Tabel 17 menunjukkan rata-rata penerimaan dari kapal pancing tonda dalam berbagai musim penangkapan. Jumlah penerimaan ini kemudian akan
dikurangi dengan rata-rata biaya operasional yang diasumsikan konstan, sehingga akan menghasilkan pendapatan per kapal. Hasil pendapatan ini kemudian dibagi
berdasarkan proporsi yang sudah ditentukan sebelumnya, yaitu masing-masing sebesar 50 untuk nelayan pemilik dan nelayan buruh. Bagian 50 dari nelayan
buruh akan dibagi lagi sesuai dengan posisinya, dimana nahkoda mendapat 3 bagian dan ABK mendapat 1 bagian.
Pendapatan tertinggi yang diperoleh nelayan terdapat pada musim puncak. Nelayan pemilik mendapatkan Rp 26.477.499bulan, nahkoda mendapatkan Rp
11.347.499bulan, dan ABK mendapatkan Rp 3.782.499bulan. Hal ini disebabkan oleh tingginya hasil tangkapan dan tingginya hasil penerimaan pada musim ini.
Stok ikan yang tersedia di laut sedang mengalami peningkatan pada saat musim puncak atau musim barat tersebut. Pendapatan pada musim paceklik adalah
pendapatan terendah yang diperoleh nelayan. Tabel 17 menunjukkan pemilik mendapatkan Rp 6.304.374bulan, nahkoda mendapat Rp 2.701.874bulan, dan
ABK mendapat Rp 900.624bulan. Sementara itu, pada musim peralihan, pemilik mendapat Rp 11.761.524bulan, nahkoda mendapat Rp 5.040.653bulan, dan ABK
mendapat Rp 1.680.217bulan. Pendapatan pada musim paceklik menjadi pendapatan yang paling sedikit diperoleh karena saat musim tersebut stok ikan
akan mengalami penurunan dan cuaca menjadi terlalu ekstrem. Akibatnya, nelayan akan melakukan penangkapan dalam waktu yang lebih lama dari biasanya
atau sama sekali tidak melaut untuk menghindari kerugian. Apabila nelayan tidak melaut, tentu tidak terjadi sistem bagi hasil. Nelayan pemilik juragan biasanya
akan tetap memberi gaji sekitar Rp 25.000orang hingga Rp 40.000orang setiap harinya pada musim paceklik. Hal ini mengakibatkan nelayan yang tidak memiliki
pekerjaan sampingan akan tetap memiliki penghasilan pada musim paceklik. Beberapa nelayan mengaku sering menabung dan uang tabungan tersebut
biasanya digunakan pada saat musim paceklik. Beberapa nelayan lainnya yang tidak memiliki simpanan uang biasanya akan meminjam uang pada juragannya
masing-masing. Rata-rata pendapatan yang diperoleh pemilik, nahkoda, dan ABK berturut-turut sebesar Rp 14.847.799bulan, Rp 6.363.342bulan, dan Rp
2.121.114bulan. Bila dikonversi dalam bentuk tahun, pemilik akan memperoleh Rp 178.173.596tahun, nahkoda memperoleh Rp 76.360.112tahun, dan ABK
memperoleh Rp 25.453.370tahun. Telah disampaikan sebelumnya bahwa bagian nelayan pemilik berbeda dengan nelayan buruh. Bagian nelayan pemilik
mencakup pendapatan pribadi dan biaya penyusutan tiap tahunnya. Biaya penyusutan diperoleh dari persamaan 4.17. Rincian biaya tersebut dapat dilihat
pada Tabel 18. Tabel 18 Biaya penyusutan kapal pancing tonda di Teluk Palabuhanratu
No. Investasi Awal
Biaya RpKapal Biaya Penyusutan RpTahun
1 Mesin 2 buah
60.000.000 7.500.000,00
2 Kapal 12,5 meter x 3,5 meter
75.000.000 10.714.285,71
3 Rumpon
12.500.000 3.125.000,00
Jumlah 147.500.000
21.339.285,71
Sumber: Hasil Analisis Data 2014
Tabel 18 diperoleh informasi bahwa investasi awal nelayan pemilik berupa mesin sebanyak 2 buah sebesar Rp 60.000.000kapal, kapal sebesar Rp
75.000.000kapal, dan rumpon alat bantu penangkapan ikan sebesar Rp 12.500.000kapal. Biaya sebenarnya pembuatan rumpon adalah sebesar Rp
50.000.000. Namun biasanya biaya ini ditanggung oleh 4 pemilik kapal, sehingga biaya investasi rumpon per kapal menjadi Rp 12.500.000. Umur teknis untuk
mesin kapal merk “Yanmar” adalah 8 tahun, umur teknis untuk kapal adalah 7
tahun, dan umur teknis rumpon adalah 4 tahun. Melalui persamaan 4.17, diperoleh biaya penyusutan untuk mesin, kapal, dan rumpon berturut-turut sebesar
Rp 7.500.000, Rp 10.714.285, dan Rp3.125.000. Total dari biaya penyusutan ketiganya diperoleh sebesar Rp 21.339.285tahun. Apabila telah mencapai
payback period, besarnya biaya penyusutan dapat dialokasikan kepada bagian dari nelayan buruh. Artinya, pendapatan nelayan buruh khususnya ABK dapat
meningkat. Pendapatan yang telah diperoleh masing-masing nelayan kemudian
dibandingkan dengan UMK dan KHL yang berlaku di Kabupaten Sukabumi pada tahun 2013. Pendapatan nelayan pemilik dan buruh sudah melampaui standar
UMK dan KHL pada musim puncak dan musim peralihan. Sementara pada musim paceklik, hanya nelayan ABK yang memperoleh pendapatan di bawah standar
UMK dan KHL. Secara rata-rata pendapatan yang diperoleh nelayan pemilik dan nelayan buruh telah melampaui standar UMK dan KHL Kabupaten Sukabumi.
Adapun dibuat penghitungan bagi hasil dari kapal pancing tonda dengan hanya memperhitungkan jumlah tangkapan ikan tuna mata besar. Rincian
penerimaan dan pendapatan nelayan dari hasil tangkapan ikan tuna mata besar menggunakan pancing tonda dapat dilihat pada Lampiran 10. Secara ringkas,
penerimaan dan pendapatan dari ikan tuna mata besar yang ditangkap menggunakan pancing tonda dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19 Pendapatan nelayan pancing tonda dari hasil tangkapan tuna mata besar berdasarkan klasifikasi posisi nelayan dan perbandingannya dengan
UMK dan KHL di Teluk Palabuhanratu tahun 2013
Rincian Musim
Puncak Musim
Peralihan Musim
Paceklik Rata-rata
Penerimaan RpKapal 16.783.350
5.044.800 6.368.250
9.398.800 Biaya Operasional RpKapal
1.636.173 1.636.173
1.636.173 1.636.173
Pendapatan RpKapal 15.147.176
3.408.626 4.732.076
7.762.626
Pendapatan Bagi Hasil RpOrangBulan:
1. Pemilik 7.573.588
1.704.313 2.366.038
3.881.313 2. Nahkoda
3.245.823 730.419
1.014.016 1.663.419
3. ABK 1.081.941
243.473 338.005
554.473 UMK Rp
1.201.000 KHL Rp
1.200.000
Sumber: Hasil Analisis Data 2014, BPS Kabupaten Sukabumi 2014, Antara News 2014
Tabel 19 menunjukkan pendapatan nelayan pancing tonda dari hasil tangkapan tuna mata besar. Pendapatan tertinggi juga terdapat pada musim puncak,
yaitu pemilik memperoleh Rp 7.573.588bulan, nahkoda memperoleh Rp 3.245.823bulan, dan ABK memperoleh Rp 1.081.941bulan. Pendapatan nelayan
pada musim peralihan merupakan pendapatan terendah. Pemilik memperoleh Rp 1.704.313bulan, nahkoda memperoleh Rp 730.419bulan, dan ABK memperoleh
Rp 243.473bulan. Sementara itu pendapatan pada musim paceklik untuk pemilik, nahkoda, dan ABK berturut-turut adalah Rp 2.366.038bulan, Rp 1.014.016bulan,
dan Rp 338.005bulan, Secara rata-rata, pemilik memperoleh pendapatan sebesar Rp 3.881.313bulan, nahkoda memperoleh Rp 1.663.419bulan, dan ABK
memperoleh Rp 554.473bulan. Bila dibandingkan dengan UMK dan KHL, pada musim puncak hanya ABK yang memperoleh pendapatan di bawah standar UMK
dan KHL. Pada musim peralihan, baik nahkoda maupun ABK memperoleh pendapatan di bawah standar UMK dan KHL. Sementara itu, hanya pendapatan
yang diperoleh nelayan pemilik yang melampaui standar UMK dan KHL pada musim paceklik. Secara rata-rata, hanya ABK yang memperoleh pendapatan di
bawah standar UMK dan KHL Kabupaten Sukabumi.
Hasil pada Tabel 17 dan 19 membuktikan bahwa sebenarnya ABK masih belum memiliki pendapatan yang layak dari sistem bagi hasil yang ditetapkan.
Akibatnya, banyak ABK yang tergolong miskin dan tidak dapat berbuat banyak untuk meminta kenaikan pendapatan sesuai dengan standar upah yang ditetapkan.
Rendahnya pendapatan yang diperoleh nelayan buruh, terutama ABK juga dikarenakan dalam sistem bagi hasil tidak diperhitungkan biaya penyusutan kapal.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa seharusnya apabila telah mencapai masa balik modal payback period, besarnya angka untuk menutupi
biaya investasi biaya penyusutan tiap tahun dapat dialokasikan pada bagian nelayan buruh. Artinya, pendapatan yang diperoleh nelayan buruh ABK dapat
meningkat dan diharapkan mencapai standar UMK dan KHL. Namun, hal ini jarang terjadi pada kondisi yang sebenarnya. Kebanyakan nelayan pemilik
menganggap biaya penyusutan tidak perlu dimasukkan dalam sistem bagi hasil, sehingga nelayan buruh terutama ABK akan tetap berada dalam kemiskinan.
Bertentangan dengan hasil perbandingan pendapatan dengan UMK dan KHL, sistem bagi hasil perikanan tuna mata besar ini diakui mayoritas nelayan
responden sudah tepat. Berdasarkan hasil wawancara, mayoritas nelayan mengatakan bahwa nelayan pemilik memang berhak untuk mendapatkan bagian
yang lebih besar. Hal ini dikarenakan nelayan pemilik yang mengeluarkan biaya investasi atas kapal dan alat tangkap. Sementara itu terdapat sebagian kecil
nelayan responden yang mengaku bahwa sistem bagi hasil ini dirasa kurang adil. Seharusnya, persentase bagi hasil nelayan buruh lebih besar dibandingkan nelayan
pemilik. Alasan mereka adalah nelayan buruh merupakan pekerja utama pada aktivitas penangkapan, dimana nelayan buruh ini yang harus lebih sering
menghadapi banyak risiko di laut. Keadaan sebenarnya di lapang agak berbeda dengan hasil perhitungan bagi
hasil nelayan. Banyak nelayan buruh yang sering tidak melaporkan hasil tangkapan yang sesungguhnya kepada juragannya. Banyak nelayan buruh menjual
hasil tangkapannya di tengah laut kepada kapal lain kebanyakan kapal asing. Keuntungan dari hasil jual tersebut hanya akan diambil oleh nelayan buruh.
Setelah transaksi jual-beli di laut tersebut, nelayan buruh biasanya akan menyisakan sedikit hasil tangkapan dan mendaratkan hasil tangkapannya. Hasil
tangkapan tersebutlah yang dilaporkan ke juragan. Kejadian ini tentu akan merugikan juragan nelayan pemilik. Apabila melalui penghitungan sistem bagi
hasil nelayan buruh terutama ABK mendapatkan bagian yang kecil, belum tentu pendapatan yang diperoleh juga kecil. Nelayan buruh telah memperoleh
pendapatan sebelumnya dalam transaksi jual-beli di laut. Hal inilah yang dikatakan berbeda dengan hasil analisis sistem bagi hasil yang telah dilakukan.
Transaksi jual-beli ilegal ini disebabkan oleh kurang baiknya manajemen usaha perikanan yang diterapkan. Apabila manajemen usaha diperbaiki, dapat diprediksi
penerimaan kapal dari penangkapan ikan terutama tuna mata besar akan meningkat, sehingga pendapatan nelayan pemilik dan nelayan buruh juga akan
meningkat.
6.9 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tuna Mata Besar di Teluk
Palabuhanratu
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak PPN Palabuhanratu dan Dinas Kelautan dan Perikanan DKP Kabupaten Sukabumi, kebijakan di Teluk
Palabuhanratu yang ditetapkan sudah dilaksanakan dengan baik. Kebijakan atau peraturan tersebut diantaranya tata cara pemasaran ikan yang harus melalui proses
lelang, perizinan yang sudah lengkap apabila akan melaut, dan larangan bongkar ikan pada malam hari. Namun, dari peraturan yang sudah dilaksanakan, beberapa
nelayan masih belum mematuhi peraturan tersebut, seperti larangan bongkar ikan pada malam hari. Beberapa nelayan, khususnya yang menangkap ikan tuna akan
melakukan pembongkaran muatan pada malam hari. Hal ini dilakukan nelayan dikarenakan kualitas tuna akan lebih baik dibandingkan bila dilakukan
pembongkaran pada siang hari. Selain dari peraturan yang ada, terdapat pula bantuan untuk nelayan dari
dinas dan pemerintah. Bantuan dari dinas berupa bantuan sarana penangkapan per kapal penambahan cool box dan perbaikan kapal dan alat tangkap. Bantuan dari
pemerintah berupa bantuan Pengembangan Usah Mina Pedesaan PUMP seperti rumah murah, subsidi solar, dan kartu nelayan. Selain itu, pada musim paceklik,
nelayan akan mendapatkan bantuan logistik seperti beras dari Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP melalui dinas. Namun, dari kebijakan dan bantuan
yang ada dan sudah terlaksana, hampir seluruhnya diperuntukkan untuk
kepentingan nelayan. Kebijakan yang menyangkut sumberdaya perikanan belum optimal dilakukan karena pengontrolan sulit dilakukan. Pembentukan polair
polisi air dan adanya syahbandar untuk melindungi stok ikan di laut belum dirasa optimal karena sulitnya pengontrolan dan kesadaran nelayan untuk
mematuhi aturan masih rendah. Hasil analisis bioekonomi dengan model Walters-Hilborn diperoleh
kondisi aktual dari produksi, upaya penangkapan, dan rente ekonomi yang masih berada di bawah rezim MEY dan MSY. Produksi aktual sebesar 89,56 ton, upaya
penangkapan aktual sebanyak 101 unit, dan rente ekonomi aktual yang dihasilkan sebesar Rp 878.804.231. Begitu pula dengan koefisien degradasi dan depresiasi
ikan tuna mata besar yang masih di bawah angka 0,5. Artinya, belum terjadi degradasi maupun depresiasi pada sumberdaya ikan tuna mata besar. Sementara
itu, sistem bagi hasil yang diterapkan belum berpihak kepada nelayan buruh karena tidak memperhitungkan biaya penyusutan dari investasi aktivitas
penangkapan ikan tuna mata besar. Melihat hasil penelitian di atas, maka alternatif kebijakan yang perlu
diajukan adalah kebijakan yang mendukung peningkatan produksi dan rente ekonomi nelayan hingga maksimum. Namun dalam jangka panjang, apabila
kebijakan yang mendukung peningkatan produksi tidak disertai kebijakan yang membatasi, diprediksi stok ikan tuna mata besar akan terkuras dan mengalami
overfishing. Alternatif-alternatif kebijakan tersebut adalah sebagai berikut: a. Peningkatan input penangkapan ikan tuna mata besar jumlah armada kapal,
tenaga kerja, dan alat tangkap. b. Peningkatan penanganan ikan tuna mata besar.
c. Perbaikan manajemen usaha perikanan. Wawancara dilakukan untuk mengetahui penilaian responden terhadap alternatif-
alternatif yang ditawarkan. Responden memberikan skor terhadap masing-masing alternatif sesuai dengan alasan responden. Pemberian skor menggunakan skala
likert 1 sampai 4, dengan 1 adalah tidak efektif, 2 adalah kurang efektif, 3 adalah efektif, dan 4 adalah sangat efektif. Wawancara ini dilakukan pada pihak yang
terkait secara langsung mengenai sumberdaya perikanan di Teluk Palabuhanratu. Pihak-pihak tersebut adalah Bapak Tatang Suherman selaku Kepala Seksi Tata