4.4.2. Analisis Nilai Ekonomi dari Produk Pekarangan Kampung
Berdasarkan nilai ekonomi, produk pekarangan di ketiga kabupaten umum- nya menjadi tambahan pendapatan rumah tangga 72.3, kemudian penghematan
17.5, dan untuk kepedulian sosial 10.2. Meskipun akumulasi nilai ekonomi terbesar yaitu Kabupaten Bandung, nilai lahan pekarangan per meter persegi per
tahun yang tertinggi yaitu Kabupaten Bogor Rp 13 400, kemudian di Kabupaten Bandung Rp 11 100, sedangkan Kabupaten Cirebon memiliki nilai produktivitas
terendah dengan Rp 10 500 m
2
tahun Tabel 31. Biaya pemeliharaan pekarangan diabaikan karena mereka menggunakan pupuk kandang atau kompos yang dibuat
sendiri. Rendahnya nilai produktivitas disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pemanfaatan lahan yang belum optimalkan untuk pertanian dan pemeliharaan
pekarangan yang kurang intensif. Komoditas yang dibudidayakan di pekarangan kampung juga belum memperhatikan kebutuhan pasar sehingga nilai jualnya
rendah. Penjualan hasil panen menghasilkan kontribusi paling besar terhadap total nilai ekonomi produk pekarangan. Analisis ekonomi menunjukkan bahwa lebih dari
65 nilai ekonomi produk pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon diperoleh dari hasil penjualan produk. Persentase nilai ekonomi dari konsumsi
pangan untuk rumah tangga terhadap nilai ekonomi produk pekarangan di Kabu- paten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 17.4, 17.9, dan 17.0. Berdasarkan
hasil tersebut, nilai ekonomi produk yang dikonsumsi rumah tangga sekitar 18.
Tabel 31 Nilai ekonomi dan pemanfaatan produk pekarangan kampung per tahun
Kabupaten Nilai produktivitas
Rp m
2
tahun Persentase nilai ekonomi per alokasi
Konsumsi Kepedulian
Pendapatan Bandung
11 100 17.7
12.2 70.1
Bogor 13 400
17.9 5.2
76.9 Cirebon
10 500 17.0
13.1 69.9
Kelompok komoditas pekarangan yang paling berkontribusi terhadap nilai ekonomi di Kabupaten Bandung yaitu tanaman industri berupa cengkeh, Kabupaten
Bogor yaitu ternak kambing, dan Kabupaten Cirebon yaitu buah mangga Tabel 32. Hewan ternak besar seperti sapi dan kambing dipelihara di pekarangan untuk dijual
kembali sebagai investasi. Nilai ekonomi produk pekarangan sebagai konsumsi pangan rumah tangga yang paling banyak diperoleh dari buah-buahan, sayur mayur,
ternak kecil, dan ikan. Adapun jenis komoditas yang paling besar kontribusinya pada pendapatan rumah tangga yaitu hewan ternak besar, buah, tanaman industri,
dan ikan. Secara total, komoditas pekarangan yang paling banyak berkontribusi terhadap nilai ekonomi yaitu hewan ternak besar, buah, tanaman industri, dan sayur.
Tabel 32 Persentase nilai ekonomi dari produk pekarangan kampung
Kabupaten Nilai
Kelompok komoditas tanaman Hewan ternak
obat sayur buah bumbu pati industri besar kecil ikan Bandung
Penghematan 0.6
29.7 37.7
6.0 4.2
0.0 0.5
14.8 6.5
Kepedulian 0.4
29.0 54.4
3.0 7.1
0.0 0.4
3.3 2.3
Pendapatan 0.0
9.9 15.4
2.9 4.1
36.3 18.2
7.2 6.0
Bogor Penghematan
1.4 37.1
16.2 13.5
2.6 0.0
0.0 13.2
16.0 Kepedulian
1.1 27.1
17.4 20.2
13.5 0.0
0.0 8.3
12.4 Pendapatan
0.0 0.3
5.1 5.0
0.9 0.0
71.7 5.0
12.0 Cirebon
Penghematan 1.5
5.4 65.4
2.4 0.0
0.0 0.0
16.2 9.1
Kepedulian 0.2
5.4 80.7
5.9 0.0
0.0 0.0
3.5 4.3
Pendapatan 0.0
17.9 53.8
0.6 0.0
2.7 0.0
8.5 16.4
Kontribusi hasil pekarangan secara langsung untuk menunjang konsumsi pangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 3.8, 2.2, dan 1.4
dari biaya konsumsi per bulannya. Sedangkan kontribusi nilai ekonomi pekarangan yang diperoleh rumah tangga terhadap biaya konsumsi bulanannya di Kabupaten
Bandung, Bogor, dan Cirebon yaitu 19.1, 10.7, dan 7.1 Tabel 33. Pemilik pekarangan lebih banyak memanen produk buah dan sayur dibanding sumber pati
dan protein hewani. Hewan ternak besar seperti kambing atau domba dipelihara di pekarangan untuk dijual sebagai investasi. Kebutuhan konsumsi hewani yang dapat
ditunjang dari pekarangan yaitu ikan, susu sapi, telur, dan daging ayam.
Tabel 33 Kontribusi nilai ekonomi pekarangan terhadap konsumsi rumah tangga
Kabupaten Biaya konsumsi rumah
tangga per bulan Rp Penghematan
per bulan Tambahan income
per bulan Kontribusi
ekonomi Bandung
1 180 400 3.8
15.3 19.1
Bogor 1 521 400
2.2 8.5
10.7 Cirebon
1 340 800 1.4
5.7 7.1
4.5. Rekomendasi Pengelolaan Pekarangan Kampung yang Berkelanjutan
4.5.1. Konsep Pekarangan Kampung yang Berkelanjutan
Pekarangan di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon masih banyak yang belum mampu menunjang kebutuhan pangan rumah tangga. Jika untuk menunjang
konsumsi pangan rumah tangga saja kesulitan, maka sulit untuk saling berbagi hasil panen, dan kecil kemungkinan pekarangan itu dapat menjual produknya. Kesulitan
tersebut karena ukuran pekarangannya kurang dari 120 m
2
. Menurut Arifin 1998, ukuran kritis minimal suatu pekarangan ideal yaitu 100 m
2
, sebab apabila kurang dari itu maka tanaman dan hewan ternak yang dipelihara akan terbatas keragaman
strata dan fungsinya. Tercatat 26.7 pekarangan di Kabupaten Bandung, 66.7 pekarangan di Kabupaten Bogor, dan 60 pekarangan di Kabupaten Cirebon yang
termasuk kategori sempit. Berbeda halnya jika komoditas yang dibudidayakan adalah tanaman non-pangan atau hewan ternak besar yang khusus untuk dijual.
Pada kondisi tersebut, kebutuhan pangan rumah tangga dapat dibeli dari hasil penjualan produk dari pekarangan.
Dalam konsep keberlanjutan penggunaan lahan, penggunaan terbaik yaitu suatu situasi keseimbangan atau integritas antara efisiensi, ekuitas, dan penggunaan
sumberdaya alam Miranda 2001. Penggabungan beberapa pekarangan di suatu kawasan akan meningkatkan jumlah dan jenis komoditasnya. Sebagai gambaran,
suatu kampung biasanya memiliki komoditas unggulan seperti mangga yang ada di hampir setiap pekarangan di Kabupaten Cirebon, dan jambu biji atau jambu merah
di Desa Cikarawang dan Bantarsari, Kabupaten Bogor. Tidak hanya bahan mentah, tetapi produk olahan warga juga bisa menjadi komoditas unggulan suatu kampung.
Pekarangan kampung yang dikelola oleh kelompok masyarakat dalam satu kawasan dapat meningkatkan produksi secara agregat dengan memanfaatkan sumberdaya
alam yang tersedia di lingkungan sekitarnya.
Kondisi pengelolaan pekarangan kampung serta kendala yang teridentifikasi saat survei dan wawancara kemudian dikemukakan pada forum diskusi kelompok
atau focus group discussion FGD yang melibatkan pihak-pihak terkait. Pihak yang terlibat dalam FGD ini terdiri atas: a Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan
tingkat kabupaten, b instansi dinas dan badan pemerintah daerah kabupaten yang terkait pelaksanaan program P2KP, c pemerintah kecamatan, d pemerintah desa,