Karakteristik Nelayan Responden GAMBARAN UMUM PENELITIAN

Dengan menggunakan OLS, maka persamaan tersebut dapat disederhanakan menjadi: = − 1t − 2t ............................................................................. 6.3 Hasil dari OLS pada Lampiran 6 dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2007, ma ka diperoleh nilai α, , dan . Hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Hasil analisis Ordinary Least Square OLS Keterangan Nilai α 0,772747751 -0,763407284 -0,000548001 Sumber: Hasil Analisis Data 2014 Setelah diperoleh nilai α, , dan , maka persamaan 6.β menjadi Yt = 0,772747751 - 0,763407284X 1t - 0,000548001X 2t . Nilai-nilai tersebut kemudian digunakan untuk menduga nilai r, q, dan K yang disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Parameter biologi sumberdaya ikan tuna mata besar di Teluk Palabuhanratu Parameter Biologi Satuan Nilai Tingkat pertumbuhan intrinsik r per tahun 0,772747751 Koefisien kemampuan tangkap q 1unit upaya penangkapan 0,000548001 Daya dukung perairan K Ton 1.847,140097 Sumber: Hasil Analisis Data 2014 Tabel 12 menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan alami r adalah sebesar 0,772747751. Nilai r ini mengartikan tingkat pertumbuhan intrinsik sumberdaya ikan tuna mata besar di Teluk Palabuhanratu pada tahun 2006-2013 sebesar 0,772747751 per tahun. Koefisien kemampuan tangkap q diperoleh sebesar 0,000548001. Nilai q ini mengartikan proporsi stok ikan yang dapat ditangkap oleh satu unit alat tangkap adalah sebesar 0,000548001 ton. Nilai daya dukung perairan K diperoleh sebesar 1.847,140097. Arti dari nilai K ini adalah Teluk Palabuhanratu memiliki kapasitas daya dukung perairan sebesar 1.847,140097 ton.

6.5 Estimasi Parameter Ekonomi

6.5.1 Estimasi Biaya

Parameter biaya yang dikaji dalam analisis bioekonomi hanya berupa biaya variabel per operasi penangkapan. Biaya variabel yang dimaksud adalah biaya operasional per trip penangkapan tuna mata besar yang diasumsikan konstan. Data biaya pada penelitian ini diperoleh dari data primer melalui wawancara dengan nelayan yang menangkap tuna mata besar menggunakan pancing tonda. Biaya operasional ini meliputi biaya bahan bakar solar, perbekalan, es, retribusi, dan perawatan alat tangkap. Bahan bakar dan perbekalan merupakan variabel yang memiliki proporsi paling besar dari seluruh total biaya operasional penangkapan. Setelah dilakukan wawancara kepada nelayan, diperoleh rata-rata biaya per trip penangkapan, yaitu sebesar Rp 545.391. Sama seperti upaya penangkapan, penghitungan biaya operasional pada penelitian ini diasumsikan hanya dialokasikan untuk penangkapan ikan tuna mata besar, sehingga dilakukan penghitungan proporsi pada biayanya. Rincian data biaya tersebut disajikan pada Lampiran 7. Rata-rata biaya per trip ini kemudian disesuaikan dengan IHK Indeks Harga Konsumen untuk komoditas ikan segar Kota Sukabumi untuk memperoleh biaya riil. Biaya riil ikan tuna mata besar di Palabuhanratu dapat dilihat di Tabel 13. Tabel 13 Biaya riil ikan tuna mata besar di Teluk Palabuhanratu tahun 2006-2013 2007=100 Tahun Biaya Nominal Rp IHK Biaya Riil Rp 2006 545.391,25 94,87 574.882,73 2007 545.391,25 100,00 545.391,25 2008 545.391,25 116,92 466.465,32 2009 545.391,25 128,40 424.759,54 2010 545.391,25 128,13 425.654,61 2011 545.391,25 132,36 412.051,41 2012 545.391,25 143,73 379.455,40 2013 545.391,25 158,49 344.117,14 Rata-rata 545.391,25 446.597,18 Sumber: BPS Kota Sukabumi 2014 dan Pohan 2010, diolah 2014 Biaya riil ikan tuna mata besar di Teluk Palabuhanratu pada Tabel 13 cenderung mengalami penurunan. Secara rata-rata diperoleh biaya riil penangkapan ikan tuna mata besar sebesar Rp 446.597. Biaya riil inilah yang digunakan dalam model penghitungan bioekonomi ikan tuna mata besar selanjutnya.

6.5.2 Estimasi Harga

Harga nominal ikan tuna mata besar diperoleh dari nilai produksi ikan tuna mata besar setiap tahunnya pada periode 2006-2013. Seperti biaya penangkapan, pengukuran harga dalam sektor perikanan disesuaikan pula dengan IHK untuk komoditas ikan segar di Kota Sukabumi. Pengukuran harga riil melalui IHK dilakukan untuk mengurangi adanya pengaruh inflasi. Harga riil sumberdaya ikan tuna mata besar dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Harga riil ikan tuna mata besar di Teluk Palabuhanratu tahun 2006-2013 2007=100 Tahun Harga Nominal RpTon IHK Harga Riil RpTon 2006 7.667.171,24 94,87 8.081.765,83 2007 9.647.606,60 100,00 9.647.606,60 2008 12.583.943,87 116,92 10.762.866,80 2009 13.193.155,66 128,40 10.275.043,35 2010 12.485.860,33 128,13 9.744.681,44 2011 13.453.816,81 132,36 10.164.563,93 2012 17.023.848,80 143,73 11.844.325,33 2013 19.034.222,31 158,49 12.009.730,78 Rata-rata 13.136.203,20 10.316.323,01 Sumber: BPS Kota Sukabumi 2014 dan Pohan 2010, diolah 2014 Harga ikan pada Tabel 14 mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Kondisi ini disebabkan oleh produksi yang juga mengalami fluktuasi. Berdasarkan hasil olahan data, diperoleh rata-rata harga riil ikan tuna mata besar sebesar Rp 10.316.323 per ton.

6.6 Analisis Bioekonomi Sumberdaya Ikan Tuna Mata Besar

Analisis bioekonomi sumberdaya ikan tuna mata besar dilakukan dengan pendekatan biologi dan ekonomi. Analisis ini dilakukan untuk menentukan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Formula penghitungan pengelolaan ikan tuna mata besar dilakukan dengan model Walters-Hilborn W- H yang terdapat pada bab metodologi penelitian. Model penghitungan W-H dilakukan pada tiga rezim pengelolaan sumberdaya perikanan. Ketiga rezim tersebut adalah Maximum Sustainable Yield MSY, Maximum Economic Yield MEY, dan Open Access OA. Hasil tersebut dengan menggunakan software MAPLE 12 dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil secara ringkas dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2007 dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil analisis bioekonomi pada berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan tuna mata besar Parameter Rezim Pengelolaan MSY MEY OA Aktual Stok Ton 923,57 963,07 79,00 - Produksi Ton 356,84 356,19 58,43 89,56 Upaya Tangkap Unit 705,06 674,91 1.349,81 101,00 Rente Ekonomi Rp Milyar 3,36 3,37 0,00 0,87 Sumber: Hasil Analisis Data 2014 Tabel 15 menunjukkan perbedaan dari masing-masing rezim pengelolaan untuk sumberdaya ikan tuna mata besar. Parameter pertama pada Tabel 15 adalah stok. Nilai stok x pada Tabel 15 merupakan kondisi stok ikan tuna mata besar di Teluk Palabuhanratu pada berbagai rezim pengelolaan. Nilai stok tertinggi sebesar 963,07 ton merupakan kondisi optimal pada rezim MEY. Nilai stok lestari yang diperoleh pada rezim MSY adalah sebesar 923,57 ton. Nilai stok pada rezim MSY ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai stok pada rezim OA, yaitu 79,00 ton. Gambar 14 di bawah ini dapat memperjelas perbandingan dari nilai stok pada masing-masing rezim pengelolaan. Sumber: Hasil Analisis Data 2014 Gambar 14 Perbandingan stok sumberdaya ikan tuna mata besar pada masing- masing rezim pengelolaan Parameter kedua adalah nilai produksi. Nilai produksi h pada Tabel 15 menunjukkan produksi untuk setiap unit upaya penangkapan yang digunakan. Nilai ini juga menunjukkan produksi yang diperbolehkan dalam pengelolaan yang berkelanjutan. Produksi tertinggi terdapat pada rezim MSY, yaitu sebesar 356,84 ton. Produksi pada rezim MEY diperoleh sebesar 356,19 ton. Produksi pada rezim OA merupakan produksi terendah, yaitu sebesar 58,43 ton. Hal ini disebabkan oleh pengelolaan yang tidak terkendali, dimana terjadi penurunan stok dan produksi perikanan. Nilai pada kondisi aktual 89,56 ton belum melebihi nilai pada rezim MSY dan MEY, namun sudah melebihi rezim OA. Dapat dikatakan bahwa belum terjadi biological overfishing pada pengelolaan ikan tuna mata besar di Teluk Palabuhanratu. Perbandingan produksi pada berbagai rezim dapat dilihat pada Gambar 15. 923,57 963,07 79,00 0,00 200,00 400,00 600,00 800,00 1000,00 1200,00 MSY MEY OA S to k To n Rezim Pengelolaan Sumber: Hasil Analisis Data 2014 Gambar 15 Perbandingan produksi ikan tuna mata besar pada masing-masing rezim pengelolaan Parameter ketiga pada Tabel 15 adalah upaya penangkapan. Nilai upaya penangkapan E pada Tabel 15 menunjukkan tingkat upaya penangkapan yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan. Selain itu, nilai ini juga menunjukkan upaya penangkapan yang diperbolehkan dalam pengelolaan yang berkelanjutan. Nilai upaya penangkapan tertinggi terdapat pada rezim OA, yaitu sebesar 1.349 unit. Nilai upaya penangkapan pada rezim MSY dan MEY berturut- turut sebesar 705 unit dan 674 unit. Nilai upaya penangkapan pada kondisi aktual sebesar 101 unit belum melebihi nilai-nilai pada rezim MSY, MEY, dan OA. Hal ini mengindikasikan bahwa penangkapan ikan tuna mata besar di Teluk Palabuhanratu belum mengalami economic overfishing. Gambar 16 di bawah ini dapat menjelaskan perbandingan upaya penangkapan pada setiap rezim pengelolaan. Sumber: Hasil Analisis Data 2014 Gambar 16 Perbandingan upaya penangkapan ikan tuna mata besar pada masing-masing rezim pengelolaan 356,84 356,19 58,43 89,56 0,00 100,00 200,00 300,00 400,00 MSY MEY OA Aktual P r o d u k si To n Rezim Pengelolaan 705,06 674,91 1349,81 101,00 0,00 200,00 400,00 600,00 800,00 1000,00 1200,00 1400,00 1600,00 MSY MEY OA Aktual U p aya P e n an gk ap an U n it Rezim Pengelolaan Telah dikatakan bahwa sumberdaya ikan tuna mata besar belum mengalami overfishing baik secara ekonomi maupun biologi, sehingga dapat dikatakan penurunan produksi pada tahun 2012-2013 bukan merupakan indikasi dari gejala overfishing. Penurunan produksi disebabkan oleh naiknya harga bahan bakar solar yang digunakan untuk penangkapan pada tahun 2013 dan pengaruh cuaca buruk yang terjadi antara tahun 2012-2013. Kenaikan harga solar merupakan penyebab utama karena solar merupakan input operasional utama sekitar 75 diantara input operasional lainnya. Parameter keempat pada Tabel 15 adalah rente ekonomi. Nilai rente ekonomi π pada Tabel 15 menunjukkan tingkat rente ekonomi yang diperoleh dalam penangkapan sumberdaya ikan tuna mata besar. Nilai rente ekonomi terbesar terdapat pada rezim MEY, yaitu sebesar Rp 3.366.433.296. Rente ekonomi pada rezim MSY dan OA berturut-turut adalah sebesar Rp 3.373.166.499 dan Rp 0. Angka Rp 0 pada rezim OA menunjukkan nelayan hanya mendapatkan upah atas biaya yang dikeluarkan dalam penangkapan dan tidak mendapat rente. Tingkat rente ekonomi pada kondisi aktual masih lebih rendah dibandingkan dengan rezim MSY dan MEY. Oleh sebab itu, nelayan masih dapat meningkatkan jumlah produksi dan upaya penangkapan untuk mencapai rente ekonomi yang lebih besar. Perbandingan rente ekonomi pada berbagai rezim pengelolaan dapat dilihat pada Gambar 17. Sumber: Hasil Analisis Data 2014 Gambar 17 Perbandingan rente ekonomi ikan tuna mata besar pada masing- masing rezim pengelolaan 3.366.433.296 3.373.166.499 878.804.231 Rp0,00 Rp0,50 Rp1,00 Rp1,50 Rp2,00 Rp2,50 Rp3,00 Rp3,50 MSY MEY OA Aktual R e n te Ek o n o m i R p M il yar Rezim Pengelolaan