Analisis Demografi Kelompok Wanita Tani

sediaan bibit tanaman sangat diperlukan bagi pekarangan, terutama komoditas yang berumur semusim. Pendamping KWT biasanya memberi rekomendasi komoditas pertanian yang cocok untuk dibudidayakan di pekarangan kampung. Benih tanaman tersebut biasanya dibeli dari toko pertanian terdekat atau dibantu penyediaannya oleh pendamping KWT. Gambar 24 Kondisi kebun bibit milik salah satu kelompok wanita tani di Kabupaten Bandung kiri, Bogor tengah, dan Cirebon kanan Anggota KWT memilih sendiri komoditas pertanian yang dikembangkan di pekarangannya masing-masing. Sebelum membeli bibit, mereka bermusyawarah tentang tanaman apa yang akan ditanam, dan biasanya pendamping kelompok ikut memberikan saran. Komoditas yang banyak dibibitkan di Kabupaten Bandung dan Bogor yaitu tanaman sayur, bumbu, dan buah. Sedangkan kebun bibit di Kabupaten Cirebon membibitkan tanaman sayur, bumbu, dan ikan. Ketersediaan bibit tanaman dan hewan ternak sebaiknya sesuai dengan daya dukung pekarangan kampung sehingga dapat tumbuh dengan baik. Pembibitan ini belum banyak meng-hasilkan bibit komoditas lokal, misalnya talas bogor dan nanas bogor di Kabupaten Bogor atau mangga gedong gincu di Kabupaten Cirebon. Kelemahan dalam pengelolaan modal kebun bibit kelompok menjadi masalah yang sering ditemui pada masing-masing kabupaten. Kondisi ini terjadi karena KWT hanya mengandalkan dana bantuan sosial dari pemerintah. Dana bantuan program P2KP memang diberikan selama 5 tahun, namun hanya setahun sekali dan biasanya pencairan dana tidak sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Kurangnya modal untuk membeli benih tanaman pada pembibitan kesekian kalinya meng- akibatkan kebun bibit tidak berfungsi optimal. Kebutuhan lain untuk pembibitan tanaman pekarangan yaitu pupuk organik dan kantong polybag. Sebagai contoh, kebun bibit kelompok di Desa Bantarsari dan Grogol yang kekurangan modal sehingga tidak terpelihara telah berakibat pada penurunan jumlah komoditas yang ditanam di pekarangan, sehingga angka produksinya menjadi rendah. Berbeda halnya dengan kebun bibit di Desa Girimekar dan Cikarawang yang memiliki sumber modal lain, sehingga bibit untuk pekarangan kawasan tetap tersedia. Modal lain tersebut berasal dari penjualan bibit tanaman serta penjualan produk KWT. Kebun bibit kelompok tani yang kebanyakan terbuat dari bambu yang mudah rusak dan tidak tahan lama. Penggunaan material tersebut karena menyesuaikan dengan anggaran yang telah ditentukan oleh BKP. Pada saat survei, hanya 45 kebun bibit milik KWT yang masih berfungsi dengan baik, sedangkan 55 lainnya sudah rusak Gambar 25. Masalah lain terkait keberadaan kebun bibit kelompok yaitu status kepemilikan lahan. Keberadaan kebun bibit kelompok yang dibangun di atas lahan pribadi sangat tergantung pada kehendak pemilik lahan. Kebun bibit kelompok milik KWT di ketiga kabupaten yang berada di atas lahan pribadi ada sebanyak 77 dan hanya 23 yang berada di lahan milik desa Tabel 27. Kondisi kebun bibit kelompok dipengaruhi oleh aktivitas dan kepedulian anggota KWT, kemudian ketersediaan lahan, serta perhatian pemerintah desa. Gambar 25 Contoh kebun bibit kelompok yang mengalami kerusakan fisik Tabel 27 Kondisi, status lahan, dan produk kebun bibit milik KWT Kabupaten Kondisi fisik Status kepemilikan lahan Bibit yang diproduksi Baik Rusak Desa Pribadi Bandung 33 66 100 - Bayam, selada, labu air, cabe hijau, cabe merah, tomat, jahe, kunyit, pepaya, bawang daun Bogor 33 66 33 66 - Kangkung, selada, labu air, seledri, cabe, tomat, kunyit, jahe, jambu kristal, stroberi Cirebon 66 33 33 66 - Kangkung, seledri, terong, cabe, tomat, jahe, kunyit, dukuh, jambu biji, ikan gurami

4.3.4. Analisis Pemasaran Produk Pekarangan Kampung

Meskipun fungsi dasar pekarangan di area perdesaan yaitu sebagai sumber produksi pangan untuk menyambung kehidupan keluarga atau subsisten Kumar dan Nair 2004, tidak sedikit pemilik pekarangan yang menjual hasil panen dari pekarangan berupa produk segar maupun hasil olahan. Produk tersebut merupakan kelebihan dari kebutuhan konsumsi ataupun sengaja dibudidayakan di pekarangan kerena memiliki nilai ekonomi. Penjualan berbagai macam produk pekarangan saat ini masih banyak secara individu. Tengkulak lebih berperan memasarkan produk pekarangan, misalnya pemasaran buah di Kabupaten Bogor dan Cirebon. Mereka membeli buah mangga atau jambu biji dengan sistem ijon, yang mana pembelian buah tanpa dihitung per kilogram namun dikira-kira harganya per pohon sebelum buah masak. Jarak antara rumah ke pasar juga menjadi kendala pemasaran karena akan menambah waktu dan biaya transportasi. Banyak pemilik pekarangan belum mampu melakukan pemasaran produknya secara efektif dan efisien, sehingga tidak memperoleh keuntungan maksimal. Selain faktor persaingan usaha dengan tengkulak dan jarak pekarangan ke pasar, permasalahan utama dari pemasaran produk pekarangan adalah kuantitas produk yang akan dijual ke pasar. Penjualan hasil panen dari pekarangan menjadi tidak menguntungkan apabila nilai ekonomi produk yang dijual tidak sebanding dengan biaya produksi dan transportasinya. Sehingga untuk mendapat keuntungan