untuk menunjang ketahanan pangan, menjaga kepedulian sosial, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Diperlukan perhatian dan peran pemerintah, masyarakat, dan koperasi untuk mewujudkan hal tersebut. Kajian tentang jasa lanskap dari agroekosistem pekarangan akan menambah nilai ekonomi pekarangan kampung.

DAFTAR PUSTAKA

Abdoellah OS. 1985. Home Gardens in Java and Their Future Development. Di dalam: Prosiding Lokakarya Internasional Pekarangan Tropis Pertama. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran.

Adhawati SS. 1997. Analisis Ekonomi Pemanfaatan Lahan Pertanian Dataran Tinggi di Desa Parigi (Hulu DAS Malino) Kabupaten Gowa [Tesis]. Makassar (ID): Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin.

Altieri MA. 1999. The Ecological Role of Biodiversity in Agroecosystems. Elvesier J. Agriculture, Ecosystem, and Environment, Vol 74: 19-31.

Arifin HS. 1998. Study on Vegetation Structure of Pekarangan and Its Changes in West Java, Indonesia. [Doctor Dissertation]. Okayama (JP): The Graduate School of Natural Science and Technology, Okayama University.

Arifin HS. 2010. Manajemen Lanskap dalam Pembangunan Pertanian Menuju Harmonisasi Kesejahteraan Masyarakat dan Kelestarian Lingkungan.

Pembangunan Pedesaan: Pemikiran Guru Besar 6 PT BHMN. Bogor (ID): IPB Press.

Arifin HS, Sakamoto K and Chiba K. 1996. Vegetation in The Home Gardens

“Pekarangan” in West Java, Indonesia. Buletin of International Association

for Landscape Ecology – Japan Vol. 3 (3): 38-40.

Arifin HS, Sakamoto K and Chiba K. 1997. Effects of the Fragmentation and the Change of the Social and Economical Aspects on the Vegetation Structure in the Rural Home Gardens of West Java, Indonesia. Japan Institue of Landscape Architecture J., Tokyo (JP): Vol. 60 (5): 489-494.


(3)

Arifin HS, Sakamoto K, Chiba K. 1998a. Effects of Urbanization on the Perfor-mance of the Home Gardens in West Java, Indonesia. Japanese Journal Tropical Agriculture (JP). Vol 61(4): 325-333.

Arifin HS, Sakamoto K, Chiba K. 1998b. Effects of Urbanization on the Vegetation of the Home Gardens in West Java, Indonesia. Japanese Journal Tropical Agriculture (JP). Vol 42(2): 94-102.

Arifin HS, Wulandari C, Pramukanto Q, Kaswanto RL. 2009. Analisis Lanskap Agroforestri. Bogor (ID): IPB Press.

Arifin HS, Nakagoshi N. 2011. Landscape Ecology and Urban Biodiversity in Tropical Indonesian Cities. Landscape & Ecol. Eng. J. Springer. Vol: 7(1) 33-43.

Arifin NHS, Arifin HS, Astawan M, Kaswanto, Budiman VP. 2013. Optimalisasi Fungsi Pekarangan Melalui Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di dalam:

Prosiding Lokakarya Nasional dan Seminar FKPTPI, Bogor 2-4 September 2013. Bogor (ID): Fakultas Pertanian IPB. hlm 22-31.

Azra ALZ. 2014. Konservasi Keanekaragaman Hayati Pertanian pada Lanskap Pekarangan untuk Mendukung Penganekaragaman Konsumsi Pangan Keluarga [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB.

Azra ALZ, Arifin HS, Astawan M, Arifin NHS. 2014. Analisis Karakteristik Ekologis Pekarangan dalam Mendukung Penganekaragaman Pangan Keluarga di Kabupaten Bogor. J. Lanskap Indonesia(in press). Bogor (ID). Brownrigg L. 1985. Definition and traditions, Home Garden Source Book, Vol. 1

Home Garden Issues and Ecological Aspect. Di dalam: Prosiding Lokakarya Internasional Pekarangan Tropis Pertama. Bandung (ID): Univ. Padjadjaran. Budiman VP, Arifin HS, Arifin NHS, Astawan M. 2015. Management of

“Pekarangan Kampong” to Supporting Food Security in West Java Province.

JSSH Pertanika (in press). Serdang (MY): Universiti Putra Malaysia.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Kabupaten Bandung dalam Angka 2013. Bandung (ID): BPS Kabupaten Bandung.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Daerah Kabupaten Cirebon 2013. Cirebon (ID): BPS Kabupaten Cirebon.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Kabupaten Bogor dalam Angka 2014. Bogor (ID): BPS Kabupaten Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia – Agustus 2014. Jakarta (ID): BPS.

[BP3K Darmaga] Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan KehutananVII Darmaga. 2014. Laporan Program Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Tahun 2014. Bogor (ID): BKP3.

Dalgaard T, Hutchings NJ, Porter JR. 2003. Agroecology, Scaling and Inter-disciplinary. Elvesier J. Agriculture, Ecosystem, and Environment, Vol 100: p39-51.

[Deptan] Departemen Pertanian. 2002. Pedoman Umum Pemanfaatan Pekarangan. Jakarta (ID): Depatemen Pertanian RI.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2010. The State of Food Insecurity in the World-Addressing Food Insecurity in Protracted Crisis. Rome (IT): Food and Agriculture Organization of the UN.


(4)

49

Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah Menimbulkan Dampak Negatif bagi Ketahanan Pangan Lingkungan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 27 No. 7. Jakarta (ID): Departemen Pertanian RI.

Gliessman SR. 1998. Agroecology: Ecological Process in Sustainable Agriculture. Michigan (US): Ann Arbor Press.

Kanara N. 2012. Struktur, Fungsi, dan Dinamika Keanekaragaman Hayati Pertanian pada Pekarangan di Hulu DAS Kalibekasi, Kabupaten Bogor. [tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian IPB

Karyono. 1981. Homegarden Structure in Rural Areas of The Citarum Watershed, West Java. [disertasi]. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran.

Kehlenbeck K, Arifin HS, Maass BL. 2007. Plant Diversity in Home Gardens in a Socio-Economic and Agro-Ecological Context. dalam Stability of Tropical Rainforest Margins. Berlin (GB): Springer.

[Kementan] Kementerian Pertanian RI. 2009. Sasaran Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Tahun 2010-2014. Rancangan Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian

Kumar BM, Nair PKR. 2004. The Enigma of Tropical Rainforest. Agrofor Syst J. No. 61: 135-152.

Michon G, Mary F. 1994. Conversion of traditional village gerdens and new economic strategis of Ural household in the area of Bogor, Indonesia.

Agroforestry System 25: 31-58.

Miranda JI. 2001. Multicriteria analysis applied to the sustainable Agricultural problem. Int. J. Sustain. Dev. World Ecol. 8:67-77.

Moonen AC, Barberi P. 2008. Functional biodiversity: An agroecosystem approach.

Elsevier AEE J. Vol 127 (2008): 7-21.

Paruna P. 2012. Model Pekarangan sebagai Taman Keanekaragaman Hayati di Kawasan Industri Karawang International Industrial City. [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian IPB.

Pearce, D. 1992. Economic Valuation and The Natural world. World Bank Working Papers. New York (US): The World Bank.

Pujowati P. 2009. Rencana Pengelolaan Lanskap Agroforestri di Daerah Aliran Sungai Karang Mumus, Kalimantan Timur [tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian – Institut Pertanian Bogor.

Purwanti R. 2007. Pendapatan Petani Dataran Tinggi Sub DAS Malino, Studi Kasus: Kelurahan Gantarang, Kabupaten Gowa. Bogor (ID): Jurnal Sosial Ekonomi Kehutanan 4(3):257-269.

Saragih B. 2010. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Pambudy R, Dabukke FBM, editor. Bogor (ID): IPB Press. Soemarwoto O dan Soemarwoto I. 1981. Home Gardens in Indonesia. [artikel]. The

Fourth Pacific Science International Congress. Singapore (SG) p27.

Supriatna J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.

Thakur PS. Dult V, Shegal S, Kumar R. 2005. Diversification and Improving Productivity of Mountain Farming System through Agroforestry Practice in Nortwestern India. Conference Proceeding AFTA 2005: 1-7.


(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi, pada tanggal 7 Januari 1989, dari pasangan Dr. Ir. H. Dana Budiman, M.Si. dan Hj. Elvi Andi, Bsc. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara, dengan adik perempuan bernama Vinessa Prisma Budiman dan Vimella Pratiwi Budiman. Penulis saat ini bertempat tinggal di Desa Sukamanah, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Pendidikan dasar ditempuh oleh penulis di SDN Brawijaya 1 Kota Sukabumi (1995-2001). Kemudian penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Kota Sukabumi melalui kelas akselerasi (2001-2003). Pada tahun 2006 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kota Sukabumi dan di tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI 2006). Penulis lulus sebagai sarjana Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada tahun 2012. Kemudian penulis langsung melanjutkan pendidikan di sekolah pascasarjana IPB program magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) pada tahun 2012.

Selama menjadi mahasiswa pascasarjana program magister di PSL (2012-2015), penulis pernah menjadi asisten peneliti pada kegiatan Penelitian Lintas Fakultas yang berjudul Pemberdayaan Keanekaragaman Pertanian Pekarangan untuk Mendukung Penganekaragaman Pangan yang Bergizi Seimbang, Sehat, dan Aman. Penelitian tersebut dilaksanakan pada tahun 2013-2014 dan diketuai oleh Dr. Nurhayati H.S. Arifin. Adapun sumber dana penelitian berasal dari Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Selain menjadi asisten peneliti, penulis sempat menjadi asisten praktikum pada beberapa mata kuliah S1 dan S2 di lingkup Departemen Arsitektur Lanskap (2014). Penulis juga pernah terlibat dalam proyek kerjasama Badan Ketahana Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BKP5K) Kabupaten Bogor dengan Dept. Arsitektur Lanskap – Fakultas Pertanian IPB dalam rangka Kegiatan Model Pengembangan Kawasan Ketahanan Pangan di Kecamatan (2014).

Penulis telah mempresentasikan hasil penelitian pada dua forum ilmiah, yaitu Seminar Nasional Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian Indonesia (FKPTPI) tahun 2013 di IPB – Bogor dan seminar serupa tahun 2014 di Universitas Andalas – Padang. Penulis juga sedang dalam proses publikasi hasil penelitiannya pada Jurnal Internasional -Jurnal Social Science and Humanity (JSSH)- Pertanika milik Universitas Putra Malaysia (UPM).