Gambar 16 Kondisi dan contoh pemanfaatan pekarangan di Desa Pegagan Lor 4.1.3.3.
Kondisi Kelompok Wanita Tani di Kabupaten Cirebon Anggota KWT di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor memiliki latar
belakang suku Sunda, Jawa, dan Cirebon. Hal tersebut karena memang Kabupaten Cirebon menjadi salah satu tempat akulturasi budaya Sunda dan Jawa. Usia rata-
rata anggota KWT di tiap desa tersebut yaitu 42, 49, dan 45 tahun. Pendidikan kebanyakan anggota KWT hanya diselesaikan pada tingkat SD. Tingkat pendidikan
anggota KWT di Desa Bakung Lor yaitu lulusan SMP ada 20, lulusan SMA ada 20, dan hanya 10 lulusan perguruan tinggi. Tingkat pendidikan anggota KWT
di Desa Grogol yang lulusan SMA ada 30 dan hanya 10 yang lulus perguruan tinggi. Tingkat pendidikan anggota KWT di Desa Pegagan Lor yaitu hanya 10
lulusan SMP, 30 lulusan SMA, dan bahkan tidak ada 0 lulusan diploma.
Jenis pekerjaan anggota KWT di Bakung Lor sebagai wirausaha sama banyak dengan mereka yang menjadi IRT saja. Adapun anggota KWT di Grogol yang
menjadi IRT sebanyak 50, dan ada 40 yang berwirausaha, serta 10 sebagai karyawan. Di KWT yang ada di Pegagan Lor, mayoritas anggotanya adalah IRT
dan sisanya ada yang petani 10, wirausaha 10, dan lainnya 10. Sangat sedikit anggota KWT di Kabupaten Cirebon yang memiliki profesi sebagai petani.
Pendapatan rata-rata per bulan dari anggota KWT di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor yaitu Rp 1 000 000, Rp 950 000, dan Rp 500.000 Tabel 18.
Tabel 18 Karakteristik pengelola pekarangan kampung di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor
Nama Desa Rata-
rata usia
Pendidikan Pekerjaan
Penghasilan rata-rata per
bulan Rp SD SMP SMA
D3 S1
IRT Petani Wira-
usaha Karya-
wan Lain-
lain Bakung Lor
42 50
20 20
10 50
50 1 000 000
Grogol 49
30 30
30 10
50 40
10 950 000
PegaganLor 45
60 10
30 70
10 10
10 550 000
KWT Jambu Alas di Desa Bakung Lor dibentuk pada tahun 2011, sedangkan KWT Bina Sri Lestari di Desa Grogol dan KWT Harum Sari di Desa Pegagan Lor
dibentuk tahun 2009. Pelatihan pekarangan dan kebun bibit merupakan kegiatan rutin KWT yang dibimbing langsung oleh tenaga pendamping. Selain itu, biasanya
kegiatan rutin KWT yaitu membuat pangan olahan Tabel 19. Produk unggulan dari KWT Jambu Alas yaitu tape ketan yang sudah produksi untuk dijual. Bungkus
tempe ketan ini adalah daun pisang batu yang biasa terdapat di pekarangan. Produk unggulan KWT Bina Sri Lestari yaitu pangan olahan aneka buah, terutama mangga
gedong gincu, yang bahan bakunya diperoleh dari desa sekitarnya. Adapun produk unggulan KWT Harum Sari yaitu produk olahan ikan dan kue kering Tabel 19.
Tabel 19 Karakteristik KWT di Desa Bakung Lor, Grogol, dan Pegagan Lor
Desa KWT
Waktu berdiri Kegiatan rutin
Produk unggulan Bakung Lor
Jambu Alas 2011
Membuat tape ketan
Jambu biji, tape ketan Grogol
Bina Sri Lestari 2009
Membuat pangan olahan dari buah
Aneka pangan olahan buah mangga
Pegagan Lor Harum Sari
2009 Kegiatan PKK,
arisan anggota Kue kering, pangan
olahan ikan
4.2. Analisis Karakter Agroekosistem Pekarangan
4.2.1. Analisis Lingkungan Agroekosistem Pekarangan
Kondisi lingkungan di dataran tinggi Kabupaten Bandung, dataran sedang Kabupaten Bogor, dan dataran rendah Kabupaten Cirebon memiliki perbedaan dari
segi fisik seperti suhu udara harian dan curah hujan dalam setahun Tabel 20. Hal tersebut sesuai dengan estimasi bahwa perbedaan ketinggian pada masing-masing
lokasi dapat mewakili karakter ekologi yang berbeda. Suhu udara antara 12 – 24
o
C di Kabupaten Bandung sesuai untuk pertumbuhan tanaman dan ternak dataran
tinggi. Kemudian kondisi lingkungan di Kabupaten Bogor merupakan irisan dari karakter lingkungan dataran tinggi dan rendah, salah satu diindikasinya yaitu suhu
udara harian yang memiliki rentang antara 19.0 – 31.2
o
C. Dalam kajian ekologi, kondisi lingkungan Kabupaten Bogor disebut ecotone atau zona peralihan antara
dua karakter wilayah Arifin et al. 2009. Hujan merupakan salah satu sumber air yang penting peranannya dalam
menunjang pertumbuhan dan perkembangan semua makhluk hidup. Curah hujan di Kabupaten Bandung mencapai 4000 mmtahun, namun curah hujan di Kabupaten
Bogor yang tertinggi dibandingkan Kabupaten Bandung dan Cirebon, yakni 2 400 – 5 200 mmtahun. Berbeda halnya dengan Kabupaten Cirebon, sebagai wilayah
yang memiliki dan dekat dengan garis pantai, iklim lokalnya memiliki suhu udara rata-rata yang lebih panas, kering, serta curah hujan tahunan yang rendah. Kondisi
tanah yang lebih subur dan tidak kering di Kabupaten Bandung dan Bogor sangat menunjang aktivitas pertanian di pekarangan.
Selain faktor-faktor tersebut, jarak dan akses transportasi antara desa tempat pekarangan kampung berada dengan kota terdekat juga menjadi perhatian. Hal ini
karena jarak dan akses transportasi bisa berpengaruh terhadap laju urbanisasi dan distribusi barang antara desa dengan kota. Semakin dekat jarak desa dengan kota,
maka diasumsikan laju urbanisasi semakin tinggi dan distribusi barang semakin mudah. Begitu pula jika akses transportasi bagus dan mudah maka diasumsikan laju
urbanisasi semakin tinggi dan distribusi barang semakin cepat. Jarak rata-rata lokasi pekarangan kampung di Kabupaten Bogor paling dekat ke kota 6.3 km, dan jarak
yang terjauh yaitu di Kabupaten Cirebon.
Laju urbanisasi yang terjadi di suatu wilayah tercermin dari angka kepadatan penduduk. Kabupaten Cirebon memiliki kepadatan penduduk paling tinggi 23
orangha dibanding kabupaten lainnya. Kabupaten Cirebon memang memiliki lanskap dan akses transportasi yang lebih menunjang laju urbanisasi. Kepadatan
penduduk tersebut berimplikasi pada kebutuhan tempat tinggal berupa perumahan dan sarana umum seperti kantor dan pasar. Semakin banyak area terbangun maka
akan mengubah fungsi lahan yang awalnya berupa sawah, kebun, dan pekarangan.
Tabel 20 Kondisi umum lingkungan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon
Kabupaten Ketinggian
mdpl Suhu udara
o
C Curah hujan
mmtahun Jarak lokasi ke
kota km Kepadatan
orangha Bandung
650 – 835
12.0 – 24.0 1 500 – 4 000
6.0 – 11.0
19 Bogor
165 – 460
19.0 – 31.2 2 400 – 5 200
3.0 – 10.0
20 Cirebon
5 – 13
24.0 – 33.0 1 500 – 3 500
4.7 – 12.0
23
Kabupaten Bandung memiliki komoditas andalan seperti cengkeh, hanjeli, teh, dan sapi perah. Selain itu, di Lembang dan Ciwidey yang juga dataran tinggi
Kabupaten Bandung, terdapat banyak tanaman stroberi untuk kepentingan wisata dan komersial. Sisi positif dari kondisi lingkungan Kabupaten Bogor yaitu tingkat
kesesuaian lahan yang lebih baik untuk lebih banyak komoditas pertanian. Kondisi lingkungan di Kabupaten Cirebon sesuai untuk tanaman dan hewan ternak dataran
rendah. Pada kenyataannya, memang banyak varietas mangga serta ternak kambing dan sapi di pekarangan yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Hasil inventarisasi di pekarangan kampung menunjukkan adanya 199 spesies tanaman dan 17 spesies hewan ternak. Dominansi tanaman pekarangan dianalisis
dengan metode Summed Dominance Ratio SDR, hasilnya diperoleh 10 tanaman pangan yang dominan di pekarangan Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon
Tabel 21. Mangga, cabe rawit, pisang, pepaya, singkong, dan jeruk merupakan komoditas pangan dari pekarangan di Kabupaten Bandung dengan skor SDR tinggi.
Habitat pohon mangga sebenarnya bukan di lingkungan dataran tinggi seperti Kabupaten Bandung, namun karena relatif mudah tumbuh dan ketidaktahuan dari
pemilik pekarangan maka populasinya manjadi banyak. Komoditas pangan dari pekarangan di Kabupaten Bogor yang memiliki skor SDR tinggi yaitu tomat, cabe
rawit, kunyit, kangkung, caisin, dan bayam. Komoditas pangan dari pekarangan di Kabupaten Cirebon yang dominan yaitu mangga, pisang, cabe merah, lengkeng,
pepaya, dan kangkung. Keberadaan tanaman mangga di Kabupaten Cirebon telah sesuai dengan habitatnya di dataran rendah yang relatif kering dan panas.
Tanaman tomat, kunyit, kangkung, caisin, selada, bayam, cabe merah, dan jahe di pekarangan merupakan komoditas pertanian yang direkomendasikan oleh
BKP tingkat kabupaten dalam program P2KP. Cabe rawit Capsicum frutescens sebagai bahan untuk sambal, banyak ditemui di pekarangan karena terkait budaya
orang Sunda yang menyukai sambal sebagai pelengkap masakan sehari-hari.
Tabel 21 Keragaman tanaman pangan yang dominan di pekarangan kampung Kabupaten
Tanaman pangan yang dominan hasil metode SDR Bandung
- mangga, cabe rawit, pisang, pepaya, terong, singkong, jeruk, kunyit, jambu air, bawang daun
Bogor - tomat, cabe rawit, kunyit, kangkung, caisin, bayam, cabe merah,
jahe, kacang panjang, jahe merah Cirebon
- mangga, pisang, cabe merah, lengkeng, pepaya, kangkung, jambu biji, tomat, kelapa, jeruk
4.2.2. Analisis Ukuran Pekarangan
Ukuran pekarangan merupakan salah satu modal pengelolaan pekarangan, dengan asumsi semakin luas maka akan semakin banyak aktivitas budidaya yang
bisa dilakukan Budiman et al. 2015. Sebuah pekarangan harus memenuhi ukuran
minimum atau critical minimum size seluas 100 m
2
, agar dapat mengakomodasi keanekaragaman hayati yang ideal Arifin et al. 1998. Berdasarkan ukuran rata-
ratanya, pekarangan yang paling luas di Kabupaten Bandung 317.1 m
2
, kemudian di Kabupaten Cirebon 144.6 m
2
, lalu Kabupaten Bogor 142.9 m
2
. Pekarangan dengan rata-rata luasan tersebut mampu mengakomodasi berbagai macam tanaman
dari strata dan fungsi yang berbeda. Namun hal tersebut tidak bisa dilakukan pada seluruh pekarangan karena diferensiasi ukuran luas pekarangan yang cukup lebar
di masing-masing kabupaten, terutama di Bogor dan Cirebon. Klasifikasi terhadap luasan pekarangan menunjukkan 50 pekarangan di Kabupaten Bandung termasuk
kategori sedang, sedangkan sebanyak 66.7 pekarangan di Kabupaten Bogor dan 60 pekarangan di Kabupaten Cirebon termasuk kategori pekarangan sempit.
Luasan pekarangan tidak ada yang lebih dari 1 000 m
2
Tabel 22. Tabel 22 Ukuran pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon
Kabupaten Luas Pekarangan m
2
Kategori Luasan Pekarangan Min
Maks Rata-rata
Sempit Sedang
Besar Bandung
20.0 950.0
317.1 26.7
50.0 23.3
Bogor 6.0
600.0 142.9
66.7 20.0
13.3 Cirebon
6.0 625.0
144.6 60.0
36.7 3.3
Berdasarkan penelitian Brownrigg 1985, ukuran pekarangan yang lebih kecil biasanya ditemukan di kawasan perkotaan urban serta di lokasi yang lebih
tinggi. Pada konteks penelitian ini, pekarangan pada dataran tinggi Kabupaten Bandung memiliki rata-rata ukuran terluas, sedangkan pekarangan pada dataran
sedang Kabupaten Bogor memiliki ukuran tersempit. Di sisi lain, ditinjau dari faktor urbanisasi yang tercermin oleh kepadatan penduduknya, maka Kabupaten
Bandung dengan angka kepadatan terendah 19 orangha memiliki ukuran rata-rata pekarangan paling luas, sedangkan Kabupaten Bogor dan Cirebon dengan angka
kepadatan penduduk yang lebih tinggi memiliki ukuran pekarangan lebih sempit. Kondisi demikian sebagaimana pernyataan Arifin et al. 1998a, bahwa ukuran
pekarangan lebih dipengaruhi oleh faktor urbanisasi daripada ketinggian lokasi. Kemudian Arifin et al. 1998b dan Kehlenbeck et al. 2007 menyatakan bahwa
kawasan dengan laju urbanisasi yang paling rendah perdesaan memiliki ukuran pekarangan paling besar, sedangkan kawasan dengan laju urbanisasi yang tinggi
memiliki ukuran pekarangan yang kecil.
Laju urbanisasi di Kabupaten Bogor dan Cirebon ditunjang oleh jarak desa ke kota yang relatif dekat serta akses transportasi jalan dan angkutan umum yang
lebih mudah. Kedua faktor tersebut tentu dapat meningkatkan harga lahan, sehingga ada kecenderungan pemilik pekarangan untuk menjual sebagian lahannya apabila
memerlukan tambahan uang. Hal ini didukung pernyataan Arifin et al. 1998a bah- wa penurunan ukuran luas pekarangan pada kawasan urban dan sedang mengalami
urbanisasi disebabkan oleh tingginya kepadatan penduduk dan harga lahan.
Faktor jarak lokasi ke kota, akses transportasi, dan laju urbanisasi lebih berpengaruh terhadap ukuran luas pekarangan. Pernyataan ini tidak berseberangan
dengan Arifin et al. 2012 yang menyatakan bahwa pekarangan pada dataran tinggi memiliki ukuran lebih kecil daripada pekarangan di dataran rendah. Adanya per-
bedaan lokasi sampel, yang mana penelitian ini tidak terkait daerah aliran sungai DAS sedangkan penelitian Arifin et al. 2012 memiliki keterkaitan dengan DAS,
menyebabkan perbedaan faktor yang mempengaruhi karakter pekarangan.
Ukuran luas lahan pekarangan yang menyempit wajar terjadi seiring dengan bertambahnya tuntutan kebutuhan pemukiman serta perilaku sosial dan budaya
masyarakat. Kondisi ini di mana lahan pekarangan sangat terbatas untuk aktivitas pertanian dapat disiasati oleh pemilik pekarangan. Meskipun luasannya kurang dari
critical minimum size 100 m
2
, pekarangan masih bisa dioptimalkan dengan teknik vertikultur, yakni budidaya tanaman secara vertikal. Contoh vertikultur yang bisa
diaplikasikan yaitu dengan model bertingkat, gantung, atau tempel.
4.2.3. Analisis Zonasi Pekarangan
Pembagian tata ruang pekarangan menjadi zona depan, samping kanan dan kiri, serta belakang dipengaruhi oleh pemanfaatan lahan dan kondisi sosial-budaya
pemiliknya. Keberadaan zonasi ini bervariasi di setiap pekarangan yang tergantung pada posisi rumah. Pekarangan pada umumnya memiliki zona depan sehingga
paling banyak ditemukan pada pekarangan di Kabupaten Bandung 100, Cirebon 97, serta Bogor 87 Tabel 23. Zona depan yang biasa disebut halaman,
buruan Sunda, atau pelataran Jawa merupakan tempat penting untuk berbagai aktivitas sosial, budaya, dan agama. Beberapa pekarangan yang tidak memiliki zona
depan dikarenakan posisi rumah yang sangat dekat dengan jalan atau gang.
Zona pekarangan belakang juga paling banyak di Kabupaten Bandung, tetapi itu tidak mencapai 23 dari pekarangan yang ada. Zona pekarangan belakang paling
sedikit ditemukan di Kabupaten Bogor 43. Keberadaan zona belakang sering dikurangi atau dikorbankan oleh pemilik pekarangan untuk perluasan rumah. Zona
samping pekarangan paling banyak terdapat di Kabupaten Bandung, sedangkan paling sedikit di Kabupetan Cirebon. Pada kawasan perumahan yang cukup padat
memang jarang ditemui zona pekarangan samping karena umumnya antara rumah satu dengan tetangganya saling berhimpitan. Tata ruang pekarangan seperti ini
paling mudah dijumpai pada perumahan-perumahan baru di kawasan urban.
Tabel 23 Persentase frekuensi keberadaan zona pekarangan
Kabupaten Keberadaan zonasi pekarangan
Depan Belakang
Samping kiri Samping kanan
Bandung 100
57 63
47 Bogor
87 43
53 37
Cirebon 97
47 23
40
Zonasi juga digunakan untuk mengetahui lokasi tanaman pekarangan Arifin et al. 1998. Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa banyak pemilik pekarangan
memanfaatkan zona depan untuk menanam beraneka macam tanaman hias supaya memperindah tampilan rumahnya. Zona samping ditanami berbagai tanaman obat,
sayur, buah, dan bumbu, serta kolam ikan atau kandang ternak unggas. Sedangkan di zona belakang lebih banyak ditanami tanaman industri, buah, dan penghasil pati,
serta kolam ikan atau kandang ternak besar. Hasil survei di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon pada
zona depan, samping, maupun belakang masih didominasi untuk budidaya tanaman pangan Gambar 17. Maka sangat disayangkan ketika banyak zona belakang yang
dikurangi luasnya atau bahkan dihilangkan, sebab akan mengurangi fungsi peka- rangan sebagai penghasil pangan. Pemilik pekarangan yang tidak memiliki zona
belakang biasanya kehilangan potensi produksi yang menunjang ketahanan pangan, terutama dari komoditas pertanian penghasil pati dan protein hewani.