Bioekonomi Perikanan TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Sistem Bagi Hasil Perikanan

Perjanjian Bagi Hasil Perikanan menurut Undang-Undang No.16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan adalah perjanjian yang diadakan dalam usaha penangkapan atau pemeliharaan ikan antara nelayan penggarap dengan nelayan pemilik atau antara nelayan penggarap tambak dengan nelayan pemilik tambak, menurut perjanjian mana mereka masing-masing menerima bagian dari hasil usaha tersebut menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya Muhartono 2004. Umumnya model relasi antara nelayan pemilik dengan nelayan buruh yang saling menguntungkan kedua belah pihak merupakan fenomena sosial yang terjadi pada setiap komunitas nelayan dan terikat dalam kepentingan ekonomi kedua belah pihak. Kenyataannya di berbagai komunitas nelayan memperlihatkan bahwa pihak anak buah kapal ABK berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Hal ini terjadi karena pendapatan dari para ABK sangat kecil. Beberapa hasil penelitian Susilo 1987, Wagito 1994, Masyhuri 1996 dan 1998 menunjukkan bahwa distribusi pendapatan dari pola bagi produksi sangatlah timpang diterima antara pemilik dan awak kapal. Secara umum hasil bagi bersih yang diterima awak kapal dan pemilik adalah separo-separo. Akan tetapi, bagian yang diterima awak kapal harus dibagi lagi dengan sejumlah awak yang terlibat dalam aktivitas kapal. Semakin banyak awak kapal, semakin kecil pula bagian yang diperoleh setiap awaknya Subri 2005. Ketidakmerataan bagi hasil dalam hubungan produksi menyebabkan sulitnya nelayan untuk mengakumulasi modal sehingga semakin sulit pola untuk melakukan mobilisasi secara vertikal. Pelapisan sosial yang terbentuk menempatkan nelayan pekerja dalam posisi paling bawah. Dalam rangka menaikkan posisi nelayan serta untuk menghindari adanya unsur perlakuan yang tidak adil dari nelayan pemilik, maka ditentukan mekanisme pembagian hasil usaha perikanan. Mekanisme ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan dpr.go.id. Penetapan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan sebagai salah satu sarana untuk menciptakan suatu keteraturan dan dicapainya suatu keserasian antara ketertiban dan keteraturan. Undang-Undang ini diharapkan dapat berfungsi sebagai pengendali sosial dan juga sebagai alat untuk merubah masyarakat Murtadi 1982 dalam Muzdalifah 2006. Menurut ketentuan Undang-Undang Bagi Hasil Perikanan Nomor 16 Tahun 1964: Pasal 3 disebutkan: 1 Jika suatu usaha perikanan diselenggarakan atas dasar perjanjian bagi hasil, maka dari hasil usaha itu kepada pihak nelayan penggarap dan penggarap tambak paling sedikit harus diberikan bagian sebagai berikut: 1. Perikanan laut: a. Jika digunakan perahu layar: minimum 75 tujuh puluh lima perseratus dari hasil bersih, b. Jika digunakan kapal motor: minimum 40 empat puluh perseratu dari hasil bersih Pasal 4 disebutkan: Angka bagian pihak nelayan penggarap dan penggarap tambak sebagai yang tercantum dalam pasal 3 ditetapkan dengan ketentuan, bahwa beban-beban yang bersangkutan dengan usaha perikanan itu harus dibagi sebagai berikut: 1. Perikanan laut a. Beban-beban yang menjadi tanggungan bersama dari nelayan pemilik dan pihak nelayan penggarap: ongkos lelang, uang rokokjajan, dan biaya perbekalan untuk para nelayan penggarap selama di laut, biaya untuk sedekah laut selamatan bersama serta iuran-iuran yang disahkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II yang bersangkutan seperti untuk koperasi, dana pembangunan kapal, dana kesejahteraan, dana kematian, dan lain-lainnya. b. Beban-beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik: ongkos pemeliharaan dan perbaikan perahukapal serta alat-alat lain yang digunakan, penyusutan, dan biaya eksploitasi usaha penangkapan, seperti untuk pembelian solar, minyak, es, dan lain sebagainya. Usaha perikanan, khususnya di bidang penangkapan ikan secara terus menerus perlu dilakukan pengenalan pemanfaatan sumberdaya ikan secara terus menerus juga agar tidak melampaui potensi yang tersedia. Selain itu, pemerataan pembagian hasil dari produksi juga perlu dilakukan.

2.6 Kebijakan Pengelolaan Perikanan

Pada awal perkembangan lahirnya teori ekonomi perikanan, tiga ekonom yaitu Gordon 1954, Scott 1955, dan Crutchfiled 1961 secara berturut-turut mempublikasikan mengenai pembuktian bahwa perikanan yang tidak diatur unregulated akan cenderung menempatkan upaya penangkapan pada tingkat yang melebihi tingkat optimal. Huppert 1988 juga menunjukkan bahwa banyak sekali bukti empiris dan dokumentasi yang menunjukkan bahwa perikanan tangkap cenderung menguras stok dan mengakibatkan overcapitalism. Huppert juga menyatakan bahwa overfishing bukan semata-mata disebabkan oleh kerakusan nelayan, melainkan ketiadaan regulasi yang mengatur sistem perikanan tangkap tersebut Fauzi 2010. Selain itu, ada beberapa alasan lain mengapa regulasi perikanan diperlukan, Scott 1979 yang diacu dalam Fauzi 2010 secara eksplisit mengupas dengan rinci empat alasan utama mengapa diperlukan regulasi dalam sistem perikanan tangkap, yaitu: 1. Regulasi perikanan diperlukan untuk mendorong terjadinya efisiensi dalam pengelolaan perikanan yang notabene bersifat barang publik. 2. Regulasi perikanan diperlukan untuk meningkatkan kualitas serta bobot dan ukuran ikan yang ditangkap. 3. Perairan umum seperti laut memiliki sifat multi guna, dimana pihak lain juga memanfaatkan ruang dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Regulasi diperlukan untuk menangani konflik yang sering timbul atas akses pemanfaatan sumberdaya tersebut. 4. Regulasi perikanan diperlukan untuk mencegah pemborosan tenaga kerja dan modal serta untuk mendorong alokasi sumberdaya yang efisien. Regulasi perikanan di zaman modern dimulai ketika konflik atas akses dan pemanfaatan sumberdaya ikan semakin marak karena keinginan yang besar untuk menguasai sumberdaya ikan. Terdapat beberapa instrumen rasionalisasi yang bisa diterapkan dalam regulasi perikanan, yaitu pajak terhadap input, pajak terhadap output, dan penerapan kuota terhadap produksi tangkap. Disebut instrumen rasionalisasi karena tujuan dari instrumen-instrumen tersebut adalah merasionalkan tingkat input dari “open access” yang cenderung tidak rasional tersebut ke tingkat yang rasional secara ekonomi Fauzi 2010.

2.7 Metode Perbandingan Eksponensial MPE

Metode Perbandingan Eksponensial MPE merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak. Teknik ini digunakan sebagai pembantu bagi individu pengambilan keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahapan proses. MPE mempunyai keuntungan dalam mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis. Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan dengan cara wawancara dengan pakar atau melalui kesepakatan curah pendapat. Sedangkan penentuan skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Semakin besar nilai alternatif, semakin besar pula skor alternatif tersebut Marimin 2004.

2.8 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang terkait dengan sumberdaya ikan tuna mata besar dilakukan oleh Marpaung 2001. Penelitian ini membahas mengenai sebaran hook rate tuna mata besar di Perairan Indonesia karena rawai tuna merupakan salah satu alat tangkap dalam rangka pemanfaatan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia 200 mil ZEEI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola sebaran hook rate tuna mata besar di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Metode yang digunakan adalah menghitung hook rate. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa hook rate tuna mata besar sebagian besar berada di Samudera Hindia Barat Sumatera, Selatan Jawa sampai Selatan Bali-Nusa Tenggara. Sebagian lagi menyebar dari Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda, Laut Maluku dan Teluk Tomini, Laut Sulawesi, dan Utara Irian Jaya. Muhartono 2004 melakukan penelitian mengenai alternatif pola bagi hasil nelayan gillnet di Muara Baru, Jakarta Utara. Bagi hasil merupakan salah satu cara yang dilakukan pemilik kapal untuk membagi produksi dengan nelayan buruh. Pembagian proporsi yang selama ini terjadi hanyalah sesuai kehendak pemilik kapal. Hampir tidak ada kesempatan untuk nelayan buruh untuk mengajukan proporsi yang lebih adil. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada sistem bagi hasil gillnet terdapat dua sistem bagi hasil, yaitu sistem 1 dan sistem 2. Sistem bagi hasil kedua terdapat pembagian proporsi yang cenderung menguntungkan pemilik dan nahkoda. Hal ini disebabkan adanya potongan sebesar 15 yang diperuntukkan bagi: pemilik sebesar 10 dan nahkoda sebesar 5. Berkademi 2011 melakukan penelitian mengenai pengelolaan sumberdaya ikan bilih Mystacoleucus padangensis Blkr di Danau Singkarak, Sumatera Barat.Penelitian ini dilakukan karena ikan bilih merupakan jenis ikan endemik yang hidup di perairan Danau Singkarak, Sumatera Barat yang terus mengalami peningkatan tingkat upaya setiap tahunnya. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pengelolaan yang tepat terhadap sumberdaya ikan bilih di Danau Singkarak menggunakan analisis bioekonomi. Hasil analisis bioekonomi pada penelitian ini berdasarkan fungsi logistik dengan pendekatan Clark, Yoshimoto, dan Pooley CYP diperoleh kondisi optimal nilai biomassa x 2.245,92 tontahun, produksi lestari h 953,24 tontahun, dan effort E nelayan sebesar 630,40 unit standar alat tangkaptahun, sehingga diperoleh rente ekonomi sebesar Rp 10.196.741.207,25 per tahun. Berdasarkan hasil analisis bioekonomi pada penelitian ini, diduga telah terjadi biological overfishing dan economic overfishing pada sumberdaya ikan bilih di Danau Singkarak. Selain itu, Erlinda 2012 melakukan penelitian mengenai analisis bioekonomi ikan layur di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ikan layur merupakan jenis ikan demersal yang memiliki nilai ekonomi dan menjadi komoditi ekspor perikanan Indonesia. Produksi ikan layur cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kondisi produksi, effort, dan rente ekonomi pada kondisi optimal dan aktual pemanfaatan ikan layur di Teluk Palabuhanratu, menganalisis laju degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan layur di Teluk Palabuhanratu, dan mengkaji persepsi Dinas Kelautan dan Perikanan Sukabumi dan PPN Palabuhanratu sebagai pembuat kebijakan dan para nelayan mengenai kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan layur di Teluk Palabuhanratu. Hasil analisis bioekonomi berdasarkan model Walters-Hilborn diperoleh pada kondisi MSY, jumlah produksi ikan layur adalah 249,90 ton per tahun dengan jumlah effort sebanyak 523 unit dan menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp 952.791.574, pada kondisi MEY, jumlah produksi per tahun adalah 249,34 ton dengan effort sebanyak 498 unit dan rente ekonomi sebesar Rp 955.122.910. Produksi ikan layur pada kondisi OA adalah 44,84 ton dengan effort sebanyak 997 unit dan rente ekonomi sebesar Rp 0. Berdasarkan hasil analisis, sumberdaya ikan layur di Teluk Palabuhanratu belum mengalami degradasi maupun depresiasi. Penelitian Marpaung 2001 memiliki persamaan pada penelitian ini dalam hal komoditas, yaitu ikan tuna mata besar. Penelitian Muhartono 2004 memiliki persamaan pada penelitian ini dalam hal sistem bagi hasil nelayan. Penelitian Berkademi 2011 dan Erlinda 2012 memiliki persamaan dalam penelitian ini, yaitu alat analisis berupa analisis bioekonomi dalam menentukan pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Perbedaan yang mendasar dari penelitian ini adalah analisis sistem bagi hasil lebih difokuskan pada perikanan tuna mata besar untuk mengetahui pendapatan nelayan buruh. Pendapatan ini kemudian dibandingkan dengan standar Upah Minimum Kabupaten UMK dan Kebutuhan Hidup Layak KHL Kabupaten Sukabumi untuk mengetahui kelayakan pendapatan yang telah diperoleh.

3. KERANGKA PEMIKIRAN

Teluk Palabuhanratu merupakan wilayah perairan yang terletak di Selatan Pulau Jawa yang banyak terdapat ikan pelagis besar, seperti tuna mata besar. Mayoritas nelayan di daerah ini menggunakan alat tangkap pancing tonda. Produksi ikan tuna mata besar dengan pancing tonda mengalami penurunan pada tahun 2011-2013. Penurunan ini diduga merupakan indikasi dari gejala overfishing terhadap perikanan tuna mata besar di wilayah perairan Teluk Palabuhanratu. Diperlukan kajian untuk mengetahui apakah ikan tuna mata besar di Teluk Palabuhanratu benar-benar telah mengalami overfishing. Kajian tersebut dilakukan melalui suatu analisis, yaitu analisis bioekonomi yang terdiri atas analisis biologi dan analisis ekonomi. Analisis ini akan menghasilkan keadaan ikan tuna mata besar dan rente ekonomi dari ikan tuna mata besar. Selain rente ekonomi perikanan tuna mata besar, hasil dari analisis bioekonomi ini menentukan koefisien laju degradasi dan depresiasi, sehingga analisis degradasi dan depresiasi dapat dilakukan. Analisis degradasi dan depresiasi menentukan apakah perikanan tuna mata besar sudah mengalami degradasi dan depresiasi. Selain dua analisis sebelumnya, penelitian ini menganalisis sistem bagi hasil perikanan tuna mata besar yang terdapat di Teluk Palabuhanratu dan menganalisis penilaian alternatif kebijakan pengelolaan ikan tuna mata besar di Teluk Palabuhanratu. Sistem bagi hasil perikanan tuna mata besar dianalisis menggunakan analisis sistem bagi hasil. Selanjutnya, pada analisis dari sistem bagi hasil perikanan diketahui sistem bagi hasil yang berlaku serta pendapatan yang diterima oleh nelayan pemilik dan nelayan buruh nahkoda dan ABK. Pendapatan yang diperoleh dibandingkan dengan UMK dan KHL Kabupaten Sukabumi. Alternatif kebijakan pengelolaan dianalisis menggunakan Metode Perbandingan Eksponensial MPE. Alternatif kebijakan disusun berdasarkan hasil dari ketiga analisis sebelumnya. Metode ini akan menghasilkan alternatif kebijakan yang paling tepat berdasarkan penilaian responden. Keterangan di atas dapat diperjelas dengan kerangka penelitian pada Gambar 7 berikut. Gambar 7 Kerangka pemikiran Teluk Palabuhanratu Pemanfaatan sumberdaya perikanan tuna mata besar Thunnus obesus Laju degradasi dan depresiasi ikan tuna mata besar Ketersediaan ikan tuna mata besar Sistem bagi hasil perikanan tuna mata besar Alternatif kebijakan pengelolaan perikanan tuna mata besar di Teluk Palabuhanratu Analisis bioekonomi Analisis laju degradasi dan depresiasi Analisis sistem bagi hasil Rente ekonomi ikan tuna mata besar Tingkat degradasi dan depresiasi ikan tuna mata besar Pendapatan nelayan Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tuna mata besar yang berkelanjutan di Teluk Palabuhanratu Metode Perbandingan Eksponensial MPE Strategi pengelolaan perikanan tuna mata besar

4. METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Metode survei adalah mengenal masalah-masalah serta mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktik-praktik yang sedang berlangsung Nazir 1988. Metode survei juga melakukan perbandingan-perbandingan terhadap hal-hal yang telah dikerjakan orang dalam menangani situasi atau masalah yang serupa dan hasilnya dapat digunakan dalam pembuatan rencana dan pengambilan keputusan di masa mendatang. Penyelidikan yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan terhadap sejumlah individu atau unit dalam penelitian ini menggunakan sampel.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Data yang diperlukan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan secara langsung ke lokasi penelitian dan melakukan wawancara langsung dengan masyarakat nelayan setempat dan instansi terkait seperti PPN Palabuhanratu dan DKP Kabupaten Sukabumi dengan menggunakan kuesioner yang disajikan pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. Data primer ini terdiri dari biaya penangkapan ikan tuna mata besar, harga ikan tuna mata besar di tingkat nelayan, pendapatan nelayan beserta sistem bagi hasilnya, dan penilaian alternatif kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan tuna mata besar. Data sekunder yang diperlukan pada penelitian ini adalah data berkala time series. Data ini berupa produksi dan upaya effort penangkapan diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu dan Indeks Harga Konsumen IHK ikan segar Kota Sukabumi selama 8 tahun berturut-turut yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik BPS Kota Sukabumi. Selain itu, data mengenai besarnya standar Upah Minimum Kabupaten UMK dan Kebutuhan Hidup Layak KHL Kabupaten Sukabumi 2013 juga diperlukan untuk perbandingan dengan pendapatan nelayan dari sistem bagi hasil. Rincian jenis dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 1.