kebun bibit kelompok dipengaruhi oleh aktivitas dan kepedulian anggota KWT, kemudian ketersediaan lahan, serta perhatian pemerintah desa.
Gambar 25 Contoh kebun bibit kelompok yang mengalami kerusakan fisik Tabel 27 Kondisi, status lahan, dan produk kebun bibit milik KWT
Kabupaten Kondisi fisik
Status kepemilikan lahan
Bibit yang diproduksi Baik
Rusak Desa
Pribadi Bandung
33 66
100 - Bayam, selada, labu air, cabe
hijau, cabe merah, tomat, jahe, kunyit, pepaya, bawang daun
Bogor 33
66 33
66 - Kangkung, selada, labu air,
seledri, cabe, tomat, kunyit, jahe, jambu kristal, stroberi
Cirebon 66
33 33
66 - Kangkung, seledri, terong,
cabe, tomat, jahe, kunyit, dukuh, jambu biji, ikan gurami
4.3.4. Analisis Pemasaran Produk Pekarangan Kampung
Meskipun fungsi dasar pekarangan di area perdesaan yaitu sebagai sumber produksi pangan untuk menyambung kehidupan keluarga atau subsisten Kumar
dan Nair 2004, tidak sedikit pemilik pekarangan yang menjual hasil panen dari pekarangan berupa produk segar maupun hasil olahan. Produk tersebut merupakan
kelebihan dari kebutuhan konsumsi ataupun sengaja dibudidayakan di pekarangan kerena memiliki nilai ekonomi. Penjualan berbagai macam produk pekarangan saat
ini masih banyak secara individu. Tengkulak lebih berperan memasarkan produk pekarangan, misalnya pemasaran buah di Kabupaten Bogor dan Cirebon. Mereka
membeli buah mangga atau jambu biji dengan sistem ijon, yang mana pembelian buah tanpa dihitung per kilogram namun dikira-kira harganya per pohon sebelum
buah masak. Jarak antara rumah ke pasar juga menjadi kendala pemasaran karena akan menambah waktu dan biaya transportasi. Banyak pemilik pekarangan belum
mampu melakukan pemasaran produknya secara efektif dan efisien, sehingga tidak memperoleh keuntungan maksimal.
Selain faktor persaingan usaha dengan tengkulak dan jarak pekarangan ke pasar, permasalahan utama dari pemasaran produk pekarangan adalah kuantitas
produk yang akan dijual ke pasar. Penjualan hasil panen dari pekarangan menjadi tidak menguntungkan apabila nilai ekonomi produk yang dijual tidak sebanding
dengan biaya produksi dan transportasinya. Sehingga untuk mendapat keuntungan
ekonomi diperlukan kuantitas produk hingga jumlah tertentu, yang sulit terpenuhi oleh satu pekarangan. BKP tingkat kabupaten kemudian menyikapi hal tersebut
dengan memberi kesempatan kepada KWT sebagai pengelola pekarangan kampung untuk menjual produk KWT di pasar tani. Upaya ini belum mamberi solusi efektif
karena pasar tani hanya dilaksanakan sebulan sekali di ibukota kabupaten.
Sebaiknya ada upaya dari KWT untuk menjual produk pekarangan kampung secara kolektif dan berkesinambungan sehingga biaya produksi bisa lebih rendah
dan mereka dapat lebih sering memperoleh keuntungan. Pemasaran produk dengan cara tersebut dapat dilakukan langsung oleh KWT atau unit bisnis independen yang
bergerak di bidang agribisnis, misalnya koperasi unit desa KUD. Ide pemasaran ini tentu membutuhkan dukungan dari pihak KWT sebagai produsen. Berdasarkan
hasil wawancara, masyarakat di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon rata-rata setuju 49 apabila pemasaran produk pekarangan kampung dilakukan secara
kolektif. Hanya 7 responden yang ingin menjual sendiri hasil pekarangannya.
Tantangan pemasaran kolektif yang menjadi perhatian adalah keberadaan lembaga koperasi. Benar bahwa pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto telah
banyak didirikan KUD, bahkan hampir setiap desa memiliki KUD dengan bantuan modal dari pemerintah. Pada saat ini jarang ditemui KUD yang masih beroperasi
karena banyak koperasi yang mengalami masalah kepengurusan dan modal usaha. Menurut informasi dari responden, tidak ada KUD di tempat pelaksanaan program
P2KP yang masih aktif. Tidak hanya itu, sejauh ini belum ada koperasi yang fokus menjangkau produk pekarangan atau pangan olehan KWT. Meskipun kondisinya
demikian, masih mungkin melakukan pemasaran produk pekarangan kampung secara kolektif. Hal tersebut terlihat dari tingginya dukungan pengelola pekarangan
terhadap adanya koperasi pekarangan, yang mencapai rata-rata 72 setuju dan 9 sangat setuju Tabel 28. Persepsi masyarakat tersebut memberikan harapan bahwa
koperasi dapat kembali diberdayakan untuk mengumpulkan serta memasarkan produk mentah dan olahan dari pekarangan kampung.
Tabel 28 Persepsi masyarakat terhadap pemasaran kolektif dan koperasi desa
Kabupaten Keinginan pemasaran kolektif
Dukungan koperasi pekarangan
Tidak setuju
Biasa saja
Setuju Sangat
setuju Tidak
setuju Biasa
saja Setuju
Sangat setuju
Bandung 23
47 30
17 67
17 Bogor
7 43
37 13
7 23
70 Cirebon
13 65
23 10
79 10
Rata-rata 7
22 49
22 2
17 72
9
4.4. Analisis Pemanfaatan dan Nilai Ekonomi Produk Pekarangan Kampung
4.4.1. Analisis Pemanfaatan Produk Pekarangan Kampung
Pada saat survei di lapangan, hasil panen berbagai macam produk pekarangan seperti sayur, buah, umbi, daging, dan telur disetarakan ukurannya dalam satuan
kilogram kg. Hal ini dilakukan karena masih banyak masyarakat perdesaan yang menggunakan satuan tradisional yang tidak baku, seperti ikat, genggam, dan karung.
Penyeragaman satuan produk ini untuk memudahkan dalam analisis pemanfaatan produk pekarangan kampung oleh pemiliknya. Secara umum, produk pekarangan
dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi oleh keluarga, dibagikan ke tetangga, dan dijual sebagai sumber pendapatan rumah tangga.