Analisis Keragaman Horizontal Fungsi Pekarangan

Nilai pendapatan per bulan hasil wawancara hanya menggambarkan kondisi ekonomi responden. Ternyata lebih dari 67 anggota KWT memiliki penghasilan kurang dari Rp 500 000 per bulan, sehingga sangat rawan terjadi masalah ekonomi di rumah tangga apabila penghasilan utama keluarga terganggu. Penghasilan rata- rata anggota KWT di Kabupaten Cirebon paling tinggi Rp 834 000 daripada di kabupaten lainnya. Penghasilan tersebut berasal dari wirausaha di bidang agribisnis dengan komoditas berupa telur bebek, udang, tape ketan, dan pangan olahan. Berdasarkan analisis demografi anggota KWT berupa kondisi sosial dan ekonomi, dapat dinilai kualitas sumberdaya manusia SDM pengelola pekarangan kampung di masing-masing kabupaten. SDM di Kabupaten Bogor telah memiliki kemanpuan bertani paling baik, sedangkan SDM di Kabupaten Cirebon memiliki potensi paling baik dalam mengelola pekarangan kampung.

4.3.2. Analisis Aktivitas Kelompok Wanita Tani

Kegiatan pengelolaan pekarangan kampung yang telah dilakukan oleh KWT dalam rangka program P2KP mencakup pemberdayaan masyarakat, pembibitan dan distribusi bibit ke pekarangan anggota, pemanenan dan pemanfaatan produk dari pekarangan, serta pemasaran produk pekarangan kampung. Pemberdayaan anggota KWT sebagai sumberdaya manusia pengelola pekarangan kampung penting untuk dilakukan karena pekarangan mempunyai hubungan yang kuat antara pemiliknya dengan tanaman dan hewan-hewan yang diternaknya Arifin 2010. Menurut hasil pengamatan serta wawancara di Kabupaten Bandung, Bogor, dan Cirebon, diketahui kegiatan pemberdayaan anggota KWT berupa pelatihan budidaya tanaman pertanian di pekarangan. Mereka diberikan pencerdasan tentang fungsi dan manfaat pengelolaan pekarangan, cara mengelola pekarangan sebagai sumber pangan rumah tangga, serta budidaya tanaman dengan teknik vertikultur. Selain itu, mereka juga mendapat pelatihan pembibitan tanaman di kebun bibit kelompok dan pengolahan produk hasil pekarangan menjadi produk olahan pangan yang lebih bernilai ekonomis. Kegiatan-kegiatan tersebut dibimbing langsung oleh pendamping KWT yang merupakan penyuluh dari Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian BP3, di bawah koordinasi Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan tingkat kabupaten. Di samping kegiatan KWT yang telah terprogram oleh BP3, biasanya KWT berinisiatif membuat kegiatan internal yang bertujuan mempererat kekompakan dan menambah fungsi kelompok, seperti arisan, masak bersama, dan simpan pinjam modal anggota. Upaya pemanenan komoditas dari pekarangan kampung akan meningkatkan kuantitas produk sehingga dapat lebih menunjang ketahanan pangan, kepedulian, dan kesejahteraan masyarakat. Pekarangan satu dengan tetangganya dapat saling tukar barter komoditas pangan yang mereka perlukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kelebihan produksi pangan dari pekarangan kampung dapat dibagi- kan kepada orang yang membutuhkan sehingga menumbuhkan sikap peduli di masyarakat. Jumlah produk pekarangan kampung yang semakin banyak akan lebih ekonomis apabila dijual ke pasar. Sebagai contoh, dalam sekali panen buah mangga dari pekarangan kampung di Kabupaten Cirebon diperoleh rata-rata 406 kg. Contoh lainnya, pemanenan jambu kristal dari pekarangan kampung di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, yang menghasilkan puluhan kilogram dalam sekali panen. Hasil panen tersebut apabila dijual ke pasar akan lebih mudah dan bernilai ekonomis. Produk pekarangan kampung tidak hanya bahan mentah, tetapi juga pangan olahan. Produk pangan olahan yang dibuat oleh KWT bertujuan meningkatkan nilai guna dan ekonomi dari hasil panen di pekarangan kampung. Selain itu, pembuatan produk pangan olahan menjadi alternatif aktivitas pemberdayaan anggota KWT yang kondisi lingkungan pekarangannya kurang mendukung aktivitas pertanian, misalnya karena kekeringan atau tanah yang kurang subur. Bahan dasar produk pangan olahan KWT tidak terbatas dari pekarangan kampung yang dikelola, tetapi dapat bekerja sama dengan KWT dari desa lain yang memiliki sumberdaya berlebih. Sebagaimana yang telah dicatat pada kondisi KWT di masing-masing kabupaten, contoh produk pangan olahan yang dibuat oleh KWT di Kabupaten Bandung yaitu telur asin dan “nasi” hanjeli Gambar 21, kemudian contoh pangan dari Kabupaten Bogor yaitu keripik ubi ungu dan kue tradisional Gambar 22, sedangkan pangan olahan KWT di Kabupaten Cirebon lebih beragam seperti tape ketan, manisan aneka buah, dan sirup buah mangga gedong gincu Gambar 23. Gambar 21 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bandung Gambar 22 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Bogor Gambar 23 Contoh produk pangan olahan dari Kabupaten Cirebon

4.3.3. Analisis Kondisi Kebun Bibit Kelompok Wanita Tani

Keberlanjutan produksi dari pekarangan kampung ditunjang oleh beberapa komponen, diantaranya yaitu kebun bibit yang dikelola bersama oleh anggota KWT Gambar 24. Berdasarkan pengamatan di lapangan, meskipun kebun bibit tersebut bukan satu-satunya komponen penunjang operasional pekarangan kampung, keter- sediaan bibit tanaman sangat diperlukan bagi pekarangan, terutama komoditas yang berumur semusim. Pendamping KWT biasanya memberi rekomendasi komoditas pertanian yang cocok untuk dibudidayakan di pekarangan kampung. Benih tanaman tersebut biasanya dibeli dari toko pertanian terdekat atau dibantu penyediaannya oleh pendamping KWT. Gambar 24 Kondisi kebun bibit milik salah satu kelompok wanita tani di Kabupaten Bandung kiri, Bogor tengah, dan Cirebon kanan Anggota KWT memilih sendiri komoditas pertanian yang dikembangkan di pekarangannya masing-masing. Sebelum membeli bibit, mereka bermusyawarah tentang tanaman apa yang akan ditanam, dan biasanya pendamping kelompok ikut memberikan saran. Komoditas yang banyak dibibitkan di Kabupaten Bandung dan Bogor yaitu tanaman sayur, bumbu, dan buah. Sedangkan kebun bibit di Kabupaten Cirebon membibitkan tanaman sayur, bumbu, dan ikan. Ketersediaan bibit tanaman dan hewan ternak sebaiknya sesuai dengan daya dukung pekarangan kampung sehingga dapat tumbuh dengan baik. Pembibitan ini belum banyak meng-hasilkan bibit komoditas lokal, misalnya talas bogor dan nanas bogor di Kabupaten Bogor atau mangga gedong gincu di Kabupaten Cirebon. Kelemahan dalam pengelolaan modal kebun bibit kelompok menjadi masalah yang sering ditemui pada masing-masing kabupaten. Kondisi ini terjadi karena KWT hanya mengandalkan dana bantuan sosial dari pemerintah. Dana bantuan program P2KP memang diberikan selama 5 tahun, namun hanya setahun sekali dan biasanya pencairan dana tidak sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Kurangnya modal untuk membeli benih tanaman pada pembibitan kesekian kalinya meng- akibatkan kebun bibit tidak berfungsi optimal. Kebutuhan lain untuk pembibitan tanaman pekarangan yaitu pupuk organik dan kantong polybag. Sebagai contoh, kebun bibit kelompok di Desa Bantarsari dan Grogol yang kekurangan modal sehingga tidak terpelihara telah berakibat pada penurunan jumlah komoditas yang ditanam di pekarangan, sehingga angka produksinya menjadi rendah. Berbeda halnya dengan kebun bibit di Desa Girimekar dan Cikarawang yang memiliki sumber modal lain, sehingga bibit untuk pekarangan kawasan tetap tersedia. Modal lain tersebut berasal dari penjualan bibit tanaman serta penjualan produk KWT. Kebun bibit kelompok tani yang kebanyakan terbuat dari bambu yang mudah rusak dan tidak tahan lama. Penggunaan material tersebut karena menyesuaikan dengan anggaran yang telah ditentukan oleh BKP. Pada saat survei, hanya 45 kebun bibit milik KWT yang masih berfungsi dengan baik, sedangkan 55 lainnya sudah rusak Gambar 25. Masalah lain terkait keberadaan kebun bibit kelompok yaitu status kepemilikan lahan. Keberadaan kebun bibit kelompok yang dibangun di atas lahan pribadi sangat tergantung pada kehendak pemilik lahan. Kebun bibit kelompok milik KWT di ketiga kabupaten yang berada di atas lahan pribadi ada sebanyak 77 dan hanya 23 yang berada di lahan milik desa Tabel 27. Kondisi